Monday, July 05, 2010

0 WAKTU KELUAR DARAH ISTIHÂDHAH


Imam Muslim r.a berkata (hal 264) :
Diriwayatkan dari Muhammad ibn Rumh, dari Laits. Dan -dari sanad yang lain- diriwayatkan dari Qutaibah ibn Sa'îd, dari Laits, dari Yazîd ibn Abi Habib, dari Ja'far, dari 'Arâk, dari 'Urwah, dari Aisyah r.a, Beliau berkata: sesungguhnya Ummu Habibah bertanya kepada Rasulullah s.a.w tentang darah. Aisyah berkata: aku telah melihat tempat cuciannya telah penuh dengan darah. Maka Rasulullah s.a.w berkata kepada Ummu Habibah: "tunggulah sekedar waktu kebiasaan haidmu[1]. Kemudian mandilah dan laksanakan shalat"
(Shahih)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a (no. 279) dan Imam Nasâ'î r.a (1/119)


KESIMPULAN MASALAH TENTANG MANDI DAN WUDHU WANITA YANG MENGELUARKAN DARAH ISTIHÂDHAH.

Sebelum kita meneruskan penjelasan tentang hukum permasalahan ini, terlebih dahulu kami akan mengingatkan pembaca budiman dengan beberapa hal penting dibawah ini:

·        Dari apa yang telah kita bahas bersama, telah jelas kelemahan tambahan redaksi yang dimuat oleh Ibnu Ishâq dalam hadits Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah s.a.w menyuruh Ummu Habibah mandi untuk setiap shalat yang hendak dilakukan.

·        Begitu juga telah jelas kelemahan hadits yang diriwayatkan dari Suhail ibn Abu Shaleh, dari Zuhri, dari 'Urwah, dari Asmâ' ibn 'Umais r.a, ia berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya Fatimah ibn Abu Hubaisy telah mengeluarkan darah istihâdhah. Maka Rasulullah s.a.w berkata: "hendaklah ia mandi untuk shalat zuhur dan ashar satu kali, kemudian untuk shalat maghrib dan isya satu kali dan untuk shalat subuh satu kali. Adapun diantara lima waktu shalat tersebut ia hanya cukup berwudhu".

·        Juga telah terbukti kelemahan redaksi tambahan "hendaklah kamu berwudhu" yang disebutkan dalam hadits Aisyah r.a tentang kisah kedatangan Fatimah binti Abu Hubaisy kepada Rasulullah s.a.w. Dan yang benar pada hadits tersebut adalah: "apabila darah haidmu telah pergi maka basuhlah darah dari mu kemudian lakukanlah shalat".

·        Begitupula halnya tambahan redaksi dari Abu Mu'âwiyah pada hadits yang sama "kemudian hendaklah kamu berwudhu untuk setiap hendak shalat ketika waktunya telah tiba". Kami juga telah menjelaskan bahwa perkataan tersebut berasal dari 'Urwah ibn Zubair, dan bukan dari Ucapan Rasulullah s.a.w. Dengan demikan maka perkataan tersebut tidak dapat dijadikan dalil yang dapat mewajibkan sesuatu.

·        Disana ada terdapat hadits dha'if (lemah), namun hadits tersebut sangat dikenal dan banyak ulama yang mengandalkannya ketika berbicara tentang masalah darah istihâdhah beserta hukumnya, dan aku tidak merasa malu mengakuinya.

Berulang kali kami berusaha untuk mengerti dengan para pembaca yang tidak sempat menyibukan diri mempelajari ilmu hadits. Sebab pertaman-tama permasalahannya adalah tentang seluk-beluk hadits, dan dengan berdasarkan hadits yang shahih sajalah hukum harus ditetapkan.

Dan sesungguhnya kami juga telah berupaya sekeras tenaga untuk menyaring hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah darah istihâdhah, sehingga hukum fiqih yang kami simpulkan benar-benar berdasarkan pondasi yang kokoh, yakni hadits-hadits yang shahih. Sebab yang namanya pendapat dan perkataan ulama tentang masalah ini dan hukumnya sangat banyak sekali. Oleh sebab itu kami hanya bermaksud menepikan perkataan dan pendapat yang tidak berdasarkan dalil yang shahih, dan menjatuhkan pendapat yang tidak memiliki dasar yang kuat. Agar hadits-hadits yang shahih tetap menjadi unggul. Kemudian dengan hadits-hadits itulah kita akan mendasari hukum yang kuat.

Dibawah ini adalah hadits yang telah kami janjikan:
* Imam Bukhari r.a berkata (6/439) :
Diriwayatkan dari Abdu al-Mâlik ibn 'Amr, ia berkata: diriwayatkan dari Zuhair (Ibnu Muhammad al-Khurasânî), dari Abdullah ibn Muhammad (Ibnu 'Aqîl ibn Abu Thalib), dari Ibrahim ibn Muhammad ibn Thalhah, dari pamannya 'Imran ibn Thalhah, dari ibunya Hamnah ibnti Jahsyin r.a, ia berkata: dahulu aku mengeluarkan darah istihâdhah dengan sangat deras. Maka aku datang kepada Rasulullah s.a.w untuk meminta fatwa, setelah –sebelumnya- menceritakan apa yang aku alami. Tenyata aku menemukan Rasulullah s.a.w sedang berada dirumah saudariku Zainab binti Jahsyin. Maka aku berkata kepada Rasulullah s.a.w: wahai Rasulullah sesungguhnya aku ada sedikit keperluan terhadapmu. Maka Rasulullah s.a.w berkata: "apakah gerangan yang kamu perlukan dariku?" aku pun berkata: wahai Rasulullah.. sesungguhnya aku telah banyak mengeluarkan darah istihâdhah, lalu bagaimana pendapatmu tentang itu, sesungguhnya ia telah menghalangi aku untuk mengerjakan shalat dan puasa? Rasulullah s.a.w menjawab: "sumbatlah darah tersebut dengan kapas, sebab ia dapat menghilangkan darah". Wanita itupun berkata: "darah itu lebih banyak dari yang engkau perkirakan". Rasulullah berkata: "maka ber talajjum[2] lah kamu". Wanita itu berkata lagi: bagaimana jika dia tetap mengalir? Maka Rasulullah s.a.w berkata kepada wanita itu: "aku akan menawarkan kepada kamu dua solusi, jika kamu melaksanakan salah satu dari keduanya maka kamu tidak perlu lagi melakukan yang satunya, namun jika kamu dapat melakukan keduanya maka kamu tahu sendiri".

Kemudian Rasulullah s.a.w melanjutkan perkataannya: "darah tersebut hanyalah salah satu dorongan yang berasal dari syaitan, kamu berhaid selama enam atau tujuh hari –pada ilmu Allah-, kemudian kamu mandi, sehingga apabila kamu telah melihat atau yakin bahwa kamu telah suci maka sembahyang dan puasalah selama dua puluh empat atau dua puluh tiga hari. Maka hal yang demikian itu akan mencukupkan kamu. Dan begitulah seterusnya pada setiap bulannya sebagaimana wanita lain yang haid dan suci sesuai dengan masa yang biasa berlaku. Dan apabila kamu sanggup untuk menunda shalat zuhur dan melaksanakan shalat ashar diawal waktu, maka kamu harus mandi kemudian melaksanakan shalat zuhur dan ashar sekaligus. Kemudian kamu menunda shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya lalu kamu mandi, setelah itu mengejakan kedua shalat tersebut sekaligus. Maka lakukanlah, shalatlah dan berpuasalah apabila kamu sanggup melakukannya". Lalu Rasulullah s.a.w berkata: "inilah solusi yang paling aku senangi".

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a (287), Imam Syafi'I r.a dalam kitabnya al-Umm (1/51-51), Ibnu Mâjah r.a (hadits no. 622) Dâruquthnî r.a dan Imam Turmudzî r.a pada bab Thaharah (bab. 95), beliau berkata: hadits ini hasan shahih.

Beliau juga berkata: aku telah menanyakan Muhammad tentang hadits ini, ia berkata: ini adalah hadits hasan shahih. Imam Turmudzî r.a berkata lagi: begitu pula yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibn Hambal r.a : ini adalah hadits hasan shahih.

Aku menambahkan: inilah hadits yang telah disebutkan oleh Imam Syafi'I r.a dalam kitabnya al-Umm, dan dengan hadits ini Beliau menetapkan hukum-hukum yang berkaitan khusus dengan masalah darah istihâdhah.

Namun dengan sebab terdapatnya Muhammad ibn 'Aqil pada sanad hadits ini, maka ia termasuk pada Barisan hadits yang lemah. Dan tidak sedikit ulama hadits yang menyatakan tentang kelemahan hadits ini, bahkan sebagian besar ulama[3] yang telah mengatakan hal tersebut.

Adapun apa yang telah dinukil dari Imam Ahmad r.a, tentang pernyataan bahwa hadits tersesebut adalah hasan dan shahih, maka sesungguhnya telah diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a sendiri penyataan yang bertolak belakang dengan apa yang telah disebutkan diatas.

Abu Dâud berkata –setelah meriwayatkan hadits ini: aku telah mendengar Ahmad ibn Hambal r.a berkata: masih ada sesuatu yang menjanggal dalam hatiku untuk menerima hadits Ibnu 'Aqîl ini. Sementara itu Abu Dâud adalah orang yang lebih jauh mengenal sosok Ahmad ibn Hambal r.a dibandingkan dengan Imam Turmudzî r.a.

* Sedangkan perkataan Imam Turmudzî r.a tentang pendapat Imam Bukhari r.a, itu hanyalah ringkasan yang Beliau sebutkan dengan perkataannya: dan telah sampai kepadaku dari Abu Isa at-Turmudzî r.a bahwasanya ia telah mendengar Muhammad ibn Ismail al-Bukhari r.a berkata: hadits Hamnah ibnti Jahsyin r.a tentang wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah adalah hadits hasan, namun sesungguhnya Ibrahim ibn Muhammad ibn Thalhah termasuk orang-orang terdahulu, dan aku tidak mengetahui pasti, apakah Abdullah ibn Muhammad ibn 'Aqîl telah mendengar darinya atau tidak.

Aku berpendapat: penukilan dengan menggunakan kalimat "telah sampai kepadaku" perlu ditinjau kembali. Sebab orang yang menjadi perantara antara Imam Baihaqî r.a dan Imam Turmudzî r.a tidak diketahui. Akan tetapi cukuplah bagi Ibnu Aqîl ini pengakuan yang diberikan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dalam kitabnya Fathu al-Bârî, bahwasanya tidak ada satupun orang yang menyusun kitab Shahih yang telah meriwayatkan dari Ibnu 'Aqîl. Bahkan banyak sekali ulama yang menyatakan; hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Aqîl adalah hadits yang sangat lemah. Diantara mereka yang memberikan pernyataan tersebut adalah: Abu Hâtim r.a dalam kitabnya al-'Ilal (1/51), Ibnu Mandah r.a dan ulama hadits lainnya.

* Disana ada terdapat satu hadits lagi yang dipermasalahkan para Ulama. Dan –insya Allah- kami akan memaparkan hadits tersebut serta menjelaskan apa saja perkataan yang pendapat yang menyangkut tentangnya.

Abu Dâud r.a berkata (hadits 293) :
Diriwayatkan dari Abdullah ibn 'Amr ibn Abu al-Hajjâj Abu Ma'mar, dari Abdu al-Wârits, dari al-Husin, dari Yahya ibn Abu Katsîr, dari Abu Salâmah, ia berkata: Zainab ibnti Abu Salâmah mengabarkan kepadaku; bahwa ada seorang perempuan yang mengucurkan darah, wanita tersebut berada dibawah tanggungan Abdurrahman ibn 'Auf. Dan Rasulullah s.a.w menyuruhnya agar mandi ketika setiap waktu shalat lalu mengerjakannya (shalat).

Menurut pendapat saya: hadits ini sangat lemah. Dan dibawah ini –insya Allah- saya akan menyebutkan beberapa perkataan dan kelemahan yang terdapat padanya:

Pertama: Sesungguhnya Zainab ibnti Abu Salamah r.a adalah orang yang dipermasalahkan ulama, apakah ia dimasa Rasulullah s.a.w telah mumayyiz (anak yang telah berakal) atau belum. Sebab hal ini sangat mempengaruhi apakah hadits tersebut dianggap hadits yang muttashil atau mursal.

Kedua: Hadits ini juga dipermasalahkan oleh ulama, apakah ia diriwatkan dari Abu Salâmah dari Zainab, sebagaimana yang disebutkan disini. Atau ia diriwayatkan dari Abu Salamah dari Ummu Habibah, bahwa ia telah mengeluarkan darah istihâdhah. Hal ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi Hâtim r.a dalam kitabnya al-'Ilal 1/50). Dan hadits ini juga tidak diakui oleh Abu Hâtim r.a.

Ketiga: Hadits ini telah diriwayatkan dari Abu Salamah bahwasanya Ummu Habibah ibnti Jahsyin telah menanyakan kepada Rasulullah s.a.w… hadits ini mursal. Sebab Abu Salamah tidak pernah bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Riwayat ini juga disebutkan dalam kitab Sunan al-Baihaqî (1/351). Dan Abu Hâtim –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-'Ilal (1/50) membenarkan bahwa hadits ini diriwayatkan secara mursal.

Keempat: Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Salamah dan 'Ikrimah –budak Ibnu Abbas- bahwasanya Zainab ibnti Ummu Salamah, dulu beri'itkaf bersama Rasulullah s.a.w. Sementara itu ia masih dalam keadaan mengucurkan darah –sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Baihaqî r.a dalam kitab Sunannya (1/351). Dan hadits ini riwayatnya mursal, Padahal –sebagaimana yang dapat dipaham dari isi hadits tersebut- wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah dan beri'tikaf tersebut adalah Zainab ibnti Ummu Salamah sendiri.

Kelima: Diantara kecacatan hadits ini adalah: bahwasanya Abu Salamah ibn Abdurrahman –salah satu periwayat hadits ini- berpendapat: bahwa wanita tersebut hanya diwajibkan mandi satu kali saja, kemudian baru berwudhu. Dengan pendapat seperti ini berarti beliau tidak berbeda dengan perkataan Rasulullah s.a.w sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w.

Sekalipun kritikan yang terakhir ini dapat ditepis dengan mengatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah apa yang ia riwayatkan, bukan pendapat yang ia katakan. Namun tetap saja hadits tersebut tidak dapat diakui kebenarannya dari Rasulullah s.a.w.

* Disana masih banyak beberapa hadits yang mengandung kelemahan, dan disebutkan pada bab-bab darah istihâdhah. Yang mana kami akan memaparkan keringkasan pembahasan tentang kecacatan hadits-hadits tersebut pada bab berikutnya, sebelum masuk pada penjelasan hukum wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah dan wudhunya.


[1] . Dari hadits yang disebutkan pada bab ini, dapat disimpulkan bahwa; apabila wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah telah mengetahui masa haidnya, maka ia harus menunggu sekedar masa haid tersebut. setelah itu baru mandi dan melaksanakan shalat.

* Adapun apabila wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah tidak mengetahui dengan pasti berapa lama biasanya masa haid yang harus ia lewati, namun ia masih dapat membedakan antara darah haidnya dengan darah istihâdhah, maka ia dapat melihat kepada darah haidnya, sehingga jika darah tersebut datang, maka ia harus meninggalkan shalat, kemudian mandi dan melaksanakan shalat selepas darah haid tersebut tidak keluar lagi. Hal ini berdasarkan hadits Fatimah ibnti Abu Hubaisy, ketika Rasulullah s.a.w berkata kepadanya: "sesungguhnya ia dalah darah penyakit, dan bukan darah haid. maka apabila darah haidmu datang tinggalkanlah shalat, dan apabila darah haidmu telah pergi maka basuhlah darah tersebut kemudian laksanakan shalat".

Solusi diatas, hanyalah untuk wanita yang normal, maksudnya wanita yang mengeluarkan darah haid sebelum ia diteruskan oleh darah istihâdhah, dan iapun telah mengetahui masa kebiasaan haidnya atau warna darah haidnya.

·         Adapun wanita yang baru, maka terbagi kepada dua;
pertama wanita yang baru mengalami haid kemudian dilanjutkan dengan darah istihâdhah. Wanita ini apabila ia mampu membedakan antara darah haid dengan darah istihâdah, misalnya dari segi warna, bau, dan tabi'atnya, maka solusinya sangat mudah, sebab dalam hal ini –baginya- sama hukumnya dengan wanita yang telah mengetahui kebaisaan masa atau darah haidnya.
Kedua: wanita tersebut tidak dapat membedakan antara darah haid dengan darah istihâdhah . Maka solusi yang benar –wallahu a'lam- dengan melihat kebiasaan yang berlaku terhadap kaum wanita yang berada disekitarnya, berapa lama kebiasaannya mereka melewati masa haid. dan jika kebiasaan mereka telah diketahui, maka wanita tersebut dapat menjadikannya sebagai standar untuk menentukan mana darah yang dianggap sebagai darah haid, dan mana yang diangggap sebagai darah istihâdhah. Dengan kata lain, misalnya pada kebiasaan wanita disekitarnya mereka haid selama enam hari atau tujuh hari. Maka wanita itu dapat menghitung dari hari pertama datang masa haidnya sampai kepada hari keenam atau ketujuh, dan selama itu darah yang keluar hukumnya adalah darah haid yang dirahamkan –terhadapnya- pada saat itu segala larangan terhadap wanita haid. kemudian setelah itu –hari ketujuh atau kedelapan, ia telah dibolehkan apa saja yang dibolehkan bagi wanita yang tidak haid. Dan tentunya hal tersebut setelah ia mandi dari haid. Hukum seperti ini kami tetapkan berdasarkan kebanyakan dan kebiasaan yang terjadi. (lihat: al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, juz. 2, hal. 396 dan seterusnya).

·         Adapun wanita yang keibngungan, (Footnote: wanita ini disebut dengan wanita yang kebingungan sebab para fuqaha ikut bingung menentukan hukum untuk permasalahan seperti ini. Sampai-sampai untuk satu masalah ini Imam ad-Darimi r.a telah menyusun sebuah buku yang sangat tebal (lihat: al-Majmu' Syarhu al-Muhazzab, juz. 2, hal. 434) yaitu wanita yang telah lupa masa dan jumlah hari yang telah dilalui –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Majmu' Syarhu al-Muhazzab 2/433-434)-. Atau lebih jelas lagi: wanita yang telah lupa dengan kebiasaan haidnya, baik kadar maupun masanya-, dan ia tidak dapat membedakan antara darah haid dan darah istihâdhah. Dengan kata lain: wanita tersebut –misalnya- sedang sakit, sehingga ia lupa, atau sedang gila atau penyebab kelupaan lainnya. sehingga ia tidak dapat memastikan kapan darah haid tersebut datang, sementara saat itu darah haid yang keluar dilanjutkan oleh darah istihâdhah, dan dia juga tidak dapat membedakan atara kedua jenis darah tersebut, hal ini berjalan sampai berbulan-bulan atau bertahun tahun, yang mana pada setiap harinya darah tersebut keluar dari vagina –baik banyak maupun sedikit. Kesimpulannya: darah yang tidak diketahui oleh wanita tersebut apakah ia termasuk darah haid atau hanya darah istihâdhah. Jika realitanya demikian maka bagaimanakah hukumnya?!!

Dibawah ini ada sejumlah pendapat sebagian para ulama yang berusaha menjawab pertanyaan diatas;
·         Hukumnya sama dengan wanita yang baru haid dan tidak dapat membedakan antara darah haid dengan darah istihadhah, sebagaiamanya yang baru kita sebutkan diatas.
·         Wanita tersebut dianjurkan untuk memilih kesimpulan yang lebih ihtiyâth (berhati-hati). Dan ulama berbeda pendapat menentukan makna sikap yang lebih ihtiyâth. Diantara mereka mengatakan; yang dimaksud dengan sikap tersebut adalah; satu sisi dia menganggap dirinya sedang haid, sehingga ia tidak dibolehkan bersetubuh dengan suaminya. Dan dari sisi lain ia menganggap dirinya telah suci, sehingga ia diwajibkan mengerjakan shalat dan puasa.
·         Wanita tersebut dapat menghitungnya dengan melihat kepada bulan. Kemudian menyesuaikan masa haidnya dengan kebiasaan wanita yang ada disekitar. Dengan kata lain, setiap awal bulan (arab) ia menganggap dirinya sedang haid. sehingga ia tidak dibolehkan mengerjakan shalat, puasa dan tidak boleh dijima' suaminya. Kemudian untuk masa akhir haidnya dia melihat kepada kebiasaan wanita disekitar. Misalnya biasanya mereka haid selama enam hari. Maka masa haid wanita tersebut berakhir ketika genap enam hari terhitung dari awal bulan. Dan pada hari ketujuh, ia dianggap telah suci –tentunya setelah mandi-, dan diwajibkan melaksanakan shalat, puasa dan dibolekan dijima' oleh suaminya.
·         Pendapat lain mengatakan: wanita tersebut harus berusaha semaksimal mungkin membedakan antara darah yang keluar dari vaginanya dan darah haid yang dialami oleh wanita lain. Dan ia juga harus mengamati dengan semaksimal mungkin ketika darah tersebut keluar dari vaginanya dan sebelum datang penyakit yang menyebabkan darah lain (bukan haid) ikut keluar. Kemudian ia mengambil kesimpulan dengan cara memperkirakan antara darah haid dengan darah istihâdhah. Dan ketika perkiraannya mengatakan bahwa darah tersebut adalah darah haid, maka ia wajib meninggalkan shalat, tidak berpuasa dan suaminya pun tidak dibolehkan menjima'. Namun apabila menurut perkiraannya bahwa darah tersebut bukan darah haid, maka dia diwajibkan mandi, kemudian melaksanakan shalat dan puasa dan hal lainnya yang berhubungan dengan wanita yang tidak haid. Pendapat ini lah yang lebih berat dihati kami. Wallahu a'lam (lihat kitab al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, juz. 2, hal 433 dan seterusnya)
[2] . Talajjum artinya adalah: mengikatkan kain atau benang dan sejenisnya yang mirip dengan tali celana. Kemudian mengambil potongan kain yang kedua ujungnya telah disobek. Lalu memasukan potongan kain tadi diantara dua paha dan pipi pantat. Setelah itu mengikatkan kedua ujungnya dengan tali celana yang telah diikatkan diatas pinggang. Satu ujungnya pada bagian pusaran dan ujung yang satunya berada dibelakang. Lalu ikatan yang ada diatas pinggang tersebut dieratkan. Namun sebelum memakai talajjum tersebut, terlebih dahulu menempelkan kapas diatas vagina. (penterjemah: dizaman sekarang hal tersebut telah mudah dilakukan. kerena sudah ada pengaman wanita yang disebut dengan softek)

·         Solusi dengan cara seperti ini telah dikatakan oleh sejumlah ulama. Mereka mewajibkan kepada wanita yang sedang mengeluarkan dari istihâdhah –apabila mereka hendak melaksanakan shalat, disaat darah tersebut banyak dan keluarnya sangat deras- untuk ber talajjum. Adapun jika darah yang keluar hanya sedikit, maka cukup hanya dengan menepelkan kapas pada vagina. Inilah pendapat yang mereka katakana. Namun bagi saya terlalu berlebihan mewajibkan hal tersebut kepada para wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah. Sebab dahulu wanita yang mengalami seperti itu juga ikut beri'tikaf dimesjid dan ketika shalat mereka hanya menaruh mangkok dibawahnya (insya Allah masalah ini akan kita bahas kembali)

·         Kemudian Rasulullah s.a.w tidak pernah menyuruh Fatimah ibn Abu Hubaisy untuk melakukan hal seperti itu. Ia adalah darah penyakit, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w. Dan kami tidak ikut berpendapat bahwa keluarnya darah dari salah satu anggota tubuh dapat mewajibkan berwudhu. Sedangkan perintah tentang ber talajjum, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits semuanya mengandung kelemahan. Sekalipun ia akan menjadi kuat dan shahih dengan menggabungkan semua hadits tersebut, tetap saja terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa hukumnya wajib. Akan tetapi –menurut kami- hukumnya hanya sekedar disunnahkan sebagaimana yang dapat dipahami dari uraian yang telah disebutkan diatas, diantaranya ketika sebagian wanita yang beri'tikaf dan sedang shalat, ia hanya cukup menaruh mangkok dibawahnya. Seandainya talajjum diwajibkan, tentulah hal tersebut tidak cukup. Wallahu a'lam.

Disini ada beberapa hadits yang memerintahkan kepada wanta yang sedang nifas untuk ber talajjum. Diantaranya yang disebutkan oleh Imam Muslim r.a (3/335) bahwa Asmâ' ibn 'Umais telah melahirkan Muhammad ibn Abu Bakar, maka iapun menyuruh seseorang datang dan bertanya kepada Rasulullah s.a.w apa yang harus ia lakukan. Rasulullah s.a.w berkata: "hendaklah kamu mandi lalu ber talajjum dengan pakaian, kemudian berihram dan laksanakanlah shalat" (insya Allah masalah ini akan kita bahas kembali secara panjang lebar pada bab haji).
[3] . Lihat penjelasan yang lebih terperinci tentang laki-laki tersebut dalam buku kecil kami yang berjudul: Nazarât fî as-Silsilah as-Shahihah.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "WAKTU KELUAR DARAH ISTIHÂDHAH"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...