Imam Bukhari berkata (hadits 864):
Diriwayatkan oleh Abu Yaman, dia berkata: Syu'aib meriwayatkan dari Zuhri, dia berkata: Urwah ibn Zubair meriwayatkan dari Aisyah r.a, dia berkata, Rasulullah s.a.w. memperlambat[1] sholat isya[2] sehingga Umar memanggilnya, "para wanita dan anak-anak[3] sudah tidur." Lalu Rasulullah s.a.w. keluar dan berkata, tidak menunggunya seorangpun selain kalian dari penduduk bumi. Dan ketika itu dia tidak melaksanakan shalat kecuali di Madinah dan mereka melaksanakan shalat isya pada waktu antara tenggelam lembayung hingga sepertiga pertama malam."
Hadits Sahih
Dan diriwayatkan oleh Muslim (2/282).
Imam Bukhari berkata (hadits 578):
Diriwayatkan oleh Yahya ibn Bakîr, dia berkata: diriwayatkan oleh Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab, dia berkata: diriwayatkan oleh Urwah ibn Zubair dari Aisyah r.a., dia berkata: "para wanita mu'min menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah s.a.w. berbelit tubuh[4] dengan pakaian tebal[5] kemudian kembali[6] ke rumah masing-masing setelah melaksanakan shalat, tak ada seseorang yang mengetahui mereka karena gelap pekat."
Hadits Sahih
Dan dia memiliki beberapa sanad riwayat dari Aisyah r.a.
Dikeluarkankan oleh Muslim halaman 446, Abu Daud (423), Turmudzi (hadits 153) halaman 289, Nasa`I dalam masalah shalat (Bab 49, Juz 1, Halaman 271), dan Ibnu Majah hadits (669).
Imam Bukhari berkata (hadits 868):
Diriwayatkan oleh Muhammad ibn Miskin, dia berkata: diriwayatkan oleh Basyar dari Auza'I dari Yahya ibn Abu Katsir dari Abdullah ibn Abu Qatadah al-Anshari dari ayahnya, berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda, "Saya sedang berdiri dalam shalat dan ingin memperpanjangnya, lalu saya mendengar suara tangis anak kecil sehingga saya mempersingkat shalat karena tidak senang saya akan memberatkan ibunya."[7]
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Abu Daud (789), Nasa'I (2/94-95), dan Ibnu Majah (991).
Imam Bukhari berkata (hadits 709):
Diriwayatkan oleh Ali ibn Abdullah, dia berkata: diriwayatkan oleh Yazid ibn Zura'I, dia berkata: diriwayatkan oleh Said, dia berkata: diriwayatkan oleh Qatadah bahwa Anas ibn Malik meriwayatkan kepadanya bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, "Saya sudah masuk dalam pelaksanaan shalat dan ingin memperpanjangnya lalu saya mendengar suara tangis anak kecil sehingga saya mempersingkat shalat karena saya tahu perasaan sedih (karena sayang) luar biasa ibunya karena tangisnya."[8]
Hadits Sahih
Dikeluarkan oleh Muslim (halaman 343, susunan Muhammad Fuad) dan Ibnu Majah, hadits (989).
Izin bagi Perempuan Keluar Menuju Masjid
A. Beberapa Hadits dalam Masalah ini
Imam Bukhari berkata (hadits nomor 5237):
Diriwayatkan oleh Ali ibn Abdullah dari Sufyan dari Zuhri dari Salim dari ayahnya dari Nabi s.a.w., "Apabila meminta izin perempuan salah seorang kalian[9]ke masjid, maka jangan ia melarangnya."
Hadits Sahih
Dikeluarkan oleh Muslim, hadits (442), dan Nasa'I (2/42).
Imam Muslim berkata (hadits 442 halaman 327):
Diriwayatkan oleh Muhammad ibn Abdullah ibn Numair dari Ubai dan Ibnu Idris, mereka berdua berkata: diriwayatkan oleh Ubaidillah dari Nafi' dan Ibnu Umar bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, "Jangan kalian larang hamba-hamba Allah yang perempuan dari masjid-masjid Allah."
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Bukhari (900).[10]
Imam Bukhari berkata (hadits nomor 899):
Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Muhammad dari Syababah dari Warqa` dari Amr ibn Dinar dari Mujahid dari Ibnu Umar dari Nabi s.a.w, beliau bersabda, "Izinkanlah para wanita pada malam hari ke masjid-masjid."[11]
Hadits Sahih
Dikeluarkan oleh Muslim halaman 327, Ahmad (2/127, 49, 98, 143, dan 145), Abu Daud hadits (568), Turmudzi hadits (570) dan dia berkata, ini hadits hasan lagi sahih.
B. Beberapa Pendapat Para Ulama dalam Masalah ini
· Imam Nawawi berkata (2/83, Syarah Muslim):
Sabda Nabi s.a.w. "Jangan kalian larang hamba-hamba Allah yang perempuan dari masjid-masjid Allah" ini dan beberapa hadits seumpamanya yang berkaitan dengan masalah bab ini jelas bahwa perempuan jangan dilarang ke masjid tetapi dengan beberapa syarat yang disebutkan oleh para ulama yang disimpulkan dari beberapa hadits, yaitu; tidak menggunakan wangi-wangian, tidak memakai perhiasan [bersolek], tidak mengenakan gelang-gelang yang kedengaran suaranya, tidak memakai pakaian mewah, tidak berbaur dengan para laki-laki, bukan seorang wanita remaja[12] dan seumpamanya yang berpotensi menimbulkan fitnah, dan tidak ada sesuatu yang dikuatirkan terjadi kerusakan dan seumpamanya di jalan. Dan larangan mencegah mereka unruk keluar ini hukumnya makruh tanzih apabila perempuan itu memiliki suami atau tuan dan terdapat syarat-syarat yang disebutkan. Dan apabila dia tidak mempunyai suami atau tuan, diharamkan melarang jika syarat-syarat tersebut terpenuhi.
· Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Majmû' (4/199):
Dan dijawab terhadap hadits "Jangan kalian larang hamba-hamba Allah yang perempuan dari masjid-masjid Allah" bahwa hukumnya adalah makruh tanzih karena hak suami agar dia tetap berada di rumah adalah wajib sehingga jangan sampai dia tinggalkan untuk mengejar amal keutamaan.
· al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 2/348):
Dalam hadits terkandung isyarat bahwa izin yang disebutkan itu bukan hukum wajib sebab kalau izin itu wajib tentu tidak ada maknanya permintaan izin, karena hal itu bisa terealisasi apabila orang yang diminta izin memiliki pilihan untuk memberikan izin atau menolak.
· Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata (al-Muhalla, 3/129):
Permasalahan: dan tidak dibolehkan bagi wali perempuan dan tuan perempuan budak mencegah mereka untuk menghadiri shalat berjamaah di masjid apabila dia tahu bahwa mereka ingin melaksanakan shalat. Dan tidak dibolehkan bagi mereka keluar rumah menggunakan wangi-wanigan dan pakaian-pakaian mewah. Apabila mereka melakukan hal itu, maka dipersilahkan bagi wali atau tuan untuk mencegahnya. Dan shalat mereka berjamaah lebih utama dari shalat mereka sendiri-sendiri.[13]
· al-Baihaqi menyebutkan dalam Sunannya (3/133) bahwa perintah untuk tidak melarang mereka adalah perintah sunat dan anjuran bukan perintah kefardhuaan dan kewajiban. Dia berkata, dan ini pendapat mayoritas umum para ulama.
Menurut saya, apabila tidak ada alasan yang melarang wanita keluar ke masjid maka wajib bagi suami memberikan izin baginya karena larangan Nabi s.a.w. mencegahnya. Wallahua'lam.
Pendapat Aisyah r.a. dan Pengarahannya
Imam Bukhari berkata (hadits 869):
Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Yusuf, dia berkata dari Malik dari Yahya ibn Said dari Umrah dari Aisyah r.a. ia berkata, "Seandainya Rasulullah s.a.w. menemukan perkara baru yang dilakukan oleh para wanita niscaya dia melarang mereka sebagaimana wanita-wanita Bani Israel dilarang." Lalu aku katakan kepada Umrah, "apakah mereka dilarang?"[14] Dia menjawab, "ya."
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Muslim (445).
Memperingatkan Orang yang Menentang Hadits Dengan Pendapat
Imam Muslim berkata (halaman 327):
Diriwayatkan oleh Harmalah ibn Yahya dari Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata dari Salim ibn Abdullah bahwa Abdullah ibn Umar berkata, saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, "Jangan kalian larang wanita kalian pergi ke masjid ketika mereka meminta izin kepada kalian ke sana." Dia berkata, lalu Bilal ibn Abdullah[15] berkata, "demi Allah, kami akan melarang mereka." dia berkata, sehingga Abdullah berpaling menghadapnya dan mencelanya dengan celaan yang keras tidak pernah sama sekali saya mendengar dia mencela seperti itu, dan berkata, "Aku beritahukan kepadamu dari Rasulullah s.a.w. dan kamu katakan demi Allah kami akan melarang mereka.!"
Hadits Sahih [1] (penjelasan kata), a'tama yaitu bermakna mengakhirkan dan memperlambat atau masuk waktu 'atamah yaitu sepertiga malam pertama setelah tenggelamnya lembayung seperti kata ahsbaha yang berarti masuk waktu subuh.
[2] (penjelasan kata), 'atamah yaitu shalat Isya.
[3] Para wanita dan anak-anak yang sedang berada di masjid sudah tidur.
Pada hadits ini menunjukkan keberadaan wanita di masjid dan mereka melaksanakan shalat di belakang laki-laki. Dan ini tidak wajib bagi mereka.
Abu Muhammad ibn Hazm (al-Muhalla, 4/196) berkata: dan adapun wanita, tidak ada perbedaan pendapat bahwa menghadiri shalat secara berjamaah bagi mereka tidak wajib. Dan dalam beberapa riwayat atsar yang sahih bahwa istri-istri Nabi s.a.w. tinggal dalam rumah mereka dan tidak keluar ke masjid.
[4] (penjelasan kata) talafû' yaitu berbelitkan atau berselimutkan, demikian dalam Lisân al-Arab.
[5] (penjelasan kata) Murûth; Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri berkata, murûth plural mirth dengan kasrah mîm adalah pakaian selendang terbuat dari sutera atau wol atau selainnya. Dikatakan, tidak dinamakan mîrth kecuali jika berwarna hijau dan tidak digunakan kecuali oleh para wanita. Ini tertolak dengan perkataannya, mîrth dari bulu hitam.
[6] (penjelasan kata) yakni pulang. Dalam hadits terkandung makna bahwa para wanita dengan segera meninggalkan masjid setelah shalat subuh.
[7] Dalam hadits terkandung makna hukum boleh bagi wanita melaksanakan shalat berjama'ah bersama laki-laki, dan kasih sayang Rasulullah s.a.w. terhadap umatnya dan khususnya kaum wanita.
[8] Dalam hadits terkandung kelembutan hati dan perasaan perempuan dari hati laki-laki.
[9] Terdapat pengkaitan dengan "pada malam hari" dalam salah satu riwayat Bukhari (865) dari Ubaidillah ibn Musa dari Hanzhalah dari Salim ibn Abdullah dari Ibnu Umar r.a. dari Nabi s.a.w. bersabda, "Apabila perempuan-perempuan kalian meminta izin ke masjid pada malam hari, maka izinkanlah mereka." Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa perawi dari Hanzhalah dan mereka tidak menyebutkan tambahan "pada malam hari" sehingga dari sisi ini, sanad riwayat ini hampir tidak tetap. Tetapi tambahan ini bersifat tetap pada sanad riwayat dari Mujahid dari Ibnu Umar r.a., hadits marfû' sebagaimana akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Allah.
[10] Redaksi Bukhari dari hadits Ibnu Umar r.a., dia berkata: Seorang perempuan [yaitu istri dia adalah Atikah binti Zaid; penterjemah] Umar menghadiri shalat subuh dan shalat isya berjamaah di masjid, lalu dikatakan kepadanya: "Kenapa kamu keluar padahal kamu tahu bahwa Umar tidak senang dengan hal itu dan cembru?" dia berkata: "Apa yang mencegahnya untuk melarangku?" dia menjawab: "Sabda Rasulullah s.a.w. melarangnya, "Jangan kalian larang hamba-hamba Allah yang perempuan dari masjid-masjid Allah."
[11] Pada riwayat Muslim (327) terdapat tambahan, Lalu seorang anak Abdullah Ibnu Umar berkata: "Jangan kita biarkan mereka keluar sehingga terjadi kerusakan (juga bermakna penipuan dan pengkhiatan). Dia berkata: sehingga Ibnu Umar menghardiknya dan berkata, "saya katakan: Rasulullah s.a.w. bersabda dan kamu mengatakan jangan kita biarkan mereka?!!!"
Adapun masalah pengkaitan dengan "pada malam hari" yang terdapat dalam hadits, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 2/383): "Dan perkataannya 'pada malam hari', mengisyaratkan bahwa mereka tidak melarang pada siang hari, karena malam hari sumber potensi kecemasan, dan karena itu anak Abdullah ibn Umar mengatakan, kita tidak mengizinkan mereka membuat kerusakan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam riwayat Muslim." Dan Karmani berkata, "kebiasaan Bukhari apabila menjelaskan sesuatu, dia menyebutkan apa yang berkaitan dan apa yang sesuai dengan kaitannya. Maka karena itu dia mengemukakan hadits Ibnu Umar ini dalam keterangannya, "Apakah bagi mereka yang tidak menghadiri shalat jum'at kewajiban mandi?" Dia berkata: "apabila dipertanyakan bahwa mafhum [konotasi] mengkaitkan dengan waktu malam adalah melarang pada waktu siang, sedangkan shalat jum'at dilaksanakan pada siang hari." Dia menjawab bahwa mafhum tersebut adalah mafhum muwafaqah [konotasi persesuaian], karena apabila dizinkan bagi mereka pada waktu malam—padahal waktu malam adalah sumber potensi kecemasan—maka izin pada siang hari terlebih utama lagi. Sebagian pengikut Hanafi membalik ini dan memberlakukan sesuai zhahir hadits. Menurut mereka, "mengkaitkan pada waktu malam hari karena orang-orang fasiq pada waktu itu sedang sibuk dengan kefasikan mereka, berbeda dengan waktu siang, mereka sedang menyebar. Dan ini walaupun mungkin, namun sumber kecemasan pada waktu malam lebih besar lagi, dan tidak semua mereka pada waktu malam mendapatkan apa yang membuat mereka sibuk. Sedangkan waktu siang, umumnya akan menampakkan perbuatan mereka dan menghalangi mereka mengganggu para wanita secara terang-terangan karena banyak orang-orang yang berkeliaran, dan kelihatan orang yang berada di tempat di mana dia melakukan apa yang tidak boleh baginya sehingga dia mengecamnya. Wallahua'lam.
Menurut saya, terdapat perintah memberikan izin kepada para wanita secara umum dalam sabda Nabi s.a.w: "Apabila wanita salah seorang kalian meminta izin ke masjid, maka janganlah ia melarangnya," dan dalam sabdanya, "Jangan kalian larang hamba-hamba Allah yang perempuan dari masjid-masjid Allah."
Dan terdapat perintah memberikan izin yang terkait dengan waktu malam, maka memberlakukan dua riwayat secara bersamaan lebih utama dengan makna bahwa apabila seorang wanita meminta izin pada waktu malam atau siang, harus diberikan izin baginya. Dan kapan saja resiko fitnah lebih kecil maka tuntutan untuk memberi izin lebih kuat. Wallahua'lam.
[12] Apa yang dikatakan oleh Nawawi perihal larangan terhadap wanita remaja perlu ditinjau kembali karena kami tidak menemukan suatu dalil tegas yang melarang wanita remaja atau membedakan antara wanita remaja dan wanita lainnya dalam masalah pergi ke masjid. Dan al-Hafizh Ibnu Hajar juga memberikan tinjauan terhadap pendapat Nawawi perihal wanita remaja yang dia kemukakan dalam Fathul Bâri (2/350), dan dia berkata: "kecuali apabila kekuatiran terhadapnya disimpulkan dari dirinya, karena dia apabila terlepas dari semua yang disebutkan [kekuatiran di jalan dan menimbulkan fitnah; penterjemah] dan menggunakan penutup, maka keamanan atas dirinya tercapai. Terlebih lagi jika itu pada waktu malam hari.
[13] Akan kami jelaskan lebih mendalam nanti dalam bab-bab shalat perempuan di rumahnya, insyaallah. Dan lebih utama sekarang yaitu memberikan perhatian dan peringatan pada bagian yang terakhir, yaitu perkataannya; "dan shalat mereka berjamaah.."
[14] Dalam riwayat Muslim, "Maka aku katakan kepada Umrah, apakah perempuan-perempuan bani Israel dilarang keluar ke masjid? Dia menjawab, ya." Adapun perkara baru yang dilakukan oleh wanita Bani Israel diantaranya adalah; menggunakan wangi-wangian, berhias, mempertontonkan kecantikan, berbaur dengan laki-laki, dan bentuk kerusakan-kerusakan yang lain.
Dan ini adalah pendapat Aisyah r.a. dalam masalah wanita keluar ke masjid-masjid dan ungkapannya mengandung makna bahwa dia berpendapat melarang hal itu. Dan pendapat ini ada sisi benarnya jikalau terdapat fitnah dan hal itu dikuatirkan terhadap kaum laki-laki dan wanita. Namun kami meninjau kembali dan mengatakan, kasus ini apabila fitnah itu benar-benar terjadi. Adapun untuk melarang mereka karena perbuatan mereka keluar ke masjid-masjid itu sendiri sebagai fitnah, ini pendapat yang lemah. Sesungguhnya Allah s.w.t. berfirman, "dan tidaklah Tuhanmu lupa." (QS. Maryam-[19]:64) dan firman Allah s.w.t., "Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab" (QS. Al-An’âm-[6]:38). Dan lebih tepat bagi kami dalam masalah ini untuk mengutip apa yang dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bâri, 2/350), beliau berkata, "…dan juga sesungguhnya Allah s.w.t. mengetahui perkara-perkara baru yang akan mereka lakukan dan tidak mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk melarang mereka. Dan seandainya perkara baru yang mereka perbuat menuntut pelarangan mereka ke masjid-masjid, tentu pelarangan terhadap mereka ke selain tempat itu seperti pasar-pasar menjadi lebih utama. Dan juga perkara baru tersebut hanya terjadi pada sebagian wanita bukan dari seluruh mereka, apabila pelarangan itu berlaku maka hanya untuk mereka yang melakukan perkara baru itu saja. Lebih utama untuk memandang apa yang dikuatirkan mengakibatkan terjadi kerusakan lalu dijauhi seperti isyarat Nabi s.a.w. terhadap hal-hal itu dengan melarang menggunakan wangi-wanigan dan perhiasan, dan demikian juga mengkaitkan dengan waktu malam sebagaimana telah lewat."
· Dan Abu Muhammad ibn Hazm berkata (al-Muhalla 3/134):
Adapun apa yang disampaikan oleh Aisyah, tidak ada hujjah padanya dari beberapa segi:
Pertama, bahwa Rasulullah s.a.w. tidak menemukan perkara baru yang mereka perbuat sehingga tidak melarang mereka [ke masjid]. Apabila dia tidak melarang mereka, maka melarang mereka adalah bid'ah dan kesalahan. Dan ini sebagaimana firman Allah s.w.t., "Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat." {(QS. Al-Ahzâb-[33]:30)} lalu mereka sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang nyata dan tidak dilipatgandakan siksaan kepada mereka, Alhamdulillah Rabbil Alamin. Dan seperti firman Allah s.w.t., "Jika seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." {(QS. Al-A’râf-[7]:96)} lalu mereka tidak beriman sehingga tidak dilimpahkan kepada mereka. Dan kami tidak mengetahui cara berargumen yang lebih lemah [dan konyol] dari argumen orang yang mengambil hujjah dari perkataan seseorang "seandainya seperti ini maka demikian" untuk menetapkan positif sesuatu yang bukan seperti ini seandainya terjadi maka demikian yang lain. [[Maksud ibn Hazm adalah persoalan positif negatif premis dan konklusi, yaitu apabila 1 maka A (positif) dan jika tidak 1 maka tidak A (negatif). Aneh menurut beliau kalau orang berargumen dengan hal itu untuk menetapkan jika 2 maka B (positif); penterjemah]].
Kedua, bahwa Allah s.w.t. mengetahui perkara baru yang dilakukan oleh kaum wanita dan siapa yang mengingkari ini sesungguhnya dia kafir. Dan Dia s.w.t. sama sekali tidak mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk melarang mereka karena perkara baru yang mereka lakukan itu. Dan juga sama sekali Dia s.w.t. tidak mewahyukan kepadanya, Sampaikan kepada para wanita, apabila para wanita melakukan perkara baru maka laranglah mereka ke masjid-masjid. Maka apabila Allah tidak melakukan hal tersebut, berpegang pada pendapat seperti ini cacat dan keliru.
Ketiga, bahwa kita tidak mengetahui apa perkara baru yang diperbuat oleh para wanita yang tidak mereka lakukan pada masa Rasulullah s.a.w. Dan tidak ada sesuatu yang lebih besar dalam perkara yang mereka lakukan dari perbuatan zina. Dan ini terjadi pasa masa Rasulullah s.a.w. dan beliau menghukum rajam dan mencambuknya, tetapi sama sekali tidak melarang wanita karena hal tersebut. Dan hukum haram perbuatan zina bagi laki-laki sama dengan hukum haramnya zina bagi wanita dan tidak ada perbedaan. Lalu apa yang menjadikan zina sebagai alasan untuk melarang mereka ke masjid? Dan tidak menjadikannya alasan untuk melarang laki-laki ke masjid?!! Itu adalah justifikasi yang sama sekali tidak diridhai Allah s.w.t. dan Rasul-Nya s.a.w.
Keempat, bahwa perkara baru itu pasti hanya diperbuat oleh sebagian wanita tidak yang lain. Termasuk tidak masuk akal melarang berbuat kebaikan bagi mereka yang tidak melakukan hanya karena sebagian yang melakukan, kecuali larangan tersebut terdapat nash dari Allah lewat Rasulullah s.a.w. sehingga harus didengarkan dan ditaati. Firman Allah s.w.t., "Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." {(QS. Al-An’âm-[6]:164)}.
Kelima, bahwa apabila melakukan perkara baru menjadi sebab untuk melarang mereka ke masjid maka tentunya lebih utama lagi menjadi sebab untuk melarang mereka ke pasar dan pada setiap jalan. Lalu kenapa orang-orang ini mengkhususkan pelarangan mereka ke masjid karena perkara baru yang mereka perbuat tanpa melarang mereka di semua jalan-jalan?! Bahkan Abu Hanifah sendiri membolehkan bagi mereka untuk melakukan perjalanan sendirian, berjalan di padang pasir dan tanah sahara terbuka dalam jarak 2 hari setengah dan tidak memakruhkan bagi mereka hal itu. Demikian semestinya melakukan penggabungan.
Keenam, bahwa Aisyah r.a. tidak berpendapat melarang mereka karena hal itu dan tidak mengatakan laranglah mereka karena perkara baru yang mereka perbuat, tetapi memberitahu bahwa Nabi s.a.w. seandainya masih hidup tentu akan melarang mereka. Dan ini nash pendapat kami, dan kami mengatakan, seandainya Nabi s.a.w. melarang mereka tentu kami melarang mereka. Dan apabila Dia tidak melarang mereka maka kami tidak melarang mereka. Maka pendapat yang mereka simpulkan tidak lain kecuali atas dasar yang bertentangan dengan sunnah-sunnah dan bertentangan dengan Aisyah r.a., dan atas dasar asumsi yang mereka sampaikan kepada orang yang mengikuti mereka bahwa Aisyah melarang para wanita keluar dengan perkataannya itu padahal dia tidak melakukannya. Kita berlindung kepada Allah dari penelantaran.
Catatan: al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri (2/350) menyebutkan sebuah hadits mauqûf (terhenti) pada Aisyah r.a. dan menisbatkannya kepada Abdur Razzaq, dan dia menyatakan sahih pada sanad dan lafazhnya. Aisyah berkata, "adalah para wanita Bani Israel membuat tumpuan kaki dari kayu untuk melihat-lihat para laki-laki di masjid sehingga Allah haramkan bagi mereka untuk ke masjid dan ditimpakan haid kepada mereka." [(footnone: sunah ini dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf (5114 juz 3/149) dari riwayat Ma'mar dari Hisyam ibn Urwah dari ayahnya dari Aisyah. Dan dalam sanadnya terdapat kelemahan (dhaif) karena dalam riwayat Ma'mar dari Hisyam ibn Urwah terdapat kekacauan sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh sendiri dalam al-Tahdzîb.)]
Al-Hafizh berkata: dan ini meskipun hadits mauqûf, tetapi derajatnya seperti derajat hadits marfu' karena tidak dikatakan dengan pendapat sendiri. Dan diriwayatkan oleh Abdur Razzaq semisal kandungannya dengan sanad yang sahih dari Ibnu Mas'ud. [(footnote: Adapun hadits Ibnu Mas'ud adalah hadits sahih, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (5115) dari Tsuari dari A'masy dari Ibrahim dari Abu Ma'mar dari Ibnu Mas'ud, dia berkata: para laki-laki dan wanita Bani Israel melaksanakan shalat bersama-sama. Dan wanita yang mempunyai kekasih menggunakan dua acuan agar bisa menjenguk kekasihnya sehingga ditimpakan haid kepada mereka. Karena itu Ibnu mas'ud berkata: akhirkanlah para wanita sebagaimana Allah akhirkan mereka. lalu kami tanyakan kepada Abu Bakar, apa itu dua acuan? Dia menjawab dua tumpuan dari kayu.)]
Syaikh (ibn Baz) memberikan kritikan—dalam komentarnya (ta'liq) terhadap Fathul Bâri—pada pernyataan al-Hafizh dengan mengatakan: "pendapat ini perlu tinjauan dan yang lebih dekat bahwa Aisyah menerima apa yang disebutkan tentang wanita-wanita bani Israel . Dan ungkapannya "ditimpakan haid kepada mereka" menunjukkan bantahan terhadap derajat marfu', karena haid terdapat pada masa Bani Israel dan sebelum Bani Israel, dan juga hadits sahih dari Nabi s.a.w. bahwa Dia berkata kepada Aisyah ketika haid pada haji wada', "Sesungguhnya ini adalah sesuatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah terhadap para wanita." Dan pembicaraan terhadap hadits Ibnu Mas'ud tersebut seperti pembicaraan terhadap hadits Aisyah. Wallahu A'lam.
Demikan perkataan Syaikh (ibn Baz) semoga Allah melindunginya. Pendapatnya perlu ditinjau kembali karena penggabungan bisa dilakukan (maksud saya, menggabungkan antara hadits "Sesungguhnya ini adalah sesuatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah terhadap para wanita" dan atsar Aisyah r.a. dan Ibnu Mas'ud r.a.) dengan dikatakan bahwa ungkapan Aisyah "ditimpakan haid kepada mereka" bukan maksudnya permulaan terjadi haid pada wanita tetapi lebih ditimpakan kepada mereka haid yang tidak seperti biasanya sebagaimana firman Allah tentang kaum Nabi Musa a.s., "Maka Kami kirimkan kepada mereka topan..." {(QS. Al-A’râf-[7]:133)} dan topan telah Allah kirimkan sebelumnya terhadap kaum Nuh a.s. Wallahu A'lam.
[15] Dia adalah Bilal ibn Abdullah ibn Umar.
comments
0 Responses to "BAB-BAB SHOLAT"Speak Your Mind
Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!