Tuesday, December 08, 2009

0 MANDI WAJIB YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG SUAMI BERSAMA-SAMA DENGAN ISTRINYA


MANDI WAJIB YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG SUAMI BERSAMA-SAMA DENGAN ISTRINYA

Imam Bukhari r.a berkata (hadits 299):
Diriwayatkan oleh Qubaishah, ia berkata: diriwayatkan dari Sufyan, dari Manshur, dari Ibrahim, dari al-Aswad, dari Aisyah r.a. Beliau berkata: Dahulu aku mandi bersama Rasulullah s.a.w dari tempat air yang sama[1], sementara kami berdua dalam keadaan junub[2] (hadast besar)

( Hadits shahih)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada beberapa judul dari kitab Shahihnya, dengan riwayat yang berbeda-beda, namun semuanya berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.

Sebagaimana hadits ini juga diriwayatkan dari para perawi hadits yang berbeda-beda, dari sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Baik yang disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim maupun kitab-kitab hadits lainnya.[3]

Hadits diatas –dengan sanad-sanad yang sama- juga diriwayatkan oleh Abu Dâud (no. 77), dan Imam Nasâ'î pada masalah Thahârah (bersuci).

Imam Muslim r.a berkata (hal. 257 berdasarkan urutan yang disusun oleh MuHammâd Fuad) :
Diriwayatkan dari Yahya ibn Yahya, dari Abu Khaitsamah, dari 'Âshim al-Ahwal, dari Mu'âzah, dari Aisyah r.a, Beliau berkata: Dahulu aku bersama Rasulullah s.a.w mandi dari tempat air yang sama. Lalu Rasulullah s.a.w mendahuluiku dan akupun berkata: berikan aku tempat, berikan aku tempat". Mu'âzah menambahkan bahwa pada saat itu keduanya dalam keadaan junub.
 ( hadits shahih )


HADITS YANG MENYEBUTKAN TENTANG SEORANG LAKI-LAKI YANG BERSUCI MENGGUNAKAN SISA AIR YANG DIGUNAKAN SEORANG PEREMPUAN UNTUK BERSUCI.

PERTAMA: HADITS-HADITS YANG DISEBUTKAN PADA BAB INI, DAN DISKUSINYA
Imam Muslim r.a berkata (hadits 323):
Diriwayatkan dari Ishâq ibn Ibrahim, dari MuHammâd ibn Hâtim, dari MuHammâd ibn Bakar, dari Ibnu Juraij dari, Amru ibn Dinar, ia berkata: sejauh yang aku ketahui dan yang telintas dihatiku[4] bahwasanya Abu al-Sya'tsâ telah meriwayatkan kepadaku bahwasanya Ibnu Abbas r.a meriwayatkan kepadanya, bahwa –dulu- Rasulullah s.a.w mandi menggunakan sisa air yang digunakan oleh Maimunah.

Abu Dâud rahimahullah berkata ( hadits no. 82):
Diriwayatkan dari Ibnu Bassyâr, dari Abu Dâud al-Thayâlisi, dari Syu'bah, dari 'Âshim, dari Abu Hâjib, dari al-Hakam ibn Amar, (Belau dikenal dengan panggilan al-Aqra'); bahwasanya Rasulullah s.a.w melarang seorang laki-laki berwudhu menggunakan air sisa wanita bersuci" [5] 
( hadits ini dikritik oleh sebagian ulama)[6]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzî pada masalah Thaharah (pada bab 47). Pada sebagian riwayat Beliau menyebutkan shahabat diatara salah satu perawi hadsit tersebut. lalu beliau berkata: hadits ini predikatnya adalah hasan. Akan tetapi pada sanad riwayat lain, ada seorang sahabat yang tidak disebutkan.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Imam Nasâ'î (1/179), Ibnu Mâjah (no. 373) Ahmad (5/66 dan 4/213), al-Thayâlisi (no. 1252) Imam Baihaqî –dengan menyebutkan sanad-sanadnya ( al-Sunan al-Kubrâ 1/191-192 )

* Abu Dâud r.a berkata: (hadits no. 81)
Diriwayatkan dari Ahmad ibn Yunus, dari Zuhair, dari Dâud ibn Abdullah. Dan diriwayatkan pula dari Musaddad, dari Abu 'Uwânah, dari Dâud ibn Abdullah, dari Humaid al-Humairi, ia berkata: aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang telah bersama dengan Rasulullah s.a.w selama empat tahun, sebagaimana halnya Abu Hurairah. Laki-laki tersebut berkata: Rasulullah s.a.w melarang wanita mandi (bersuci) menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh laki-laki untuk bersuci. Atau sebaliknya". Musaddad menambahkan: "hendaklah keduanya menimba air tersebut secara bersama-sama".
( Hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih)[7]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Nasâ'î (1/130) dengan tambahan konteks hadits yang diriwayatkan melalui Qutaibah, dari Abu 'Uwânah. Dan diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqî (al-Sunan al-Kubrâ 1/190)

* Abu Dâud r.a berkata (1/55):
Diriwayatkan dari Musaddad, dari Abu al-Ahwash, dari Samâk[8], dari 'Ikrimah, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sebagian istri Rasulullah s.a.w pernah mandi dengan semangkuk besar yang berisikan air. lalu, ketika Rasulullah s.a.w datang, istri Beliau tersebut berkata: "wahai Rasulullah sesungguhnya tadi aku telah junub". Rasulullah s.a.w berkata: "sesungguhnya air tidak akan menjadi junub"
(Pada sanad ini terdapat kelemahan)[9]

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh al-Nasâ'î (1/173), Turmudzî pada masalah Thaharah (bab. 48), beliau mengatakan: hadits ini predikatnya hasan shahih. Ibnu Mâjah (370, 371 dan 372). Hâkim dalam kitabnya al-Mustadrak (1/159), beliau mengatakan: Hadits ini predikatnya shahih tentang masalah thaharah. Namun hadits ini tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan juga tidak disebutkan kritikan terhadapnya. Hal ini juga diaminkan oleh az-Dzahabi. Ad-Dâruquthnî (1/52), beliau berkata: Ulama mempermasalahkan hadits ini tentang periwayatnya yang bernama Samâk. Dan pada riwayat-riwayat tersebut hanya Syuraik sajalah yang mengatakan bahwa hadits tersebut berasal dari Maimunah.


KEDUA: PENDAPAT ULAMA TENTANG MASALAH DIATAS

Dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim (hal. 617) Imam Nawawi mengatakan: Laki-laki dan perempuan yang bersama-sama bersuci dari tempat air yang sama, dibolehkan menurut ijma' ulama, hal ini berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan pada bab ini. Yakni hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah bersama-sama istrinya pernah mandi bersama-sama dari tempat air yang sama.

Begitupula, ijma' ulama membolehkan wanita bersuci menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh laki-laki untuk bersuci.

Adapun sebaliknya, yakni laki-laki yang bersuci menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh wanita untuk bersuci. Maka menurut pendapat kami, hal tersebut hukumnya boleh saja. Begitupula pendapat yang dikatakan oleh Imam Mâlik, Abu Hanifah dan sebagian besar ulama, baik keduanya mandi bersamaan maupun tidak.

Bahkan sebagian ulama mazhab syafi'I, mengatakan bahwa hal tersebut tidak dimakruhkan, sebab banyak sekali hadits-hadits shahih yang menyebutkannya.

Namun Imam Ahmad ibn Hambal dan Dâud berpendapat: apabila wanita tersebut telah bersendirian menggunakan air untuk bersuci, maka tidak dibolehkan bagi laki-laki bersuci menggunakan sisa air tersebut. pendapat ini juga diriwayatkan dari Abdullah ibn Sarjis dan al-Hasan al-Basri. Akan tetapi diriwayatkan pula dari Imam Ahmad sebuah pendapat lain yang mengaminkan pendapat pertama.

Ada pula pendapat lain yang juga diriwayatkan dari al-Hasan dan Sa'îd ibn al-Musayyab yang mengatakan bahwa hal tersebut dimakruhkan secara mutlak. Maksudnya: baik keduanya bersuci secara bersamaan maupun tidak.

Akan tetapi pendapat yang terpilih adalah pendapat yang dikatakan oleh kebanyakan ulama, karena banyaknya hadits-hadits shahih tentang bersucinya Rasulullah s.a.w bersama-sama istrinya, yang mana masing-masing dari mereka menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh yang lainnya. Dan khulwah (bersuci secara bersamaan) sama sekali tidak mempengaruhi hukum penggunaan sisa air tersebut.

Dan telah diriwayatkan pada hadits lain bahwasanya Rasulullah s.a.w pernah mandi menggunakan sisa air yang telah digunakan (bersuci) oleh sebagian istri Beliau. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dâud, Nasâ'î, dan ulama-ulama hadits lainnya. Lalu Turmudzî berkata: hadits tersebut adalah hasan shahih.

Aku menambahkan: sesungguhnya masalah ini telah kita jelaskan bersama.

* Dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/300) al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata:
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang permasalahan ini –dengan dua kesimpulannya masing-masing- sangat mungkin untuk digabungkan. Yaitu dengan mengartikan bahwa yang dimaksud oleh hadits-hadits yang melarang menggunakan sisa air adalah: sisa yang menetes dari anggota tubuh. Dan yang dimaksud oleh hadits-hadits yang membolehkan hal tersebut adalah: sisa air yang masih ada pada tempatnya. Penggabungan inilah yang telah dilakukan oleh al-Khattabi r.a.

Atau dengan mentafsirkan, bahwa larangan-larangan yang terdapat pada sebagian hadits, adalah larangan yang sifatnya hanya sekedar makruh. Wallahu a'lam.

·        Dalam kitabnya Subul al-Salâm (1/27) al-Shan'ânî r.a mengatakan:
Pendapat yang lebih kuat, adalah pendapat yang membolehkan hal tersebut. yakni; dibolehkan bagi laki-laki mandi menggunakan sisa air yang telah dipakai oleh wanita untuk bersuci. Begitupula sebaliknya. Dan larangan yang terdapat pada sebagian hadits hanyalah sekedar larangan yang bersifat makruh.

·        Ibnu Qudâmah r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mughni (1/214):
Hadits-hadits yang diriwayatkan dari Imam Ahmad tentang seorang laki-laki yang berwudhu menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh wanita –secara bersendirian- untuk berwudhu, meskipun banyak namun sangat berbeda-beda. Dan riwayat yang lebih masyhur mengatakan bahwa hal tersebut tidak dibolehkan. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abdullah ibn Sarjis, al-Hasan dan Ghunaim ibn Qais. Sebagaimana pendapat ini juga katakana oleh Ibnu Umar tentang wanita haid dan junub.

Imam Ahmad berkata: lebih dari satu orang sahabat Rasulullah yang mengatakan bahwa hukumnya makruh. Adapun jika keduanya bersamaan menggunakan air tersebut maka tidak mengapa masing-masing dari mereka menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh yang lainnya.

Riwayat kedua dari Imam Ahmad mengatakan: dibolehkan bagi laki-laki berwudhu menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh wanita. Begitupula sebaliknya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Aqil. Sebagaimana pendapat ini juga dikatakan oleh sebagian besar para ulama. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya: Rasulullah s.a.w pernah mandi menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh Maimunah untuk berwudhu. Dan Maimunah berkata[10]: Aku pernah mandi dari air yang ada pada mangkok besar. Dan air tersebut masih tersisa. Kemudian datang Rasulullah s.a.w (hendak mandi). Maka aku berkata: Sesungguhnya aku telah mandi menggunakan air tersebut. Maka Rasulullah s.a.w berkata: "air tidak akan junub". Dan karena air tersebut adalah air yang dapat digunakan untuk bersuci oleh wanita. Maka ia juga boleh digunakan untuk bersuci oleh laki-laki.

Dalam kitabnya Nailu al-Authâr (1/26) Imam al-Syaukani r.a berkata:
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang permasalahan ini –dengan dua kesimpulannya masing-masing- mungkin untuk digabungkan. Yaitu dengan mengartikan bahwa yang dimaksud oleh hadits-hadits larangan menggunakan sisa air adalah: sisa yang menetes dari anggota tubuh. Karena sisa air tersebut dinamakan air musta'mal. Dan yang dimaksud dari hadits-hadits yang membolehkan hal tersebut adalah: sisa air yang masih ada pada tempatnya. Penggabungan inilah yang telah dilakukan oleh al-Khattabi.

Namun alternative yang lebih baik adalah tafsiran yang ditarwarkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathu al-Bârî dengan mentafsirkan, bahwa larangan-larangan yang terdapat pada sebagian hadits, adalah larangan yang sifatnya hanya sekedar makruh. Hal ini melihat kepada hadits-hadits yang membolehkan pemakaian sisa air tersebut Wallahu a'lam.

Kesimpulan dari permasalahan diatas
Kesimpulan dalil-dalil shahih yang terlepas dari kritikan adalah hadits yang menyatakan bahwasanya Rasulullah s.a.w bersama Maimunah mandi dari tempat air yang sama". Hadits ini disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun hadits shahih yang diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: "aku pernah mandi bersama Rasulullah s.a.w dari tempat air yang sama, sedangkan kami dalam keadaan junub". Hadits ini terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan telah lalu kita bicarakan bersama.

Kedua haidist diatas menunjukan bahwa penggunaan sisa air untuk bersuci adalah hal yang dibolehkan.

* Sedangkan sebagian hadits-hadits yang melarang hal tersebut, antara lain; -sebagaimana yang telah kita sebutkan diatas- hadits yang diriwayatkan oleh Humaid al-Humairi dari seorang laki-laki yang telah bersama Rasulullah s.a.w –sebagaimana halnya Abu Hurairah- ia berkata: Rasulullah s.a.w melarang seorang perempuan yang mandi (bersuci) menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh laki-laki. Begitupula sebaliknya, yakni: laki-laki dilarang bersuci menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh wanita" (dan tambahan redaksi yang ada pada sebagian riwayat lain: "dan hendaklah keduanya menimba air tersebut secara bersama-sama"). Hadits ini telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih.

Dengan hadits-hadits terdahulu, tidak diragukan lagi tentang kebolehan bagi pasangan suami istri untuk mandi bersama-sama dari tempat air yang sama. Akan tetapi bagaimana kita harus mensikapi hadits Rasulullah s.a.w yang melarang perempuan mandi menggunakan sisa air yang dipakai oleh laki-laki atau sebaliknya.

-Kalau memang hadits larangan tersebut shahih- maka disini ulama menawarkan tiga cara untuk menjawab pertanyaan diatas, yaitu:

pertama: Hukum yang dimaksud dari larangan tersebut hanyalah sekedar makruh, yang tidak sampai kepada haram.

Kedua: Apabila seorang wanita bersendirian dalam menggunakan air, atau  terdapat sisa air yang telah ia gunakan. Maka laki-laki tidak dibolehkan menggunakan sisa air tersebut. (pendapat inilah yang dipilih oleh al-Kharqi. Lihat: al-Mughni 1/214)

Ketiga: Yang dimaksudkan dengan sisa air yang dilarang oleh hadits, adalah air yang menetes dari anggota tubuh orang yang bersuci. Baik orang tersebut laki-laki, maupun perempuan.

Dari tiga alternative diatas, yang lebih aula (unggul) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum yang dimaksud dari larangan tersebut hanyalah sekedar markruh dan tidak sampai kepada haram. Wallahu a'lam.

Perhatian: Selama tidak ada dalil yang melarang, maka dibolehkan bagi wanita bersuci menggunakan sisa air yang telah digunakan oleh wanita lain untuk bersuci. Pendapat ini telah disinggung oleh Ibnu Qudâmah dalam kitabnya al-Mughni (1/217


[1] . Disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari r.a ( no. 250 ) mereka mandi dari tempat air yang disebut dengan al-Faraq. (satu al-Faraq = tiga Sha'. Dan satu Sha' = empat Mud. Sedangkan satu mud seukuran dengan dua telapak tangan yang normal).
[2] . Tambahan pada konteks hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa sumber. Dan pada hadits diatas terdapat kebolehan –bagi seorang laki-laki- memandang kepada vagina istrinya, atau sebaliknya. Hal ini kami tegaskan, karena ada beberapa hadits palsu yang melarang hal tersebut.
[3] . Berdasarkan hadits ini, Imam Nawawi r.a–dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim 1/617- mengatakan: Adapun bersuci –dari hadast besar- yang dilakukan oleh sepasang suami istri dari tempat air yang sama, maka para ulama sepakat mengatakan bahwa hukumnya dibolehkan. Hal  tersebut berdasarkan hadits-hadits  yang telah disebutkan pada bab ini.

Perhatian: Aku tidak menemukan satu haditspun yang menyatakan tentang seorang laki-laki yang mandi bersama istrinya. Sedangkan sang istri mandi untuk bersuci dari haid. Meskipun demikian, tidak berlebihan jika aku berpendapat bahwa hukumnya – wallahu a'lam- makruh. Karena seorang perempuan disamping bersuci ia juga dimakruhkan memperhatikan bekas darah serta melakukan perbuatan yang dapat membuat perasaan suami menjadi kurang enak.
[4] . Disebabkan keraguan inilah sebagaian ulama mengkritik kontek hadits tersebut. sehingga mereka hanya membenarkan konteks hadits yang disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Sufyan Ibn Amar, dan dari Abu Sya'tsâ, dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Rasulullah dan Maimunah mandi bersama-sama dari tempat air yang sama". Lihat: Fahtu al-Bârî 1/366 dan Shahih Muslim ( hal. 2570 )
[5] . Dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim (hal. 617) Imam Nawawi r.a berkata: Hadits ini mendapat beberapa kritikan dari sebagian ulama, antara lain;
pertama: Hadits tersebut lemah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh pakar-pakar hadits, seperti Imam Bukhari r.a dan yang lainnya.
Kedua: Maksud sisa air yang dilarang oleh Rasulullah s.a.w untuk digunakan berwudhu adalah sisa air yang menetes dari anggota tubuh wanita yang bersuci. Dan air itu juga dapat disebut dengan air musta'mal.
Ketiga: Larangan tersebut sifatnya umum. Artinya: larangan tersebut dapat diartikan dengan larangan yang sifatnya haram, dan juga dapat dipahami sebagai larangan yang sifatnya hanya sekedar makruh.
[6] . Menurut hemat saya: Melihat dari para periwayat hadits tersebut, mereka termasuk orang-orang yang dapat dipercaya. Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata tentang Abu Hajib: "dia adalah orang yang sangat benar". namun al-Hatthabi r.a juga telah mengutip perkataan Imam Bukhari r.a yang menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh al-Aqra' tidak mencapai predikat shahih. Dan yang benar pada bab ini adalah, hadits yang diriwayatkan  oleh Abdullah Ibn Sarjis, sementara hadits ini predikatnya mauquf. Oleh sebab itu sangat keliru orang yang menganggap hadits tersebut telah mencapai predikat marfu'.

Saya menambahkan: Hadits ini juga mendapat kritikan dari Imam Daruqutni r.a –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Sunan Daruqutni 1/53- dengan perkataannya: Abu Hajib yang disebutkan pada sanad hadits diatas bernama Sawadah Ibn 'Âshim, dan dia termasuk orang yang dipermasalahkan oleh para ulama hadits. Dan dari dialah 'Imran Ibn Jarîr, Ghazwan Ibn Hujair al-Sadusi meriwayatkan hadits diatas. Konteks hadits tersebut berasal dari al-Hakam dan tidak sampai kepada Rasulullah s.a.w.

·         Pendapat seperti ini juga disebutkan oleh Imam Baihaqî r.a dalam kitab Sunan-nya (1/192)
·         Imam Baihaqî r.a juga menyebutkan hadits Abdullah Ibn Sarjis yang kesimpulannya bahwa Abdu al-Aziz Ibn Mukhtar telah meriwayatkannya dari 'Âshim Ibn Abdullah Ibn Sarjis dengan menyandarkan hadits tersebut kepada Rasulullah s.a.w. Namun pernyataan tersebut berbeda dengan sikap yang dilakukan oleh Syu'bah. Ketika Syu'bah meriwayatkannya dari 'Âshim Ibn Abdullah Ibn Sarjis, beliau tidak berani menyandarkan kontek hadits tersebut kepada Rasulullah s.a.w.
Dan menurut hemat saya: pendapat yang lebih unggul untuk diterima adalah, pendapat yang dikatakan oleh Syu'bah yang mengatakan bahwa hadits tersebut predikatnya adalah mauquf.
[7] . Hadits ini mendapat kritikan dari Imam Baihaqî r.a dengan perkataannya (al-Sunan al-Kubra 1/190) : Hadits ini memang telah diriwayatkan oleh para periwayat yang dapat dipercaya. Namun sangat disayangkan salah satu periwayat tersebut yang bernama Humaid tidak menyebutkan shahabat yang telah meriwayatkan hadits tersebut kepadanya. Dengan demikian hadits ini termasuk dalam katagori hadits yang predikatnya mursal. Akan tetapi seandainya hadits ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang muttashil (sanadnya tidak terputus) maka ia termasuk hadis mursal yang hasan. Disamping itu salah seorang periwayatnya yang bernama Dâud Ibn Abdullah juga termasuk orang yang tidak diandalkan oleh Imam Bukhari r.a dan Imam Muslim r.a.

·         Namun tuduhan yang mengatakan bahwa hadits tersebut adalah munqati' (sanadnya terputus) dibantah oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dengan perkataannya: Tuduhan yang dilakukan oleh Baihaqî  r.a bahwa hadits tersebut termasuk hadits mursal adalah sebuah sikap yang keliru. Sebab sahabat yang tidak disebutkan pada sanad sebuah hadits tidak menyebabkan hadits tersebut menjadi lemah. Apalagi seorang tabi'in yang meriwayatkan hadits tersebut telah menegaskan dengan jelas bahwa ia telah bertemu dengan salah seorang yang telah bersama dengan Rasulullah s.a.w selama empat tahun.

·         Dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/300) al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata: al-Maimuni telah menukil dari Imam Ahmad r.a bahwasanya hadits-hadits yang menyebutkan tentang larangan bersuci dengan sisa air yang telah digunakan oleh wanita untuk bersuci, atau hadits-hadits yang membolehkan hal tersebut, semuanya mutthârib (simpang siur)

Kemudian al-Hafiz Ibnu Hajar menutup pendapatnya dengan perkataan: pendapat Imam Ahmad r.a bahwa hadits-hadits yang datang dari dua arah tersebut mutthârib dan hanya dapat dijadikan sandaran hukum ketika keduanya mungkin untuk digabungkannya.  Hal ini mungkin saja dilakukan, yaitu dengan mentafsirkan bahwa maksud hadits-hadits yang melarang hal tesebut, adalah sisa air yang masih menetes dari anggotan tubuh wanita yang sedang bersuci. Sedangkan maksud dari hadits-hadits yang membolehkannya adalah: sisa air yang masih terdapat pada tempatnya. Penggabungan seperti inilah yang telah dilakukan oleh al-Khattabi r.a. Atau juga bisa dengan mengartikan larangan tersebut sebagai larangan yang sifatnya makruh.
[8] . Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh al-Hâkim r.a (1/159) dari al-Tsauri, dari Syu'bah dari Samâk.
[9] . Kelemahan tersebut dikarenakan hadits ini adalalah riwayat Samâk dari 'Ikrimah. Dan riwayat seperti ini menurut ulama hadits adalah riwayat yang mutadhârib. Namun al-Hafiz Ibnu Hajar r.a mengatakan –sebagimana yang disebutkan dalam kitabnya Fathu al-Bârî 1/300-:  sebagian ulama mengkritik hadits tersebut karena ia telah diriwayatkan oleh Samâk Ibn Harab, yang dia terima dari 'Ikrimah. Sebab ia adalah termasuk orang yang menerima talqin (penyampaian hadits secara langsung dan dibimibng oleh sang guru dalam memahami hadits tersebut) Akan tetapi hadits ini sebenarnya juga diriwayatkan oleh Syu'bah dari 'Ikrimah. Dan dia termasuk orang yang tidak menerima –dari guru-gurunya- kecuali hadits-hadits yang shahih saja.

Menurut hemat saya: Hampir saja kami sulit menerima bahwa al-Hafiz Ibnu Hajar r.a telah berkata seperti demikian.
[10] . Hadits ini, sebagaimana yang telah lalu diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a dari Ibnu Abbas r.a. Dan ia tidak disebutkan dalam kitab Shahih Muslim. Adapun yang disebutkan disana adalah: Sebagian istri-istri Nabi Muhammad s.a.w penah mandi.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "MANDI WAJIB YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG SUAMI BERSAMA-SAMA DENGAN ISTRINYA"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...