Monday, July 05, 2010

0 HUKUM ZIARAH KUBUR BAGI WANITA


Pertama: Dalil-dalil orang yang melarang wanita ziarah kubur:
Dalil pertama:
* Imam Ahmad r.a berkata (3236) :
Diriwayatkan dari Yahya ibn Ishâk, dari Abu 'Uwânah, dari Umar ibn Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a; bahwasanya Rasulullah s.a.w mengutuk para wanita yang terlalu sering berziarah kekuburan[1].
(Hasan dengan sebab riyawat lain yang menguatkannya)[2]

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Turmudzî r.a (1056), beliau berkata: hadits ini hasan shahih, Ibnu Mâjah r.a (1576) dan Imam Baihaqi r.a (4/78).

Hadits yang dijadikan penguat terhadap hadits diatas:
* Abu Daud r.a berkata (3236):
Diriwayatkan dari Muhammad ibn Katsir, dari Syu'bah, dari Muhammad ibn Jahhâdah, ia berkata: aku telah mendengar Abu Shaleh meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w melaknat wanita-wanita yang berziarah kekuburan, dan orang-orang yang menjadikannya sebagai mesjid atau orang yang meneranginya dengan lampu"
(Sanadnya dha'îf)[3]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a (1/229, 287, 324 dan 337) Imam Nasâ'I r.a (4/94-95) Imam Baihaqi r.a (4/78) dan yang lainnya.

Hadits penguat kedua:
* Imam Ahmad r.a berkata (3/442):
Diriwayatkan dari Mu'âwiyah ibn Hisyâm, dari Sufyan, dari Abdullah ibn Utsman, ayahku berkata. Dan diriwayatkan dari Qubaishah, dari Sufyan, dari Ibnu Khutsaim, dari Abdurrahman ibn Bahmân, dari Abdurrahman ibn Hassân dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah s.a.w melaknat wanita yang berlebihan melakukan ziarah kekuburan.
(sanadnya dha'îf)[4]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah r.a (1574) dan Imam Baihaqi r.a (4/78).

Dalil kedua:
* Abu Daud r.a berkata (hadits 3123):
Diriwayatkan dari Yazîd ibn Khalid ibn Abdullah ibn Mauhib al-Hamdâni, dari al-Mifdhal, dari Rabi'ah ibn Saif al-Ma'âfirî, dari Abu Abdurrahman al-Hablî, dari Abdullah ibn 'Amr ibn 'Âsh r.a, ia berkata: kami bersama Rasulullah s.a.w pernah menguburkan seorang mayat. Manakala kami telah selesai menguburkannya, Rasulullah s.a.w pun pulang, kamipun ikut pulang bersamanya. Dan tatkala Beliau berada diambang pintu rumahnya, beliau berhenti, tiba-tiba kami melihat seorang wanita yang datang –ia berkata: sepertinya aku mengenal wanita tersebut-. manakala aku telah pergi ternyata wanita tersebut adalah Fatimah r.a. Rasulullah s.a.w berkata kepadanya: apakah yang menyebabkan kamu keluar rumah wahai Fatimah? Fatimah menjawab: aku baru datang dari rumah keluarga orang yang meninggal dunia untuk mengucapkan belasungkawa. Maka Rasulullah s.a.w berkata kepadanya: "barangkali kamu bersama mereka sampai ke al-kadâ" Fatimah menjawab: aku berlindung kepada Allah sampai melakukan hal tersebut!! sesungguhnya aku telah mendengar–tentang ziarah kubur- apa yang telah engkau katakan. Lalu Rasulullah s.a.w berkata: "seandainya kamu bersama mereka sampai ke al-kadâ[5]…" Rasulullah s.a.w menyebutkan peringatan keras tentang perbuatan tersebut. Maka aku menanyakan kepada Rabi'ah tentang yang dimaksud dengan kalimat al-kadâ. Maka beliau menjawab: menurut perkiraan saya maksudnya adalah kubur.
(Dha'îf)[6]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Nasâ'î r.a (4/27-28) al-Hâkim r.a dalam kitabnya al-Mustadrak (1/373) dan Baihaqi r.a dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (4/60)

Kedua: Dalil-dalil orang yang membolehkan bagi wanita berziarah kekuburan:
Dalil pertama:
* Imam Bukhari r.a berkata (hadits 1283):
Diriwayatkan dari Âdam, dari Syu'bah, dari Tsâbit, dari Anas ibn Malik r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w pernah melewati seorang perempuan yang sedang menangis dipinggir kuburan, maka Beliau berkata: "Bertakwalah kepada Allah dan bersabar". Wanita tersebut menjawab: jangan dekati aku, sesungguhnya engkau tidak pernah merasakan musibah yang menimpa diriku. Saat itu wanita tersebut tidak mengenali Rasulullah s.a.w. Sehingga dikatakan kepadanya: Dia adalah Rasulullah s.a.w, maka wanita itu pun mendatangi Rasulullah s.a.w, dan iapun tidak menemukan disisi Rasulullah s.a.w tukang jaga pintu, lalu wanita tersebut berkata: tadi aku belum mengenal kamu. Maka Rasulullah s.a.w berkata: "yang namanya sabar hanyalah ketika terjadinya benturan pertama (musibah)".
(Shahih)[7]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a (hal. 637), Abu Daud r.a (3124) Imam Turmudzî r.a pada masalah jenazah (hadits 988), beliau berkata: hadits ini hasan shahih, dan Imam Nasâ'î r.a.

Dalil kedua:
Imam Muslim r.a berkata (hal. 671):
Diriwayatkan dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan Zuhari ibn Harb, keduanya berkata: diriwayatkan dari Muhammad ibn 'Ubaid, dari Yazîd ibn Kîsân, dari Abu Hâzim, dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata: Rasulullah s.a.w pernah menziarahi makam ibunya, lalu Beliau menangis, sehingga orang-orang yang disekitar Beliau ikut menangis, lalu Rasulullah s.a.w berkata: aku meminta izin kepada Tuhanku agar aku diperbolehkan memintakan ampun untuk ibuku, namun aku tidak diberikan izin, lalu aku meminta izin untuk menziarahi kubur Ibuku, dan aku pun diberikan izin. Maka hendaklah kalian berziarah kekubur, sebab hal tersebut akan selalu mengingatkan dengan kematian".[8]
(Shahih)

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abu Daud r.a (3243), Imam Nasâ'î r.a (4/90), Ibnu Mâjah r.a (1572) dan Imam Ahmad r.a (2/441).

Dalil ketiga:
Imam Muslim r.a berkata (hadits hal. 669):
Diriwayatkan dari Hârûn ibn Sa'îd al-Aylî, dari Abdullah ibn Wahb, dari Ibn Juraij, dari Abdullah ibn Katsîr ibn Muthallib, bahwa dia telah mendengar Muhammad ibn Qais berkata: aku telah mendengar Aisyah r.a berkata: maukah kalian aku riwayatkan sebuah hadits tentang Rasulullah s.a.w dan aku? Kami menjawab: ya...

Dan diriwayatkan dari orang yang telah mendengar[9] Hajjâj al-A'war (dengan redaksi darinya) ia berkata: diriwayatkan dari Hajjâj ibn Muhammad, dari Ibnu Juraij, dari Abdullah (berasal dari suku Quraisy), dari Muhammad ibn Qais ibn Makhramah ibn Muthallib, bahwa suatu hari ia berkata: maukah kalian aku riwayatkah sebuah hadits dari ibuku dan dari ku? Abdullah berkata (periwayat hadits dari Muhammad ibn Qais): maka kami mengira ibu yang dia maksudkan adalah ibu kandungnya. Lalu ia berkata: Aisyah r.a berkata: maukah kalian aku riwayatkan sebuah hadits tetang aku dan Rasulullah s.a.w? Kami menjawab: ya.. ia berkata: Aisyah berkata: pada suatu malam, ketika Rasulullah s.a.w bersamaku, Rasulullah s.a.w  berbalik, sambil meletakan selendang dan kedua sendalnya disamping kakinya, kemudian beliau menghamparkan ujung sarung diatas kasurnya, setelah itu lalu berbaring. Tak lama kemudian, setelah mengira bahwa aku telah tertidur, dengan perlahan Beliau mengambil selendang dan memakai sandal, kemudian membuka pintu lalu keluar. Dengan perlahan pintu ditutup kembali. Maka akupun memasukan baju kurungku, lalu memakai tudung kepala, dan menggunakan sarungku sebagai cadar yang menutupi wajahku. Setelah itu aku bergerak membuntutinya, sehingga ketika sampai ke Baqî', Beliau berdiri dalam waktu yang cukup lama, kemudian Beliau mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali. Setelah itu Beliau berpaling dan akupun berpaling, disaat Beliau berjalan dengan cepat, akupun juga berjalan dengan cepat, dan tatkala Beliau berlari akupun berlari, dan akhirnya aku berhasil lebih dahulu pulang kerumah. Aku masuk dan langsung berbaring. Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w masuk dan berkata: wahai Aisyah kenapa napasmu terengah-engah? Aisyah berkata: aku menjawab: tidak ada apa-apa. Rasulullah s.a.w berkata: katakanlah kepadaku atau Allah –Maha Lembut dan Maha Mengetahui- yang akan mengatakannya kepadaku". Aisyah berkata: aku menjawab: Wahai Rasulullah! Demi ayah dan ibuku.. maka akupun menceritakan semua yang terjadi. Lalu Rasulullah s.a.w berkata: jadi kamu bayangan hitam yang tadi aku lihat didepanku? Aku menjawab: ya benar. seketika itu jantungku berdenyut dengan kerasnya sehingga aku merasa sakit. Kemudian Rasulullah s.a.w berkata: apakah kamu mengira Allah dan Rasul-Nya akan menganiayamu? Aisyah berkata: bagaimanapun manusia menyembunyikan sesuatu Allah s.w.t pasti tetap mengetahuinya, ya. Lalu Rasulullah s.a.w berkata: sesungguhnya Jibril telah datang kepadaku ketika kamu telah bermimpi. Ia memanggilku namun kamu tidak mengetahuinya, lalu panggilan tersebut aku jawab, dan aku pun merahasiakan nya darimu. Jibril memang tidak bermaksud menemui kamu, sebab sesungguhnya kamu telah meletakan pakaian, dan akupun mengira bahwa kamu telah tertidur. Sehingga aku tidak mau membuat kamu terbagun dari tidur dan akupun khawatir kamu akan merasa kesepian. Lalu Jibril berkata kepadaku: sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk mendatangi penduduk (orang-orang yang telah dikuburkan) Baqî', dan memintakan ampun untuk mereka. Aisyah berkata: aku bertanya: apakah yang harus aku bacakan untuk mereka wahai Rasulullah?[10] Beliau menjawab: katakanlah… semoga keselamatan atas penduduk negri ini yang termasuk orang-orang mukmim dan kaum muslimin, semoga Allah memberikan ramhatnya kepada orang-orang terdahulu dari kami dan orang-orang yang akan datang, dan sesungguhnya kami pun jika Allah telah menghendaki akan menyusul kalian".
(Shahih)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a (6/221), Abu ar-Razzâq r.a (6712) dan Imam Baihaqi r.a ( as-Sunan al-Kubra, 4/79)


PENDAPAT UMMU AL-MU'MINÎN AISYAH R.A TENTANG ZIARAH KUBUR BAGI WANITA

Al-Hâkim r.a berkata (1/376):
Diriwayatkan dari Abu Bakar ibn Ishâk al-Faqîh, dari Abu al-Mutsannâ, dari Muhammad ibn Minhâl ad-Dharîr, dari Yazîd ibn Zarî', dari Busthâm ibn Muslim, dari Abu at-Tayyâh Yazîd ibn Humaid, dari Abdullah ibn Abu Mulaikah bahwasanya pada suatu hari Aisyah r.a datang dari kuburan. Maka aku berkata kepadanya: Wahai Ummu al-mu'minîn, kamu datang dari mana? Aisyah menjawab: aku datang dari kuburan saudaraku Abdurrahman ibn Abu Bakar. Maka akupun berkata kepadanya: bukankah Rasulullah s.a.w melarang menziarahi kuburan? Aisyah berkata: ya.. dulu Beliau memang melarangnya, kemudian setalah itu Beliau menyuruh untuk berziarah kepadanya.
(Shahih)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi r.a (4/78), beliau berkata: hadits ini hanya diriwayatkan oleh Muslim ibn Busthâm al-Bashrî. Wallâhu a'lam.

Makna hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu Mâjah r.a secara ringkas (1569) dari Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah s.a.w telah membolehkan menziarahi kuburan.


AISYAH R.A MENZIARAHI KUBUR SAUDARANYA

Imam Turmudzi r.a berkata (hadits 1055):
Diriwayatkan dari al-Husîn ibn Huraits, dari Isa ibn Yunus, dari Ibnu Juraij, dari Abdullah bin Abi Mulaikah, ia berkata: Abdurrahman ibn Abu Bakar r.a meninggal dunia dibunuh oleh seseorang yang berasal dari negara Abyssinia. Abdullah bin Abu Mulaikah berkata: lalu jenazah nya dibawa ke Mekkah, dan dikuburkan disana. Manakala Aisyah r.a tiba dikota Mekkah, beliau mendatangi kuburan Abdurrahman ibn Abu Bakar, Lalu Aisyah berkata:

Dan dahulu…
Kami bagaikan dua orang teman
Beberapa waktu selalu bersama Judzaimah
Sehingga dikata…
Tidak ada sebuah perpisahan
Namun..
Manakala kami terpisah
Meskipun begitu lama aku dan Malik selalu bersama
Seakan kebersamaan itu tidak lebih dari setengah malam.[11]

Kemudian Aisyah r.a berkata: seandainya –saat itu aku ada- niscaya kamu akan dikuburkan ditempat kematianmu, dan seandainya aku tahu kematianmu, aku tidak akan menziarahimu.
(Shahih dari Aisyah)

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a (6711)

Dalil keempat:
Imam Muslim r.a berkata (hadits 977):
Diriwayatkan dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah, dan Muhammad ibn Abdullah ibn Numair, dan dari Muhammad ibn Mutsannâ (dengan redaksi dari Abu Bakar dan Ibnu Numair). Mereka –bertiga- mengatakan: diriwayatkan dari Muhammad ibn Fudhail dari Abu Sinân (Dharâr ibn Murrah), dari Muhârib ibn Ditsâr, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: "aku telah melarang kalian untuk menziarahi kuburan, maka –sekarang- silakan kalian menziarahinya, dan aku telah melarang kalian dari –menyimpan- daging kurban lebih dari tiga hari, maka –sekarang- silakan kalian menyimpannya sesuka hati, dan aku –juga- telah melarang kalian dari an-nabîzd (perahan anggur) kecuali pada as-siqâ (wadah air dari kulit), maka –sekarang- silakan meminumnya pada wadah-wadah air dari kulit. dan janganlah kalian meminum sesuatu yang memabukan".
(Shahih)

Ibnu Numair r.a berkata pada riwayatnya: dari Abdullah ibn Buraidah, dari ayahnya. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud r.a –secara ringkas- (hadits 3235), an-Nasâ'ˆr.a (4/89) dan Imam Turmudzî r.a –secara ringkas juga- (hadits 1054), beliau mengatakan : hadits ini hasan shahih.


SEBAGIAN PERKATAAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG MASALAH BAB INI.

Telah lalu bahwa Aisyah r.a berpendapat bahwa dibolehkan bagi wanita berziarah kekuburan. Bahkan beliau sendiri yang pernah menziarahi kuburan saudaranya.

*Imam Turmudzi r.a berkata (setelah menyebutkan hadits 1056):
Sesungguhnya sebagaian ulama telah berpendat bahwa hadits ini sebelum Rasulullah s.a.w membolehkan untuk menziarahi kuburan. Maka ketika Beliau membolehkannya, hukum tersebut mencakup semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat: makruhnya berziarah kekuburan hanya berlaku terhadap wanita saja. Sebab mereka –biasanya- kurang sabar dan dan banyak bersedih.

* Imam Baihaqi r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (4/78):
Kami telah meriwayatkan sebuah hadits yang shahih dari Anas ibn Malik r.a; bahwasanya Rasulullah s.a.w melewati seorang wanita yang sedang manangis disamping kuburan. Maka Rasulullah s.a.w berkata kepada wanita itu: "bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersabar". Pada hadits ini, tidak terdapat larangan bagi wanita untuk keluar rumah pergi kekuburan. Hal ini menjadi penguat terhadap hadits yang telah kami riwayatkan dari Aisyah r.a.

Akan tetapi hadits yang paling shahih dan tegas tentang masalah ini adalah hadits Ummu 'Athiyyah r.a[12] dan riwayat-riwayat yang searah dengannya (hadits yang melarang wanita berziarah kekuburan). Sebab seandainya mereka tidak mengikuti jenazah dan keluar pergi kekuburan untuk berziarah, maka hal ini akan lebih selamat untuk keberagamaan mereka.

* Dalam kitabnya al-Majmû' (5/311), Imam Nawawi r.a berkata:
Sebagian alasan dan dalil yang menguatkan bahwa wanita tidak diharamkan berziarah kekuburan adalah hadits Anas r.a; bahwasanya Rasulullah s.a.w pernah melawati seorang wanita yang sedang menangis disamping kuburan, Lalu Beliau berkata kapada wanita tersebut: "hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan bersabar".
(H.R. Bukhari dan Muslim)

Kesimpulan yang dapat digaris bawahi dari hadits ini adalah: Rasululullah tidak melarang wanita tersebut berziarah kekuburan.

Dan diriwayatkan pula dari Aisyah r.a, Beliau berkata: apakah yang harus aku bacakan untuk mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: "katakanlah… semoga keselamatan atas penduduk negri ini yang termasuk orang-orang mukmim dan kaum muslimin, semoga Allah memberikan ramhatnya kepada orang-orang terdahulu dari kami dan orang-orang yang akan datang, dan sesungguhnya kami pun jika Allah telah menghendaki akan menyusul kalian". (silakan lihat pada kitab tersebut, tambahan pejelasan tentang hadits ini)

* Ibnu Hazm r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhalla (5/160):
Kami sangat menganjurkan berziarah kekuburan. Dan hukumnya adalah wajib[13] sekalipun hanya satu kali, dan dibolehkan bagi soerang muslim menziarahi kubur teman dekatnya yang mati dalam keadaan musyrik. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan hukum sama.

* Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata –dalam kitabnya Fathu al-Bâri (3/148):
Ulama berbeda pendapat tentang wanita: sebagian ulama bependapat bahwa wanita juga termasuk dalam umumnya hadits yang mengatakan bahwa dibolehkan berziarah kekuburan, dan ini adalah pendapat sebagian besar ulama. Akan tetapi tentunya hal tersebut –bagi wanita- apabila tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah. Pendapat ini diperkuat oleh hadits Rasulullah s.a.w: " bahwasanya Beliau pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis disamping kuburan, Lalu Beliau berkata kapada wanita tersebut: "hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan bersabar". (H.R. Bukhari dan Muslim)

* Imam as-Syakâni r.a berkata, pada penutup pembahasannya yang disebutkan dalam kitab Nail al-Authâr (4/111):
Imam al-Qurthubi r.a mengatakan: kutukan yang disebutkan dalam hadits tersebut (dari Abu Hurairah r.a; bahwasanya Rasulullah s.a.w mengutuk para wanita yang terlalu sering berziarah kekuburan) hanyalah ditujukan kepada para wanita yang terlalu sering dan belebihan berziar kekuburan. Sebab teks yang disebutkan dalam hadits tersebut (kalimat: zuwwârât) menunjukan suatu makna berlebihan. dan barangkali larangan tersebut disebabkan, dampak dari seringnya melakukan ziarah, seperti; akan tersia-siakannya hak seorang suami, at-Tabarruj (keterbukaan yang kurang layak), teriakan-teriakan kesedihan dan sebagainya.

Dan tidak keliru jika ada orang yang mengatakan: apabila hal-hal yang dikhawatirkan tersebut dapat diatasi, maka tidak ada alasan untuk melarang wanita berziarah kekuburan. Sebab ziarah kekuburan dapat mengingatkan kepada kematian, yang mana hal ini sangat dibutukan oleh laki-laki dan perempuan.

Imam as-Syaukânî r.a berkata:
Kesimpulan seperti inilah yang harus dikukuhkan sebagai jalan tengah antara kedua bentuk hadits-hadits yang pada zhahirnya saling kontroversi. Wallâhu a'lam.

* Ibnu al-Qayyim r.a berkata ('Aun al-Ma'bûd 9/58):
Ada tiga pendapat ulama yang saling berbeda tentang hukum ziarah kubur bagi wanita:
Pertama: Diharamkan bagi wanita berziarah kekuburan, hukum ini berdasarkan hadits-hadits diatas.[14]

Kedua: Dimakruhkan (tidak sampai diharamkan) bagi wanita berziarah kekuburan. Pendapat ini telah ditegaskan oleh Imam Ahmad r.a pada salah satu pendapat yang diriwayatkan dari beliau. dalil pendapat ini adalah hadits Ummu 'Athiyyah r.a yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a dan Imam Muslim r.a, yakni hadits: "kami telah dilarang mengikuti jenazah, namun larangan tersebut tidak begitu ditegaskan kepada kami". Hadits ini menunjukan bahwa hukum ziarah kubur bagi wanita hanyalah dimakruhkan dan tidak sampai diharamkan.

Ketiga: Wanita dibolehkan berziarah kekuburan, artinya: hukumnya tidak dimakruhkan dan juga tidak diharamkan. Dan inilah pendapat kedua yang diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a. Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil pendapat ketiga ini. Namun pada akhirnya Beliau memilih pendapat yang melarang wanita berziarah kekuburan. Wallâhu a'lam.


KESIMPULAN PENDAPAT TENTANG MASALAH WANITA BERZIARAH KEKUBURAN.

Setelah memperhatikan dalil-dalil yang membolehkan dan dalil-dalil yang melarang wanita berziarah kekuburan, maka kami dapat menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama: Hadits-hadits yang membolehkan –wanita berziarah kekuburan- lebih shahih daripada hadits-hadits yang melarangnnya. Dan tidak ada satupun dari hadits yang melarang wanita berziarah kekuburan yang statusnya hadits shahih, kecuali satu hadits saja, yaitu hadits: "Allah s.w.t telah mengutuk wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kekuburan". Hal ini berdasarkan alasan-alasan yang telak kami sebutkan.

Kedua: Telah terdahulu kami menggaris bawahi bahwa kalimat "zuwwârât" mengandung makna berziarah yang berlebihan. oleh sebab itu maka tidak termasuk dalam hadits tersebut wanita yang hanya berziarah satu atau dua kali saja.

Ketiga: Hadits "Allah melaknat wanita-wanita yang terlalu sering berziarah" telah dikatakan oleh sebagian ulama bahwa hadits ini telah di nasakh oleh hadits "dulu aku melarang kalian untuk menziarahi kuburan, maka –sekarang- silakan kalian berziarah kepadanya. Sebab hal tersebut dapat mengingatkan kalian dengan hari akhirat". Sedangkan wanita juga membutuhkan hal-hal yang dapat mengingatkan mereka dengan kematian, sebagaimana halnya laki-laki.

Keempat: Apa yang telah dipahami oleh Aisyah r.a, dan beliau adalah salah satu istri Rasulullah s.a.w -bahkan beliau adalah Ummu al-mu'minîn- wanita yang bersangkutan langsung dengan hadits-hadits tersebut, ditambah dengan pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w tentang bacaan yang harus diucapkan apabila ia datang kekuburan, apalagi beliau telah mempraktekan perbuatan tersebut ketika berziarah kekuburan saudaranya. Semua ini adalah bukti yang menunjukan bahwa wanita dibolehkan berziarah kekuburan. Dan menguatkan orang-orang yang membolehkan wanita berziarah kekuburan.


BEBERAPA HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN

1.        Apabila telah dapat dipastikan bahwa wanita-wanita yang pergi berziarah kekuburan, mereka berteriak, menangis dengan suara keras, menyebut-nyebut tentang orang-orang yang telah mati dan melakukan perbuatan bid'ah dan yang diharamkan oleh agama, maka –pada saat itu- ziarah kubur diharamkan bagi mereka. Sebab mencegah lebih baik dari mengobati.
2.        Begitupula apabila telah dipastikan bahwa wanita-wanita yang menziarahi kemakam-makam para wali dan orang-orang shaleh, mereka meminta kepada mereka untuk menghilangkan kesusahan, mengabulkan permintaan dan mengangkat penderitaan. Maka –jika hal itu yang terjadi- ziarah diharamkan terhadap wanita, sebab perbuatan-perbuatan seperti itu termasuk syirik kepada Allah s.w.t.
3.        Apabila wanita-wanita yang pergi beziarah kekubur-kubur dengan penampilan dan pakaian yang terbuka, atau memakai wangi-wangian, maka ziarah juga diharamkan terhadap mereka.
4.        Apabila telah dikhususkan hari-hari tertentu untuk para wanita yang hendak berziarah kekuburan –sebagaimana yang telah menjadi tradisi penetapan hari-hari tertentu untuk berkumpul, lebaran dan sebagainya- maka hal tersebut termasuk bid'ah yang tidak pernah diwahyukan oleh Allah s.w.t.

Semoga Allah s.w.t memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikuti kitab suci-Nya (al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah s.a.w.


[1] . Al-Hafiz Ibnu Hajar ra –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Fathu al-Bârî (3/149) telah menukil dari Imam Qurthubi r.a, perkataan beliau: laknat ini hanyalah bagi wanita yang sering melakukan ziarah kekuburan. Sebab teks yang disebutkan dalam hadits tersebut menunjukan suatu makna berlebihan.
[2] . Pada sanadnya terdapat Umar ibn Abu Salamah, dia adalah termasuk periwayat yang dha'îf. Namun haidist ini dikuatkan oleh beberapa hadits lain, diantaranya; hadits Ibnu Abbas r.a dan Hassân ibn Tsâbit r.a. Insya Allah kedua hadits tersebut akan kami sebutkan beserta penjelasannya. Dan seyogianya untuk diketahui bahwa sekurang-kurangnya hadits yang menjadi penguat adalah hadits yang hasan. Sebab penguat-penguat yang terdiri dari hadits yang dha'îf tidak dapat mengangkatnya menjadi shahih,  dan dengan sangat terpaksa kami menganggap hadits sebagai hadits hasan.
[3] . Pada sanadnya terdapat Abu Shaleh (namanya adalah Bâdzâm) dia adalah termasuk periwayat yang dha'îf menurut sebagian besar ulama hadits. Namun hadits ini dapat dijadikan penguat terhadap hadits sebelumnya. Dan pada hadits ini ada kecacatan lain, yaitu tentang kebenaran bahwa Abu Shaleh telah mendengarnya dari Ibnu Abbas r.a. Sebab Ibnu Hibbân r.a –sebagaimana yang dinukilkan darinya dalam kitab at-Tahdzîb- ia hanya meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a tanpa pernah mendengarnya langsung dari beliau.
perhatian: kalimat "atau meneranginya dengan lampu" tidak kami temukan riwayat lain yang menguatakannya. Dengan demikian maka kalimat ini tetap pada posisinya sebagai riwayat dha'îf.
[4] . Karena pada sanadnya terdapat Abdurrahman ibn Bahmân, dia adalah termasuk periwayat yang tidak dikenal.
[5] . Disebutkan pada riwayat Nasâ'I r.a dan yang lainnya : "seandainya kamu sampai –bersama mereka- ke al-kadâ, niscaya kamu tidak akan melihat surga sebelum kakek ayahmu melihatnya".
[6] . Pada sanadnya terdapat Rabi'ah ibn Saif al-Ma'âfirî, dia adalah termasuk periwayat yang diperdebatkan oleh ulama hadits, seperti Imam Nasa'I r.a. Setelah meriwayatkan hadits ini beliau mengatakan: Rabi'ah adalah periwayat yang dha'îf. Dan menurut al-Hafiz Ibnu Hajar r.a, sebagaimana yang beliau katakan dalam kitabnya at-Taqrîb: dia adalah orang jujur yang banyak meriwayatkan hadits munkar.

Dan dalam kitab al-Mîzân, -ketika menyebutkan tentang biografi Rabi'ah- al-Dzahabi r.a berkata: al-Hafiz Abdu al-Haq al-Azwî telah mengatakan bahwa Rabi'ah adalah orang yang dhaîf , hal ini beliau katakan ketika disampaikan kepada beliau hadits fatimah diatas, yakni: apakah kamu –bersama mereka telah sampai ke al-kadâ? Fatimah menjawab: tidak. Lalu Rasulullah s.a.w berkata: seandainya kamu –bersama mereka- telah sampai -ke al-kadâ-, niscaya kamu tidak akan masuk surga sebelum kakek ayahmu masuk kedalamnya".

Para ulama mengatakan dia (Rabi'ah) adalah orang yang sering meriwayatkan hadits dha'îf dan hadits-hadits munkar. Ibnu Hibbân r.a berkata: Rabi'ah tidak dapat dijadikan dukungan terhadap hadits diatas, pada haditsnya terdapat banyak kemunkaran. Sedangkan Imam Nasâ'I r.a –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya at-Tamyîz- beliau menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Rabi'ah, lalu beliau berkata: periwayat ini tidak mengapa jika diterima.

Aku menyimpulkan: pendapat Imam Nasa'î r.a yang harus didahulukan adalah pendapat beliau yang disebutkan dalam kitab Sunannya. Wallâhu a'lam.

* Hadits ini (hadits fatimah dari riwayat Rabi'ah) juga telah diyatakan dha'îf oleh Imam Nawawai r.a, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmû' (5/278)

* Adapun makna kalimat al-Kadâ, maka al-Khattâbi r.a mengatakan: al-kadâ adalah kalimat jamak dari asal kata kidyah, maknanya: sepotong tanah yang keras. Dan biasanya kuburan hanya digali pada daerah tanah yang keras, agar ia tidak runtuh. Orang arab juga mengatakan –ketika mensifatkan seseorang yang bijaksana dan tajam pikirannya-: dia tidak lain adalah biawak kidyah. Mereka juga mengatakan: akdâ (menggali tanah yang keras) laki-laki itu. Kalimat  tersebut juga sering digunakan sebagai pribahasa untuk mengatakan bahwa seseorang telah gagal meraih cita-citanya.

*. Orang-orang yang melarang wanita berziarah kekuburan juga menjadikan hadits Ummu Athiyyah r.a yang telah lalu sebagai dalil yang menguatkan pendapat mereka, yaitu hadits: "kami telah dilarang untuk mengikuti jenazah, namun larangan tersebut tidak begitu tegas". Akan tetapi hadits ini juga tidak tegas untuk dijadikan sebagai dalil. Disamping itu larangan tersebut sangat jelas, bahwa hukumnya hanya dimakruhkan saja, bukan larangan yang hukumnya haram. Wallâhu a'lam.
[7] . Kesimpulan dalil yang dapat digaris bawahi pada hadits ini adalah: bahwasaya Rasulullah s.a.w tidak menegur wanita tersebut duduk disamping kuburan. Dan sikap Rasulullah seperti ini dapat dijadikan hujjah (dalil) bahwa wanita tidak dilarang berziarah kekuburan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a.

Beliau juga mengatakan: hadits ini juga menjadi dalil yang membolehkan percakapan antara laki-laki dan perempuan dalam hal amar ma'ruf dan nahi munkar, nasehat maupun belasungkawa. Sebagaimana hal tersebut tidak hanya dikhususkan untuk wanita-wanita yang sudah tua. Sebab sikap itu termasuk perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan dalam beragama. Imam Nawawi r.a berkata: pada hadits tersebut terdapat perintah untuk melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar kepada siapa saja.
Aku menambahkan: tentunya hal tersebut apabila aman dari fitnah. Wallâhu a'lam.

Adapun perkataan Rasulullah s.a.w: "sabar hanyalah ketika terjadinya benturan pertama (musibah)". Maka dalam kitabnya Fathu al-Bârî (3/150) al-Hafiz Ibnu Hajar r.a telah menukil dari al-Khattabi r.a, perkataan beliau: makna kalimat tersebut adalah: sesungguhnya kesabaran yang menjadikan seseorang mendapat pujian dari Allah s.w.t, adalah kesabaran yang kuat ketika awal datangnya musibah. Berbeda dengan kesabaran yang dapat dilakukan setelah beberapa waktu berlalunya musibah tersebut.
[8] . Kesimpulan yang dapat digaris bawahi pada hadits diatas adalah perkataan Rasulullah s.a.w: "maka hendaklah kalian berziarah kekuburan". Perintah ini sifatnya umum dan menyeluruh baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
[9] . Pada sanad ini –sebagaimana yang kamu lihat- terdapat perbedaan. Sebab hadits ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Abdullah ibn Katsir. Ibnu Juraij juga telah meriwayatkan, ia berkata: diriwayatkan dari Abdullah (berasal dari suku Quraisy), dari Muhammad ibn Qais. Dan pada sanad kedua ini Imam Muslim r.a tidak menjelaskan siapakah gurunya yang telah meriwayatkan kepada beliau, dari Hajjâj, namun beliau hanya merahasiakannya. Akan tetapi hadits ini juga disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (6712) dari riwayat Ibnu Juraij, ia berkata: diriwayatkan dari Muhammad ibn Qais ibn Makhramah, ia berkata: aku telah mendengar Aisyah r.a berkata:… lalu Abdu ar-Razzâq r.a menyebutkan hadits tersebut. Bahwa hadits yang terakhir ini sanadnya shahih. Dan sangat mungkin jika dikatakan bahwa Ibnu Juraij memiliki dua orang guru. Dari satu sisi ia telah mendengar hadits tersebut langsung dari Muhammad ibn Qais, dan dari sisi lain ia telah mendengarnya melalui perantaraan Abdullah ibn Katsir. Wallâhu a'lam.
[10] . Pada perkataan Aisyah r.a ini terdapat dalil bahwa wanita juga dibolehkan mendatangi kuburan, dan memberikan salam kepada orang-orang yang telah mati dengan ucapan: "semoga keselamatan atas penduduk negri ini yang termasuk orang-orang mukmim dan kaum muslimin, semoga Allah memberikah ramhatnya kepada orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang, dan sesungguhnya kami pun jika Allah telah menghendaki akan menyusul kalian".

Hadits ini juga telah dijadikan oleh sebagian ulama sebagai dalil yang menguatkan bahwa wanita dibolehkan menziarahi kuburan.

* perhatian: Disebutkan dalam Sunan Baihaqi (4/78) sebuah riwayat yang menguatkan bahwa wanita dibolehkan berziarah kekuburan. Yaitu riwayat yang mengatakan bahwa pada setiap hari jum'at Fatimah r.a menziarahi kubur pamannya Hamzah r.a, disana sambil menangis ia berdoa. Namun hadits ini dha'îf, sebab tidak pernah perbuatan seperti itu diriwayatkan dengan shahih dari Fatimah r.a. Dan al-Hâkim r.a berkata: para periwayat hadits ini semuanya adalah orang-orang yang tsiqah.

Namun perkataan ini ditanggapi oleh az-Dzahabi r.a dengan perkataannya: hadits ini sangat munkar sekali, dan Sulaiman (salah satu periwayat hadits tersebut) adalah orang yang dha'îf. Sedangkan menurut Imam Baihaqi r.a –sebagaimana yang beliau katakan-: hadits ini munqati'.
[11] . Pada sya'ir diatas ada satu bait yang tidak disebutkan. Dan telah disebutkan oleh as-Shan'ânî r.a dalam kitabnya Subul as-Salâm (579).

Dan dalam kebaikan
Kami telah hidup didunia
Sementara…
orang sebelum kami..
kamatian telah menimpa.
Kelompok Kisra dan pengikutnya.

Bait-bait syair ini dirangkai oleh Tamîm ibn Nurairah, ia menangisi saudaranya Malik ibn Nuwairah setelah dibunuh oleh Khalid. Sedangkan Juzdaimah adalah seorang raja di Irak dan al-Jazîrah yang bergabung dengan bangsa-bangsa arab. Dia adalah suami az-Zabâ'. Disebutkan dalam kamus bahwa az-Zabâ' maknanya adalah: seorang ratu di al-Jazîrah (lihat: Tuhfah al-Ahwadzî, 4/ 162)
[12] . Maksudnya adalah hadits Ummu 'Athiyyah r.a yang berbunyi: "kami telah dilarang mengikuti jenazah namun larangan tersebut tidak begitu ditegaskan kepada kami".
[13] . Pendapat Ibnu Hazm r.a, bahwa ziarah kekuburan hukumnya diwajibkan, masih diperdebatkan dikalangan ulama. Sebab hal tersebut harus dikembalikan kepada bentuk perintah yang datang setelah larangan. Dan masalah tersebut telah kami bicarakan pada bab at-Thahârah, ketika mentafsirkan firman Allah s.w.t: " Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu" (Q.S. al-Baqarah: 222)
[14] . Maksudnya adalah: hadits: "Allah s.w.t melaknat wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kekuburan", dan hadits Fatimah yang telah lalu.
READ MORE - HUKUM ZIARAH KUBUR BAGI WANITA
your ad here

0 WANITA DIMAKRUHKAN BERKUMPUL UNTUK MENYATAKAN BELASUNGKAWA

Ibnu Mâjah r.a berkata (hadits 1612):

Diriwayatkan dari Muhammad ibn Yahya, ia berkata: diriwayatkan dari Sa'îd ibn Manshûr, dari Husyaim. Dan diriwayatkan pula dari Syujâ' ibn Mukhallad Abu al-Fadhl, ia bekata: diriwayatkan dari Husyaim, dari Ismail ibn Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hâzim dari Jarir ibn Abdulllah al-Bajlî r.a, ia berkata: kami melihat para wanita yang berkumpul dirumah keluarga orang yang meninggal, mereka membuat masakan sambil menangis dengan suara yang keras"

(Pada sanadnya terdapat kelemahan)[1]


MEMBUATKAN MAKANAN UNTUK KELUARGA ORANG YANG MENIGGAL DUNIA


Abu Daud r.a berkata (hadits 3133):

Diriwayatkan dari Musaddad, dari Sufyan, dari Ja'far ibn Khalid, dari ayahnya, dari Abdullah ibn Ja'far r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w berkata: "buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far, sebab sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang membuat mereka sibuk".

(Dha'îf)[2]


Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Turmudzi r.a (hadits 998), beliau mengatakan: hadits ini hasan shahih, Ibnu Mâjah r.a (1610) al-Hâkim r.a (1/372), beliau berakta: hadits ini sanadnya shahih. Namun keduanya tidak memberikan tafsiran terhadap hadits ini. Dan Ja'far ibn Khalid ibn Sârah adalah termasuk salah satu senior syaikh (orang tua yang umurnya telah melebihi empat puluh tahun) suku Quraisy. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syu'bah r.a: tulislah (terimalah) dari orang-orang terhormat, sebab mereka tidak akan berbohong. Az-Dzahabî r.a mengatakan: -hadits ini- shahih. Selain ulama hadits yang disebutkan diatas, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi r.a (4/61), Imam Syâf'î r.a, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Umm (1/247) dan ulama lainnya.


Imam Bukhari r.a berkata (hadits 5417):

Diriwayatkan dari Yahya ibn Bakîr, dari al-Laits, dari 'Uqail, dari Ibnu Syihab, dari 'Urwah, dari Aisyah r.a –istri Rasulullah s.a.w-, bahwasanya beliau apabila salah satu dari keluarganya meninggal dunia, lalu para wanita hendak berkumpul –dengan sebab kematian tersebut- kemudian mereka pulang kerumah masing-masing dan tertinggallah keluarga dan orang-orang yang terdekat dengan mayat tersebut. Aisyah r.a meminta sebuah periuk dari batu yang berisikan dengan talbînah[3], lalu beliau memasaknya. Kemudian dibikinkanlah roti yang diremuk dan dibuat dalam kuah, lalu at-talbînah tadi ditumpahkan kedalamnya. Setelah selesai Aisyah r.a berkata: silakan kalian (para perempuan) menyantapnya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah s.a.w berkata: "at-talbînah adalah memberikan kenyamanan (cocok) untuk hati orang yang sedang sakit, dan dapat mengurangi perasaan sedih".

(Shahih)[4]


Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a (haidits 2216)



PERKATAAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG MEMBUAT MAKANAN UNTUK KELUARGA ORANG YANG MENINGGAL DUNIA


* Dalam kitabnya al-Umm (1/247), Imam Syâf'î r.a mengatakan:

Aku menyukai apabila tentangga orang yang ditimpa musibah kematian atau keluarganya, membuatkan makanan yang mengenyangkan untuk keluarga orang yang meninggal dunia pada siang dan malam kematian tersebut. sebab sesungguhnya hal itu adalah perbuatan sunnah dan akhlak mulia yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum dan sesudah kita. Karena manakala berita kematian Ja'far r.a telah sampai kepada Rasulullah s.a.w, Beliau berkata: "buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far. Sebab sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang membuat mereka sibuk".


* Imam as-Syairâzî r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhazzab (5/317):

Dan disunnahkan bagi sanak famili dan tetangga orang yang meninggal dunia, membuatkan makanan untuk keluarga yang ditimpa musibah kematian tersebut. hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa manakala sampai berita terbunuhnya Ja'far... lalu Imam Syairâzî ra menyebutkan hadits diatas.


* Imam Nawawi r.a mengatakan –dalam kitabnya al-Majmû' (5/317):

Ulama mazhab Syâf'î mengatakan: dan mereka (keluarga orang yang meninggal) didesak untuk makan, sekalipun mayat tersebut berada dikampung yang lain, tetap saja disunnahkan bagi tetangganya untuk membuatkan mereka makanan… kemudian beliau berkata: dan seandainya para keluarga wanita menangis dengan suara yang keras, maka tidak dibolehkan membuatkan makanan untuk mereka. Sebab hal itu sama saja hukumnya dengan mambantu orang melakukan kemaksiatan. Pengarang kitab as-Sâmil berkata: adapun membuatkan makanan dan mengumpulkan orang banyak untuk makanan tersebut. maka tidak ada satu dalilpun yang membenarkannya. Dengan demikian berarti hal tersebut adalah bid'ah yang tidak disunnahkan.


* Imam al-Kharqîr r.a berkata, -sebagimana yang disebutkan dalam kitab Mukhtasharnya (lihat Mukhtashar al-Kharqî dan kitab al-Mughni, 2/550):

Tidak mengapa membuatkan makanan untuk keluarga orang yang meninggal dunia, yang diperuntukan kepada mereka. Dan tidak dibenarkan membuat makanan untuk memberikannya kepada orang-orang yang berkumpul dirumah keluarga orang yang meninggal tersebut.


Ibnu Qudâmah r.a menjelaskan: kesimpulannya, bahwa disunnahkan membuatkan makanan untuk keluarga orang yang meninggal dunia, dengan mengirimkan makanan tersebut kepada mereka, sebagai tanda pertolongan dan menghibur kesedihan yang sedang menyelimuti hati mereka. Sebab barangkali musibah tersebut dan kedatangan orang-orang yang memberikan ucapan belasungkawa, telah membuat mereka sangat sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk membuat makanan.


[1] . Kelemahan yang dimaksudkan adalah, bahwa pada sanad riwayat tersebut terdapat Husyaim ibn Basyîr, dia adalah seorang mudallis yang menggunakan kalimat 'an. Dan sangat besar kemungkinan ada salah satu periwayat yang telah ia sembunyikan. Sebab hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a (2/204) dari Nashr ibn Bâb, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir ibn Abdullah. Sedangkan Nasr ibn Bâb yang terdapat pada sanad riwayat ini, telah didustakan oleh sebagian ulama hadits. Dan kemungkian besar dialah periwayat yang telah disembunyikan oleh Husyaim. Meskipun demikan, pada realitanya hadits ini telah dimasukan dalam kitab Musnad Abdullah ibn 'Amr, dari Imam Ahmad r.a. Namun hanya Allah s.w.t saja yang mengetahui, kenapa hadits ini sampai dimasukan dalam kitab tersebut.


* Adapun tentang belasungkawa yang disampaikan oleh wanita, maka hal tersebut dibolehkan, dan kami tidak menemukan dalil yang melarangnya. Dalam hal ini mereka sama dengan laki-laki. Akan tetapi jika hal tersebut dilakukan –oleh wanita- dengan cara berkumpul, maka inilah yang tidak ada dalilnya. Jadi kapan saja belasungkawa dapat dilakukan, maka dipersilahkan untuk menyatakannya, (penterjemah: tanpa harus berkumpul atau mengadakan acara khusus)


* Dalam kitabnya al-Umm (1/248), Imam Syafi'I r.a mengatakan: aku tidak menyukai (makruh) terhadap al-ma'tam, yakni: perkumpulan orang banyak, sekalipun tidak terdapat diantara mereka isak tangisan. Sebab hal tersebut akan memperbaharui kesedihan dan mengeluarkan biaya, ditambah lagi dengan alasan yang disebutkan pada atsar diatas.


* Imam Nawawi ra mengatakan –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmû' (5/306):

Berdasarkan nash dari Imam Syafi'I r.a, Imam as-Syairâzî r.a dan seluruh murid-murid Imam Syafi'I r.a, duduk duduk untuk menyatakan sikap bela sungkawa hukumnya makruh. Hal ini telah dinukilkan oleh Syaikh Abu Hâmid dalam kitabnya at-Ta'lîq dan yang lainya dari nash Imam Syafi'I r.a, mereka mengatakan: yang dimaksudkan dengan duduk-duduk untuk menyatakan sikap bela sungkawa, adalah: keluarga mayat yang berkumpul dalam sebuah rumah, lalu orang-orang yang akan mengucapkan bela sungkawa berdatangan menuju rumah tersebut.


mereka berpendapat: akan tetapi seyogianya orang-orang tetap dengan kesibukan dan keperluannya, dan apabila –dijalan atau dimanapun- bertemu dengan keluarga orang yang meninggal, maka merekapun mengucapkan belasungkawa. Duduk-duduk yang dimaruhkan tersebut sifatnya umum, yakni: baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Mahâmilî r.a berdasarkan nash yang beliau nukil dari Imam Syafi'I r.a. Dan nash ini terdapat dalam kitab al-Umm, karya Imam Syafi'I r.a.


Dan setelah menukil perkataan Imam Syafi'I r.a tersebut, Imam Nawawi r.a berkata: nash ini diikuti oleh para ulama dari mazhab Syafi'I. Alasan lain yang disebutkan oleh Imam as-Syairâzî r.a tentang hal ini (hukum makruh) adalah: kerena perbuatan tersebut termasuk bid'ah. Dan telah diriwayatkan –dengan shahih- dari Aisyah r.a, beliau berkata: "manaka sampai berita kepada Rasulullah s.a.w tentang terbunuhnya Ibnu Hâritsah, Ja'far dan Ibnu Rawwâhah r.a, beliau terduduk dan terlihat kesedihan diwajahnya, sementara saat itu aku hanya mengintip dari celah pintu. Tak lama kemudian datanglah seorang laki-laki dan berkata kepada Rasulullah s.a.w: sesungguhnya keluarga wanita Ja'far begini dan begitu (menyebutkan isak tangisan yang mereka luapkan). Maka Rasulullah s.a.w menyuruh orang tersebut untuk melarang mereka melakukan hal itu. (H.R. Bukhari dan Muslim)

[2] . Pada sanadnya terdapat Khalid ibn Sârah, dan dia termasuk orang yang tidak dikenal. Ada juga hadits serupa yang disebutkan oleh Ibnu Mâjah r.a dari riwayat Asmâ' binti 'Umais r.a (hadits 1611). Akan tetapi pada sanadnya terdapat Ummu Isa al-Jazzâr r.a, dan Ummu 'Aun r.a, dan mereka berdua termasuk periwayat yang tidak dikenal. Oleh sebab itu maka hadits tersebut tidak layak dijadikan sebagai penguat. Meskipun demikian, kandungan hadits ini telah diaflikasikan oleh banyak ulama. Dan makna hadits ini juga dibela oleh hadits berikutnya, yakni hadits Aisyah r.a.

[3] . Al-Hafiz Ibnu Hajar ra berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Fathu al-Bârî (9/550): at-Talbînah adalah sejenis makanan yang dibuat dari tepung atau dedak, dan terkadang ditambahkan didalamnya madu. Makanan tersebut dinamakan demikian sebab warna dan kelembutannya mirip seperti susu. Dan –makanan itu- dapat dikonsumsi apabila masih lembut dan wangi. Maksudnya sebelum berubah menjadi keras dan berbau busuk.

[4] . Dan disebutkan pada riwayat Imam Bukhari r.a (5689), bahwa Aisyah r.a menganjurkan untuk membuatkan at-Talbînah untuk orang sakit dan orang yang sedang bersedih atas kematian.
READ MORE - WANITA DIMAKRUHKAN BERKUMPUL UNTUK MENYATAKAN BELASUNGKAWA
your ad here

0 SIAPAKAH YANG HARUS MASUK KEDALAM LIANG LAHAD UNTUK MENGUBURKAN MAYAT WANITA


Imam Bukhari r.a berkata (hadits 1342):
Diriwayatkan dari Muhammad ibn Sinân, dari Fulaih ibn Sulaiman, dari Hilâl ibn Ali, dari Anas r.a, beliau berkata: kami telah menyaksikan –pemakaman- putri Rasulullah s.a.w, sementara itu Rasulullah s.a.w sedang duduk diatas kubur, aku melihat kedua matanya mengalirkan air mata, lalu beliau berkata: apakah diantara kalian ada orang yang tadi malam tidak melakukan muqârafah?[1] Maka Abu Thalhah menjawab: "saya". Rasulullah s.a.w berkata: turunlah kedalam liang lahadnya. Maka Abu Thalhah pun turun, lalu menguburkannya"
(Shahih li ghairih)[2]

Ibnu Fulaih r.a berkata: menurut saya, yang dimaksud dengan al-Muqârafah adalah dosa. Abu Abdullah berkata: maksudnya adalah berkerja. Sebab orang sering mengatakan makna bekerja dengan menggunakan kalimat al-muqârafah.

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a (3/126 dan 128) Imam Baihaqi r.a (4/53) dan yang lainnya.

Imam Ahmad r.a berkata (3/270) :
Diriwayatkan dari 'Affân, dari Hammâd, dari Tsâbit, dari Anas, bahwasanya manakala Ruqayyah[3] meninggal dunia, Rasulullah s.a.w berkata: "tidak diperkenankan bagi laki-laki yang tadi malam telah melakukan muqârafah terhadap istrinya, masuk kedalam kubur"
(Shahih)

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a (3/229) al-Hâkim r.a (4/47), beliau mengatakan: hadits ini shahih menurut syarat Muslim, dan keduanya tidak mentafsirkan hadits tersebut. sementara ad-Dzahabî r.a tidak memberikan komentar apapun terhadap hadits ini.

Dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (4/53), Imam Bahaqi r.a berkata:
Diriwayatkan dari Abu Abdillah al-Hafiz dan Abu Sa'îd ibn Abu Umar, keduanya berkata: diriwayatkan dari Abu al-'Abbas Muhammad ibn Ya'kub, dari Ibrahim ibn Marzuq,[4] dari Wahb ibn Jarir, dari Syu'bah, dari Ismail ibn Abu Khalid, dari as-Sya'bî, dari Abdurrahman ibn Abzî, bahwa Umar ibn Khattab r.a telah mengangkat takbir sebanyak empat kali (melakukan shalat jenazah) untuk Zainab binti Jahsyin. Kemudian beliau mengutus seseorang kepada istri-istri Rasulullah s.a.w untuk menanyakan, siapakah yang akan memasukan Zainab binti Jahsyin kedalam kuburnya? Maka mereka menjawab: orang yang dibolehkan masuk kepadanya semasa ia masih hidup.
(Shahih)

Imam Baihaqi r.a berkata: hadits ini juga telah kami riwayatkan dari Ya'lâ ibn 'Ubaid, dari Ismail. Dan pada riwayat tersebut terdapat redaksi tambahan: "Dan Umar ibn Khattab r.a sangat senang apabila beliau yang harus memasukannya kedalam kuburnya. Maka ketika istri-istri Rasulullah s.a.w menjawabnya, Umar berkata: mereka telah benar.

Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (3/324)

Perkataan dan pendapat ulama tentang bab ini:
* Dalam kitabnya al-Muhalla (5/144) Abu Muhammad ibn Hazm r.a berkata:
Orang yang paling berhak memasukan mayat perempuan kedalam kuburnya adalah orang yang pada malam kematian tersebut ia tidak menjima'nya. Sekalipun orang tersebut bukan sanak famili, baik pemakaman tersebut dihadiri oleh suami dan walinya, maupun tidak…

Kemudian Ibnu Hazm r.a berkata: al-muqârafah[5] adalah jima', bukan bermakna dosa. Dan tidak mungkin rasanya Abu Thalhah membanggakan diri didepan Rasulullah s.a.w bahwa tadi malam ia tidak berbuat dosa apapun. Dengan demikan maka sahlah bahwasanya orang yang –tadi malam- tidak menjima' wanita tersebut lebih berhak dari Ayah dan suaminya atau yang lainnya.

Aku berpendapat: dapat dipahami dari perkataan Ibnu Hazm r.a sebuah kesan, bahwa beliau mewajibkan hal yang baru disebutkan diatas. Jika hal itu benar, maka kami termasuk orang yang tidak sependapat dengannya. Sebab wanita yang meninggal dimasa Rasulullah s.a.w sangat banyak sekali, dan kami tidak mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w pernah mensyaratkan hal tersebut untuk mayat perempuan lainnya, selain putri Beliau. dan kami juga tidak mengetahui ada ulama yang mewajibkan hal tersebut.

* Imam al-Kharqî r.a berkata (lihat: Mukhtashar al-Kharqî bersama kitab al-Mughnî, 2/501):
Yang berhak memasukan mayat wanita kedalam kuburnya adalah mahramnya[6]. Kemudian jika mahramnya sedang tidak ada, maka yang memasukannya adalah para wanita[7]. Kemudian apabila wanita juga tidak ditemukan, maka pemakaman tersebut dilakukan oleh orang-orang yang telah tua.

* Dalam kitabnya al-Mughni, Ibnu Qudâmah r.a mengatakan:
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, bahwa orang yang paling diprioritaskan untuk memasukan mayat perempuan kedalam kuburnya adalah marhamnya, yaitu orang yang dibolehkan baginya memandang kepada wanita tersebut sewaktu ia masih hidup dan bepergian dengannya. Al-Khallâl telah meriwayatkan –dengan sanadnya- dari Umar r.a bahwasanya beliau bediri disamping mimbar Rasulullah s.a.w ketika wafatnya Zainab binti Jahsyin. Lalu Umar berkata: perhatian… sesungguhnya aku telah mengutus seseorang kepada para wanita untuk mencari orang yang akan memasukannya kedalam kuburnya. Maka mereka mengutus seseorang yang dibolehkan baginya masuk kedalam rumah wanita yang meninggal tersebut, semasa ia masih hidup. Maka Umar pun menganggap keputusan yang mereka sepakati (mengutus orang tersebut) adalah sikap yang benar.

Dan manakala istri Umar meninggal dunia, beliau berkata kepada keluarganya: kalian adalah orang yang lebih berhak. Dan karena orang yang paling berhak menjadi wali bagi seorang wanita sewaktu ia masih hidup adalah mahramnya, maka begitupula hukumnya ketika wanita tersebut telah meninggal dunia.

Dilihat dari zhahir perkataan Imam Ahmad r.a, sanak famili lebih diprioritaskan daripada suaminya. Al-Khallâl r.a berkata: telah benar riwayat yang disampaikan dari Abu Abdillah bahwa apabila –ketika pemakaman mayat perempuan- dihadiri oleh para wali dan suaminya. Maka para wali lebih berhak dari pada suaminya untuk memasukannya kedalam kubur. Dan jika –disana- para walinya tidak ada, maka suaminya menjadi orang yang paling berhak untuk menguburkannya. Hal ini berdasarkan riwayat Umar yang baru saja kita sebutkan diatas.

Memprioritaskan para wali dari pada suaminya, dikarenakan, bahwa setelah meninggal dunia ikatan suami istri dengan wanita yang meninggal itu telah terputus, sedangkan ikatan pertalian darah tetap masih utuh sekalipun setelah meninggal dunia.

Al-Qadhi r.a berpendapat: suami lebih berhak daripada para walinya. Karena pada saat istri Abu Bakar r.a meniggal dunia, orang yang memasukannya kedalam kuburnya bukanlah para wali wanita itu, akan tetapi suaminya sendiri, yakni Abu Bakar r.a. Hal ini juga dikarenakan bahwa orang yang paling berhak memandikan mayat wanita adalah suaminya sendiri. Oleh sebab itu maka –ketika sampai waktu pemakaman- suaminyalah yang paling berhak melakukannya.

Dan dapat disimpulkan -dari kedua pendapat yang saling berbeda tentang siapakah orang yang paling berhak memasukan mayat wanita kedalam kuburnya, apakah para walinya atau suaminya- bahwa siapapun yang didahulukan antara dua orang tersebut, maka urutan orang yang lebih berhak setelahnya adalah salah satu dari kedua orang tersebut. maksudnya. Jika para wali adalah urutan pertama maka suaminya berada diurutan kedua. Begitupula sebaliknya.

Namun apabila keduanya tidak berada disaat pemakaman, maka –sebagaimana sebuah pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a- orang yang berhak memasukannya kedalam kubur adalah para wanita. Sebab mereka dibolehkan memandang mayat wanita tersebut sewaktu ia masih hidup, dan juga, mereka adalah orang yang paling berhak memandikannya.

Dan urutan yang harus diperhatikan adalah siapakah diantara wanita tersebut yang paling dekat ikatan keluarga dengannya, maka dialah yang lebih berhak untuk memasukannya kedalam kubur, sebagaimana halnya jika yang meninggal tersebut adalah mayat laki-laki.

Dan diriwayatkan pula dari Imam Ahmad r.a bahwa wanita tidak mampu masuk kedalam kubur, dan mereka juga tidak mampu menguburkannya. Riwayat ini lah yang paling shahih dan paling bagus.

Kemudian, setelah Ibnu Qudâmah r.a menambahkan pendapat orang yang mengatakan bahwa wanita juga berhak untuk melakukan pemakaman, beliau berkata: akan tetapi jika mahram mayat perempuan tersebut tidak ada, maka disunnahkan agar pemakaman itu dilakukan oleh orang-orang yang sudah tua[8]. Sebab mereka adalah orang yang paling rendah nafsunya dan paling jauh dari fitnah. Dan jika mereka juga tidak ada, maka urutan selanjutnya adalah orang-orang shaleh dan memiliki keta'atan beragama yang tinggi. Sebab Rasulullah s.a.w telah menyuruh Abu Thalhah r.a untuk menguburkan putri Beliau, padahal disana masih banyak sahabat lainnya. Dan untuk lebih lengkapnya lagi, silakan lihat kitab al-Majmû' (5/288) dan kitab al-Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaibah r.a (3/324)


SEBAGIAN ULAMA MENGATAKAN BAHWA KUBUR MAYAT WANITA HARUS DITUTUP DENGAN KAIN YANG DAPAT MENGHALANGI PANDANGAN MATA, SAMPAI MAYAT TERSEBUT SELESAI DIMAKAMKAN

* Ada sebuah hadits dha'îf yang menyebutkan tentang hal itu, yaitu hadits Ibnu Abbas r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w telah menutupi kuburan Sa'ad dengan baju Beliau. hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Baihaqi r.a dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (4/54), beliau berkata: hadits ini tidak saya ingat kecuali dari Yahya ibn 'Uqbah ibn Abu 'Aizâr, dan hadtis ini adalah dha'îf.

* Dalam kitabnya al-Mughni (2/501), Ibnu Qudâmah r.a berkata:
(Syarah masalah: Kubur mayat wanita harus ditutupi dengan kain) kami tidak mengetahui ada ulama yang tidak mengatakan bahwa hal tersebut disunnahkan. Ibnu Sîrîn r.a telah meriwayatkan dari Umar r.a; bahwa beliau juga menutupi kuburan seorang mayat perempuan. Dan diriwayatkan pula dari Ali; bahwasanya beliau pernah melewati suatu kaum yang sedang menguburkan mayat seorang laki-laki, mereka menghamparkan kain diatas kubur tersebut, lalu Ali menariknya dan beliau berkata: hal ini dilakukan hanya untuk mayat perempuan saja[9]. Dan Anas ibn Malik r.a pernah menyaksikan pemakaman Abu Zaid al-Anshârî, ketika kuburnya ditutupi dengan kain Abdullah ibn Anas berkata: angkat kain tersebut, sebab sesungguhnya hal tersebut dilakukan hanya untuk mayat perempuan saja. Sementara pada saat itu Anas –yang sedang berdiri ditempi lobang kuburan- hanya berdiam saja, dan tidak memberikan protes sama sekali. Dan karena wanita adalah aurat yang dikhawatirkan jika terlihat darinya sesuatu yang tidak dibenarkan untuk dilihat.

Dan apabila mayat tersebut adalah seorang laki-laki maka dimakruhkan menutupi kuburnya dengan kain atau sejenisnya, hal ini berdasarkan dalil dan alasan yang telah kami sebutkan. Pendapat ini juga diaminkan oleh Abdullah ibn Zaid.

Namun Ulama mazhab Hanafi dan Abu Tsûr r.a mengatakan bahwa tidak dimakruhkan menutupi kubur mayat laki-laki dengan kain. Akan tetapi yang lebih utama adalah pendapat pertama, sebab perbuatan Ali r.a dan Anas r.a menunjukan bahwa hal tersebut dimakruhkan dan juga, kerena tanpa menutupi kubur mayat laki-laki akan lebih memungkinkan dan lebih jauh dari penyerupaan dengan mayat perempuan, disamping itu, hal tersebut termasuk mutâba'ah (mengikuti) perbuatan para sahabat Rasulullah s.a.w.

Aku menyimpulkan: makna dari perkataan mereka mengandung arti bahwa; apabila mayat tersebut adalah seorang wanita, maka disunnahkan, ketika memakamkannya, untuk menutupi kuburnya dengan kain atau sejenisnya.

* Dalam kitabnya al-Majmû' (5/ 291), Imam Nawawi r.a mengatakan:
Disunnahkan untuk melindungi kubur dengan kain ketika melakukan pemakaman, baik mayat tersebut seorang perempuan maupun seorang laki-laki. Ini lah pendapat yang masyhur, yang ditegaskan oleh ulama-ulama mazhab Syâf'î. mereka mengatakan: hal ini lebih ditekankan lagi jika mayat tersebut seorang perempuan. Imam ar-Râfi'î r.a telah meriwayatkan sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa anjuran ini hanya dikhususkan untuk mayat perempuan saja. Dan pendapat ini lah yang dipilih oleh Abu al-Fadhl ibn Abdan (dari ulama mazhab Syâf'î), sebagaimana ia juga dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah r.a. Dan orang-orang yang memilih pendapat ini menjadikan hadits yang disebutkan diatas sebagai dalil yang menguatkan pendapat mereka. Akan tetapi sangat disayangkan hadits tersebut adalah dha'îf. Disamping itu menutupi kuburan mayat –baik laki-laki maupun perempuan- dapat lebih menutup, sebab siapa tahu –jika tidak ditutup- akan terlihat sesuatu yang seharusnya disembunyikan. Wallâhu a'lam.

* Imam Syâf'î r.a mengatakan, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Umm (1/245:
Dan menutup kubur mayat wanita apabila dimasukan kedalam kuburnya lebih ditekankan daripada mayat laki-laki.


DALAM KONDISI DARURAT DIBOLEHKAN MENGUBURKAN MAYAT PEREMPUAN BERSAMA MAYAT LAKI-LAKI.

Dalam kitabnya al-Mushannaf (6378), Abdu ar-Razzâq r.a meriwayatkan:
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: diriwayatkan dari Sulaiman ibn Musa, bahwa Wâtsilah ibn Asqa' r.a apabila menguburkan mayat laki-laki dan mayat perempuan dalam satu lubang, beliau meletakan mayat laki-laki disebelah arah kiblat, sedangkan mayat perempuan diletakan dibelakang mayat laki-laki.
(Shahih dari Wâtsilah)

Sulaiman berpendapat: apabila mayat tersebut adalah dua orang laki-laki yang akan dikuburkan dalam satu lubang, maka mayat yang lebih tua posisinya menjadi imam untuk mayat yang lebih muda.
(Shahih dari Sulaiman)

* Ibnu Abi Syaibah r.a meriwayatkan –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mushannaf (3/355):
Dari Abdu al-Wahhâb, dari Sa'îd, dari Qatâdah -tentang mayat laki-laki dan mayat perempuan yang dikuburkan dalam satu lubang- beliau berkata: mayat laki-laki diletakan sebelah depan mayat perempuan.
(Shahih dari Qatâdah)

Untuk lebih banyak lagi tentang âtsâr yang membahas masalah ini, silakah lihat kitab al-Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaibah r.a. Dan dibawah ini adalah perkataan dan pendapat ulama tentang masalah diatas:

* Dalam kitanya al-Umm (1/245), Imam Syâf'î r.a mengatakan:
Aku tidak menyukai sama sekali mayat wanita dikuburkan bersama mayat laki-laki. Akan tetapi jika hal tersebut darurat dan tidak ada jalan lain kecuali menguburkan mereka dalam satu lubang, maka  mayat laki-laki diletakan disebelah depan, dan mayat perempuan disebelah belakangnya, lalu diantara mayat laki-laki dan mayat perempuan tersebut diletakan tanah sebagai pemisah antara keduanya.

* Imam as-Syairâzî r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhazzab (5/248 bersama kitab al-Majmû'):
Dan jika kondisi darurat mendesak untuk menguburkan mayat laki-laki dengan mayat perempuan dalam satu lubang, maka diantara kedua mayat tersebut harus dibuat pemisah dari tanah, dengan posisi mayat laki-laki dibagian depan sedangkan mayat perempuan dibelakannya. Sebagaimana halnya ketika keduanya masih hidup.

* Perkataan Imam as-Syairâzî r.a ini disyarahkan oleh Imam Nawawi r.a:
Dan seandainya terkumpul mayat laki-laki, anak kecil dan perempuan, maka mayat laki-laki diletakan pada bagian depan –menghadap kiblat-, kemudian dibelakangnya diletakan anak kecil, lalu waria dan setelah itu baru mayat perempuan… kemudian beliau berkata: dan tidak dibolehkan menguburkan mayat laki-laki bersama mayat perempuan kecuali setelah menyakini bahwa hal tersebut adalah tuntutan kondisi darurat. Pada saat itu wajib menjadikan pemisah dari tanah yang diletakan antara kedua mayat tersebut, dan tidak ada ulama yang menyalahi pendapat ini. Dengan posisi mayat laki-laki diletakan pada bagian depan menghadap kiblat, sekalipun ia hanya seorang anak kecil.

* Imam al-Kharqî r.a mengatakan (Mukhtasha al-Kharqî dan kitab al-Mughni, 2/562):
Dan jika mereka menguburkan mayat laki-laki, mayat perempuan dan mayat anak kecil –dalam satu lubang- maka posisi mayat laki-laki pada bagian depan kiblat, lalu dibelakangnya mayat perempuan. Sedangkan mayat anak kecil, maka posisinya dibelakang kedua mayat tersebut. lalu diantara setiap mayat diletakan tanah yang memisahkan antara mereka.


DIMANAKAH DIKEBUMIKAN SEORANG WANITA AHLI KITAB YANG MENINGGAL DUNIA SAAT MENGANDUNG SEORANG BAYI HASIL PERKAWINANNYA DENGAN SEORANG LAKI-LAKI MUSLIM?

* Dalam kitab al-Mushannaf (6583) Abdu ar-Razzâq r.a meriwayatkan:
Dari Muammar, dari az-Zuhrî, ia berkata: apabila soerang wanita nasrani mengandung seorang bayi hasil perkawinannya dengan laki-laki muslim meninggal dunia dalam keadaan hamil, maka ia dikebumikan bersama orang-orang satu agama dengannya.
(Shahih dari az-Zuhrî)

* Abdu ar-Razzâq r.a juga meriwayatkan:
Dari Ibnu Juraij dari 'Athâ' –tentang wanita tersebut-: pemakamannya dilaksanakan oleh orang-orang yang seagama dengannya, dan dimakamkan bersama mereka.
(Shahih dari 'Athâ')

Disana masih ada beberapa âtsâr lain yang disebutkan dalam kitab Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaibah r.a (3/355) dan kitab Mushannaf, karya Abdu ar-Razzâq r.a. Dan disana juga terdapat sejumlah pendapat dan keritikan para ulama.

Dibawah ini adalah perkataan dan pendapat sebagian ulama tentang masalah diatas:
* Imam al-Kharqî r.a mengatakan (lihat kitab Mukhtashar al-Kharqî dan kitab al-Mughni, 2/563):
Dan jika seorang wanita nasrani meninggal dunia dalam keadaan mengandung seorang bayi dari hasil perkawinannya dengan seorang muslim, maka ia dikebumikan diatara kuburan kaum muslimin dan kuburan kaum nasrani.

Ibnu Qudâmah r.a berkata: pendapat inilah yang menjadi pilihan Imam Ahmad r.a. Karena wanita tersebut termasuk orang kafir yang tidak dibolehkan dikuburkan dilingkungan kuburan kaum muslimin, agar mereka tidak terganggu dengan siksaan yang ditimpakan kepada wanita tersebut. namun wanita itu juga tidak dibenarkan dikuburkan dilingkungan kuburan kaum nasrani, agar anak yang terdapat dalam kandungannya –dan anak tersebut dihukumkan sebagai muslim- tidak terganggu oleh sikasaan yang ditimpakan kepada orang-orang nasrani. Oleh sebab itu wanita tersebut harus dimakamkan ditempat tersendiri. Pendapat seperti ini juga telah diriwayatkan dari Wâtsilah ibn Asqa' r.a[10].

Dan diriwayatkan dari Umar[11] bahwa wanita tersebut boleh dikebumikan dilingkungan kuburan kaum muslimin. Ibnu al-Mundzir r.a berkata: riwayat ini tidak benar. Ulama mazhab Hambali mengatakan: tubuh wanita tersebut dimiringkan diatas bagian bagian tubuhnya sebelah kiri dengan posisi membelakangi arah kiblat, agar wajah janin yang terdapat dalam kandungannya menghadap kearah kiblat, miring diatas bagian kanan tubuhnya. Karena wajah bayi yang ada dalam kandungan wanita tersebut menghadap kearah belakang tubuh wanita itu.


[1] . Al-Muqârafah maknanya: bekerja, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari r.a. Akan tetapi –menurut pendapat yang shahih- yang dimaksud –disini- dari kalimat tesebut adalah jima'.
[2] . Pada sanad hadits ini terdapat Fulaih ibn Sulaiman, dia adalah termasuk orang yang dipermasalahkan ulama hadits. Namun hadits ini telah diperkuat oleh riwayat lainnya. silakan lihat hadits-hadits yang akan datang.

* Dalam kitabnya Nail al-Authâr (5/86) Imam as-Syaukâni r.a berkata: … ada pendapat yang mengatakan bahwa makna al-Muqârafah adalah: tidak berjima' tadi malam, makna ini lah yang ditegaskan oleh Ibnu Hazm r.a. Beliau mengatakan, sangat tidak mungkin Abu Thalhah r.a membanggakan diri didepan Rasulullah s.a.w bahwa tadi malam ia tidak pernah melakukan dosa. Imam Syaukâni ra berkata lagi: pendapat ini deperkuat lagi oleh hadits yang akan datang nanti, yang mana disana disebutkan dengan bunyi redaksi: "orang yang tadi malam menjima' istrinya tidak dibolehkan masuk kedalam kubur".

Adapun mundurnya Ustman r.a ketika Rasulullah s.a.w mengucapkan kata-kata tersebut, padahal sangat tidak mungkin dia menjima' istrinya tadi malam, sebab pada saat itu adalah saat-saat kematian istrinya, dikarenakan beliau berusaha untuk menjaga perasaan Rasulullah. Namun jawaban ini dibantah lagi, bahwa mungkin saja Ummu Kultsum telah lama dalam keadaan sakit, sehingga Utsman sangat membutuhkan untuk berjima', dan dia tidak menyangka jikalau malam itu adalah malam kematian istrinya. Dan pada riwayat hadits tersebut tidak ada kalimat yang menunjukan bahwa Utsman ra telah menjima'nya setelah ia meninggal, bahkan tidak pula disaat istrinya sekarat.

Imam Syaukâni r.a berkata: hadits ini adalah dalil yang hanya membolehkan bagi pria saja untuk masuk kedalam kubur. Karena mereka jauh lebih kuat. Dan hadits ini juga mengatakan bahwa orang yang akan masuk kedalam liang lahad harus diprioritaskan dari laki-laki yang bukan mahramnya dan dari keluarga yang jauh. Sebelum memintanya kepada keluarga yang lebih dekat.

Sebagian ulama mencarikan alasan, kenapa Rasulullah s.a.w meminta hal tersebut kepada orang yang sebelumnya (tadi malam) telah menjima' istrinya. Mereka mengatakan: sebab jika orang yang akan masuk kedalam liang lahad tesebut adalah orang yang malam sebelumnya telah menjima' istrinya, maka syaitan akan lebih mudah mengingatkan dia –saat menguburkan mayat perempuan- dengan apa yang baru saja terjadi tadi malam bersama istrinya. Hal ini berbeda dengan orang yang –sebelumnya- tidak menjima' istrinya, sebab kemungkinan munculnya bayangan yang telah terjadi antaranya dengan istrinya sangat kecil.

Dan diriwayatkan dari Ibnu Habib, bahwa rahasia memprioritaskan Abu Thalhah dari pada Utsman r.a, adalah: karena tadi malam Utsman telah menjima' sebagian budak perempuannya. Maka Rasulullah s.a.w dengan bahasa yang sangat halus melarangnya turun kedalam liang lahad istrinya, tanpa mengucapkannya dengan terus terang. Dan disebutkan radaksi tambahan pada riwayat Hammâd yang telah lalu, yaitu: maka Ustman ra pun tidak masuk kedalam liang lahad.
[3] . Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a menyatakan bahwa yang benar adalah Ummu Kultsum (bukan Ruqayyah). Beliau mengatakan dalam kitabnya Fathu al-Bârî (3/158): Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hammâd ibn Salamah, dari Tsâbit, dari Anas, dan ia menyebutkan bahwa yang meninggal tersebut adalah Ruqayyah. Hadits tersebut juga telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a dalam kitabnya at-Târîkh al-Ausath, dan al-Hâkim r.a dalam kitabnya al-Mustadrak. Imam Bukhari ra berkata: aku tidak mengetahui hal ini. Sebab sesungguhnya Ruqayyah meninggal dunia, disaat Rasulullah s.a.w sedang berada di Badar, dan tidak sempat menyaksikan wafatnya Ruqayyah. Aku berkata: Hammâd hanya keliru menyebutkan bahwa putri Rasulullah s.a.w yang meninggal tersebut adalah Ruqayyah.

Ada sebuah riwayat yang menguatkan pendapat pertama, yakni: putri Rasulullah s.a.w yang meninggal dunia tersebut adalah Ummu Kultsum r.a, yaitu riwayat yang disebutkan oleh Sa'ad - ketika beliau menuliskan tentang biografi Ummu Kultsum r.a- dari 'Umrah binti Abdurrahman, ia berkata: orang yang turun kedalam kuburnya adalah Abu Thalhah.

Lebih aneh lagi pendapat yang dikatakan oleh al-Khattâbî r.a, beliau berkata: perempuan yang meninggal dunia tersebut adalah putri dari salah seorang anak perempuan Rasulullah s.a.w (cucu beliau), namun kemudian wanita yang meninggal tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah s.a.w. Jadi seakan-akan ia mengira bahwa wanita yang meninggal dunia yang disebutkan dalam hadits Anas adalah wanita sekarat yang disebutkan pada hadits Usâmah. Padahal -sebagaimana yang telah kami uraikan- tidak demikian.

Pada kesimpulannya: penamaan siapa kah sebenarnya wanita yang disebutkan dalam hadits-hadits diatas, tidak terlalu penting bagi kita, jika dibandingkan dengan pentingnya mengetahui hukum masuk kedalam kuburan.
[4] . Ibrahim ibn Marzuq telah mengalami perubahan pada akhirnya (murtad). Akan tetapi orang yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad ibn Ya'kub Abu al-'Abbas, ia sempat bertemu dengan Sufyan ibn 'Uyainah dan orang-orang yang seangkatan dengannya. Dan generasi mereka lebih tinggi dari Ibrahim. Maka tentunya Muhammad ibn Ya'kub telah mendengar hadits tersebut dari Ibrahim sebelum dia berubah. Disamping itu Imam Baihaqi r.a juga telah mengisyaratkan bahwa beliau telah meriwayatkannya dari Ya'lâ ibn 'Ubaid. Dan hadits ini dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa orang yang berhak memasukan mayat kedalam kuburnya adalah pihak keluarga yang paling dekat dengan mayat tersebut.
[5] . Maksud dari al-muqârafah yang disebutkan dalam hadits Rasulullah s.a.w adalah: "apakah ada diantara kalian yang tadi malam tidak menjima' istrinya?"
[6] . Mereka adalah orang yang paling berhak memasukan mayat wanita kedalam kuburnya, hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t: "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak" (Q.S. al-Ahzâb: 6). Akan tetapi hal tersebut disyaratkan tidak menjima' istrinya tadi malam.
[7] . Perkataannya: maka yang memasukannya adalah para wanita. Dan apabila wanita juga tidak ditemukan, maka pemakaman tersebut dilakukan oleh orang-orang yang telah tua. Adalah pendapat yang sangat keliru, ini berdasarkan beberapa hal.
Pertama: Rasulullah s.a.w telah mendahulukan Abu Thalhah r.a untuk menguburkan putrinya, dan beliau tidak memintanya kepada kaum wanita.
Kedua: Pada prinsipnya wanita dimakruhkan mengikuti jenazah.
Ketiga: Tidak ada satu dalilpun yang membuktikan bahwa –dizaman Rasulullah s.a.w- wanita pernah menguburkan mayat laki-laki, sementara kaum pria sedang berada disana.
Keempat: Wanita adalah makhluk yang lemah. Maka barangkali akan muncul dari mereka sikap yang bertentangan dengan makna sabar dan mengharapkan pahala, seperti berteriak dan sebagainya. Disamping itu mereka juga lemah, yang tidak mungkin dengan mudah menggali tanah, jika hal tersebut (penggalian) diperlukan.
Kelima: Dengan melakukan penguburan, maka –jika hal tersebut dilakukan oleh wanita- akan menyebabkan terjadinya percampuran antara laki-laki dan perempuan, dan sedikit lebih terbuka, sehingga dapat mendatangkan kerusakan yang sangat besar, disaat dan ditempat yang seharusnya orang memperbanyak mengucapkan istrighfar dan meminta ampun kepada Allah s.w.t.
[8] . Hal ini juga dengan catatan bahwa mahram mayat wanita dan orang-orang tua tersebut tidak melakukan al-muqârafah pada malam wafatnya wanita tersebut.
[9] .  Riwayat ini telah disebutkan oleh Imam Baihaqi r.a (4/54) dengan sanad yang dha'îf, dan kami tidak tahu tentang atsar yang dinisbatkan kepada Ibnu Sîrîn bahwa beliau telah meriwayatkan tentang perbuatan Umar r.a yang disebutkan diatas. Lagi pula jarak masa antara Ibnu Sîrîn dan Umar sangat jauh sekali. Dengan demikian maka atsar yang dia riwayatkan juga termasuk dha'îf.
[10] . Riwayat dari Wâtsilah ini telah disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a (3/528) dan Ibnu Abi Syaibah r.a (3/355) dan pada sanadnya terdapat Ibnu Juraij, dia adalah termasuk orang yang mentadlis hadits dengan –waktu meriwayatkannya- menggunakan kalimat 'an .
[11] . Atsar Umar ini juga munqati'. Dan riwayat ini disebutkan dalam kitab Mushannaf karya Abdu ar-Razzâq r.a dan karya Ibnu Abi Syaibah r.a. Pada sanadnya terdapat inqitâ' (terputus)
READ MORE - SIAPAKAH YANG HARUS MASUK KEDALAM LIANG LAHAD UNTUK MENGUBURKAN MAYAT WANITA
your ad here

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...