Monday, July 05, 2010

0 BAB HAID


DEFINISI HAID:
Pengarang kamus Lisân al-Arab  mengatakan: makna kalimat al-haid sangat jelas dan dikenal oleh semua orang. Dan orang sering menggunakan kalimat hâdhat (telah haid) al-Mar'atu (perempuan), dan tahîdhu (wanita sedang haid), haidhan dan Mahîdhan (haid). Kalimat al-Mahîdh dapat dikatakan sebagai isim (kata benda) dan juga dapat dikatakan sebagai masdhar (suku kata)

Beliau juga mengatakan: orang juga sering mengatakan hâdhat al-mar'atu dan tahayyadhat; atau darasat, atau 'arakat, tahîdhu haidhan, mahîdhan dan mahâdhan apabila seseorang ingin mengatakan bahwa darah telah mengalir dari vagina wanita pada saat-saat tertentu.

·        Disebutkan dalam kitab al-Muhazzab (1/341):
Para ahli bahasa berkata: orang sering mengatakan hâdhat al-mar'atu, tahîdhu, haidhan, mahîdhan dan mahâdhan. Maka mereka menyebut wanita yang sedang mengeluarkan darah pada saat-saat terntu dengan sebutan hâ'idh. Kalimat tersebut tidak menggunakan huruf "Hâ" (huruf yang menandakan bahwa orang tersebut adalah wanita- pada akhir kalimatnya. Sebab hal tersebut hanya terjadi pada wanita saja. Berbeda dengan kata sifat lainnya, yang umum dapat dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, maka dalam penggunaan kalimat harus dengan menambahkan huruf yang dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan, misalnya muslim –untuk laki-laki- dan muslimah –untuk perempuan.

Inilah bahasa –tidak menambahkah huruf "Hâ" pada akhir kalimat hâ'idh- yang lebih pashih dan masyur dikalangan ahli bahasa.

Akan tetapi ada penggunaan bahasa yang tetap menambahkan huruf "Hâ" pada akhrinya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Jauhari, dari al-Farrâ r.a; bahwasanya orang juga terkadang mengatakan "hâ'idhah". Kemudian beliau memperkuatnya dengan sebuah bait syair:

Dan seperti seorang wanita yang hâ'idhah
ia berzinah dengan orang yang tidak suci

Al-Hirawi r.a berkata: orang juga mengatakan : hâdhat, tahayyadhat, Darasat, 'arakat, Thamitsat (dan ada pendapat yang menambahkan: nafisat, a'sharat, Akbarat, Dhahikat), semua kalimat yang disebutkan tadi bermakna satu, yaitu wanita sedang haidh.

Pengarang kitab al-Hâwi berkata: Ada enam nama lain yang dimiliki oleh haid, yang disebutkan dalam bahasa Arab, antara lain:
  1. al-Haidh
  2. at-Thimtsu (wanita itu sedang Thâmits). Al-Farrâ r.a berkata at-Thimtsu artinya: darah. Oleh sebab itu orang mengatakan kalimat tersebut untuk seorang wanita yang keperawanannya mengeluarkan thimtsu (darah). Hal ini juga diperkuat oleh firman Allah s.w.t: "tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin (Q.S. ar-Rahmân: 56)
  3. al-'Arâk (wanita itu 'ârik)
  4. ad-Dhihku (wanita itu dhâhik. Sebuah syair berkata:

Dan Dhiku (haid) kelinci-kelici diatas shafa…
bagaikan darah membakar saat betemu"
  1. al-Ikbâr (wanita itu mukbir). Syair berkata:

Wanita datang dengan kesucian
mereka tidak datang setelah ikbâr (datang haid)"

  1. al-I'shâr (wanita itu mu'shir). Sya'ir berkata:

seorang perempuan
sungguh ia telah a'sharat (haid)
atau telah hampir I'sharnya"

Para ahli bahasa arab mengatakan; makna asal dari kalimat haid adalah mengalir, oleh sebab itu orang mengatakan: hâdha (mengalir) air kelembah. Ia disebut haid karena air tersebut mengalir kelembah pada waktunya yang telah menjadi kebiasaan. Oleh karena itu al-istihâdhah berarti darah yang mengalir bukan pada waktunya yang biasa.

Darah haid keluar dari dasar rahim, warnanya merah kehitam-hitaman. Orang mengatakan bahwa al-istihâdhah adalah darah yang mengalir dari al-'âzdil, yaitu pembuluh darah yang mengalir dibawah rahim dan berasal dari dasar rahim tersebut. Orang mengatakan bahwa pendapat ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, hal ini sebagaimana yang telah dikatakan oleh al-Azhari r.a.

Dalam kitabnya al-Gharbain; al-Hirawi r.a dan para ahli bahasa arab lainnya mengatakan: Haid adalah darah yang keluar pada waktu kebiasaannya. Sedangkan al-Istihâdah adalah darah yang keluar bukan pada waktu yang biasa.

Pengarang kitab al-Hâwi berkata: adapun al-Mahîdh yang disebutkan dalam firman Allah s.w.t: "dan mereka menanyakan kepada kamu tentang al-Mahîdh" (Q.S. al-Baqarah: 222). Maka ijma' ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dari kalimat tersebut adalah darah haid.

Sedangkan al-Mahîdh yang terdapat pada firman Allah s.w.t: "Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada al-Mahîdh" (Q.S. al-Baqarah: 222). Maka ulama berbeda pendapat dalam mentafsirkan makna kalimat tersebut. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah: darah haid. Dan ada pula yang mengatakan ia adalah: waktu haid. Dan pendapat ketiga mengatakan bahwa yang dimaksud adalah: tempat haid (vagina).

Pendapat yang ketiga itulah yang dikatakan oleh para istri Rasulullah s.a.w dan jumhur ulama-ulama tafsir.

Syaikh Abu Hamid r.a, al-Qadhi r.a, Abu Thayyib r.a, al-Mahâmili r.a dan yang lainnya mengatakan: kami berpendapat bahwa yang dimaksud dari kalimat al-mahîdh adalah: darah haid.

Dan sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dari kalimat tersebut adalah vagina. Berarti al-mahîdh adalah sebuah kalimat yang menunjukan makna tempat.

Ada pula pendapat lain yang mengatakan ia adalah: masa haid. Namun pendapat kedua dan ketiga adalah pendapat yang lemah.

Pengarang kitab al-Hâwî mengatakan: haid disebut dengan azâ (sesuatu yang menyakitkan) sebab warnanya jelek, baunya kurang enak, dan disamping hukumnya najis ia juga dapat memudharatkan.

Dalam kitabnya al-Hayawân al-Jâhizh r.a berkata: ada empat binatang yang juga dapat mengalami masa haid; tikus, kelinci, hyena (jenis serigala) dan kelelawar. Sedangkan haidnya kelinci sangat terkenal sehingga menjadi pribahasa yang sering dimuat dalam syair-syair arab.

Imam Nawawi r.a mengatakan –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Syarh Shahih Muslim (1/592):
Makna asal dari kalimat al-haidhu adalah mengalir. Oleh sebab itu orang mengatakan lembah itu telah haid (airnya mengalir). Kemudian Imam Nawawi r.a menukil perkataan al-Azhari dan al-Hirawi yang telah kita sebutkan diatas.

·        Ibnu Hazm r.a berkata (al-Muhallâ 2/162) :
Masalah: Haid adalah darah –merah- kehitam-hitaman, kasar dan memiliki bau yang kurang enak. Maka apabila darah tersebut nampak (keluar) dari vigina, wanita tersebut tidak dibolehkan shalat, puasa, thawaf dan tidak boleh dijima' oleh suaminya atau tuannya –jika wanita tersebut seorang  budak-, larangan tersebut berlaku sampai ia bersih dari haid.

Oleh sebab itu apabila seorang wanita melihat warna merah muda –pada vaginanya- atau seperti air daging, atau warna kuning, atau putih pasi, atau vagina tersebut telah kering (sama sekali tidak mengeluarkan darah). Maka hal tersebut menandakan bahwa masa haidnya telah selesai dan ia telah diwajibkan mandi dengan meratakan air keseluruh kepala dan badannya. Dan jika ia tidak mendapatkan air, maka ia diwajibkan bertayammum. Kemudian barulah ia diwajibkan shalat, puasa, thawaf dan boleh dijima' oleh suami atau tuannya.

Adapun larangan shalat, puasa, thawaf, dan menjima' pada lubang vagina disaat haid, maka hukum tersebut telah ditetapkan berdasarkan ijma' ulama yang tidak ada satupun pendapat lain yang menyalahinya. Kecuali sebagian kelompok dari aliran al-Azâriqah. Dan mereka tidak pantas dianggap sebagai orang yang memeluk agama Islam.

Dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/399) al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata:
Makna kalimat haid adalah mengalir. Kemudian kalimat tersebut digunakan –menurut tradisi bahasa- untuk penyebutan terhadap darah yang mengalir dari vagina wanita pada saat-saat tertentu. Sedangkan makna al-mahîdh menurut jumhur ulama maksudnya adalah haid. Dan ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa maknanya adalah waktu haid, atau sebutan untuk vagina.

Imam Qurthubi r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam tafsirnya (3/82)-:
Darah haid warnanya merah kehitam-hitaman. Dengan sebab keluarnya darah tersebut ulama sepakat mengatakan bahwa wanita harus meninggalkan shalat dan puasa.
Darah tersebut terkadang terus-menerus keluar dan tekadang terputus-putus. Dan apabila darah tersebut –keluar- secara terus menerus, maka hukum haid dapat ditetapkan.

Namun jika keluarnya terputus-putus, misalnya hari ini dia melihat darah, namun besok darah tersebut tidak keluar. Atau darah tersebut keluarnya setiap dua hari, dan dua hari kemudian ia tidak keluar. Maka wanita tersebut diwajibkan meninggalkan shalat dihari keluarnya darah. Kemudian pada hari lainnya (tidak keluar darah) ia wajib mandi dan melaksanakan shalat. Kemudian ia menghitung masa haidnya sesuai berapa hari ia mengeluarkan darah. Sedangkan hari-hari bersih yang menyelangi saat-saat keluar darah dianggap tidak ada.

Disamping itu hari-hari bersih yang terdapat diantara saat-saat keluar darah tersebut tidak dianggap terhitung waktu 'iddah atau istibrâ (mengetahui bahwa rahim wanita kosong) bagi wanita yang ditinggalkan suaminya.

Haid adalah suatu fitrah alami dari penciptaan Allah s.w.t yang Ia khususkan terhadap kamu wanita, dan hal tersebut telah menjadi rahasia umum bagi mereka.

* Dalam kitabnya Nail al-Authâr (1/39-40), Imam Syaukani r.a menukil dari Imam Nawawi r.a ijma' ulama yang mengatakan bahwa darah haid adalah najis. Dan pendapat ini beliau aminkan.

Aku menambahkan: sesungguhnya ada sebuah hadits -yang diriwayatkan- menggambarkan darah haid. Namun menurut kami hadits tersebut tidak shahih. Wallahu a'lam.


HAID ADALAH SESUATU YANG TELAH DITENTUKAN ALLAH S.W.T TERHADAP KAUM WANITA

Imam Bukari r.a berkata (294) :
Diriwayatkan dari Ali ibn Abdullah, ia berkata: diriwayatkan dari Sufyan, ia berkata: aku mendengar Abdurrahman ibn Qâsim berkata: aku mendengar Qâsim berkata: aku mendengar Aisyah r.a berkata: Kami pernah pergi untuk menunaikan ibadah haji, manakala kami telah jauh meninggalkan Madinah, tiba-tiba aku datang haid. Maka Rasulullah s.a.w menjumpaiku, sementara pada saat itu aku sedang menangis. Rasulullah s.a.w bertanya: "kenapa.. apakah kamu nifaf?"[1]. Aku menjawab: "ya". Lalu Rasulullah s.a.w berkata: "sesungguhnya hal tersebut (haid) adalah sesuatu yang telah ditulis Allah terhadap kaum wanita. Maka laksanakannya ibadah haji namun kamu tidak dibolehkan thawaf". Aisyah r.a berkata: Setelah itu rasulullah s.a.w berkurban (menyembelih sapi) untuk membayar fidyah atas nama istri-istrinya
(Hadits Shahih)

Hadits ini juga disebutkan oleh Imam Muslim r.a dari Riwayat Aisyah r.a (hal. 873), Imam Nasâ'î r.a (1/153-154) dan Ibnu Mâjah r.a (2963)


FIRMAN ALLAH S.W.T: MEREKA BERTANYA KEPADAMU TENTANG HAID. KATAKANLAH: "HAID ITU ADALAH KOTORAN". OLEH SEBAB ITU HENDAKLAH KAMU MENJAUHKAN DIRI DARI WANITA DI WAKTU HAID; DAN JANGANLAH KAMU MENDEKATI MEREKA, SEBELUM MEREKA SUCI. APABILA MEREKA TELAH SUCI, MAKA CAMPURILAH MEREKA ITU DI TEMPAT YANG DIPERINTAHKAN ALLAH KEPADAMU. SESUNGGUHNYA ALLAH MENYUKAI ORANG-ORANG YANG TOBAT DAN MENYUKAI ORANG-ORANG YANG MENYUCIKAN DIRI" (Q.S. AL-BAQARAH: 222)

PERTAMA: SEBAB TURUNNYA AYAT TERSEBUT:
Imam Muslim r.a berkata (hadits 30) :
Diriwayatkan dari Zuhair ibn Harb, dari Abdurrahman ibn Mahdi, dari Hammâd ibn Salâmah, dari Tsâbit dari Anas, bahwasayan dahulu orang-orang yahudi apabila salah satu diantara istri mereka haid, maka mereka tidak mau menjima' dan makan bersamanya[2]. Sahabat bertanya kepada Rasulullah s.a.w, maka Turunlah firman Allah s.w.t:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri" (Q.S. al-Baqarah: 222)

kemudian Rasulullah s.a.w berkata: "lakukanlah segala sesuatu –terhadap istrimu- kecuali jima".

Setelah berita itu sampai kepada orang-orang yahudi, mereka berkata: apa yang diinginkan oleh laki-laki ini (Rasulullah s.a.w), ia selalu berbeda dengan kami.

Maka datanglah Usaid ibn Hudhair r.a dan Ubbad ibn Bisyr r.a, keduanya mengatakan: wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yahudi berkata ini dan itu. Apakah kami hanya tidak boleh menjima' istri-istri kami?[3]. Maka berubahlah wajah Rasulullah s.a.w, sehingga kami mengira bahwa Beliau marah kepada keduanya.

Sebelum keduanya pergi, mereka menghadiahkan sebuah bingkisan dari susu kepada Rasulullah s.a.w, lalu keduanya pergi. Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w meminta seseorang untuk memanggil kembali kedua orang tersebut. Setelah keduanya kembali, Rasulullah s.a.w memberikan kepada mereka air minum. Sehingga keduanya yakin bahwa Rasulullah s.a.w tidak marah[4].
( hadits shahih )

Kedua: Firman Allah s.w.t: "al-Mahîdh".
Definisi kalimat tersebut telah kita bahas bersama, dan yang dimaksudkan dengan al-Mahîdh menurut jumhur ulama adalah darah haid.

Ketiga: Firman Allah s.w.t : "Katakanlah bahwa ia adalah azâ".
·        Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/399) berkata:
At-Thîbî r.a berkata: haid dinamakan azâ, karena ia adalah darah kotor, najis dan menimbulkan bau yang kurang enak.

Al-Khatthabî r.a berkata: azâ adalah sesuatu yang tidak terlalu disenangi, sebagaimana firman Allah s.w.t: "Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudarat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja" (Q.S. Âl 'Imrân: 111)

Dengan demikian maka makna ayat tersebut adalah: haid adalah azâ yang harus dihindari dari tubuh wanita.

·        Ibnu Jarîr at-ThaBârî ra berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam tafsirnya (3/374):
azâ adalah sesuatu yang dapat menyakiti. Dan kalimat azâ digunakan –pada ayat diatas- karena ia adalah darah najis, kotor dan menimbulkan bau yang kurang enak. Pada dasarnya kalimat azâ artinya sangat umum. Oleh sebab itu kalimat tersebut dapat digunakan untuk makna segala sesuatu yang mendatangkan musibah. Dan salah satu makna yang terkandung dalam kalimat tersebut adalah darah dan kotoran.

·        Dalam tafsirnya Imam Qurthubi r.a berkata (3/85):
Firman Allah s.w.t: "katakanlah bahwa ia adalah azâ (kotoran)". Maksudnya: sesuatu yang membuat wanita dan orang lain merasa terganggu oleh bau darah haid.

Azâ adalah kata-kata pinjaman untuk menunjukan suatu kekotoran, dan ia juga terkadang digunakan untuk menyatakan perkataan yang tidak baik. Hal ini sebagaimana firman Allah s.w.t: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)" (Q.S. al-Baqarah: 264)

maksudnya: dengan kata-kata yang menyakitkan telinga.

Dan firman Allah s.w.t: "janganlah kamu hiraukan gangguan mereka". (Q.S. al-Ahzâb: 48).


[1] . pada pertanyaan Rasulullah diatas terdapat dalil yang membolehkan menyebut haid dangan menggunakan kalimat nifas. Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata: Makna asal kalimat nifas adalah keluar darah. Oleh sebab itu ia dapat digunakan untuk makna haid. Penggunaan tersebut juga terdapat pada hadits Ummu Salâmah r.a.

Ini ini menunjukan bahwa haid pertama kali muncul dari anak-anak perempuan Nabi Adam a.s. Dan al-Hafiz Ibnu Hajar r.a –dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/400)- telah menisbatkan kepada Hâkim dan Ibnu Mundzir –dengan sanadnya yang shahih- dari Ibnu Abbas r.a, bahwa Beliau berkata: "sesungguh haid pertama kali terjadi pada diri Hawa setelah ia diturunkan Allah dari surga". Beliau mengatakan: jika demikian maka anak-anak perempuan Adam juga adalah anak Hawa. Wallahu a'lam.

Pendapat ini dapat memperkuat bahwa awal mula terjadinya haid adalah anak perempuan pertama Nabi Adam a.s. Bahkan hal tersebut dimulakan oleh Hawa sendiri.

Adapun penisbatan yang dilakukan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dalam kitabnya Fahtu al-Bârî 1/400) kepada Abdu ar-Razzâq r.a, dan beliau juga menganggap bahwa sanadnya shahih kepada Ibnu Mas'ud r.a, Beliau berkata: "Dahulu laki-laki dan perempuan Bani Israil, mereka shalat bersama-sama. Setelah itu wanita merasa lebih mulia dari kaum pria. Maka Allah s.w.t lemparkan darah haid kepada mereka, sehingga mereka dilarang pergi kemesjid". Maka riwayat ini mungkin artinya; bahwa haid sangat menyusahkan mereka, ia bagaikan siksaan terhadap kaum wanita. Hal ini sama dengan firman Allah s.w.t: "Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa" (Q.S. al-A'râf: 133) padahal topan telah diturunkan Allah terhadap kaum Nabi Nuh as –sebelum mereka-.

Dengan demikian maka makna hadits tersebut adalah: sesungguhnya haid dijadikan siksaan terhadap wanita Bani Israil dengan sebab maksiat yang mereka lakukan. Dan bukan yang dimaksud dari riwayat tersebut, bahwa awal mula haid terjadi terhadap wanita Bani Israil. Wallâhu a'lam.
[2] . Maksudnya; tidak mau membiarkan mereka hidup bersama didalam satu rumah.
[3] . Redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzî r.a adalaha: "kenapa kita tidak boleh menikahi (menjima') mereka pada saat haid?"
[4] . Rasulullah s.a.w tidak marah. Karena mereka berdua hanya sekedar minta penjelesan yang lebih konkrit.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "BAB HAID"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...