Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah: 'Athâ' ibn Abi Rabâh r.a (sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah r.a dalam kitabnya al-Mushannaf 1/77, dan Abu ar-Razzâq r.a dalam kitabnya al-Mushannaf 1/335) .Dan disebutkan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah: wanita tersebut diwajibkan mandi dari hadast besar, kemudian ia mandi dari haid.
Pendapat seperti ini juga dikatakan oleh Hasan r.a, Ibrahim an-Nukha'I r.a, Hakam r.a, Hammâd r.a dan yang lainnya (lihat sebagian perkataan mereka pada kitab Sunan ad-Dârimî, juz.1, hal. 231)
* Sebagian ulama yang lain berpendapat: wanita tersebut hanya diwajibkan membasuh vaginanya, kemudian setelah ia habis dari masa haidnya barulah mandi –sekaligus- dari hadast besar dan haid.
Pendapat seperti ini telah diriwayatkan dari Qatâdah r.a, sebagaimana yang disebutkan oleh Abdu ar-Razzak r.a dalam kitabnya al-Mushannaf, dan Ibnu Abi Syaibah r.a dalam kitabnya al-Mushannaf.
Akan tetapi yang nampak bagiku adalah: bahwa, –wallahu a'lam- orang yang mewajibkan mandi dari hadast besar terhadap wanita tersebut tidak memiliki dalil yang dapat dipertimbangkan. Sebab perintah untuk menyegerakan mandi dari hadast besar yang lebih utama adalah untuk melaksanakan shalat. Jadi apabila seseorang tidak diwajibkan melaksanakan shalat maka ia dibolehkan menunda mandi dari hadast besar.
Aisyah r.a pernah ditanya: penarkah Rasulullah s.a.w tidur sebelum Beliau mandi dari hadats besar? Ataukah Beliau –apabila berhadast besar- selalu mandi terlebih dahulu sebelum tidur? Maka Aisyah r.a menjawab : terkadang Beliau mandi sebelum tidur dan terkadang beliau menundanya setelah bangun dari tidur. Maka orang yang bertanya berkata lagi: "segala puji bagi Allah yang telah menjadikan semuanya terasa mudah".
Dari pertanyaan dan jawaban yang diberikan Aisyah r.a, sangat jelas bahwa mandi dari hadst besar boleh ditunda. Dengan demikian, maka dibolehkan bagi wanita yang berhadast besar, kemudian sebelum mandi dari hadats tersebut, ia datang haid, untuk menunda mandi dari hadast besar, sampai selesai masa haidnya. Setelah itu ia mandi –sekaligus- dari hadast besar dan haid. Wallahu a'lam.
Dan pendapat yang membolehkan menunda mandi dari hadats besar, sampai selesai masa haid, kemudian sekaligus bersuci dari keduanya, tidak bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa disunahkan bagi wanita yang berhadast besar, untuk mandi –dari hadast tersebut- sekalipun ia masih dalam keadaan haid.
* Dalam kitabnya al-Mughni (1/210) Ibnu Qudâmah r.a berkata:
Apabila seorang wanita yang sedang haid, sebelumnya telah berhadast besar –namun ia belum sempat mandi-. Maka ia tidak diwajibkan mandi, sampai habis masa haidnya. Pendapat ini sesuai dengan apa yang telah ditegaskan oleh nash yang diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a. dan pendapat ini juga dikatakan oleh Ishâq r.a.
Alasannya adalah: sebab mandi dari hadast besar disaat sedang haid tidak akan berpengaruh terhadap hukum (maksudnya wanita tersebut tetap tidak boleh shalat, puasa dan ibadah lainnya yang mensyaratkan harus suci dari haid).
Akan tetapi seandainya wanita tersebut tetap mandi dari hadast besar, sementara masa haidnya belum selesai, maka mandi tersebut hukumnya sah saja. Dan hadast besarpun –selain haid- telah terangkat dari tanggungannya. Pendapat ini sebagaimana yang ditegaskan oleh nash Imam Ahmad r.a, yaitu perkataan Beliau berikut ini;
Imam Ahmad r.a berkata: Hadast besar wanita tersebut telah terangkat, sedangkan hukum haid masih berlaku, sampai masa haid tersebut selesai. Setelah itu Beliau berkata lagi: dan aku tidak mengetahui satu pun orang yang melarang wanita tersebut mandi dari hadast besar sebelum selesai masa haid, kecuali 'Athâ' r.a. Ia memberikan alasan: Hadast yang disebabkan oleh hadits lebih besar dari hadast yang disebabkan oleh berjima'.
Lalu Imam Ahmad r.a berkata: Namun akhirnya 'Athâ' r.a tanazul dari pendapatnya terdahulu, dan membolehkan[1] wanita tersebut mandi dari hadast besar sebelum selesai masa haidnya. Sebab salah satu dari kedua hadast tersebut tidak menjadi penghalang terangkatnya hadast salah satu dari keduanya. Sebagaimana halnya jika orang yang berhadast kecil, mandi dari hadast besar. (penterjemah: kemungkinan orang tersebut adalah orang yang tidak berwudhu, lalu ia berhadast besar, baik dengan sebab keluar mani atau bersetubuh)
APABILA TERKUMPUL PADA SESEORANG BEBERAPA PENYEBAB YANG MEWAJIBKAN MANDI, MAKA IA CUKUP MANDI SATU KALI SAJA.
* Dalam kitabnya al-Mughni (1/122) Ibnu Qudâmah r.a mengatakan:
Apabila terkumpul dua penyebab atau lebih yang mewajibkan mandi, misalnya: haid dan junub, atau pertemuan dua khitan dan keluarnya air mani. Kemudian orang tersebut –ketika mandi- meniatkan mandi untuk kedua penyebab tersebut, maka mandinya cukup untuk keduanya.
Pendapat ini telah diakatakan oleh sebagian besar para ulama, seperti: 'Athâ' r.a, Abu Zannad r.a, Rabi'ah r.a, Imam Mâlik r.a, Imam Syafi'I r.a, Ishâq r.a dan ulama-ulama mazhab Hanafi.
Ada pendapat lain yang diriwayatkan dari Hasan r.a, dan Ibrahim an-Nukha'I r.a[2], bahwa keduanya mengatakan: wanita yang berhadast besar sekaligus sedang haid, diwajibkan dua kali mandi.
Dalil pendapat yang hanya mewajibkan satu kali mandi adalah: bahwasanya Rasulullah s.a.w tidak pernah mandi sehabis berjima kecuali satu kali saja, padahal jima mengandung dua penyebab yang mewajibkan mandi.
Sebab pada biasanya orang yang berjima, pasti mengeluarkan air mani. Dan keduanya (jima' dan keluar air mani) sama-sama menjadi penyebab yang mewajibkan mandi. Oleh sebab itu maka satu kali mandi telah mencukupi untuk dua penyebab yang mewajibkannya, sebagaimana halnya hadast dengan najis.
Begitupula hukumnya apabila terdapat lebih dari dua penyebab yang mewajibkan bersuci dari hadats kecil, seperti tidur, keluar najis –dari qubul atau dubur- dan menyentuh wanita –jika kita berpendapat bahwa menyentuh wanita tanpa sesuatu yang melapisi kulit dapat membatalkan wudhu-, kemudian orang tersebut –ketika berwudhu- meniatkan untuk mengangkat hadsat dari tiga macam penyebab yang mewajibkan wudhu tersebut, maka semuanya terangkat dengan satu kali berwudhu.
Namun apabila orang tersebut hanya berniat mengangkat satu penyebab yang mewajibkan wudhu –padahal masih ada dua lagi atau lebih penyebab lainnya-, atau wanita yang berhadats besar telah habist masa haidnya –ketika mandi- hanya berniat mengangkat hadast yang disebabkan haid saja tanpa meniatkan dari hadast besar, apakah niat tersebut dapat mencukupi terhadap penyebab yang lainnya?
Disini ada dua pendapat:
Pertama: Hadast yang tidak disebutkan dalam niat, tetap terangkat. Sebab mandi tersebut hukumnya sah dan mandi tersebut telah ia niat kan untuk menunaikan kewajiban. Oleh sebab itu hadast yang tidak tersebutkan dalam niat tidak mempengaruhi hukum terangkatnya semua hadast yang mewajibkan mandi atau berwudhu. Sebagaimana halnya –misalnya- dalam berwudhu orang tersebut hanya meniatkannya untuk sahnya melakukan shalat saja.
Kedua: Hadast yang terangkat hanyalah apa yang dia sebutkan dalam niatnya saja. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w: "hanyalah sahnya perbuatana apapun dengan meniatkannya".
Begitupula hukumnya apabila orang yang hendak pergi kemesjid untuk melaksanakan shalat jum'at, sedangkan ia pada hari itu sedang berhadast besar. Maka –mandi yang ia lakukan- apakah cukup hanya satu niat saja –dari hadats besar atau kewajiban jum'at-, atau ia wajib meniatkan keduanya? Jawabannya sama dengan permasalahan diatas. (maksudnya: ada dua pendapat ulama)
[1] . Maksudnya adalah: 'Athâ' berubah pendapat dari melarang mandi, kepada menganjurkannya dengan anjuran yang sifatnya sunnah.
[2] . Pendapat ini sangat lemah.
comments
0 Responses to "SEORANG LAKI-LAKI YANG MENJIMA' ISTRINYA, NAMUN SEBELUM PEREMPUAN TERSEBUT MANDI DARI HADAST BESAR, TIBA-TIBA IA DATANG HAID, APAKAH IA HARUS MANDI JUNUB, ATAU MANDI JUNUB TERSEBUT DITUNDA SAMPAI SELESAI MASA HAID, LALU IA SEKALIGUS MANDI DARI JUNUB DAN HAID?"Speak Your Mind
Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!