Imam Bukhari r.a berkata (hadits 1951) :
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Maryam, dari Muhammad ibn Ja'far, ia berkata: diriwayatkan dari Zaid, dari 'Iyâdh, dari Abu Sa'îd r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w berkata: "Bukankah apabila wanita telah haid, mereka tidak shalat dan tidak berpuasa? Maka itulah kekurangan agama mereka".
(Hadits Shahih)
Hadits ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari r.a pada beberapa tempat dari kitab Shahihnya. Ia juga diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a (hadits 80), Imam Nasâ'î r.a dan Ibnu Mâjah r.a.
Imam Muslim r.a berkata (hadits 79):
Diriwayatkan dari Muhammad ibn Rumh ibn Muhajir al-Misri, dari Laits, dari Ibnu al-Had, dari Abdullah ibn Dinar, dari Abdullah ibn Umar r.a, dari Rasulullah s.a.w, bahwasanya Beliau berkata: "Wahai para kaum wanita, hendaklah kalian bersedekah dan memperbanyak mengucapkan istighfar. Karena sesungguhnya aku melihat bahwa dari kalianlah paling banyak penduduk neraka". Maka berdirilah seorang perempuan yang lebih pintar –diantara kami-, ia bertanya: "apakah yang telah kami lakukan wahai Rasulullah, sehingga dari kamilah penduduk terbanyak yang akan menempati neraka? Maka Rasulullah s.a.w menjawab: "kalian sering mengucapkan sumpah serapah dan durhaka terhadap suami, dan aku melihat bahwa sebagian besar kalian adalah orang-orang yang akal dan agamanya kurang". Wanita itupun berkata lagi: "wahai Rasululah! Apakah buktinya bahwa kami adalah orang-orang yang akal dan agamanya kurang? Rasulullah s.a.w menjawab: "kurangnya akal kalian, dapat dibuktikan dari kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian satu orang pria. inilah bukti kurangnya akal kalian. Dan dalam beberapa hari kalian tidak shalat dan juga tidak puasa dibulan Ramadan, maka inilah bukti kurangnya agama kalian".
(Hadits Shahih)
WANITA HAID TIDAK DIWAJIBKAN MENGQADHA SHALAT
Imam Bukhari r.a berkata (hadits 321) :
Diriwayatkan dari Musa ibn Ismail , ia berkata: diriwayatkan dari Himâm, ia berkata: diriwayatkan dari Qatâdah, ia berkata: diriwayatkan dari Mu'âzah bahwa ada seorang perempuan yang berkata kepada Aisyah r.a: apakah shalat yang kami lakukan disaat haid sah, apabila kami telah suci? Maka Aisyah r.a berkata: apakah kamu wanita yang berasal dari Harûriyah?[2] Kami haid bersama Rasulullah s.a.w, dan Beliau tidak menyuruh kami membayar shalat diwaktu haid. atau Aisyah r.a berkata: kami tidak melakukannya"
(Hadits Shahih)
WANITA HAID DIWAJIBKAN MENGQADHA PUASA
Imam Muslim r.a berkata (hal. 265, berdasarkan urutan yang disusun oleh Muhammad Fuad) :
Diriwayatkan dari 'Abd ibn Humaid, dari Abdu ar-Razzâq, dari Ma'mar, dari 'Âshim[3], dari Mu'âzah, ia berkata: aku telah bertanya kepada Aisyah r.a: kenapa wanita haid diwajibkan mengqadha puasa sedangkan ia tidak diwajibkan mengqadha shalat? Maka Aisyah r.a menjawab: apakah kamu wanita yang berasal dari Harûriyah? Aku menjawab: bukan, akan tetapi aku hanya sekedar bertanya? Aisyah r.a berkata: Dahulu setiap kali kami dalam keadaan haid, kami disuruh mengqadha puasa dan kami tidak disuruh mengqadha shalat.
(Hadits Shahih)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a (263)
[1] . Ijma' ulama mengatakan bahwa wanita yang sedang haid tidak dibolehkan melaksanakan shalat dan puasa. Sebagian ulama yang telah menukil ijma' ini adalah Imam Nawawi r.a dalam kitab a-Majmu' Syarhu al-Muhazzab (2/351), beliau mengatakan: ulama telah berijma' bahwa wanita yang sedang haid diharamkan melaksanakan shalat baik shalat wajib, maupun shalat sunnah. mereka juga meng ijma'kan bahwa selama wanita tersebut dalam keadaan haid maka shalat tidak diwajibkan terhadapnya, dan apabila ia telah suci, ia tidak diwajibkan mengqadha shalat yang tidak dilakukan selama masa haid.
Abu Ja'far ibn Jarîr r.a –dalam kitabnya Ikhtilâf al-Fuqahâ'- mengatakan: ijma' ulama mengatakan bahwa diwajibkan terhadap wanita yang sedang haid untuk menjauhi shalat, thawaf dan seluruh bentuk puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. dan apabila wanita tersebut tetap melakukan shalat, thawaf atau puasa maka semua yang ia lakukan hukumnya tidak sah.
· Imam Nawawi r.a berkata (Syarh Shahih Muslim 1/637): Umat Islam telah ijma' bahwa wanita yang sedang haid dan nifas tidak diwajibkan terhadap mereka puasa dan shalat, ketika masih dalam masa haid atau nifas.
· Imam Bukhari ra telah menyusun bab khusus –dalam kitab Shahihnya: tentang wanita yang haid wajib meninggalkan puasa dan shalat (Shahih Muslim dan Fathu al-Bârî 1/191). Disana juga disebutkan perkataan Abu Zannâd (pengomentar): sesungguhnya Banyak sekali Sunah-sunah Rasulullah s.a.w dan kebenaran yang datang (disyari'atkan Allah s.w.t) tidak dapat dicerna oleh akan. Dan umat Islam dituntut untuk patuh dan tunduk kepadanya. Diantara sunnah tersebut adalah: wanita yang haid diwajibkan mengqadha puasa dan tidak diwajibkan mengqadha shalat.
· Ibnu Hazm r.a juga telah menukilkan: Seluruh umat Islam terlah ber ijma' bahwa diharamkan shalat, puasa, thawaf, menjima' pada lubang vagina diwaktu wanita sedang haid. lalu Beliau berkata: hal ini telah menjadi ijma' ulama yang tidak diragukan lagi, dan tidak ada satupun umat Islam yang berpendapat lain. Namun ada sebagian kelompok yang disebut dengan al-Azâriqah, mereka menentang ijma' tersebut, dan mereka sebenarnya tidak pantas dikatakan sebagai umat Islam.
· Imam Qurthubi r.a juga telah menafikan adanya perbedaan tentang kewajiban bagi wanita yang sedang haid untuk meninggalkan shalat dan puasa.
[2] . Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata (Fathu al-Bârî 1/422): al-Harûrî adalah sebuah panggilan yang dinisbatkan kepada Harûrâ', sebuah perkampungan yang terletak dua mil dari Kufah. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa harûrî adalah panggilan terhadap orang yang meyakini mazhab Khawârij. Sebab orang pertama yang membelot dari pemerintahan Ali ibn Abu Thalib r.a adalah kelompok yang berasal dari kampung itu. Maka merekapun dikenal dengan orang-orang hawâri. Pengikut aliran ini sangat banyak. Dan diantara dalil dasar yang menjadi keyakinan mereka adalah; bahwa mereka hanya diwajibkan mengikuti perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan al-Qur'an saja, tanpa tunduk sedikitpun terhadap hadits Rasulullah s.a.w. Oleh sebab itu Aisyah r.a mengerti bahwa pertanyaan yang yang dilontarkan oleh Muâ'zah adalah pertanyaan yang bersifat protes.
Aku menambahkan: Sebagian kelompok Khawârij ini mewajibkan terhadap wanita yang haid, untuk mengqadha shalatnya.
Alangkah baiknya –disini- kita akan menukil perkataan indah dari Syaikh Ahmad Syakir r.a, sebagai lampiran terhadap hadits diatas. Beliau berkata: (at-Ta'liq 'ala Sunan at-Turmudzî 11/235): ketentuan tentang diwajibkan bagi wanita untuk mengqadha shalat atau ia tidak diwajibkan, adalah masalah ta'bbud (tidak dapat difahami dengan akal semata), yang tidak tergantung kepada pengenalan terhadap hikmah dari ketentuan tersebut. Dan seandainya hikmah tersebut tidak dapat kita ketahui, maka kita hanya dituntut untuk tunduk dan patuh dengan ketentuan tersebut.
Begitupula dengan perkara-perkara agama lainnya, tidak seperti yang dilakukan olah Khawârij, atau sebagaimana yang sikap yang ditunjukan oleh banyak orang dizaman sekarang ini. Dalam segala hal urusan agama, mereka selalu ingin mengkultuskan akal manusia. Maka apa yang dapat dicerna oleh akal, mereka terima. Dan yang tidak dapat dicerna oleh akal, mereka menolaknya. Pemikiran seperti ini telah menjamur, terutama di kalangan para pelajar, sehingga hampir sebagian besar mereka telah meninggalkan ritual keagamaan, dan mengingkari sebagian besar hukum-hukum yang berkaitan dengan mu'amalah, hanya sekedar mengikuti hawa nafsu belaka.
Ironisnya lagi, mereka meyakini bahwa itulah yang dinamakan ruh syari'at, atau hikmah dari penetapan hukum. Dan sangat dikhawatirkan terhadap mereka yang mengikuti pemikiran seperti ini, akan terjerumus, keluar dari lingkaran ajarang Islam sesungguhnya, dari terang menuju kegelapan, kekufuran, dan kemurtadan. Semoga Allah s.w.t melindungi dan menjaga kita dari kekeliruan tersebut, dengan selalu mengikut kepada ajaran al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah s.a.w.
· Adapun hukum tentang permasalahan diatas, maka lebih dari satu ulama telah menukil ijma' yang mengatakan bahwa wanita haid tidak diwajibkan mengqadha shalat.
· Ijma' ini juga telah dinukil oleh Imam Nawawi r.a–sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmu' Syarh al-Muhazzab (1/637).
· Bahkan Imam Bukhari r.a dalam kitab Shahihnya telah menjadikan bab khusus yang diberi judul: Wanita haid tidak diwajibkan mengqadha shalat. Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata –uraian terhadap bab tersebut-: Ibnu Mundzir dan ulama lainnya telah menukil ijma' yang mengatakan bahwa wanita haid tidak diwajibkan mengqadha shalat. Dan diriwayatkan oleh Abdu ar-Razzâq dari Ma'mar, bahwa beliau pernah bertanya kepada Zuhri tentang hal tersebut. Maka Zuhri menjawab: Ulama telah sepakat mengatakannya.
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abdi al-Barr dari sekelompok Khawârij bahwa mereka telah mewajibkan wanita yang haid untuk mengqadha shalat yang ketinggalan selama masa haid. Diriwayatkan lagi dari Samrah ibn Jundub, bahwa dulunya beliau menyuruh wanita yang meninggalkan shalat diwaktu haid untuk mengqadhanya setelah mereka suci. Maka Ummu Salâmah pun mengingkari perintah tersebut.
Mesekipun masih ada segelintir orang yang mewajibkan wanita haid untuk mengqadha shalatnya. Namun Ijma' yang telah ditetapkan menegaskan bahwa wanita yang haid tidak diwajibkan mengqadha shalat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Zurhri dan ulama-ulama lainnya.
· Abdu ar-Razzâq r.a meriwayatkan –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mushannaf (1/331): dari Ibnu Juraij dari 'Athâ': aku bertanya kepadanya: "apakah wanita haid diwajibkan mengqadha shalat? Beliau menjawab: tidak, hal itu adalah bid'ah.
(Sanadnya shahih kepada 'Athâ')
[3] . Dia adalah: al-Ahwal berasal dari Basrah. Hadits yang diriwayatkan oleh Ma'mar dari orang-orang Basrah, telah dianggap oleh ulama hadits sebagai riwayat yang lemah. Namun hadits ini telah diperkuat oleh hadits-hadits lainnya, seperti hadits yang telah kita sebutkan sebelumnya.
· Imam Nawawi r.a telah menukil –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmu' Syarh al-Muhazzab (2/351) dan kitabnya Syarh Shahih Muslim (1/637)- ijma' ulama yang mengatakan bahwa wanita haid diwajibkan mengqadha puasa.
· Dalam kitabnya al-Muhalla (2/175) Ibnu Hazm r.a mengatakan: Wanita diwajibkan mengqadha puasa yang ia tinggalkan selama masa haidnya. Ini adalah nash yang telah disepakati ulama, dan tidak ada satupun orang yang berpendapat lain.
· Diriwayatkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a (al-Mushannaf 1/332) dari Ma'mar dari Zuhri, ia berkata: wanita haid diwajibkan mengqadha puasa. Maka aku bertanya: dari manakah pendapat tersebut? Beliau berkata: ini adalah pendapat yang telah disepakati oleh seluruh ulama. Namun sangat disayangkan saya tidak menemukan sanad.
· Syaik al-Islam Ibnu Taimiyah r.a pernah ditanyakan –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa (21/296-297)- tentang seorang wanita yang dikatakan kepadanya: apabila kamu dalam keadaan haid, nifas, atau berhadast besar, maka apabila kamu berwudhu, jangan lupa membasuh bagian dalam lubang vagina! Apakah hal tersebut harus dilakukan?
Beliau menjawab: Segala puji bagi Allah s.w.t, Apabila wanita tersebut telah mandi dari hadast besar atau haid dan nifas, maka menurut pendapat yang lebih shahih, tidak tidak perlu lagi membasuh bagian dalam lobang vagina. Wallahu a'lam
Beliau juga ditanya tentang dua orang wanita yang saling berbeda pendapat: salah satunya berkata: diwajibkan terhadap perempuan untuk memasukan jarinya kedalam lubang vagina, kemudia ia membasuh bagian dalam lubang tersebut. Kemudian wanita yang satu nya lagi berkata: wanita tersebut hanya diwajibkan membasuh bagian luar vagina saja. Maka pendapat yang manakah yang lebih benar?
Beliau menjawab: pendapat yang shahih adalah: kedua hal tersebut tidak diwajibkan, akan tetapi ia dibolehkan melakukannya.
(penterjemah: kemungkinan terjadi kekeliruan dari penerbit menyebutkan fatwa yang dinukil dari Syaih al-Islam Ibnu Taimiyah diatas. Sebab fatwa tersebut tidak ada kaitannya dengan permasalahan bab ini)
comments
0 Responses to "WANITA YANG SEDANG HAID WAJIB MENINGGALKAN SHALAT DAN PUASA[1]"Speak Your Mind
Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!