Monday, July 05, 2010

0 BEBERAPA SUB-SUB MASALAH DAN SUPLEMEN (TAMBAHAN PERMASALAHAN MAYIT)


Sumber utama sub-sub masalah ini berdasarkan pada apakah ada lagi pekerjaan-pekerjaan lain dalam masalah memandikan mayit (selain yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. kepada Ummu Athiah) yang harus dilakukan oleh para wanita yang memandikan lalu ditambahkan kepadanya apa yang ia sebutkan oleh Rasulullah s.a.w. kepada Ummu Athiah atau tidak?

Jelasnya menurut saya dari masalah ini bahwa apa yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. kepada Ummu Athiah itu dikerjakan dan jangan kurang darinya. Kemudian setelah itu, apabila ada perkara-perkara lain demi kemaslahatan mayit dan tidak menyalahi syariat, dikerjakan (seperti masalah merapatkan dua kaki mayit misalnya, dan merapatkan kedua pahanya, dan kedua pantatnya, dan… dan…). Dan seperti ini para fuqaha dalam memberlakukan sub-sub masalah ini dan ini beberapa sub masalah dalam bab ini berupa beberapa tambahan dan suplemen.

o       Pohon bidara yang dicampur dengan air adalah pohon bidara yang dihaluskan.
o       Al-Kharqi berkata (bersama al-Mughni, 2/460):
… dan bukanlah pohon bidara padanya yang utuh. Dan Ibnu Qudamah di dalamnya berkata: dan pohon bidara yang utuh tidak dicampur dengan air sebab tidak ada gunanya melakukan hal itu, karena pohon bidara itu hanya saja diperintahkan untuk  tujuan membersihkan dan yang dipersiapkan untuk membersihkan adalah yang dihaluskan. Dan karena itu tidak dipergunakan oleh orang hidup untuk mandi kecuali seperti itu. Abu Daud berkata: saya katakan kepada Ahmad, mereka membawa tujuh helai daun bidara lalu memasukkannya ke air dalam basuhan terakhir. Dia mengingkari hal itu dan tidak menyukainya.

o       Tubuh mayit diletakkan di suatu tempat yang di bawahnya tidak digenangi air sehingga akan menggangu dan berpengaruh negatif terhadap jasadnya. Dan dibawahnya diletakkan sesuatu yang keras.

o       Imam Syafi'I dalam al-Um (1/248) berkata:
Dan dikeluarkan sandaran[1] semuanya dari bawahnya dan diletakkan diatas helai papan apabila bisa dilakukan atau ranjang dari helai-helai papan yang rata karena sebagian ahli eksperimen memperkirakan badanya akan cepat membengkak di atas sandaran empuk.

o       Dan Ibnu Qudamah berkata di dalam al-Mughni (2/457):
Dan kesimpulannya, diusnnahkan memandikan mayit di atas ranjang…,

Dan dia juga berkata (2/453):
Jangan dibiarkan tubuh mayit di atas tanah karena lebih cepat rusak. Tetapi diletakkan di atas ranjang atau helai papan agar lebih terpelihara.

o       Saya kemukakan, dan pada sebagian negri, mereka meletakkan sesuatu yang berlobang di bawah tubuh mayit sehingga air tidak tergenang di bawahnya yang berakibat negatif terhadap tubuh mayit.


MEMIJAT PERUT ORANG MATI KETIKA DIMANDIKAN UNTUK MENGELUARKAN KOTORAN DAN SEJENISNYA.

Pendapat ini dikatakan oleh banyak ulama. Dalil mereka adalah hadits terdahulu yang diriwayatkan dari Sa'îd ibn Musayyab r.a, dari Ali r.a, bahwa ia pernah mengeluarkan dari tubuh Rasulullah s.a.w, apa yang dikeluarkan dari tubuh orang mati. Namun ia tidak menemukan apa-apa (tidak terdapat kotoran). Maka Ali r.a berkata: demi ayah dan ibuku, bersih disaat masih hidup dan bersih pula ketika telah meninggal!

Hadits inilah yang dijadikan dalil oleh Abdu ar-Razzaq r.a ketika beliau menyebutkannya dalam kitab al-Mushannaf (3/403) dibawah bab memeras (menekan) perut orang mati. Hadits ini juga dijadikan dalil oleh Ibnu Abi Syaibah r.a, sebagaimana beliau menyebutkannya dalam al-Mushannaf (3/245-246) dibawah bab: tentang memeras perut orang mati. Sikap seperti ini juga diambil oleh Imam Baihaqi r.a ketika beliau menjadikannya sebagai dalil untuk memperkuat pendapat diatas. Hal ini dapat dilihat ketika Imam Baihaqi r.a menaruh hadits tersebut dibawah bab: perintah memijat perut orang mati dan membasuh kotoran yang terdapat padanya".

·        Ulama yang berpendapat sebagaimana diatas, juga memiliki dalil lain, yaitu riwayat yang disebutkan dari hadits Ummu Sulaim r.a –hadits dha'îf-. Yang mana terdapat pada redaksi hadits tersebut: "maka hendaklah memulainya dengan bagian perut, lalu dengan lembut ia memijatnya ". Namun ulama berbeda pendapat tentang periwayat hadits tersebut. ada pendapat yang meriwayatkannya dari Hafshah, dari Ummu Sulaim r.amarfu'-. Dan ada pula yang meriwayatkannya dari Ibnu Sîrînmarfu' dan mursal-. Dan kedua riwayat tersebut sama-sama lemah.

·        Dalil lain yang dijadikan sebagai penguat pendapat diatas adalah, dalil yang dilihat dari sudut kemaslahatan orang yang meninggal. Agar –dengan mengeluarkan kotoran dari perutnya- tidak dikhawatirkan keluarnya kotoran saat persiapan untuk keperluan pemakaman. Sehingga ia pun dikuburkan dalam keadaan bersih.

Berdasarkan alasan dan dalil diatas, maka sebagian ulama berpendapat bahwa dianjurkan -dengan lembut- memijat perut orang yang meninggal agar kotoran yang tersisa dapat dikeluarkan.

Dibawah ini adalah sebagian perkataan dan pendapat para ulama yang mengaminkan perdapat diatas;

* Ibnu Abi Syaibah ra berakata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mushannaf (3/245)- :
Diriwayatkan dari Yazîd ibn Harun, dari Hisyâm dari Ibnu Sîrîn r.a, ia berkata: dianjurkan dengan lembut memeras perut orang yang meninggal dunia pada basuhan pertama saat memandikannya.
(Shahih dari perkataan Ibnu Sîrîn)

Pendapat ini juga telah diisyaratkan oleh Abdu ar-Razzaq r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (3/404).

* Dalam kitabnya al-Umm (1/249) Imam Syâf'î r.a berkata:
Dan ia mendudukan orang mati tersebut dengan perlahan, lalu melewatkan tangan diatas perutnya secara perlahan dan dengan sangat lembut, untuk mengeluarkan  sesuatu –seandainya masih tersisa dalam perutnya-, dan apabila ternyata ada sesuatu yang keluar, maka ia membersihkannya. Imam Syâf'î r.a juga berkata: dan ia dianjurkan untuk selalu menyapu perut orang yang telah meninggal pada setiap basuhan.

* Ibu Qudâmah r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mughni (2/456-457) :
Syarah masalah: dan ia melipatkan sepotong kain diatas tanganya, lalu dengan kain tersebut ia membersihkan kotoran yang masih tersisa sambil memeras perut orang yang meninggal): pada kesimpulannya, disunnahkan memandikan mayat diatas kasur yang dihadapkan kearah kiblat dengan posisi bagian kepala lebih tinggi dari bagian kaki, agar air yang keluar dari tubuh mayat tersebut turun kebawah dan tidak kembali keatas mengenai kepalanya. kemudian orang yang memandikan mayat memulainya dengan sedikit menundukan tubuh mayat, jangan sampai mendekati seperti orang yang sedang berduduk. Sebab mendudukan mayat dapat menyakitinya. Kemudian ia melewatkan tangannya diatas perut mayat sambil memeras dengan lembut, agar najis yang masih tertinggal keluar, sehingga najis tersebut –setelah itu- tidak akan keluar lagi.

Perbuatan tersebut ia lakukan sambil menuangkan air yang banyak agar najis yang keluar hilang larut bersama siraman air. dan disunnahkan pula menyiapkan disisinya dupa pengharum ruangan agar –seandainya kotoran tersebut menimbulkan bau- tidak tercium bau yang kurang enak.

Imam Ahmad r.a berkata: perut mayat baru disapu ketika menuangkan basuhan kedua. Ditempat lain Beliau mengatakan: perut mayat baru disapu –satu kali dengan sengat lembut- pada basuhan air yang ketiga. Beliau juga mengatakan: memeras perut mayat ketika menuangkan basuhan kedua lebih mudah sebab mayat tidak akan lemah kecuali setelah tersentuh oleh air. Dan dianjurkan agar orang yang memandikannya melipatkan sepotong kain kasar pada tangannya, kemudian menggukan kain tersebut untuk membersihkan agar tangannya tidak tersentuh kemaluan si mayat. Sebab apabila memandang aurat (diantaranya kemaluan) hukumnya haram. Terlebih lagi menyentuhnya.

Kemudian orang yang memandikan tersebut memulainya dengan menanggalkan najis yang masih tersisa pada tubuh si mayat. Sebab orang yang masih hidup –apabila hendak bersuci dari hadats besar- sangat dianjurkan memulainya dengan membersihkan –terlebih dahulu- najis yang menempel ditubuhnya, baru lah ia mulai mandi dari hadats besar.

* Imam Nawawi r.a berakata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmû' (5/168) :
Syarah masalah: dan disunnahkan untuk mendudukannya (mayat) dengan posisi lebih miring kebelakang, lalu dengan lembut ia menyapu perutnya…). Beliau berkata: karena barangkali didalam rongga tubuhnya masih tertinggal sesuatu. Dan apabila ia tidak memerasnya sebelum mandi, dikhawatikan akan keluar setelah selesai memandikannya. Bahkan barangkali kotoran tersebut keluar disaat orang mengenakan kain kafan kepada mayat tersebut. dan jika ini terjadi maka akan mengotori kain kafan.

Dan setiap kali ia melewatkan tangannya diatas perut, ia mengikutkannya dengan menuangkan air yang banyak. Sehigga apabila keluar sesuatu dari rongga tubuh si mayat, ia tidak sempat menimbulkan bau yang kurang enak…

* Imam Nawawi r.a juga berkata –dalam kitab yang sama (hal. 171) :
Dan dia –dengan lembut- melewatkan tangan kirinya diatas perut mayat, untuk mengeluarkan sisa-sisa kotoran yang masih tertinggal. Dianjurkan pula agar meletakan disisinya dupa –sebagaimana yang telah disebutkan diatas-, kemudian orang lain membantu menuangkan air yang banyak, agar tidak tercium baru kurang kurang enak dari kotoran yang keluar.

PERHATIAN
Apabila orang yang meninggal tersebut adalah seorang wanita yang mengandung, maka dalam hal ini ulama berpendapat: perutnya tidak boleh diperas. Ibnu Qudâmah r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mughni (2/457): maka apabila orang yang meninggal tersebut adalah wanita yang sedang mengandung, maka perutnya tidak boleh diperas, agar tidak menyakiti bayi yang ada dalam kandungannya.[2]

Sebagian ulama berpendapat bahwa, ketika memandikan orang mati  maka perutnya tidak boleh diperas. Ibnu Abi Syaibah r.a telah meriwayatkan dalam kitanya al-Mushannaf (3/246) dengan sanad yang shahih kepada Utsman ibn Aswad, dari Mujahid r.a, ia berkata: kami pernah bersama-sama menghadiri pemandian orang mati. Beliau berkata: bersihkanlah dan jangan diperas perutnya, sebab kalian tidak mengetahui apa yang akan keluar pada saat diperas". Namun sangat memungkinkan yang dimaksudkan dari perkataannya: "jangan diperas perutnya" adalah memeras dengan cara tersendiri. Adapun jika perasan tersebut hanya dengan melewatkan tangan –dengan lembut- diatas perutnya maka tidak ada alasan yang mengatakan bahwa hal tersebut juga tidak dibolehkan. Wallahu a'lam.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa dianjurkan menaruh sesuatu diatas perut orang yang meninggal agar benda tersebut dapat menahan terjadinya kembung (pembengkakan) pada bagian perut. Hal ini telah diriwayatkan –dengan sanad yang lemah- oleh Ibnu Abi Syaibah r.a –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mushannaf (3/241) dari 'Âmir, ia berkata: suatu hal yang disunnahkan adalah menaruh pedang diatas perut orang yang meninggal.

* Dalam kitabnya al-Umm (1/248), Imam Syâf'î r.a berkata:
Dan diletakan diatas perut orang yang meninggal suatu benda, misalnya tanah, bata, besi pedang dan seumpamanya. Sebab sebagian orang-orang yang telah banyak berpengalaman mengatakan bahwa hal tersebut dapat mencegah terjadinya pembengkakan.

* Ibnu Qudâmah r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mughni (2/452):
Dan ditaruh sejenis besi diatas perutnya (mayat), seperti cermin dan sebagainya agar dapat mencegah terjadinya pembengkakan pada bagian perut. Dan apabila tidak didapatkan benda dari besi, maka dapat digantikan dengan tanah liat. Dan disunnahkan agar yang melakukan hal tersebut adalah orang yang paling lembut dengan cara yang sangat lembut pula.


APAKAH MAYAT HARUS DIDUDUKAN SETIAP KALI TUANGAN AIR?

Pendapat ini dikatakan oleh Imam Syâf'î r.a, sebagaimana perkataan Beliau yang disebutkan dalam kitab al-Umm (1/249):
Mayat tersebut harus didudukan setiap akhir siraman air. Dan apabila telah selesai dari siraman terakhir. Maka orang yang memandikan tersebut melentur-lenturkan kedua kaki dan tangan mayat tersebut, agar kedua kaki dan tangannya tidak mengeras. Kemudian ia meluruskannya sambil menepelkan kedua tangannya kebagian samping tubuh mayat, dan meratakan kedua kakinya dengan merapatkan kedua mata kaki serta kedua paha.


DIANJURKAN MENGGUNAKAN SELEMBAR ATAU DUA LEMBAR KAIN PADA SAAT MEMANDIKAN ORANG MATI

* Dalam kitabnya al-Umm (1/249), Imam Syâf'î r.a mengatakan:
Sebelum memandikan mayat, dianjurkan menyiapkan dua lembar kain yang bersih. Salah satu kain tersebut dibungkuskan ketangan orang yang hendak memandikannya. Kemudian –dengan tangan yang dibungkus kain tersebut- orang yang memandikan membasuh bagian atas tubuh si mayat. Dan apabila sudah memasuki –pembasuhan- pada bagian diantara kedua kaki dan kemaluan mayat, maka setiap kali membasuh pada bagian kelamin dan antara dua pipi pantatnya, kain tersebut dicuci lalu digantikan dengan selembar kain yang satunya. Begitulah seterusnya (mencuci dan mengganti kain yang ada ditangan, dengan kain satunya yang telah dicuci- setiap kali membasuh bagian tersebut. Supaya kotoran –dari kelamin dan bagian antara pipi pantat- yang menempel pada kain tersebut tidak mengenai –ketika membasuh- bagian tubuh yang lainnya.

* Imam al-Kharqî r.a, berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Mukthashar al-Kharqî (lihat: Mukhtashar al-Kharqî dan al-Mughnî, 2/456):
Hendaklah orang yang memandikan mayat membungkus tangannya dengan selembar kain, dan dengan kain tersebut ia membersihkan najis dan kotoran yang menempel ditubuh mayat tersebut.

* Nash yang dikatakan oleh Imam al-Kharqî r.a ini disyarahkan (diuraikan) oleh Ibnu Qudâmah r.a:
Disunnahkan bagi orang yang memandikan orang mati agar tidak menyentuh tubuh nya, kecuali apabila tangannya telah dibungkus dengan selembar kain. Al-Qadhi r.a berkata: orang yang memandikan mayat dianjurkan menyediakan dua lembar kain, salah satunya untuk membersihkan bagian kelamin muka dan belakangnya, dan yang satunya untuk membersihkan bagian tubuh lainnya.

* Dalam kitabnya al-Majmû' (5/171), Imam Nawawi r.a berkata:
Ulama mazhab Syâf'î mengatakan: … kemudian ia (orang yang memandikan mayat) menggunakan tangan kirinya yang telah terbungkus dengan selembar kain untuk membasuh kelamin muka, belakang mayat dan sekitarnya, sambil meng istinja (membersihkan kotoran setelah buang air kecil dan air besar) kannya, sebagaimana orang yang masih hidup beristinja. Setelah itu, lalu ia melepaskan kain tersebut, dan membasuh tangannya dengan air dan potas/garam abu. Seperti inilah tata cara memandikan mayat yang disebutkan oleh Jumhur ulama, yakni; membersihkan dua kemaluan –muka dan belakang- dengan menggunakan selembar kain.

Dan disebutkan dalam kitab an-Nihâyah dan al-Wasîth, bahwa dianjurkan membasuh setiap kelamin dengan menggunakan kain yang berbeda. Dengan demikian berarti kain yang diperlukan berjumlah tiga lembar. Namun pendapat yang masyhur mengatakan bahwa yang diperlukan hanyalah dua lembar kain saja, satu lembar untuk membersihkan bagian dua kelamin dan sekitarnya, dan satu lembarnya lagi digunakan untuk membersihkan bagian tubuh yang lainnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syâf'î r.a dalam kitabnya al-Umm, Mukhtashar al-Muznî dan Qaul Qadîm (pendapat yang dikatakan oleh Imam Syâf'î ra ketika masih di Irak).

Imam Syâf'î r.a berpendapat, tentang mayat yang masih kecil: satu lembar kain tersebut digunakan untuk membersihkan bagian atas tubuhnya, seperti kepala, wajah, dan dada. Kemudian –masih dengan kain tersebut- ia membersihkan kelamin dan bagian tubuh antara dua kakinya. Setelah itu ia mengambil kain yang satunya. Dan melakukan pembasuhan sebagaimana yang dilakukan dengan kain pertama.

Al-Bandanîjî r.a berkata: ada dua pendapat mazhab Syâf'î yang diriwayatkan dari murid-murid nya (ulama-ulama yang mengikuti aliran pemikiran Imam Syâf'î r.a):

Pertama: (sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ishâk); ada dua pendapat yang dalam mensikapi permasalahan ini. Pertama: setiap lembar –dari dua lembar kain tersebut- digunakan untuk membersihakan seluruh bagian tubuh mayat. Kedua: satu lembarnya digunakan untuk membersihkan bagian dua kelamin –muka dan belakang- dan sekitarnya. Dan selembar kain yang satunya digunakan untuk membersihkan bagian tubuh lainnya.

Kedua: kedua lembar kain tersebut, masing-masing digunakan untuk membersihkan seluruh bagian tubuh mayat. Al-Bandanîjî r.a menambahkan: pendapat ini lah yang belaku pada mazhab Syâf'î.

Namun sebenarnya pendapat yang diberlakukan menurut mazhab Syâf'î bukan seperti yang Beliau akui. Akan tetapi yang belaku pada mazhab Syâf'î adalah pendapat yang telah kami sebutkan, -diriwayatkan- dari murid-murid Imam Syâf'î r.a, dan sebagian besar nash Imam Syâf'î sendiri.

Kemudian ulama mazhab Syâf'î mengatakan: lalu orang yang memandikan tersebut, membersihkan najis dan kotoran yang terdapat pada tubuh mayat. Dan apabila ia telah selesai melaksanakan apa yang kami sebutkan diatas, maka ia dianjurkan mengganti kain yang membungkus tangannya dengan kain yang satunya…


[1] (penjelasan kata) yaitu apa yang disandari dengan empuk seperti bantal dan seumpamanya atau bunga karang atau seumpamanya.
[2] . Kecuali apabila janin tersebut masih dalam keadaan hidup. Maka sebagian ulama berpendapat, bahwa perut wanita yang meninggal tersebut wajib dibedah dan janin tersebut dikeluarkan dari perut ibunya. Insya Allah masalah ini akan kita bahas kembali.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "BEBERAPA SUB-SUB MASALAH DAN SUPLEMEN (TAMBAHAN PERMASALAHAN MAYIT)"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...