Monday, July 05, 2010

0 APAKAH WANITA HAMIL JUGA HAID?


Imam Bukhari r.a berkata (3/62) :
Diriwayatkan dari Yahya ibn Ishâq, dan Aswad ibn 'Âmir, keduanya berkata: diriwayatkan dari Syuraik, dari Abu Ishâq, dari Qais ibn Wahb, dari Abu al-Wadâk, dari Abu Sa'îd al-Khudrî r.a; bahwasanya rasulullah s.a.w berkata tentang tawanan Authâs: "wanita hamil jangan dijima' (Aswad menambahkan: sebelum ia melahirkan), begitupula wanita yang tidak mengandung sebelum ia melewati satu kali masa haidnya". Yahya berkata: "atau sebelum terbukti bahwa kandungannya kosong dengan satu kali haid".
(Hadits Hasan li ghairihi)[1]

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a (2157) ad-Dârimî r.a (2/171), Imam Baihaqî r.a dalam kitabnya as-Sunan al-Kubrâ (7/449), dan Hâkim r.a dalam kitabnya al-Mustadrak (2/195), beliau mengatakan: hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim r.a . Namun keduanya tidak meriwayatkannya.


WANITA HAMIL YANG MELIHAT DARAH

Diriwayatkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a (1213) dari at-Tsauri, dari Jâmi' ibn Abu Râsyid, dari 'Athâ' ibn Abi Rabâh r.a, tentang wanita hamil yang melihat darah, beliau berkata: selama ia belum melahirkan, maka cukup berwudhu kemudian shalat. dan jika darah tersebut mengalir, maka dia tidak diwajibkan mandi, akan tetapi cukup hanya berwudhu.
(Shahih dari 'Athâ')
Riwayat ini juga disebutkan oleh Imam ad-Dârimî r.a (1/227).

·        Imam ad-Dârimî r.a (1/227) meriwayatkan dari Muhammad ibn Isa, dari Abu 'Uwânah, dari Mughirah, dari Ibrahim r.a, tentang wanita hamil yang melihat darah. Beliau berkata: setelah membersihkan darah tersebut, ia cukup hanya berwudhu kemudian shalat.
(Shahih sampai kepada Ibrahim)

·        Imam ad-Dârimî r.a meriwayatkan pula (1/277) dari Muhammad ibn Isa, dari Yazîd ibn Zari', dari Yunus, dari Hasan r.a tentang wanita hamil yang melihat darah. Beliau berkata: hukumnya sama dengan wanita yang mengeluarkan darah istihâdhah, akan tetapi wanita hamil tidak boleh meninggalkan shalat.
(Shahih sampai kepada Hasan)


[1] . Hadits ini diperkuat oleh riwayat yang disebutkan oleh Dâruquthnî r.a (3/257), beliau berkata: diriwayatkan dari Abu Muhammad ibn Shâ'id, dari Abdullah ibn 'Imrân al-'Â'izi –dimekkah-, dari Sufyan ibn 'Uyainah, dari 'Amr ibn Muslim al-Jundi, dari 'Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a, Beliau berkata: Rasulullah s.a.w melarang menjima' wanita yang sengan mengandung sebelum ia melahirkan bayinya, atau wanita yang tidak haid sebelum ia melewati satu kali masa haid.

kemudian Imam Dâruquthnî r.a berkata: Ibnu Shâ'id telah berkata kepada kami: tidak ada satupun orang yang meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Abbas r.a kecuali al-'Â'izi. Hadits ini juga diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari as-Sya'bî dari Rasulullah s.a.w, namun sangat disayangkan hadits tersebut mursal. Silakan lihat pendapat yang dikatakan oleh mu'alliq (pengomentar) kitab Dâruquthnî r.a (3/257-258)

* Adapun pendapat yang berikatan dengan permaslahan pada bab ini, maka sebagian besar para ulama berpendapat, bahwa wanita yang sedang mengandung tidak akan haid. kesimpulan pendapat ini berdasarkan hadits Abu Sa'îd al-Khudri r.a yang telah disebutkan pada bab diatas. Yang mana pada hadits itu Rasulullah s.a.w berkata tentang tawanan Authâs: "wanita yang sedang mengandung tidak boleh dijima' sebelum ia melahirkan bayinya, begitupula wanita yang tidak hamil sebelum ia melewati satu kali masa haid". Hadits ini sangat layak diandalkan sebagai dalil dengan mengumpulkan semua sanad yang meriwayatkannya.

Ulama yang tergolong pengikut pendapat diatas mengatakan: sesungguhnya yang menjadi standar untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita tidak berisi adalah dengan haidnya wanita tersebut. jadi seandainya wanita yang mengandung juga dapat haid maka standar yang telah ditentukan diatas menjadi tidak berlaku, sebab wanita hamil tidak boleh dijima sebelum ia melahirkan kandungannya, sekalipun ia telah beberapa kali melewati –seandainya ini benar- masa haid. padalah standar bagi wanita yang tidak tidak hamil adalah dengan membiarkannya melewati satu kali haid, setelah itu maka terbuktilah bahwa rahimnya kosong.

Pendapat diatas juga disimpulkan berdasarkan hadits –mauquf - yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a; "bahwasanya wanita yang sedang bunting tidak akan haid. Maka apabila ia melihat darah, hendakla ia mandi kemudian shalat". Hadits ini telah diriwayatkan oleh ad-Dârimî r.a dari dua sanad; dari 'Athâ' dari Aisyah. Dana al-Atsram telah meriwayatkan dari Ahmad r.a, bahwasanya riwayat 'Athâ' ibn Abi Rabah dari Aisyah tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Namun ia telah menegaskan bahwa ia telah mendengarnya langsung.

* Adapun ulama yang mengatakan bahwa wanita yang hamil terkadang juga bisa haid, diantaranya: Imam Syafi'I r.a. Ini dapat dilihat dari perkataan Beliau yang telah dinukil oleh al-Khattabi r.a –sebagaiaman yang disebutkan dalam kitab at-Ta'lîq 'ala Sunan Abi Dâud-: sesungguhnya wanita yang hamil juga dapat haid. dan apabila ia melihat darah yang biasa keluar disaat sedang haid, maka ia diharuskan meninggalkan shalat. Dan haid yang dijadiakan tanda sebagai bukti bahwa kandungan perempuan  masih kosong hanyalah sekedar ciri luar saja. Dengan kata lain: apabila ada tanda yang lebih kuat lagi seperti hamil, maka tanda itulah yang harus dijadikan standar. Oleh sebab itu wanita yang hamil tidak boleh dijima' sebelum ia melahirkan kandungannya. Akan tetapi sekalipun wanita yang hamil juga dapat haid, 'iddahnya, tetap menunggu sampai ia melahirkan. Pendapat ini juga mengatakan; adanya darah haid tidak menjadi penghalang untuk menghitung 'iddah wanita sampai ia melahirkan bayinya. Sebagaimana halnya kehamilan tidak menjadi penghalang orang yang ditinggalkan mati oleh suaminya untuk ber'iddah dengan empat bulan sepuluh hari.

Menurut pedapat saya: setelah memperhatikan dengan seksama dalil-dalil yang disebutkan diatas, maka dalil yang paling mendekati dengan kebenaran adalah dalil pendapat yang mengatakan, bahwa wanita yang hamil tidak mungkin haid, dengan demikian maka realita ini harus dijadikan standar pijakan dengan menentukan hukum yang berkaitan dengan kehamilan. Akan tetapi –tidak dapat dipungkiri- terkadang ada juga keganjilan yang terjadi diluar dari kebiaan, yaitu wanita yang sedang hamil datang bulan. Maka untuk menentukan hukumnya, kita harus memperhatikan kepada darah yang keluar tersebut. Apabila darah tersebut sama persis dengan darah yang keluar dimasa haid, dari segi warna, bau, dan tabi'atnya, Dan seandainya darah tersebut keluarnya dimasa haid (ketika wanita tersebut tidak hamil), maka ia dianggap darah haid, dan wanita yang hamil itupun dapat dikatakan sedang haid. Dengan demikian berlakukah pada nya hukum-hukum wanita yang sedang haid, misalnya ia diwajibkan meninggalkan shalat, puasa dan  tidak boleh dijima' oleh suami atau tuannya.

Akan tetapi yang harus digaris bawahi bahwa haid ini –bagi wanita yang hamil- tidak boleh dijadikan standar untuk menghitung masa 'iddah, baik 'iddah wanita hamil yang dicerai oleh suaminya, atau wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Karena Allah s.w.t telah berfirman: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya". (Q.S. at-Thalâq: 4)

Dan semua yang baru disebutkan diatas tidak mempengaruhi atau mengurangi fungsi sebuah kaedah umum fiqih yang telah ditetapkan diatas, yaitu: sesungguhnya wanita yang hamil tidak akan haid. Sebab yang menjadi standar penilaian adalah sesuatu yang banyak dan sering terjadi.

Adapun apabila darah yang keluar –dari wanita yang mengandung- tersebut memiliki warna yang berbeda dengan darah yang keluar disaat sedang haid, bau dan  tabi'at nya pun tidak sama, serta waktunya pun bukan pada tanggal biasanya ia datang haid, maka darah tersebut, dianggap bukan darah haid, dan darah itupun tidak mewajibkan hukum  fiqih selain hanya diwajibkan membersihkannya ketika hendak melakukan shalat.

Dibawah ini sebagian perkataan ulama tentang masalah bab diatas.
·         Abu Muhammad ibn Hazm r.a berkata (al-Muhalla 2/190):
Setiap darah yang dilihat oleh wanita yang sedang hamil –selama ia belum melahirkan kandungannya- maka darah tersebut tidak termasuk darah haid atau nifas, wanita itupun tidak dilarang mengerjakan shalat, puasa atau bersetubuh dengan suaminya. Dan sesungguhnya telah kami sebutkan dalil yang menguatkan bahwa darah tersebut bukanlah darah haid ataupun nifas. Sebab wanita yang sedang hamil tidak akan mengelurakan darah nifas maupun darah haid. Dan tidak ada pula ijma' ulama yang mengatakan bahwa darah tersebut adalah darah haid atas nifas. Oleh sebab itu maka kewajiban yang telah ada pada nya tidak menjadi gugur, seperti shalat, puasa dan kebolehan berjima' dengan suaminya. Kecuali dengan nash yang shahih, tidak cukup hanya dengan dugaan-dugaan bohong.

·         Imam al-Kharqî r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya (Mukhtashar al-Kharqî dan al-Mughni 1/361):
Wanita yang sedang hamil tidak akan haid kecuali darah tersebut yang keluar dua atau tiga hari sebelum ia melahirkan, dan darah tersebut digolongkan sebagaia darah nifas.

Dalam Syarahnya Ibnu Qudâmah mengatakan: Pendapat Abu Abdillah r.a mengatakan bahwa wanita yang hamil tidak akan haid, adapun darah yang ia lihat, darah tersebut adalah darah penyakit. Dan ini adalah pendapat Jumhur tabi'in, seperti: Sa'îd ibn al-Musayyab r.a, 'Athâ' r.a, Hasan r.a, Jabir ibn Zaid r.a, 'Ikrimah r.a, Muhammad ibn Mukandar r.a, as-Sya'bî r.a, Makhûl r.a, Hammâd r.a, Tsauri r.a, Auzâ'î r.a, Abu Hanifah r.a, Ibnu Mundzir r.a, Abu 'Ubaid r.a dan Abu Tsaur r.a. Pendapat ini juga telah diriwayatkan dari Aisyah r.a. Namun riwayat yang shahih dari Aisyah r.a mengatakan bahwa;  wanita yang hamil apabila melihat darah, maka ia diwajibkan meninggalkan shalat.

Imam Mâlik r.a, Imam Syafi'I r.a dan Imam Laits r.a mengatakan: apabila darah yang dilihat oleh wanita yang sedang hamil dapat diperkirakan sebagai darah haid, maka berlakukan terhadap wanita tersebut hukum-hukum wanita yang sedang haid. pendapat ini juga diriwayatkan dari Zuhri r.a, Qatâdah r.a, dan Ishâq r.a. Sebab ia adalah darah yang keluar sesuai dengan kebiasaan wanita tersebut ketika belum mengandung. Maka darah tersebut dianggap sebagai darah haid.

Dan dalil kami –bahwa wanita hamil tidak akan haid- adalah sabda Rasulullah s.a.w: "wanita yang  sedang hamil tidak boleh dijima' sebelum ia melahirkan kandungannya, begitupula wanita yang tidak hamil, ia tidak boleh dijima' sebelum terbukti bahwa rahimnya kosong dengan melewati satu kali masa haid". Pada hadits ini Rasulullah s.a.w menjadikan haid sebagai ciri yang menunjukan bahwa rahim seorang wanita masih kosong. Maka ini menunjukan bahwa kehamilan tidak akan bersatu dengan darah haid.

Diantara dalil yang menguatkan bahwa wanita hamil tidak akan haid adalah hadits Sâlim yang diriwayatkan dari ayahnya (Ibnu Umar); bahwa ia pernah mentalak istrinya yang sedang haid. maka Umar ibn Khattab bertanya kepada Rasulullah s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w berkata: "suruh Abdullah agar ia merujuk kembali istrinya, kemudian silakan dia mentalaknya dalam keadaan suci atau hamil". Pada hadits ini Rasulullah s.a.w menjadikan kehamilan sebagai tanda bahwa wanita tersebut tidak haid, sebagaimana Beliau menjadikan suci sebagai tanda kehamilan. Dan karena kehamilan adalah masa yang biasanya tidak mungkin haid datang pada saat itu. Oleh sebab itu maka darah yang keluar tidak dianggap sebagai darah haid.

Imam Ahmad r.a mengatakan: salah satu ciri bahwa wanita sedang mengandung adalah apabila ia tidak datang bulan lagi. Adapun perkataan Aisyah r.a diatas maka yang dimaksud adalah kehamilan yang menjelang tiba saat melahirkan, dan darah itupun dinamankan darah nifas yang juga mewajibkan terhadap wanita tersebut untuk meninggalkan shalat, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ishâq.

Al-Hasan berkata: apabila wanita yang melahirkan melihat darah pada bayi yang ia lahirkan, maka wanita tersebut wajib meninggalkan shalat. Ya'qub ibn Bakhtân berkata: aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad r.a tentang perempuan yang mengeluarkan darah sehari atau dua hari menjelang melahirkan, apakah wanita tersebut diwajibkan mengulangi shalat yang ditinggalkan pada waktu itu? Beliau menjawab: "tidak".

Ibrahim an-Nukha'î berkata: apabila wanita yang hampir melahirkan melihat darah –beliau berkata-; ia adalah darah haid. Dan ini adalah pendapat Ulama Madinah, dan Imam Syafi'I r.a. Namun 'Athâ' berkata: wanita tersebut tetap dibolehkan shalat, sedangkan darah yang keluar tidak dianggap darah haid maupun nifas.

Ibnu Qudâmah r.a mengatakan: alasan kami adalah; karena darah itu keluar disebabkan melahirkan, maka ia adalah darah nifas, sama halnya dengan darah yang keluar setelah melahirkan, yakni dinamakan darah nifas. Darah tersebut dapat dikenal sebagai darah nifas apabila keluarnya menjelang bersalin, dan hal ini dapat lihat melalui tanda-tanda, seperti wanita hamil tesebut merasa kesakitan atau tanda lainnya. Adapun jika darah tersebut keluar tanpa terlihat tanda-tanda bahwa wanita tersebut akan melahirkan, maka kewajiban ibadah tidak boleh ditinggalkan. Sebab pada zahirnya darah tersebut hanyalah darah penyakit. Akan tetapi jika terbukti bahwa darah tersebut keluar sehari atau dua hari menjelang bersalin. Maka shalat, atau puasa –jika dia melakukannya disaat darah tersebut keluar- wajib diulangi dilain hari. Dan apabila –ketika keluar darah- terlihat tanda-tanda akan melahirkan, dan wanita tersebut –dengan anggapan bahwa darah itu adalah darah nifas- telah meninggalkan shalat dan puasa. Ternyata terbukti bahwa masa bersalin masih lama. Maka wanita itu diwajibkan mengqadha kewajiban ibadah yang telah ia tinggalkan. Sebab ia telah meninggalkannya tanpa berdasarkan haid atau nifas.

·         Untuk lebih lengkap lagi menggali perkataan dan pendapat ulama tentang permasalahan ini,
 silakan merujuk kepada kitab al-Majmû' Syarh al-Muhazzab karya Imam Nawawi r.a (384-385), dan lihat: al-Mushannaf, karya Abdu ar-Razzâq r.a (1/316) dan Sunan ad-Dârimî r.a (1/235-237)

*. Imam ad-Dârimî r.a dengan sanadnya yang shahih telah meriwayatkan dari 'Ikrimah tentang firman Allah s.w.t: "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya". (Q.S. ar-Ra'd: 8), Beliau berkata: itulah wanita hamil yang haid. Setiap haid yang datang kepada wanita hamil. maka haid tersebut akan menambah kesucian kehamilan tersebut.

Pada riwayat lain –yang disebutkan oleh ad-Dârimî r.a- dari 'Ikrimah juga: firman Allah s.w.t: "dan kandungan rahim yang kurang sempurna", beliau berkata: setiap hari melewati masa haid, dapat menambah kesucian bagi kehamilannya, sampai genap kesucian tersebut selama sembilan bulan.

* Imam ad-Dârimî r.a telah meriwayatkan dari 'Ubaidullah ibn Musa, dari Utsman ibn Aswad, ia berkata: aku telah bertanya kepada Mujâhid tentang salah seorang istriku yang melihat darah, padahal setahu ku dia sedang hamil. Mujâhid berkata: itulah kandungan yang belum sempurna. Firman Allah s.w.t : "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah." (Q.S. ar-Ra'd: 8) setiap sesuatu yang berkurang, maka kehamilan pun semakin bertambah –sekedar sesuatu yang berkurang tersebut- sempurna.
(Sanadnya Shahih sampai kepada Mujâhid)

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "APAKAH WANITA HAMIL JUGA HAID?"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...