Monday, July 05, 2010

0 CARA MENGKAFANKAN MAYAT PEREMPUAN


Abu Daud r.a berkata (hadits 3157):
Diriwayatkan dari Ahmad ibn Hambal, dari Ya'qûb ibn Ibrahim, ia berkata: diriwayatkan dari ayahku, dari Ibnu Ishâk, dari Nûh ibn Hakîm at-Tsaqafî, dan beliau adalah orang yang telah membacakan al-Qur'an untuk seorang laki-laki dari Bani 'Urwah ibn Mas'ud yang bernama Daud –seorang anak yang telah dilahirkan oleh Ummu Habibah binti Abu Sufyan, istri Rasulullah s.a.w-: bahwa Laila binti Qâ'if at-Tsaqafiyah berkata: Aku adalah termasuk orang yang telah memandikan Ummu Kultsum binti Rasulullah s.a.w ketika ia wafat. Maka sesuatu yang pertama diberikan Rasulullah s.a.w kepada kami adalah hiqâ (kain penutup badan bagian pinggang), kemudian ad-dir'u (pakaian rumah wanita), lalu al-Khimâr (tutup kepala wanita), setelah itu baru Beliau menyerahkan al-milhafah (kain untuk menyelimuti), setelah semua kain tersebut dikenakan, lalu Ummu Kultsum dimasukan kedalam baju yang lain.

Laila berkata: sementara Rasulullah s.a.w hanya berdiri disamping pintu sambil memegang kain kafan dan menyerahkannya selembar demi selembar"
(Dha'îf)[1]

Imam Bukhari r.a berkata (hadits 1257) :
Diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Hammâd, dari Ibnu 'Aun, dari Muhammad, dari Ummu 'Athiyyah r.a, ia berkata: ketika putri Rasulullah s.a.w meninggal dunia, Rasulullah s.a.w berkata kepada kami: "mandikanlah dia tiga atau lima kali atau lebih banyak lagi jika kalian hal tersebut lebih baik. Dan apabila kalian telah memandikannya maka beritahukan kepada ku. Manakala kami selesai memandikannya, kamipun memberitahu Rasulullah s.a.w. Maka Rasulullah s.a.w melepaskan dari pinggangnya sarung yang beliau kenakan, dan berkata: "asy'irnihâ[2] (pakaikanlah) –sarung ini kepadanya"
(Shahih)

Hadits ini telah ditakhrîj pada bab-bab al-Ghuslu (mandi)


SEBAGIAN ÂTSÂR YANG MENYEBUTKAN TENTANG SIFAT KAFAN MAYAT PEREMPUAN

Abdu ar-Razzâq r.a meriwayatkan, sebagaiamana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mushannaf (6213) :
Dari Ibnu Juraij, beliau berkata: aku bertanya kepada 'Athâ': Berapa lembarkan kain kafan untuk perempuan yang meninggal dunia? Beliau menjawab: tiga lembar baju, dan satu lembar untuk membungkusnya. Aku bertanya lagi: apakah tidak perlu kain penutup kepala? Beliau menjawab: tidak, akan tetapi kain-kain tersebut dikumpulkan dengan mengikatnya, sesungguhnya cara pengkafanan wanita sama dengan pengkafanan pria"
(Shahih sampai kepada 'Athâ')

Abdu ar-Razzâq r.a juga meriwayatkan (6216) :
Dari at-Tsaurî, dari Manshûr, dari Ibrahim, ia berkata: wanita dikafankan dengan lima lembar pakaian; baju rumah (yang sering dipakai dirumah), kain penutup kepala, kain pembungkus, sabuk/ikat pinggang dan selendang.
(Shahih sampai kepada Ibrahim)

Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (2/262)

* Abdu ar-Razzâq r.a meriwayatkan lagi ( 6217):
Dari Hisyâm, dari Ibn Sîrîn r.a, beliau berkata: wanita dikafankan dengan lima lembar baju; baju rumah[3], kain penutup kepala, selembar kain biasa dan dua kain pembungkus.
(Shahih sampai kepada Ibnu Sîrîn)

Kami bertanya kepada Abdu ar-Razzâq r.a: untuk apa (bagaimana caranya mengenakan) selembar kain biasa tersebut? Beliau menjawab: kain tersebut dikenakan seperti caranya mengenakan sarung, sebagai bagian luar pakaian rumah.

* Abdu ar-Razzâq r.a juga meriwayatkan (al-Mushannaf 6218):
Dari Isrâ'il, dari 'Isa ibn Abu 'Izzah, beliau berkata: aku menyaksikan 'Âmir as-Sya'bî mengkapankan putrinya dengan lima lembar pakaian. Dan beliau berkata: untuk laki-laki hanya cukup tiga lembar.
(Shahih sampai kepada Sya'bî)

Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (3/262)

* Abdu ar-Razzâq r.a meriwayatkan lagi (6220):
Dari Hisyâm, dari Ummu al-Hudzail, ia berkata: cara menudung kepala wanita yang telah meninggal sama dengan cara yang dilakukan ketika ia masih hidup. Lalu sebagian dari tudung tersebut diulurkan sekedar satu siku keatas wajahnya.
(Shahih sampai kepada Ummu al-Hudzail)

* Dalam kitabnya al-Mushannaf (3/262), Ibnu Abi Syaibah r.a berkata:
Diriwayatkan dari Abdu al-A'lâ, dari Hisyâm, dari al-Hasan, beliau berkata: mayat wanita harus dikafankan dengan lima lembar baju; baju rumah, tudung kepala, sabuk/ikat pinggang dan dua lembar kain pembungkus.
(Shahih dari al-Hasan)

* Dan diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari –riwayat yang mu'allaq- (Shahih Bukhari dan Fathu al-Bari 3/133):
Dari al-Hasan: selembar kain yang kelima digunakan untuk mengikat kedua paha dan pangkalnya, sebagai lapisan dibawah baju rumah. Namun sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa kain tersebut diletakan diatas bagian perut dan diikatkan kepada dua pahanya[4].

Lihat: kitab al-Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaibah r.a (3/263)


MELENGKAPI PERKATAAN DAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KAIN KAFAN UNTUK MAYAT WANITA

Telah kita lalui bersama bahwa hadits Laila binti Qâ'if tentang cara sifat kain kafan mayat wanita adalah dha'îf. Dan kami tidak menemukan hadits marfu' yang sanadnya shahih tentang cara pengkafanan terhadap mayat perempuan, yang harus dilaksanakan dengan lima lembar baju, kecuali sebuah hadits yang disebutkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dalam kitanya Fathu al-Bari (3/133) dan beliau nisbatkan kepada al-Jauzuqî dari riwayat Ibrahim ibn Habib ibn Syahid, dari Hisyâm, dari Hafshah, dari Ummu 'Athiyyah r.a, beliau berkata: "maka kami kafankan dia dengan lima lembar baju, dan kami juga menudung kepalanya sebagaimana halnya orang yang masih hidup".

Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a, berkata: tambahan ini sanadnya shahih. Dan tambahan ini pula yang dikatakan oleh sebagian besar ulama.

Dibawah ini adalah sejumlah perkataan dan pendapat ulama -–disamping yang telah kita paparkan terdahulu- tentang masalah ini:

* Dalam kitabnya al-Mughni (2/470), Ibnu Qudâmah r.a berkata:
Syarah masalah: Mayat perempuan dikafankan dengan lima lembar pakaian; baju kurung, kain sarung, kain pembungkus, cadar dan kain yang kelima digunakan untuk mengikat kedua pahanya. Beliau berkata: Ibnu al-Mundzir berkata: sejauh yang kami ingat dari ulama bahwa mereka berpendapat agar wanita dikafankan dengan lima lembar pakaian. Hal tersebut disunnahkan, karena semasa masih hidup wanita dituntut untuk lebih tertutup daripada kaum pria, sebab auratnya lebih banyak dari pada aurat laki-laki. Maka begitu pula halnya setelah ia meninggal dunia. Dan manakala wanita dibolehkan memakai baju yang berjahit disaat berihram –sebagaimana cara berpakaian paling sempurna bagi wanita- maka cara berpakaian seperti itu disunnahkan dilakukan setelah ia meninggal dunia. Berbeda halnya dengan laki-laki. Oleh karena itu terdapat perbedaan antara mayat laki-laki dan mayat wanita pada cara pengkafanan masing-masing, yang diawali dengan perbedaan cara berpakaian disaat keduanya masih hidup. Sementara manakala, cara mandi keduanya –disaat masih hidup- sama, maka begitupula cara pemandian keduanya setelah meniggal dunia.

Setelah Ibnu Qudâmah menyebutkan hadits Laila binti Qâ'if -hadits tersebut lemah sebagaimana yang telah kita ketahui bersama pada pembahasan sebelumnya-, beliau berkata: namun al-Kharqî r.a hanya menyebutkan satu lembar kain pembungkus.

Dengan demikian, maka selembar kain satunya diikatkan pada kedua pahanya, lalu dikenakan pada bagian pinggangnya kain sarung, kemudian dilapisi dengan baju kurung, lalu ditutup kepalanya dengan kain tudung, dan setelah itu dibungkus dengan satu lembar kain.

Cara seperti ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad r.a dengan perkataannya: mayat perempuan diberikan kain tudung diatas kepalanya, dengan menyisakan ujung kain tersebut seukuran siku, untuk diulurkan diatas wajahnya, dan diulurkan pula diatas kedua pahanya al-hiqwa (sarung).

Kemudian Imam Ahmad r.a ditanya tentang makna al-hikwa. Beliau menjawab: maknanya adalah "sarung". Lalu beliau ditanya lagi: lalu baju yang kelima dikemanakan? beliau menjawab: selembar kain biasa diikatkan pada kedua pahanya. Beliau ditanya lagi: bagaimana dengan baju kurungnya? Beliau menjawab: dijahit. Beliau ditanya lagi: apakah baju tersebut setelah dijelujuri dijahit pada bagian tepinya dan diberikan kancing? Beliau menjawab: setelah dijelujuri, baju tersebut dijahit pada bagian tepinya, dan tidak perlu dibuatkan kancing.

Dan pendapat yang banyak dipegang oleh ulama mazhab Hambali dan ulama dari mazhab lainnya bahwa lima lembar baju tersebut adalah: sarung, baju kurung (biasa dipakai untuk rumah), tudung kepala, dan dua lembar kain pembungkus. Dan pendapat ini lah yang shahih berdasarkan hadits Laila yang telah kami sebutkan diatas[5], dan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu 'Athiyyah r.a, bahwasanya Rasulullah s.a.w menyerahkan kepadanya satu lembar sarung, pakaian kurung, tudung kepala dan dua lembar baju.

* Dalam kitabnya Syarh Muslim (2/604), Imam Nawawi r.a berkata:
Disunnahkan untuk mengkafankan mayat perempuan dengan lima lembar pakaian, hal ini juga boleh dipraktekan untuk mayat laki-laki. Akan tetapi yang disunnahkan untuk mayat laki-laki tidak lebih dari tiga lembar kain. Adapun melebih dari lima lembar kain, baik terhadap mayat perempuan, apalagi mayat laki-laki, maka hal tersebut termasuk belebihan.

* Imam as-Syairâzî r.a berkata, -sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhazzab (5/205):
Adapun mayat perempuan, maka dianjurkan mengkafaninya dengan lima lembar pakaian; yaitu: sarung, tudung kepala dan tiga lembar pakaian lainnya. namun apakah salah satu dari tiga pakaian yang dimaksud tersebut, adalah baju kurung? Disini ada dua pendapat:

Pertama: salah satunya dianjurkan dari baju kurung yang biasa dipakai sehari-hari. Hal ini berdasarkan riwayat hadits yang mengatakan bahwasanya Rasulullah s.a.w memberikan kepada Ummu 'Athiyyah r.a –ketika mengkafankan putri Beliau, Ummu Kultsum- satu lembar sarung, baju kurung, tudung kepala dan dua lembar baju panjang sampai kebagian paha.[6]

Kedua: salah satu dari tiga pakaian tersebut, tidak diharuskan dari pakaian kurung rumah. Sebab pakaian tersebut dibutuhkan hanya untuk menutupi tubuh wanita disaat ia bekerja. Sedangkan orang yang telah mati tidak mungkin lagi melakukan pekerjaan.

Dengan demikian apabila kita mengikuti pendapat yang kedua ini, maka cara pengkafanan mayat wanita dengan memakaikan sarung kebadannya, lalu kepalanya ditudung dengan kain tudung setelah itu baru dimasukan kedalam tiga lapis pakaian yang tersisa. Akan tetapi, jika kita mengadopsi pendapat yang pertama, maka cara pengkafanannya dengan memakaikan sarung, lalu lanjutkan dengan baju kurung rumah, kemudian kepalanya ditudung dengan tudung kepala, setelah itu baru dimasukan kedalam dua lapis baju yang tersisa.

Imam Syâf'î r.a berkata: kemudian diikatkan pada bagian dadanya agar semua lapisan baju tersebut dapat terhimpun (tidak berserakan).

Apakah baju yang telah dikafankan –ikatannya- harus dibuka disaat menguburkannya? Disini ada dua pendapat:

Pertama: Abu al-'Abbas r.a mengatakan bahwa baju yang diikatkan tersebut dibiarkan ikut tertanam bersamanya. Hal ini lah yang ditunjuki oleh perkataan Imam Syâf'î r.a. Sebab beliau menyebutkan tentang pengikatan tanpa mengatakan apakah ikatan tersebut harus dilepas.

Kedua: Abu Ishâk r.a mengatakan bahwa baju yang dijadikan sebagai pengikat tersebut harus dilepaskan. Sebab ia tidak termasuk dari jumlah kain yang diperlukan untuk kain kafan.


KAIN KAFAN UNTUK MAYAT WANITA YANG BELUM PERNAH HAID

Dalam kitanya al-Mushannaf (3/263) Ibnu Abi Syaibah r.a meriwayatkan:
Dari Ghandur dari Utsman[7], ia berkata: aku pernah bertanya kepada al-Hasan tentang anak perempuan yang meninggal sebelum pernah datang bulan (apakah kain kafannya juga dianjurkan lima lembar). Beliau menjawab: tidak, akan tetapi ia hanya dikafankan dengan tiga lembar pakaian saja.
(Shahih sampai kepada al-Hasan)

Pada kitab yang sama (3/264) Ibnu Abi Syaibah r.a juga meriwayatkan:
Dari at-Tsaqafî, dari Ayyûb, ia berkata: anak perempuan Anas ibn Sîrîn telah meninggal dunia pada usia mendekati datang bulan. Maka Ibnu Sîrîn menyuruh orang-orang untuk mengkafankannya dengan kain tudung dan dua lembar baju.
(Shahih sampai kepada Ayyûb)

Beliau juga berakata:
Diriwayatkan dari 'Ubaidullah ibn Musa, ia berkata: diriwayatkan dari Isrâ'il, dari Abdullah ibn Mukhtâr, dari al-Hasan, tentang anak perempuan yang belum pernah haid, beliau mengatakan bahwa kain kafannya cukup satu lembar.
(Shahih dari al-Hasan)


SEBAGIAN PENDAPAT ULAMA TENTANG KAIN KAFAN UNTUK MAYAT WANITA YANG BELUM PERNAH HAID

Dalam kitabnya al-Mughni (2/471), Ibnu Qudâmah r.a mengatakan:
Al-Mirwazî r.a berkata: Aku telah bertanya kepada Abu Abdillah: berapa lembarkan kain kafan untuk mayat anak perempuan yang belum pernah haid? beliau menjawab: dua lembar kain pembungkus dan satu lebar baju kurung yang biasa dipakai untuk rumah, dan tidak diharuskan menambahnya dengan kain tudung. Ibnu Sîrîn r.a juga telah mengkafankan putrinya yang meninggal sebelum –ia- pernah datang bulan dengan satu lembar baju kurung rumah dan dua lembar kain pembungkus.

Dan riwayat lain mengatakan: kain kafanya terdiri dari satu lembar baju wanita yang tanpa dua lengan dan dua lembar kain pembungkus. Karena wanita yang belum baligh tidak diwajibkan menutup kepalanya diwaktu shalat.

Ada beberapa pendapat simpang siur yang diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a tentang batas kapan anak perempuan kecil disamakan dengan perempuan yang telah baligh. Satu riwayat mengatakan, batasnya adalah apabila anak kecil tersebut telah baligh.  Dan ini adalah zhahir perkataannya yang diriwayatkan oleh al-Mirwazî r.a. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w: "Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah haid kecuali dengan menudungkan kepalanya"[8].

Dari makna hadits ini, berarti wanita yang belum pernah haid tidak disyaratkan menudung kepalanya disaat melaksanakan shalat. Jika demikian maka begitu juga hukumnya ketika ia dikafankan. Dan karena Ibnu Sîrîrn r.a telah mengkafankan anak perempuannya yang belum pernah haid tanpa menggunakan kain tudung kepala.

Pedapat kedua yang diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a –sebagaimana yang diriwayatkan oleh sebagian besar muridnya- bahwa; apabila anak perempuan tersebut telah berumur sembilan tahun maka cara mengkafaninya harus disamakan dengan wanita yang telah baligh. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah s.a.w mulai tidur dengannya disaat umurnya mencapai sembilan tahun. Dan diriwayatkan pula dari Aisyah r.a, bahwasanya ia berkata: apabila umur seorang anak perempuan telah mencapai sembilan tahun maka ia telah dianggap sebagai wanita dewasa.[9]


APABILA SEORANG WANITA YANG TELAH BERSUAMI MENINGGAL DUNIA, MAKA SIAPAKAH YANG MENANGGUNG BIAYA KAIN KAFANNYA?

Ada dua pendapat ulama yang mensikapi tentang permasalahan ini:
Pertama: Biaya pengurusan tentang kematian, seperti pengkafanan, pemandian, penguburan dan sebagainya yang berhubungan dengan urusan kematian dibebankan kepada tanggung jawab suaminya.

Kedua: Biaya semuanya dipotong dari modal harta milik wanita tersebut, apabila ia memilikinya.

Dibawah ini adalah pendapat sebagian ulama tentang permasalahan ini.

* Dalam kitabnya al-Muhazzab (5/188), Imam as-Syairâzî r.a mengatakan:
Apabila wanita yang meninggal dunia masih memiliki suami, maka –dalam hal ini- ada dua pendapat ulama; Abu Ishâk r.a berkata: biaya segala yang diperlukan untuk urusan kematian dibebankan kepada pihak suaminya. Sebab ia adalah orang yang bertanggung jawab untuk memberikan pakaian semasa wanita itu masih hidup, maka kewajiban tersebut tetap berlaku setelah ia meninggal dunia, sebagimana halnya seorang budak wanita dengan tuannya.

Namun Abu Ali ibn Abu Hurairah berpendapat, bahwa biaya tersebut diambil dari harta yang ditinggalkan wanita itu. Sebab setelah meninggal dunia, maka terputuslah ikatan suami istri dengan –mantan-suaminya. Oleh sebab itu –mantan- suaminya tidak dibebankan apapun tentang biaya pemakaman dan segala urusan yang berhubungan dengan kematian.

Namun pendapat yang pertama, adalah pendapat yang lebih shahih, sebab pendapat kedua –jika hukumnya direalisasikan- akan merambat kepada permasalahan antara seorang hamba wanita dengan tuannya, yang akhirnya apabila budak wanita tersebut meninggal dunia, maka –berdasarkan pendapat kedua- biaya urusan kematian sama sekali tidak dibebankan kepada tuannya.

Adapun jika wanita tersebut tidak meninggalkan harta, dan sudah tidak bersuami lagi, maka biaya tersebut dibebankan kepada orang yang berkewajiban menafkahinya sewaktu ia masih hidup. Dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh pendapat pertama.

* Imam Nawawi r.a berkata, -sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majm'u:
Apabila seorang wanita yang masih memiliki suami telah meninggal dunia, maka apakah suaminya tersebut dibebankan tanggung jawab segala biaya yang berhubungan dengan urusan kematian? Disini ada dua pendapat ulama: (yang paling Shahih) menurut Jumhur ulama mazhab Syâf'î: segala biaya tersebut dibebankan terhadap suaminya. Kemudian beliau menyebutkan orang-orang yang membenarkan pendapat ini.

* Sedangkan Abu Muhammad ibn Hazm r.a, maka –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhalla (5/122)- beliau mengatakan:
Biaya pengkafanan dan penggalian kubur untuk seorang mayat wanita yang masih memiliki suami, harus diambil dari modal harta wanita itu sendiri, sedangkan suaminya tidak dibebankan apapun jua. Sebab harta orang-orang muslim diharamkan –untuk digunakan- tanpa berdasarkan nash dari al-Qur'an dan Hadits Rasulullah s.a.w. Sabda Rasulullah s.a.w: "Sesungguhnya darah, harta-harta kaum muslimin telah diharamkan atas kalian". Dan sesungguhnya yang diwajibkan terhadap seorang suami untuk istrinya hanyalah nafkah, pakaian dan tempat tinggal saja. Disamping itu menurut bahasa arab yang dengannya al-Qur'an diturunkan kain kafan tidak dapat disebut dengan pakaian, begitu pula kuburan, ia tidak dapat disebut sebagai tempat tinggal.


[1] . Karena pada sanadnya terdapat Nûh ibn Hakîm, dan dia termasuk orang yang tidak dikenal. Namun al-Mundziri juga menyebutkan alasan lain yang mengurangi nilai keshahinan hadits tersebut (sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dalam kitabnya Fathu al-Bârî, juz. 3, hal. 127, dan orang yang menta'liq kitab Sunan Abu Daud, juz. 3, hal. 503), bahwasanya Ummu Kultsum wafat disaat Rasulullah s.a.w sedang menghadapi peperangan Badar, alasan ini ditambahkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dengan perkataannya: telah terjadi kesalahan dari periwayat. Sebab pada saat itu yang meninggal dunia adalah Ruqayyah, bukan Ummu Kultsum.

Namun menurut pendapat saya: pendapat yang menegaskan bahwa Ruqayyah meninggal dunia disaat Rasulullah s.a.w sedang menghadapi peperangan Badar, perlu ditinjau kembali. Memang benar riwayat ini telah disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari (hadits 3698) dari hadits Ibnu Umar r.a tentang Utsman … adapun bertinggalnya Utsman dari peperangan Badar, sebab Beliau harus menjaga anak perempuan Rasulullah s.a.w yang sedang sakit. Sehingga Rasulullah s.a.w berkata kepadanya: "sesungguhnya kamu telah mendapatkan pahala yang tidak kalah dengan orang-orang yang terjun pada peperangan Badar”… namun sangat disayangkan tidak ada riwayat –dengan sanad yang shahih- yang sampai kepada kami bahwa putri Rasulullah s.a.w tersebut adalah Ruqayyah. Atau riwayat yang menyebutkan bahwa ia meninggal dengan sebab penyakit tersebut, dan disaat Rasulullah s.a.w tidak berada dirumah.

Ya… riwayat ini memang disebutkan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak (4/47) dari riwayat Hisyam ibn 'Urwah, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah s.a.w tidak mengikut sertakan Utsman r.a dan Usamah ibn Zaid, kerena untuk merawat Ruqayyah yang sedang sakit, dan Rasulullah s.a.w pergi ke Badar disaat Ruqayyah dalam kondisi yang memprihatinkan. Lalu datanglah Zaid ibn Hârits –dengan bertunggangan unta Rasulullah s.a.w yang bernama al-'Adhbâ' membawa kabar gembira. Dan pada saat itu Ruqayyah telah meninggal dunia, dan kami pun mendengar suara yang menakutkan dari musuh. Sehingga demi Allah kami tidak percaya dengan berita kemenangan yang dibawa oleh Zaid, sampai akhirnya kami melihat para tawanan… hadits ini jelas sekali telah dimursalkan.

Kesimpulannya: hadits Laila binti Qâ'if –yang kami sebutkan pada awal bab- adalah hadits dha'îf, karana Nûh ibn Hakîm termasuk orang yang tidak dikenal. Wallahu a'lam
[2] . As-Syi'âr artinya: pakaian yang langsung melekat dibadan. Disebutkan dalam kamus Lisân al-'Arab: as-Syi'âr adalah baju yang melekat pada bulu-bulu kulit orang yang mengenakannya. Kalimat jamaknya adalah: Asy'irah dan Syu'ur. Dan disebutkan dalam sebuah kata-kata perumpamaan: mereka adalah as-Syi'âr, mereka bukan ad-Ditsâr (pakaian luar)" untuk mengatakan bahwa mereka adalah orang yang penuh bersahabat dan kasih sayang. Disebutkan pula dalam hadits al-Anshâr: "kalian adalah as-syi'âr, sedangkan orang lain adalah ad-ditsâr". Maksudnya: kalian adalah orang-orang khusus dan orang-orang terdekat, sebagimana Rasulullah menyebut mereka sebagai keluarga terdekat Beliau. dan disebutkan pula pada hadits Aisyah r.a: Beliau tidur di syu'ur kami. Aisyah menyebut langsung kalimat syu'ur. Sebab ia adalah pakaian yang lebih cepat kotor dibandingkan dengan pakaian luar. Sebab as-syu'ur adalah pakaian yang langsung melekat dibadan. Dalam hadits lain juga disebutkan: Rasulullah s.a.w tidak shalat di syu'ur kami, dan juga tidak diselimut kami. Beliau tidak mau shalat dengan mengenakan dua macam pakaian tersebut, karena khawatir –ada padanya- darah haid yang menempel. Sedangkan kesucian pakaian adalah salah satu syarat sah shalat, beda halnya kalau hanya sekedar dikenakan untuk tidur.

Adapun perkataan Rasulullah s.a.w kepada para wanita yang memandikan putri Beliau, ketika Beliau melemparkan pakaian yang dikenakan dipinggang: asy'irnahâ (kenakanlah kepadanya) sarung ini. Maksudnya menurut Abu 'Ubaidah adalah: jadikanlah ia pakain dalam yang langsung melekat ditubuhnya.

* Dari hadits tersebut dapat disimpulkan, bahwa: dibolehkan mengkafankan wanita dengan pakaian pria. Tapi silakan saja orang mau berpendapat bahwa hal tersebut khusus dibolehkan bagi Rasulullah s.a.w, sebab Beliau adalah orang yang telah dipastikan selalu membawa berkah. Lagi pula perempuan tersebut adalah anak kandung Beliau sendiri.

Akan tetapi ketika kita kembali kepada dalil al-barâ'ah al-ashliyyah, maka kita berpendapat bahwa disana tidak ada dalil yang melarang untuk melakukan hal tersebut. terlebih lagi apabila tidak mengakibatkan muncul kecemburuan, atau membuat hati suaminya wanita itu tidak enak. Dan tentunya baju itu harus bersih. Adapun jika hal tersebut dapat mengundang ketidak sukaan dari pihak suaminya, atau ia sangat merasa cemburu, maka hal tersebut (mengkafani wanita dengan pakaian laki-laki) tidak boleh dilakukan. cukuplah baginya kematian istri telah menyebabkan kesedihan. Wallahu a'lam.
[3] . Maksudnya adalah baju kurung.
[4] . Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Fathu al-Bârî (3/133): sekelompok ulama mengatakan bahwa kain tersebut diikatkan diatas dada untuk merampingkan kain-kain kapannya.
[5] . Telah lalu kami jelaskan factor penyebab lemah nya hadits ini.
[6] . Telah jelas dari pembahasan yang telah lalu, bahwa hadits Laila binti Qâ'if adalah riwayat dha'îf.
[7] . Ia adalah Ghandur ibn Ghiyâts r.a.
[8] . Pada hadits ini kami berpendapat lain. Silakah lihat buku kami Jâmi' Ahkâm an-Nisâ', pada bagian pembahasan tentang Thahârah.
[9] . Saya menanggapi bahwa pendapat ini perlu ditinjau kembali. Dan insya Allah akan kita bahas bersama pada permasalahan yang tepat.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "CARA MENGKAFANKAN MAYAT PEREMPUAN"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...