Monday, July 05, 2010

0 ANJURAN TERHADAP ORANG YANG MEMANDIKAN MAYAT, AGAR TIDAK LANGSUNG MENYENTUH DENGAN TANGANNYA KELAMIN MAYAT, KECUALI DALAM KONDISI TERPAKSA


* Dalam kitabnya al-Umm (1/249) Imam Syâf'î r.a berkata:
Orang yang memandikan mayat dianjurkan agar menjauhkan tangannya sehingga –tanpa dilapisi kain- ia tidak menyentuh bagaian kelaminnya. Dan seandainya ia melakukan hal tersebut (tidak menyentuh tanpa dilapisi sepotong kain) untuk bagian tubuh lainnya, maka hal itu sangat aku sukai.

Aku menambahkan: hal ini juga sangat didukung oleh anjuran menghargai kehormatan orang yang telah meninggal dunia.

Ibnu al-Qudâmah r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mughni (2/457):
Dianjurkan terhadap orang yang memandikan mayat agar membungkus tangannya dengan kain yang sedikit lebih tebal. Dengan kain tersebut ia menyapu dan membersihkan tubuh mayat tersebut, agar tidak sampai menyentuh –langsung- bagian kelaminnya. Sebab jika memandang kelamin hukumnya haram, tentunya apalagi menyentuhnya.[1]


APAKAH SAAT MEMANDIKAN MAYAT JUGA DIANJURKAN MEN SIWAK (MENGGOSOK) GIGINYA?

* Dalam kitabnya al-Muhazzab (al-Muhazzab dan al-Majmû' 5/169), Imam as-Syairâzî r.a berkata:
Dianjurkan terhadap orang yang memandikan mayat, memasukan jarinya kedalam mulut mayat tersebut, lalu menggosok giginya.

* Perkataan Imam as-Syairâzî r.a ini disyarah oleh Imam Nawawi r.a, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmû' (5/171):
Makna dari perkataan Imam Syairâzî r.a adalah: memasukan jarinya diantara kedua bibir orang yang meninggal tepat diatas giginya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh ulama mazhab Syâf'î.


APAKAH KUKU DAN RAMBUT MAYAT YANG TUMBUH DIBAGIAN BAWAH PERUT HARUS DIPOTONG?

Kami tidak mengetahui satu nash hadits pun yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w tentang hal ini, baik perintah maupun larangan. Oleh sebab itu maka yang menjadi standar adalah dalil al-barâ'ah al-ashliyah, yakni; dibolehkan memotong kuku dan mencukur rambut yang tumbuh pada bagi bawah perut mayat. Hal ini juga termasuk dari kemaslahatan si mayat tersebut.

Namun sebagian ulama ada yang menyimpulkan kebolehan tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a tentang kisah wafatnya Khubaib, yang mana disebutkan dalam riwayat tersebut: … maka orang-orang membawa Khubaib dan Zaid ibn ad-Datsnah, kemudian mereka menjual keduanya setelah peperangan Badar. Maka keluarga laki-laki al-Hârits ibn 'Âmir ibn Naufal membeli Khubaib. Sementara itu –ketika terjadinya peperangan Badar- Khubaib adalah orang yang telah membunuh al-Hârits bin Naufal. Maka Khubaibpun –setelah dibeli- mereka jadikan sebagai tawanan perang. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk membunuhnya.

Setelah kesepakatan tersebut. sebelum dibunuh, Khubaib meminjam sebuah pisau kecil dari keluarga perempuan al-Hârits untuk terlebih dahulu memotong kuku dan rambut bagian bawah perutnya. Dan merekapun meminjamkannya[2]

Dari redaksi riwayat yang berbunyi: "memotong kuku dan rambut bagian bawah perut", mereka menyimpulkan bahwa hal tersebut dibolehkan, sebab Khubaib melakukannya untuk bersiap-siap menerima ajal. Karena ia tahu –ketika berada ditangan orang-orang musyrik- mereka tidak akan melakukannya setelah ia meninggal dunia.

Diantara ulama yang menjadikan kisah ini sebagai dalil untuk masalah diatas, adalah: Imam Baihaqi r.a dengan perkataannya –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (3/390): Bab: orang sakit dibolehkan memotong kuku dan mencukur rambut bagian bawah perutnya.

Dibawah ini sebagian perkataan dan pendapat ulama tentang masalah diatas:
* Dalam kitabnya al-Mushannaf (3/247) Ibnu Abi Syaibah r.a berkata:
Diriwayatkan dari Ismail ibn 'Aliyyah, dari Khalid al-Hidzâ', dari Abu Qilâbah, bahwasanya Sa'ad pernah memandikan orang mati, lalu beliau meminta pisau kecil untuk menggundulinya.
(Para periwayatnya adalah orang-orang tsiqah[3])

Riwayat ini juga disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (3/437), dan –telah diisyaratkan oleh- Imam Baihaqi r.a dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (3/390).

* Ibnu Abi Syaibah r.a juga menyebutkan (3/247) :
Diriwayatkan dari Yazîd ibn Hârûn, dari Humaid dari Bakr[4]; bahwasanya apabila Beliau melihat rambut atau kuku yang panjang pada seorang mayat maka beliau memotongnya.
(Shahih dari Bakr)

* Ibnu Abi Syaibah r.a menyebutkan lagi (3/246) :
Diriwayatkan dari at-Tsaqafî, dari Ayyûb, dari Muhammad[5], bahwa beliau tidak suka memotong kuku atau mencukur rambut yang tumbuh pada bagian bawah perut dari orang yang telah meninggal dunia. Beliau berkata: seyogianya keluarga orang yang sedang sakit, melakukan hal tersebut disaat dia sedang sakit keras.
(Shahih dari Ibnu Sîrîn)

Riwayat ini juga disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (3/436)

* Ibnu Abi Syaibah r.a juga menyebutkan:
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mubârak, dari Hisyâm, dari Muhammad; bahwa beliau sangat setuju apabila sakit seseorang sudah sangat parah, untuk mencukur kumis, memotong kuku dan rambut yang tumbuh pada bagian bawah perutnya. Sehingga apabila orang itu telah meninggal dunia maka rambut dan kuku tersebut tidak perlu lagi ditanggalkan darinya.
(Shahih dari Ibnu Sîrîn)

* Beliau menyebutkan lagi (3/247) :
Diriwayatkan dari Ismail ibn 'Aliyyah, dari Syu'bah, dari Manshûr, dari al-Hasan, beliau berkata: Dianjurkan untuk memotong kuku orang yang telah meninggal. Syu'bah berkata: hal tersebut aku tanyakan kepada Hammâd, ternyata beliau tidak menerimanya, lalu beliau berkata: apakah seandainya orang yang meninggal tersebut tidak berkhitan, lantas ia harus dikhitan juga?"
(Shahih)

* Imam Syâf'î r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Umm (1/248):
Apabila terdapat pada tangan orang yang telah meninggal –kuku- dan pada bagian bawah perutnya rambut. Maka sebagian ulama tidak setuju menanggalkannya dari mayat tersebut. Namun ada juga sebagian ulama yang membolehkan mencukurnya dengan obat penghilang bulu/rambut, atau dengan gunting, dan memotong kukunya setelah orang tersebut meninggal dunia. Sebab bagi seorang mayat hal tersebut –ketika masih hidup- termasuk dari al-fitrah (kesucian).

Namun tidak dibolehkan mencukur rambut kepala dan janggutnya. Sebab hal tersebut hanya dilakukan untuk keindahan atau diwaktu menunaikan ibadah haji dan umrah saja.

* Dalam kitabnya al-Muhazzab (5/178) Imam as-Syairâzî r.a berkata:
Ada dua pendapat yang berbeda, tentang memotong kuku, mencukur rambut yang tumbuh pada bagian bawah perut, atau menggunting kumis dari orang yang telah meninggal dunia:
Pertama: hal tersebut harus dilakukan sebab ia termasuk pembersihan, maka untuk merealisasikannya, ia tetap dianjurkan sekalipun setelah meninggal dunia.
Kedua: Hukumnya makruh. Pendapat ini telah dikatakan oleh al-Muznî r.a, karena hal tersebut sama dengan memotong bagian tubuhnya, oleh sebab itu sama hukumnya dengan mengkhitan orang mati. Yakni; hukumnya makruh.

* Imam Nawawi r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmû'-:
Ada dua pendapat yang berbeda yang telah diriwayatkan dari Imam Syâf'î r.a, tentang memotong kuku, mencukur rambut yang tumbuh pada bagian bawah perut, atau menggunting kumis dan mencabut bulu ketiak dari orang yang telah meninggal dunia:
Qaul Jadîd (pendapat Imam Syâf'î r.a yang beliau katakana setelah berada di Mesir): Hal tersebut tetap harus dilakukan.
Qaul Qadîm: Hal tersebut tidak perlu dilakukan.

Sebagian ulama mengatakan, bahwa setelah dimandikan maka mayat tersebut harus dikeringkan dengan handuk atau sejenisnya:

* Disebutkan dalam kitabnya al-Mughni (2/464):
Syarah masalah: Dan mayat tersebut harus dikeringkan dengan baju.. Pada kesimpulannya: apabila seseorang telah selesai memandikan mayat, maka ia dianjurkan untuk mengeringkannya dengan baju, agar kain kafannya tidak ikut menjadi basah.

* Imam Syâf'î r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitanya al-Umm (1/249):
Kemudian mayat tersebut –setelah dimandikan- dikeringkan dengan selembar baju, dan apabila telah kering maka barulah dibungkus kedalam kain kafannya.

* Imam Nawawi r.a berkata –dalam kitanya al-Majmû' (5/176):
Imam Syâf'î r.a dan murid-muridnya mengatakan: apabila seseorang telah selesai memandikan orang yang meninggal, maka disunnahkan untuk mengeringkan tubuhnya dengan baju sampai kering total. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

Murid-murid Imam Syâf'î r.a berkata: ini bebeda dengan orang yang selesai mandi dari hadats besar atau selesai berwudhu –keduanya disunnahkan untuk tidak mengeringkan tubuh atau anggota tubuh yang disiram dengan air wudhu-. Karena mayat yang telah dimandikan, tubuhnya harus dalam keadaan kering, agar tidak menyebabkan kain kafannya menjadi basah.


[1] . Aku menambahkan: akan tetapi ada sedikit keringanan jika orang yang memandikan, dengan mayat tersebut memiliki hubungannya sebagai suami istri, maka hal tersebut dibolehkan. Ini berdasarkan pendapat yang mengatakan,  bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu.

Dalam kitabnya al-Majmû' (5/138) Imam Nawawi r.a berkata: apabila seorang suami memandikan istrinya yang meninggal, atau sebaliknya (istri memandikan suaminya yang meninggal), maka seyogianya ia membungkus tangannya dengan selembar kain, agar tidak menyentuh langsung kulit orang yang dimandikan. Namun apabila ia tidak melakukannya (membungkus tangan dengan selembar kain), maka al-Qadhi al-Husin dan pengikutnya berpendapat: mandi mayat tersebut hukumnya sah, dan hukum ini tidak ada kaitannya dengan pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita –yang bukan mahram- membatalkan wudhu. Sebab syara' telah membolehkan menyentuhnya –tanpa dilapisi oleh sesuatu- ketika hal tersebut diperlukan. Adapun orang yang menyentuh, maka al-Qadhi al-Husin menegaskan bahwa wudhunya menjadi batal. Dan disana ada pendapat lain, namun sangat lemah, sebagaimana yang telah kita bahas pada bab: sesuatu yang membatalkan wudhu.

Aku mengomentari: bahkan pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh kulit wanita yang bukan mahram tanpa dilapisi sesuatu dapat membatalkan wudhu, adalah pendapat yang lemah. Dan masalah ini telah kami kupas ketika memaparkan pembahasan tentang al-thahârah, yakni pembahasan yang berjudul: apakah batal wudhu seorang laki-laki yang hanya sekedar menyentuh wanita –tidak sampai memasukan penis kedalam lubang vagina-?. Silakan lihat kembali.

[2] . Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a (hadits no. 3989), Imam Ahmad r.a (2/294 dan 310), Abu Daud r.a (2660 dan 2661) dan yang lainnya. Riwayat ini dapat dilihat lebih lengkapnya dalam buku kami: as-Shahîh al-Musnad min Fadhâ'il al-Shahâbah.
[3] . Riwayat ini dikhawatirkan telah dimursalkan oleh Abu Qilâbah, sebab dia adalah orang yang sering memursalkan riwayat, dan kami tidak pernah mengetahui suatu bukti yang menegaskan bahwa telah mendengarnya dari Sa'ad r.a.
[4] . Dia adalah Bakr ibn Abdullah al-Muznî r.a.
[5] . Dia adalah Muhammad ibn Sîrîn r.a.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "ANJURAN TERHADAP ORANG YANG MEMANDIKAN MAYAT, AGAR TIDAK LANGSUNG MENYENTUH DENGAN TANGANNYA KELAMIN MAYAT, KECUALI DALAM KONDISI TERPAKSA"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...