Monday, July 05, 2010

0 RINGKASAN KESIMPULAN TENTANG PERINTAH MANDI DAN BERWUDHU TERHADAP WANITA YANG MENGELUARKAN DARAH ISTIHÂDHAH.


* Dari uraian terdahulu –tentang perintah kepada wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah- bahwa apabila ia dapat membedakan antara warna darah haid dengan warna darah istihâdhah, begitupula dengan perbedaan waktunya. Maka ia harus menunggu sampai darah haid tidak keluar lagi, setelah itu ia mandi –dari haidnya-, lalu melaksanakan shalat. Dan tidak diwajibkan terhadapnya berwudhu untuk setiap shalat, kerena hadits yang menyebutkan tentang hal itu semuanya lemah. Akan tetapi ia hanya berwudhu apabila telah berhadast sebagaimana hal nya orang yang tidak mengeluarkan darah istihâdhah apabila wudhunya batal –untuk selain darah yang keluar akibat penyakit-. Maka apabila hendak shalat, wanita tersebut berwudhu hanya dikarenakan wudhu terdahulunya telah batal.

Dan apabila ia tidak dapat membedakan antara darah haid dengan darah istihâdhah, maka ia harus mengikut (menghitung) jumlah hari yang dilewati ketika sebelumnya telah haid. Maka jika haid sebelumnya memakan waktu –misalnya- enam hari dari setiap awal bulan. Maka ia wajib meninggalkan shalat selama enam hari pada setiap bulannya. Kemudian –setelah genap enam hari- ia diwajibkan mandi, lalu mengerjakan shalat. Dengan perincian yang baru saja kita sebutkan. Wallahu a'lam.

Adapun jika wanita tersebut termasuk pemula atau keibngungan, maka telah terdahulu pejelasan hukumnya pada bab penetapan waktu al-Istihâdhah.


HUKUM I'TIKAF[1] WANITA YANG MENGELUARKAN DARAH ISTIHÂDHAH

Imam Bukhari r.a berkata (hadits 310) :
Diriwayatkan dari Qutaibah, ia berkata: diriwayatkan dari Yazîd ibn Zarî', dari Khalid, dari 'Ikrimah dari, Aisyah r.a, beliau berkata: ada seorang istri Rasulullah s.a.w yang beri'tikaf bersama Beliau. Saat itu wanita tersebut sedang mengeluarkan darah dan cairan berwarna kuning, dan ketika shalat iapun menaruh mangkuk dibawahnya.
(Hadits Shahih)

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a (2476) dan Ibnu Mâjah r.a pada bab Puasa.


HUKUM MENJIMA' ISTRI YANG SEDANG MENGELUARKAN DARAH ISTIHÂDHAH

Dibolehkan bagi laki-laki menjima' istrinya yang sedang mengeluarkan darah istihâdhah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w: "sesungguhnya cairan tersebut hanyalah darah pernyakit, dan bukan darah haid…"[2].

Maka selama darah tersebut bukan termasuk darah haid, ia dibolehkan menjima' istrinya yang sedang mengeluarkan darah istihâdhah. Sebab yang diharamkan hanyalah menjima' wanita yang sedang haid. Hukum ini juga telah diperkuat oleh sejumlah perkataan dan pendapat ulama salaf terdahulu.

Dibawah ini ada beberapa perkataan sebagian ulama yang berkaitan dengan masalah ini:
·        Dalam kitabnya al-Mughni (1/339) Ibnu Qudâmah r.a berkata:
Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a, bahwa secara mutlak dan tanpa syarat dibolehkan menjima' wanita yang sedang mengeluarkan darah istihâdhah. Dan ini adalah pendapat sebagian besar para fuqaha…

·        Imam Nawawi r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmû' Syarh al-Muhazzab (2/372)-:
(Masalah): kami berpendapat bahwa dibolehkan menjima' wanita yang sedang mengeluarkan darah, ketika wanita tersebut telah diputuskan dalam keadaan suci (tidak haid) sekalipun darah masih mengalir dari vaginanya. Hal ini telah menjadi kesepakatan diantara kami.

Al-Qadhi Abu at-Thayyib r.a dan Ibn as-Shabâgh r.a serta al-'Abdari r.a mengatakan: ini adalah pendapat sebagian besar ulama. dan Ibnu al-Munzir r.a –dalam kitabnya al-Isyrâq juga telah menukilnya dari Ibnu Abbas r.a , Ibnu al-Musayyab r.a, al-Hasan r.a, 'Athâ'h' r.a, Sa'îd, Ibnu Jubair r.a, Qatâdah r.a, Hammâd ibn Abu Sulaiman r.a, Bakar ibn Abdullah al-Muznî r.a, Auzâ'î r.a, Mâlik r.a, Sufyan at-Tsauri r.a, Ishâq r.a dan Abu Tsur r.a. Ibnu al-Munzir ra berkata: pendapat inilah yang aku ikuti.

Dan diriwayatkan dari Aisyah r.a, Ibrahim an-Nukha'î r.a , al-Hakam r.a dan Ibnu Sîrîn r,a, bahwa mereka melarang menjima' wanita yang sedang mengeluarkan darah istihâdhah.

Imam Baihaqî r.a dan yang lainnya mengatakan bahwa orang yang telah menukil bahwa Aisyah r.a juga melarang menjima' wanita yang sedang mengeluarkan darah istihâdhah, telah keliru. Pendapat tersebut sebenarnya berasal dari perkataan as-Sya'bi r.a, lalu dimasukan oleh sebagian para periwayat kedalam hadits Aisyah r.a.

Pendapat lain yang dikatakan oleh Imam Ahmad r.a:  tidak dibolehkan menjima' nya kecuali apabila si suami khawatir terjerumus dalam perbuatan zinah.

Orang yang melarang menjima' wanita yang sedang mengeluarkan darah istihâdhah beralasan, bahwa darah tersebut dalam keadaan mengalir, maka diaamakan hukumnya dengan darah haid. Sedangkan orang yang membolehkannya berpegang dengan dalil yang diandalkan oleh Imam Syafi'I r.a –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Umm, yaitu firman Allah s.w.t: "maka hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita diwaktu mereka sedang haid, dan jangalah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka" (Q.S. al-Baqarah: 222). Sedangkan wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah, ia telah bersuci dari haidnya.

Mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh 'Ikrimah dari Hamnah ibnti Jahsyin r.a, bahwasanya ia telah mengeluarkan darah istihâdhah, dan suaminya tetap menjima'. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a dan yang lainnya dengan redaksi tersebut dan sanad yang hasan.

Dan disebtkan pula dalam kitab Shahih Bukhari[3]: Ibnu Abbas r.a berkata: wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah dibolehkan bagi suaminya untuk menjima'nya, apabila ia telah dibolehkan shalat (yang lebih besar[4]dari masalah jima'). Dan –sebab- wanita yang sedang mengeluarkan darah istihâdhah telah dianggap seperti wanita yang telah suci, dari segi kewajiban shalat, puasa, beri'tikaf, membaca al-Qur'an dan hal-hal lainnya termasuk menjima'. Dan –juga- karena ia hanyalah darah penyakit, maka tidak dapat dijadikan penghalang untuk mengerjakan shalat. Dan –disamping itu- karena larangan hanya ditetapkan oleh syara', sementara syara' tidak pernah menyinggung tentang hukumnya. Bahkan ia menyebutkan bahwa dibolehkan bagi wanita tersebut melaksanakan shalat, yang mana shalat tersebut lebih besar dari menjima' (sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a).

Adapun pendapat yang mereka simpulkan dengan cara mengqiyas wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah kepada wanita yang sedang haid, maka ia adalah dalil yang keliru. Sebab qiyas ini tertentangan dengan makna yang terkadung dalam ayat al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Oleh sebab itu qiyas tersebut tidak dapat diterima. Dan manakala wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah –telah disepakati- berlaku padanya hukum dan kewajiban yang berlaku terhadap wanita-wanita yang dalam keadaan suci. Maka seharusnya ia dihubungkan dengan wanita yang suci, bukan malah dihubungkan dengan wanita yang sedang haid. (silakan lihat: Syarh Shahih Muslim 1/630)

* Pendapat yang membolehkan menjima' wanita yang sedang haid telah dinisbatkan oleh Imam Syaukâni r.a kepada jumhur ulama. sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Nail al-Authâr 1/284)

* Imam Nawawi r.a berkata (Syarh Shahih Muslim) :
Adapun shalat, puasa, I'tikaf, membaca al-Qur'an, menyentuh dan membawanya, sujud tilawah, sujud syukur dan kewajiban ibadah lainnya. Maka –dalam hal ini- wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah disamakan dengan wanita yang dalam keadaan suci. dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.


[1] . Imam Nawawi r.a telah menukil ijma' ulama yang mengatakan bahwa dalam hal beri'tikaf, wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah sama hukumnya dengan wanita yang dalam keadaan suci (Syarh Shahih Muslim 1/631). Dan al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata (Fathu al-Bârî 1/412): Hadits tersebut menjadi dalil bahwa, dibolehkan bagi wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah untuk berdiam didalam mesjid, serta sah hukum I'tikaf dan shalatnya. Hadits tersebut juga mengandung kebolehan bagi wanita tersebut mengeluarkan darahnya –ketika sedang berada dalam mesjid- selama hal tersebut aman dan tidak mengotori mesjid.
[2] . Hadits ini baru saja kita sebutkan pada pembahasan sebelumnya.
[3] . Hadits ini disebutkan oleh Imam Bukhari r.a sebagai hadits mu'allaq. Dan hadits ini juga disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a sebagia hadits yang muttashil (1189), namun pada sanadnya terdapat Ajlah, dan ia termasuk periwayat yang lemah. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a (1188), dan pada sanadnya terdapat Ismail ibn Syarûs, ia termasuk periwayat yang sering memalsukan hadits. Dan atsar ini sebenarnya memerlukan kepada permbahasan yang lebih lebar lagi.
[4] . Maksudnya: apabila shalat telah dibolehkan, maka berarti jima' juga dibolehkan. Sebab masalah shalat jauh lebih besar dari masalah jima'.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "RINGKASAN KESIMPULAN TENTANG PERINTAH MANDI DAN BERWUDHU TERHADAP WANITA YANG MENGELUARKAN DARAH ISTIHÂDHAH."

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...