Tuesday, December 08, 2009

0 Hukum cairan yang keluar dari kemaluan perempuan


CAIRAN YANG KELUAR DARI KEMALUAN WANITA

Masalah ini (apakah cairan yang terdapat pada vagina wanita termasuk suci atau najis?) akan menjadi jelas, apabila kita telah mengehui, pendapat yang râjih tentang kesucian air mani laki-laki.

Sebagian ulama berpendapat bahwa air mani laki-laki adalah termasuk benda yang suci.
Dalil pendapat ini adalah hadits yang meriwayatkan bahwa Aisyah r.a pernah mengikis dengan kukunya air mani yang menempel pada baju Rasulullah s.a.w. mereka mengatakan: seandainya air mani termasuk najis, tentunya hal tersebut tidak cukup hanya dikikis dengan kuku, akan tetapi harus dibasuh dengan air. Disamping itu hadits ini juga kedudukannya shahih yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim yang ulama hadits lainnya.

Adapun orang-orang yang mengatakan bahwa air mani termasuk najis, mereka berkata: Sesungguhnya tidak semua najis harus dibersihkan dengan air. Sebab jika demikian maka tahi yang menempel pada sendal (alas kaki) juga harus disucikan dengan menggunakan air. Sementara Rasulullah s.a.w hanya menyuruh orang yang terinjak tahi, agar ia menggesekan sendalnya ketanah. Dan pada akhirnya, tentunya sendal tersebut akan dipakai ketika orang tersebut melaksanakah shalat.

Aku menambahkan: Dan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa tanah adalah benda yang dapat mensucikan.

Apabila air mani tersebut kita anggap suci –berdasarkan pendapat pertama-. Maka mereka berkata: Sesungguhnya air mani Rasulullah s.a.w yang telah dikikis oleh Aisyah r.a dengan kukunya, tentunya telah bercampur dengan air vagina Aisyah r.a. Dengan demikian -berdasarkan logika diatas- maka air ada pada vagina wanita hukumnya suci. Akan tetapi ada anggapan yang mengatakan bahwa mani yang dikikis dari baju Rasulullah s.a.w bukan berasal dari persetubuhan. Melainkan air mani yang keluar disebabkan mimpi. Oleh sebab itu hadits tersebut tidak ada kaitannya dengan air vagina wanita. namun dalil yang mendasari anggapan ini sangat lemah.[1]

Permasalahan ini juga telah diangkat oleh Imam Bukhari r.a dalam kitab Shahihnya ( Shahih Bukhari dan Syarah Fathu al-Bârî 1/396) pada bab Ghuslu mâ yushîbu min Farji al-Mar'ah. Disana beliau menyebutkan –dalil- hadits 'Utsman ibn 'Affan r.a dari Rasulullah s.a.w ketika Beliau ditanya tentang seorang suami yang berjima' dengan istrinya, namun ia tidak mengeluarkan air mani. Rasulullah s.a.w berkata: "Dia cukup hanya membasuh penisnya lalu berwudhu seperti whudu shalat".

Dalam kitabnya al-Mughni (2/88) Ibnu Qudâmah berkata:
Ada dua kemungkinan tetang air yang terdapat pada vagian perempuan:

Pertama: Air tersebut najis. Sebab letaknya pada vagina, dan tidak diciptakan darinya seorang manusia. Oleh sebab itu air tersebut sama hukumnya dengan air mazi.

Kedua: Air tersebut suci. Sebab Aisyah r.a, pernah mengikis dengan kukunya mani yang terdapat pada baju Rasulullah s.a.w. Dan mani tersebut berasal dari persetubuhan. Sebab seorang Nabi tidak mungkin pernah bermimpi[2]. Dan air mani tersebut tentunya telah menyatu dengan cairan vagina. Disamping itu seandainya kita mengatakan bahwa vagina wanita adalah najis, berarti kita telah mengatakan bahwa air mani wanita juga najis. Karena air mani tersebut keluar melalui lobang vagina, yang tentunya akan ikut menjadi mutanajjis (asalnya suci, namun keluar melewati tempat yang najis)

Al-Qadhi berkata: Air vagina yang keluar akibat hubungan badan hukumnya najis. Sebab ia pasti tercampur dengan air mazi yang hukumnya adalah najis. Namun alasan ini sangat keliru. Sebab syahwat laki-laki apabila telah mencapai puncaknya, maka yang keluar dari lubang penisnya adalah air mani, bukan air mazi. Ini sama halnya dengan air (mani) yang keluar akibat dari mimpi bersetubuh.

Dalam kitabnya al-Muhazzab (1/570) Imam Syairâzî r.a berkata:
Adapun air vagiana wanita, maka menurut yang ditegaskan oleh nash, hukumnya najis. Sebab ia adalah air yang keluar dari tempat najis. Oleh sebab itu iapun menjadi najis. Namun sebagian ulama syafi'I mengatakan, bahwa air tersebut hukumnya suci, sebagaimana halnya keringat yang keluar dari tubuh manusia.

Imam Nawawi r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Majmû' Syarah al-Muhazzab 1/570):
Ulama tidak dapat memastikan apakah air vagina yang berwarna putih, termasuk air mazi atau hanya sekedar keringat. Oleh sebab itu mereka berbeda pendapat  tentang kesuciannya. Dan pada masalah ini, -sebagaimana juga pendapat beliau yang disebutkan dalam kitab at-Tanbîh- pengarang (Imam Syairâzî r.a ) mentarjih pendapat yang mengatakan bahwa air vagina wanita adalah najis. Pendapat ini juga ditarjih (dikuatkan) oleh Imam al-Bandanîjî r.a. Imam Baghawi r.a dan Imam Râfi'I r.a serta yang lainnya mengatakan: menurut pendapat yang lebih shahih, air vagina wanita hukumnya suci. .

Pada bab Mâ yûjibu al-Ghusla, pengarang kitab al-Hâwi berkata: Nash Imam Syafi'I r.a –sebagaimana yang disebutkan dalam sebagian bukunya- menegaskan bahwa air vagian wanita hukumnya suci. Namun nash Imam Syafi'I r.a yang diriwayatkan oleh Ibnu Suraij r.a, malah mengatakan bahwa air vagina wanita hukumnya najis.

Ini berarti ada dua nash yang diriwayatkan dari Imam Syafi'I r.a:
pertama: adalah nash yang disebutkan oleh Imam Syairâzi r.a.
kedua: adalah nash yang diriwayatkan oleh pengarang kitab al-Hâwi.

Namun nash yang paling shahih, adalah yang menegaskan bahwa air vagina wanita hukumnya suci.

Diantara dalil yang dipegang oleh pendapat yang mengatakan bahwa air vagina hukumnya najis, hadits yang diriwayatkan oleh Zaid ibn Khalid r.a, ia bertanya kepada 'Utsman ibn 'Affan r.a: "Bagaimana pendapat anda apabila seorang suami bersetubuh dengan istrinya namun ia tidak mengeluarkan air mani?". Utsman menjawab: "Ia hanya cukup membasuh penisnya, lalu berwudhu seperti whudu shalat". Lalu Utsman berkata: Hadits ini telah aku dengar dari Rasulullah s.a.w"
(H.R. Bukhari dan Muslim)

Imam Bukhari menambahakan: "kemudian Zaid ibn Khalid menanyakan masalah itu lagi kepada Ali ibn Abu Thalib r.a, Zubair ibn 'Awwam, Thalhah ibn 'Ubaidullah dan Ubai ibn Ka'ab. Maka mereka menyarankan sebagaimana jawaban yang diberikan oleh Utsman ibn 'Affan r.a.

Diriwayatkan pula dari Ubai ibn Ka'ab r.a, beliau berkata: "Wahai Rasulullah.. (apa hukumnya) apabila seorang suami berjima' dengan istrinya, dan ia tidak mengeluarkan air mani". Rasulullah s.a.w berkata: "laki-laki tersebut cukup membasuh sesuatu yang menyentuh istrinya (penis), kemudian ia berwudhu dan shalat".
(H.R. Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi kedua hadits diatas yang menunjukan kebolehan melakukan shalat –bagi seorang yang telah bersetubuh dengan istrinya- hanya dengan berwudhu (tanpa mandi), telah dinasahk (dihapus) oleh nash-nash lain yang mewajibkan orang yang sedang junub agar bersuci dengan cara mandi, sebagaimana yang telah lalu pada bab Mâ Yûjibu al-Ghusla.

Adapun perintah membasuh penis dan bagian tubuh lainnya yang terkena air vagina, maka tetap berlaku (tidak dinasakh). Dari perintah tersebut jelas bahwa air vagina wanita hukumnya najis.

Dan bagi orang-orang yang mengatakan tentang kesucian air tersebut, mereka mengartikan bahwa perintah yang terdapat pada hadits diatas hanyalah sifatnya sunah. Akan tetapi –pada realita- menurut Jumhur ulama, perintah yang sifatnya mutlak harus diartikan sebagai perintah wajib. Wallahu a'lam.

Menurut hemat saya: setelah memperhatikan dengan seksama uraian-uraian yang telah lalu, maka jelas bahwa tidak ada dalil tegas yang mengatakan bahwa air vagina wanita hukumnya najis. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a, yang kesimpulannya: "Ia cukup membasuh penisnya dan kemudian shalat". Hadits tersebut tidak tegas mengatakan bahwa perintah membasuh penis tersebut disebabkan oleh air vagina wanita. akan tetapi perintah tersebut mungkin disebabkan keluarnya air mazi yang kemudian menempel pada penis. Hal ini sebagaimana perintah Rasulullah s.a.w kepada seorang sahabat yang bernama Miqdâd, ketika ia menanyakan tentang air mazi. –saat itu- Rasulullah berkata: "Basuhlah penis kamu dan kemudian berwudhu".

Dengan demikian, maka air vagina wanita tetap berada pada kesuciannya. Dan nanti –insya Allah- kita akan membahasnya lebih lebar lagi pada bab Hukum percikan air yang keluar dari lobang vagina. Apakah ia membatalkan wudhu atau tidak?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, antara lain:
Pertama: Ketika terjadi perbedaan pendapat, maka kita wajib mengembalikannya (untuk mencari titik temu) kepada Allah s.w.t, dan Rasul-Nya. Sebab hal tersebut termasuk salah satu kewajiban (tuntutan) beriman kepada Allah s.w.t dan hari kiamat.

·        Allah s.w.t berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri[3] di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q.S. an-Nisâ': 59)

·        Firman Allah s.w.t lagi: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)". (Q.S. al-A'râf: 3)

·        Dan firman-Nya: "Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (Q.S. al-Mâ'idah: 92)

·        Dan firman-Nya lagi: "…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah… " (Q.S. al-Hasyar: 7)

Kedua: Pendapat yang mengatakan bahwa: setiap yang keluar dari qubul dan dubur (kelamin depan dan belakang) menyebabkan whudu seseorang menjadi batal". Bukanlah perkataan yang berasal dari hadits Rasulullah s.a.w. bahkan Ulamupun tidak sepakat mengaminkan pendapat tersebut. Akan tetapi ia (pendapat tersebut) diramu dari sejumlah dalil yang menyatakan bahwa banyak sekali sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur menyebabkan wudhu seseorang menjadi batal.

Pada bab ini kita tidak akan mengekor begitu saja dengan kaedah tersebut. Akan tetapi kita akan berdiskusi dan membahas kosa-kosa kata yang ada pada kaedah tersebut.

Dengan demikian. Maka –sebagai misal- kencing telah disebutkan dalam sebuah nash dari Rasulullah s.a.w bahwa ia termasuk sesuatu dan dapat membatalkan wudhu. Begitupula halnya dengan buang air besar atau kentut, darah haid, darah nifas, air mani, dan air mazi. Oleh sebab itu maka apapun yang keluar dari kedua lobang tersebut tidak dapat dikatakan membatalkan wudhu kecuali jika berdasarkan dalil dari kitab atau Sunnah.

Adapun jika dalil tersebut tidak ditemukan maka menggantungkan permasalah (tidak memutuskan sebuah hukum) adalah sikap yang lebih baik dan berhati-hati dalam hal urusan agama.

Bahkan disamping itu ada riwayat yang mengatakan bahwa ada sebagian benda yang keluar dari kubul dan dubur tidak membatalkan wudhu, seperti darah istihadhah (darah yang keluar setelah habis masa haid).

Disebutkan dalam Shahih Bukhari bahwa ada salah seorang istri Rasulullah s.a.w yang ikut bersama Beliau beri'itkaf, sementara ia dalam keadaan istihadhah. Bahkan –karena banyaknya darah keluar- ketika shalat- ia menaruh mangkok dibawahnya.

Cairan yang keluar dari lobang vagina bukan menjadi hal yang tabu lagi, karena ia telah dialami oleh sebagian besar kaum wanita. bahkan cairan tersebut semakin deras keluar tatkala wanita sedang mengandung. Namun air tersebut keluar tidak melalui lobang kencing.

Oleh karena hal tersebut lumrah bagi kaum wanita –sebagaimana yang juga terjadi terhadap wanita yang hidup dimasa Rasulullah s.a.w-. Kemudian tidak ada nash yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w yang mengaskan bahwasanya –misalnya- Beliau menyuruh mereka berwudhu. Oleh sebabitu, maka sikap yang lebih baik dan berhati-hati, adalah dengan tidak mewajibkan mereka untuk berwudhu. Sebab tidak ada riwayat hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w memerintahkan kepada mereka agar berwudhu.

Dengan demikian maka cairan yang keluar dari lobang vagina tersebut tidak dianggap membatalkan wudhu. Sebab tidak ada dalil shahih dan tegas yang mengatakan hal tersebut. Namun hanya Allah lah yang lebih mengetahui.

Adapun orang yang mewajibkan kepada wanita agar mereka bewudhu apabila cairan tersebut keluar, dengan alasan ihthiyath (lebih baik berhati-hati). Maka silakan bagi mereka mengamalkannya untuk pribadi. Akan tetapi dia tidak dibenarkan mewajibkannya kepada orang lain, sesuatu yang dia wajibkan atas dirinya sendiri.

* Berbicara tentang masalah ini, aku telah melihat (membaca) fatwa simpang siur yang tidak berdasarkan dengan dalil, dan telah dinisbatkan kepada Syaikh al-Fadhil MuHammâd ibn 'Utsaimin r,a dalam kitabnya yang berjudul Fatâwa al-Mar'ah yang dikumpulkan oleh MuHammâd al-Musannad, redaksinya sebagai berikut:

Pertanyaan: Apakah cairan yang keluar dari vagina dianggap suci atau najis? Semoga Allah membalas amal baikmu dengan kebaikan.

Beliau menjawab: Kaedah yang masyhur dikalangan ulama mengatakan, bahwa setiap apa yang keluar dari qubul dan dubur adalah najis kecuali satu, yaitu air mani. Maka air mani adalah suci. Dengan demikian maka selain air mani, setiap benda apapun yang keluar dari qubul dan dubur adalah najis dan membatalkan wudhu. Dan berdasarkan kaedah tersebut, berarti cairan yang keluar dari vagian hukumnya najis dan membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang aku simpulkan setelah membahasnya dan mendiskusikannya bersama sebagian ulama. Akan tetapi perasaanku masih tidak enak. Sebab ada sebagian wanita yang selalu mengalami kelembaban pada vaginanya. Dan apabila cairan tersebut terus menerus keluar. Maka solusinya adalah dengan menganggap cairan tersebut sebagaimana hukumnya orang yang mengindap penyakit enuresis. Yakni wanita tersebut melakukan wudhu –untuk shalat- setelah waktunya masuk, lalu ia langsung shalat.

Kemudian aku telah membicarakan hal tersebut kepada sebagian dokter, maka jelaslah bahwa cairan tersebut apabila keluar dari lubang kencing maka hukumnya najis. Adapun jika ia keluar dari tempat keluar anak maka hukumnya sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang kewajiban berwudhu. Dan cairan tersebut dianggap suci. Sehingga tidak perlu membasuhnya dengan air.

Begitulah yang disebutkan dari Syaikh MuHammâd ibn 'Ustaimin r.a.

Setelah memperhatikan fatwa ini dengan sekasama, kami melihat bahwa fatwa tersebut tidak berdasarkan dalil dari kitab maupun Sunnah yang shahih. Dan semua orang bisa salah, kecuali Rasulullah s.a.w.

Dengan demikian maka kami berpendapat –berdasarkan alasan diatas- bahwa cairan tersebut tidak membatalkan wuhdu. Dan hanya Allahlah yang lebih mengetahuinya.


[1] . Kelemahan dalil tersebut dapat kita lihat dari kontek hadits yang tidak tegas mengatakan bahwa air mani wajib dibersihkan dengan air. Apalagi sebagian ulama berpendapat, bahwa mimpi bersetubuh tidak mungkin terjadi terhadap para Nabi dan Rasul. Sebab mimpi tersebut adalah salah satu permainan syaitan. Sedangkan ia tidak mampu mempermainkan mereka". Dengan demikian maka anggapan diatas termasuk perkataan yang tidak berdasarkan dalil.
[2] . Klaim ini harus dibuktikan dengan nash dari al-Qur'an atau Hadits. Sementara kami tidak menemukan satu dalilpun yang mengaminkan anggapan tersebut.
[3] . Sejumlah ahli tafsir menginterpretasikan fiman Allah s.w.t: "dan ulil Amri diantara kamu" bahwa yang dimaksud adalah para alim ulama. Dan ada juga interpretasi lain yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah; para pemimpin. Namun pendapat yang lebih utama adalah pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah ulama dan umara. Wallahu a'lam.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "Hukum cairan yang keluar dari kemaluan perempuan"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...