Monday, July 05, 2010

0 APAKAH WANITA YANG TELAH SUCI SEBELUM TIMBUL FAJAR, DIWAJIBKAN PUASA SEKALIPUN IA BELUM MANDI DARI HAID?


* Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a (Fathu al-Bârî 1/192) telah menukil perbedaan antara kewajiban puasa dan kewajiban shalat terhadap wanita yang haid, yaitu: apabila wanita yang haid meyakini telah suci (masa haidnya telah habis) sebelum timbul fajar, kemudian ia berniat melakukan puasa –disiang harinya-, maka menurut perndapat jumhur ulama, puasanya sah sekaipun ia –sampai masuk waktu subuh- belum mandi. Hal ini berbeda dengan kewajiban shalat.


APABILA WANITA YANG SEDANG HAID MENDENGAR AYAT SAJADAH[1], APAKAH IA JUGA DIANJURKAN UNTUK SUJUD?

Apabila wanita yang sedang haid mendengar orang membaca ayat sajadah (ayat al-Qur'an yang disunnahkan sujud bagi orang yang membaca atau mengdengarnya), maka kami tidak menemukan dalil yang melarangnnya untuk sujud. Bahkan ia dibolehkan sujud. Sebab wudhu bukanlah menjadi syarat untuk melakukan sujud tilawah. Dan sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah membaca Surah an-Najm, kemudian Beliau beserta kaum muslimin, dan orang-orang musyrik. (penterjemah: kemungkinan kalimat "dan orang-orang musyrik", disebutkan berdasarkan kekeliruan dari penulis atau penerbit. Namun karena kalimat tersebut memang terdapat didalam buku , maka penterjemah tetap menyebutkannya) Bahkan jin dan Manusia[2] turut sujud bersamanya. Dan sangat keliru orang mengatakan bahwa mereka semua dalam keadaan berwudhu.

Pendapat seumpama telah dikatakan oleh Zuhri dan Qatâdah, keduanya berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Mushannaf, karya Abdu ar-Razzâq r.a (1/321): wanita haid dibolehkan melakukan sujud tilawah.


WANITA HAID YANG SUCI SEBELUM TENGGELAM MATAHARI

* Diriwayatkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a dalam kitab Mushannafnya (1292) :
Ibnu Juraij, ia berkata: aku bertanya kepada 'Athâ' r.a: perempuan yang dipagi hari dalam keadaan haid, kemudian sesaat sebelum terbenam matahari ia telah suci, apakah ia harus menyempurnakannya? Beliau menjawab: tidak, wanita tersebut hanya diwajibkan mengqadha dilain hari.
(Shahih kepada 'Athâ')

Abdu ar-Razzâq r.a juga meriwayatkan (1297):
Ibnu Juraij, ia berkata: aku bertanya kepada 'Athâ' r.a bagaimanakah hukumnya seorang wanita yang dipagi hari masih dalam keadaan haid. setelah itu ia tidak melihat darah yang keluar? Beliau menjawab: ia harus menggantinya (mengqadha). Aku bertanya lagi: lalu bagaimana dengan seorang wanita yang datang haid menjelang tenggelam matahari, apakah ia diwajibkan menyempurnakan puasanya? Beliau menjawab: tidak, sebab ia telah haid, maka ia harus mengqadhanya dilain hari.
(Shahih kepada 'Athâ')


APABILA SEORANG WANITA DATANG HAID MENJELANG WAKTU ASHAR, SEMENTARA IA BELUM MELAKSANAKAN SHALAT DZUHUR, MAKA NENURUT PENDAPAT YANG SHAHIH DARI ULAMA, BAHWA WANITA TERSEBUT TIDAK DIWAJIBKAN MENGULANG SHALAT DZUHUR TERSEBUT, APABILA IA TELAH SUCI.

* Dalilnya adalah; bahwa para wanita dimasa Rasulullah s.a.w, setiap saat mereka datang haid. dan tidak ada satu hadispun yang menegaskan bahwasanya Rasulullah s.a.w menyuruh salah satu diatantara mereka setelah ia suci untuk mengqadha shalat yang tidak sempat ia lakukan sebelum datangnya haid.

Pendapat inilah yang dikatakan oleh sejumlah para ulama.

* Dalam kitabnya al-Muhallâ (2/175) Ibnu Hazm r.a berkata:
Masalah: apabila wanita telah haid diawal atau diakhir waktu shalat, sedangkan ia belum sempat melaksanakan shalat untuk waktu itu, maka kewajiban shalat tersebut telah dihapuskan darinya, dan iapun tidak diwajibkan mengqadhanya setelah suci nanti. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah r.a, Auzâ'î r.a dan ulama dari mazhab Zahiri. Pendapat ini juga dikatakan oleh Muhammad ibn Sîrîn r.a, dan Hammâd ibn Abi Sulaiman r.a.

Pendapat kedua –sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim an-Nukha'î r.a, Sya'bî r.a, Qatâdah r.a dan Ishâq r.a- mengatakan bahwa shalat yang tidak sempat dilakukan sebelum datangnya haid, wajib diqadha setelah bersuci.

Sedangkan menurut Imam Syafi'I r.a: jika wanita tersebut sempat –seandainya ia shalat- melakukannya sebelum datang masa haid. maka ia diwajibkan mengqadhanya setelah suci. Akan tetapi jika ia tidak sempat melakukannya –karena jarak waktu antara awal waktu dan datangnya masa haid sangat sempit- maka ia tidak diwajibkan mengqadhanya.

Ali ( Abu Muhammad ibn Hazm) r.a mengatakan: dalil pendapat kami adalah, bahwa Allah s.w.t telah menjadikan (mewajibkan) shalat pada waktu tertentu, maksudnya: kewajiban shalat masing-masing memiliki batas awal dan akhir. Dan telah shahih diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w, bahwa Beliau pernah melaksanakan shalat diawal dan diakhir waktu. Dan dengan shahih pula telah diriwayatkan bahwa orang yang menunda shalat sampai akhir waktu tidak dianggap berdosa, sebab Rasulullah s.a.w –termasuk orang yang pernah melakukan shalat diakhir waktu- tidak akan pernah berbuat dosa.

Dengan demikian maka wanita yang menunda shalat sampai akhir waktu tidak termasuk orang yang berdosa. Maka dapat disimpulkan bahwa waktu untuk mengerjakannya belum ditentukan, -maksudnya apakah ia harus dilakukan diawal, ditengah atau diakhir waktu-, dan iapun boleh menunda sampai dekat akhir waktu.

Dan apabila waktu untuk melaksanakan shalat tersebut tidak ditentukan –apakah diawal atau diakhir-, kemudian tiba-tiba datang masa haid, maka shalat yang tidak ditentukan waktunya tersebut terhapus dari kewajiban.

Kemudian, seandainya shalat diwajibkan diawal waktu, pastilah orang yang melaksanakannya setelah lewat sekedar pelaksaan shalat diawal waktu, telah dianggap mengqadha, dan fasik dengan sebab menundanya dari waktu yang telah ditentukan tersebut. Tentunya pendapat seperti ini tidak benar, dan tidak ada orang yang mengatakannya.

·                    Imam Baihaqî r.a talah membuat bab khusus -yang membahas permasalahan ini- dengan judul: wanita yang sempat bertemu dengan awal waktu shalat, kemudian ia pingsan atau datang haid (as-Sunan al-Kubrâ 1/388). Pada bab itu beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah s.a.w berkata: "terimalah apa yang aku wariskan kepada kalian, sebab sesungguhnya kebinasaan yang menimpa orang-orang sebelum kamu, hanya dikarenakan dengan sebab kebiasaan suka bertanya, lalu membuat pendapat yang berbeda dengan para Nabi yang diutus kepada mereka. Dan apabila aku telah melarang kalian dari suatu perbuatan maka jauhilah. Dan apabila aku memerintahkan untuk melakukan sesuatu maka laksanakanlah semampu kalian". Hadits ini disebutkan oleh Imam Baihaqî r.a, untuk mengatakan bahwa menurut pendapat beliau; shalat yang tidak sempat dilakukan terseubut tidak wajib diulang kembali.

·                    Setelah menyebutkan haidist diatas, Imam Baihaqî r.a menyebutkan juga perkataan ulama yang diriwayatkan dari  Abu al-Jauzâ r.a: bahwasanya Umar ibn Khattab r.a telah melarang kaum wanita menunda shalat isya sampai larut malam, karena khawatir datangnya haid secara tiba-tiba, sehingga akibatnya mereka tidak sempat melaksanakan shalat isya.

Menurut pendapat saya: Sanad yang menghubungkan pendapat ini kepada Umar ibn Khattab r.a sangat lemah. Sebab Abu al-Jauzâ r.a tidak pernah mendengar dari Umar ibn Khattab r.a.

·                    Imam Baihaqî r.a juga menyebutkan sebuah atsar (perkataan maupun perbuatan yang bukan dinisbatkan kepada Rasulullah s.a.w) yang diriwayatkan dari as-Sya'bî r.a, bahwa ia berkata: apabila seoarang wanita telah lalai dari kewajiban shalat, sehingga akibatnya ia tidak sempat melaksanakannya sebelum datangnya haid. maka wanita tersebut diwajibkan mengqadha shalat yang ketinggalan tersebut. ini adalah perkataan yang bersumber dari as-Sya'bî r.a. Akan tetapi dapat dipahami dari perkataan ini bahwa kewajiban menqhada berlaku apabila wanita tersebut dengan sengaja telah melalaikan kewajiban shalat.

Dan dapat dilihat dari sikap Imam Baihaqî r.a, bahwa beliau termasuk orang yang tidak mewajibkan –kepada wanita- mengulang atau mengqadha shalat yang tidak sempat ia lakukan sebelum datang masa haid. Hal ini dapat dilihat dengan jelas, ketika beliau mengawali perkataannya dengan menyebutkan hadits: "terimalah apa yang aku wariskan kepada kalian, sebab sesungguhnya kebinasaan yang menimpa orang-orang sebelum kamu, hanya dikarenakan dengan sebab kebiasaan suka bertanya, lalu membuat pendapat yang berbeda dengan para Nabi yang diutus kepada mereka. Dan apabila aku telah melarang kalian dari suatu perbuatan maka jauhilah. Dan apabila aku memerintahkan untuk melakukan sesuatu maka laksanakanlah semampu kalian"


APABILA WANITA TELAH SELESAI DARI MASA HAIDNYA, MENJELANG MASUK WAKTU –MISALNYA- SHALAT ASHAR. DAN MANAKALA IA SEDANG MANDI TIBA-TIBA MASUK WAKTU SHALAT ASHAR, MAKA IA HANYA DIWAJIBKAN MELAKSANAKAN SHALAT ASHAR SAJA.

Ini adalah pendapat yang benar, sekalipun ada sebagian ulama yang berpendapat lain. Sebab tidak ada hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w yang menyuruh kaum wanita dizamannya, untuk melakukan shalat yang tidak sempat mereka laksanakan.

Namun sebagian ulama –sebagaimana yang telah kami singgung diatas- ada yang berpendapat lain. Seperti pendapat yang disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a (al-Mushannaf 1281) yang diriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari 'Athâ', dan Ma'mar, dari Ibnu Thâus, dari ayahnya, keduanya mengatakan: apabila wanita haid telah suci sebelum timbul fajar, maka ia diwajibkan melaksanakan shalat maghrib dan isya sebelumnya.

Akan tetapi kami tidak menemukan satu dalilpun yang menguatkan pendapat ini. Jadi yang benar adalah –wallahu a'lam- pendapat yang telah kami sebutkan diatas, yaitu: wanita tersebut tidak diwajibkan melaksanakan shalat yang tidak sempat ia lakukan. Pendapat serupa telah dikatakan oleh Abu Muhammad ibn Hazm r.a dalam kitabnya al-Muhallâ (2/176), sebagaimana perkataan nya berikut ini:

Masalah: apabila wanita yang haid telah suci diakhir waktu shalat sekedar cukup mandi dan berwudhu saja, maka ia tidak diwajibkan melaksanakan atau mengqadha shalat yang diwajibkan pada waktu itu. Ini adalah pendapat Auzâ'î r.a dan ulama dari mazhab Zahiri.

Namun menurut Imam Syafi'I r.a dan Imam Ahmad r.a, keduanya berpendapat: bahwa wanita tersebut diwajibkan melaksanakan atau mengqadha shalat yang diwajibkan pada waktu itu.

Kemudian Ibnu Hazm berkata: Dalil kebenaran pendapat kami adalah: bahwa Allah s.w.t tidak membolehkan melaksanakan shalat kecuali dalam keadaan suci. Dan Ia telah memberikan batasan awal dan akhir waktu untuk mengerjakan shalat. Maka apabila seseorang (wanita yang haid) tidak sempat melakukan bersuci sedangkan waktu hanya tinggal sedikit, kami yakin bahwa ia tidak diwajibkan melaksanakan shalat tersebut. Sebab baginya tidak dibolehkan melaksanakan shalat dalam keadaan tidak suci.


[1] . Maksudnya adalah: ayat yang mengandung anjuran sujud kepada orang yang mendengarnya (penterjemah)
[2] . Diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a (4862) dari hadits Ibnu Abbas r.a.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "APAKAH WANITA YANG TELAH SUCI SEBELUM TIMBUL FAJAR, DIWAJIBKAN PUASA SEKALIPUN IA BELUM MANDI DARI HAID?"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...