Monday, July 05, 2010

0 DATANG DAN PERGINYA HAID


·        Kedatangan haid dapat diketahui dengan keluarnya darah pada waktu yang memang memungkinkan untuk haid. darah tersebut warnanya hitam, kasar dan berbau amis
·        Habisnya masa haid dapat diketahui dengan terputusnya darah yang keluar, atau keluarnya cairan yang berwarna kuning dan keruh. Hal ini dapat dibuktikan dengan dua tanda:
1.       al-Jufuf (Kering), misalnya seorang wanita memasukan kain atau kapas atau yang seumpamanya kedalam lubang vaginanya. Maka apabila kain atau kapas tersebut –setelah dikeluarkan- dalam keadaan kering, maka pertanda bahwa masa haid telah selesai.
2.       al-Qasshah (cairan) putih: yaitu cairan yang berwana putih keluar dari rahim, setelah terputusnya darah haid.


AL-QASSHAH AL-BAIDHÂ[1]

* Imam Mâlik r.a telah meriwayatkan dalam kitabnya al-Muwattha' (hal. 59) :
Dari 'Alqamah ibn Abu Alqamah, dari ibunya (budak Aisyah), ia berkata: para wanita dulu datang kepada Aisyah r.a membawa sebuah wadah yang terdapat dalamnya sepotong kapas berwarna kuning –bekas terkena darah haid-, mereka menanyakan kepada Aisyah r.a tentang kapan dibolehkan mengerjakan shalat. maka Aisyah r.a berkata kepada mereka: "tidak perlu tergesa-gesa sebelum kalian melihat al-qusshah al-baidhâ'. Maksudnya adalah: setelah mereka benar-benar suci dari haid.
(Pada sanadnya terdapat periwayat yang lemah)[2]

Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari r.a dalam kitab Shahihnya pada permasalahan tentang haid (Shahih Bukhari dan Fathu al-Bârî 1/ 420), Begitupula –ia telah diriwayatkan- oleh Abdu ar-Razzâq r.a –secara singkat- dalam kitab Mushannafnya (1/302)


AS-SHUFRAH DAN AL-KUDRAH[3] YANG KELUAR SETELAH TERPUTUSNYA DARAH HAID.

Apabila shufrah dan kudrah keluar setelah selesai masa haid, maka carian tersebut tidak berpengaruh terhadap hukum. Hal ini berdasarkan hadits Ummu 'Athiyyah r.a sebagaimana berikut ini:

Imam Bukhari r.a berkata (hadits 326) :
Diriwayatkan dari Qutaibah ibn Sa'îd, ia berkata: diriwayatkan dari Ismail dari Ayyûb, dari Muhammad, dari Ummu 'Athiyyah r.a, beliau berkata: "kami tidak menganggap apa-apa[4] terhadap shufrah dan kudrah"[5]
(Shahih)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a (1/337), Nasâ'î r.a (1/186) dan Ibnu Mâjah r.a (647)


MENCEGAH PERASAAN WASWAS DAN DAN SIKAP YANG BERLEBIHAN

* Imam Mâlik r.a berkata (al-Muwattha' hal. 59) :
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Abu Bakar,[6] dari bibinya,[7] dari anak perempuan Zaid ibn Tsâbit[8]: bahwa ketika ia mendengar bahwa kaum wanita sering meminta lampu ditengah malam, hanya untuk melihat apakah mereka telah suci atau belum, maka iapun mencela sikap dan perbuatan seperti itu. Lalu ia berkata: wanita dulu tidak pernah berbuat sampai seperti itu".

Riwayat ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari r.a –sebagia komentar- pada bab at-thaharah (Shahih Bukhari dan Fathu al-Bârî 1/420)


PENDAPAT ANEH YANG DIKATAKAN OLEH IBNU HAZM R.A

Ibnu Hazm r.a telah mengatakan sebuah pendapat yang sangat aneh –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhallâ (10/40) :
Masalah: Diwajibkan terhadap laki-laki menjima' istrinya sekurang-kurangnya satu kali dalam satu kali bersih, hal ini apabila ia mampu melakukannya. Namun seandainya ia tidak melakukannya maka ia telah dianggap berbuat maksiat kepada Allah s.w.t. Dalilnya adalah firman Allah s.w.t: "Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu" (Q.S. al-Baqarah: 222).

Kemudian beliau menyebutkan perkataan Umar ibn Khattab r.a yang pada sanadnya terdapat Muhammad ibn Ishâq, dia adalah termasuk periwayat mudallis yang menyampaikan hadits dengan menggunakan kalimat "'an" (dari). Pada riwayat tersebut Umar r.a berkata kepada suami seorang wanita: apakah kamu menghargai kecuiannya (diluar masa haid)? laki-laki itu menjawab: "ya". Maka Umar r.a berkata kepada istrinya: "ayo sana pergi bersama suamimu, demi Allah sesungguhnya padanya terdapat apa yang dapat mencukupkan kamu.". Lalu Umar berkata: " padanya terdapat sesuatu yang membuat wanita muslimah merasa cukup".

Kemudian Ibnu Hazm menyebutkan lagi perkataan Salman kepada Abu Dardâ: "sesungguhnya istrimu memiliki hak terhapad kamu". Dan ikrar (sesuatu yang dilihat atau deketahui oleh Rasulullah s.a.w dan Beliau hanya berdiam saja) Rasulullah s.a.w terhadap perkataan tersebut.

Aku menanggapi pendapat aneh diatas: Tentang dalil dari al-Qur'an yang disebutkan oleh Ibnu Hazm r.a, maka aku tunda dulu, dan -isnya Allah- sebentar lagi aku akan membahasnya.

Adapun perkataan Umar r.a diatas, maka yang perlu diketahui bahwa Ibnu Ishâq yang disebutkan pada riwayatnya adalah seorang periwayat mudallis yang menggunakan kalimat "'an" ketika menyebutkan sanad. Maka perkataan tersebut masih ditepertanyakan apakah memang Umar r.a pernah mengatakannya atau tidak?.

Sedangkan perkataan Salman kepada Abu Dardâ': sesungguhnya istrimu memiliki hak atas dirimu". Maka perkataan ini shahih. Sebab Rasulullah s.a.w telah menyetujuinya dengan ikrar Beliau. Jadi istri juga memiliki hak –diantaranya adalah jima'- yang harus ditunaikan oleh para suami. Akan tetapi mengaitkan hak tersebut dengan saat suci dari haid, adalah hal yang sama sekali tidak pernah disebutkan dalam hadits (hadits Salman kepada Abu Darda).

Sekarang kami akan menanggapi ayat al-Qur'an yang dijadikan oleh Ibnu Hazm r.a sebagai salah satu landasan berpendapat, dengan uraian sebagaimana berikut ini:
Dalam mentafsirkan firman Allah s.w.t: "apabila mereka telah suci, maka campurilah" maka kita harus kembali kepada permasalahan kaedah ilmu Ushul fiqih, yaitu permasalahan amar (kalimat perintah) yang disebutkan setelah larangan, apakah perintah tersebut sifatnya wajib atau hanya sekedar kebolehan yang ditetapkan setelah adanya larangan?!!

Kesimpulannya: bahwa hukum harus dikembalikan terlebih dahulu kepada asalnya sebelum datang nash yang melarang. Jika hukum tersebut –sebelum datang larangan- wajib, maka hukumnyapun tetap diwajibkan. Dan jika –pada awalnya- hukumnya adalah mubah (boleh), maka setelah larangan tersebut berakhir, hukumnya pun kembali seperti semula, yakni: mubah.

Misalnya: firman Allah s.w.t: "Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka" (Q.S. at-Taubah: 5).

Sebelum masuk bulan-bulan haram hukum memerangi orang musyrik adalah wajib, maka begitu juga hukumnya setelah bulan-bulan haram telah berlalu, yakni memerangi mereka hukumnya wajib.

Misal kedua –untuk hukum yang mubah-: Firman Allah s.w.t: "dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berburulah kalian" (Q.S. al-Mâ'idah: 2).

Sebelum mengenakan kain ihram berburu hukumnya mubah, maka begitu pula hukumnya apabila telah selesai bertahallul dari ihram, yakni berburu hukumnya mubah. Dan tidak ada satupun ulama yang diakui, mengatakan bahwa berburu hukumnya wajib bagi jema'ah haji yang telah menunaikan ibadah hajinya. Disamping itu kami juga tidak menemukan dalil yang menjelaskan bahwasanya Rasulullah s.a.w pergi berburu setelah beliau selesai mengerjakan ibadah haji.

Hal ini juga sama dengan firman Allah s.w.t: " Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi" (Q.S. al-Jum'ah: 10).

Sebelum terdengar panggilan untuk pergi melaksanakan shalat jum'at, bertebaran diatas bumi hukumnya hanyalah mubah. Maka bertebaran dimuka bumi setelah selesai melaksanakan shalat jum'at hukumnya kembali seperti semula, yakni; mubah.


[1] . Al-Qasshah al-Baidhâ: adalah cairan berwarna putih,  dimuntahkan oleh rahim, ketika darah haid tidak keluar lagi. Ibnu Qudamah r.a mengatakan –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mughni (1/355): ia adalah cairan putih yang menyudahi darah haid, cairan tersebut juga disebut dengan "at-Taryah", sebagaimana perkataan yang dinukil dari Imam Ahmad r.a.

Dan diriwayatkan pula dari Beliau, bahwa al-Qusshah al-Baidha adalah: sepotong kapas putih yang dimasukan wanita kedalam lobang vagina, kemudian dikeluarkan dalam keadaan utuh berwarna putih seperti sebelum dimasukan kedalamnya.
[2] . Pada sanadnya terdapat Ummu 'Alqamah, nama aslinya adalah Murjanah. Al-Hafiz menyebutkan dalam kitab at-Tahzib bahwasanya al-'Ajli dan Ibnu Hibbân menyatakan bahwa Murjanah termasuk periwayat yang dapat dipercaya. Namun telah diketahui bersama dalam hal menyatakan tentang kejururan seseorang al-'Ajli dan Ibnu Hibbân termasuk orang yang sembarangan memberikan kesaksian terhadap orang-orang yang tidak dikenal.

Az-Zahabi telah menyebutkan tentang Murjanah dalam kitab al-Mizan, beliau berkata: hanya satu orang saja yang meriwayatkannya dari Murjanah, yaitu 'Alqamah. Sementara itu al-Hafiz menyebutkan pula dalam kitab at-Tahzib: bahwa Bakir ibn Asyaj juga telah meriwayatkannya dari Murjanah.

Aku menambahkan: sanad yang aku temukan tentang hadits tersebut yang diriwayatkan oleh Bakir dari Murjanah, adalah riwayat yang diambil dari anaknya Makhramah. Sedangkan Makhramah tidak pernah mendengar dari ayahnya.

Ibnu Hajar r.a –dalam kitabnya at-Taqrib- berkata tentang Murjanah: haditsnya dapat diterima. Namun apabila al-Hafiz mengatakan perkataan seperti ini, maka maksudnya adalah: riwayatnya dapat diterima apabila telah diperkuat oleh hadits lainnya. kalau tidak maka riwayat tersebut tetap termasuk riwayat yang lemah.

Dengan demikian maka atsar dengan sanad diatas termasuk riwayat yang lemah sebab Murjanah termasuk orang yang tidak dikenal. Namun ada hadits lain yang dapat menguatkan hadits tentang al-Qusshah al-Baidhâ' ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam ad-Dârimî r.a (1/214) –dengan redakasi hadits dari ad-Darimi-, dan Imam Baihaqî r.a (as-Sunan al-Kubra 1/337). Ad-Dârimi berkata: diriwayatkan dari Zaid ibn Yahya ibn 'Ubaid ad-Dimasyqî, dari Muhammad ibn Râsyid, dari Sulaiman ibn Musa, dari 'Athâ' ibn Abi Rabah dari Aisyah r.a, ia berkata: apabila seorang wanita melihat darah –haid- maka hendaklah ia tidak melaksanakan shalat, sebelum melihat cairan berwaran putih bagaikan perak, kemudian ia mandi lalu diteruskan dengan shalat.

Sebagian perkataan ulama tentang apa yang dimaksudkan dengan suci? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
·         Abu Bakar ibn Abi Syaibah ra dalam kitabnya al-Mushannaf ( 1/94 ) mengatakan:
 diriwayatkan dari Abdu al-A'lâ, dari Bard, dari Makhûl, ia berkata: wanita tidak tidak dibenarkan mandi haid sebelum ia melihat suci yang berwarna putih seperti perak.
(Shahih kepada Makhûl)

·         Diriwayatkan dari Muhammad ibn Bakar, dari Ibn Juraij dari 'Athâ', ia berkata: aku bertanya kepadanya: apakah yang dimaksudkan dengan suci? Beliau menjawab: suatu benda putih (maksudnya sejenas kafas yang dimasukan kedalam lubang vagina) dan kering yang tidak terdapat padanya warna kuning maupun cairan.
[3] . As-Shufrah dan al-Kudrah adalah cairan yang keluar dari vagina, seperti darah bercampur dengan nanah, yang berwarna kekuning-kuningan.
[4] . Perkataan Ummu 'Athiyyah r.a: "kami tidak mengganggap…" menurut ulama hadits perkataan ini dapat dikatagorikan sebagai marfu'. Sebab dia adalah seorang sahabat perempuan. Dan tentunya apa yang terjadi terdahap para sahabat juga diketahui oleh Rasulullah s.a.w.
[5] . Menurut yang disebutkan oleh Abu Dâud r.a (hadits 307), ad-Darimi r.a (1/215), Ibnu Mâjah r.a (212), Imam Baihaqî r.a (as-Sunan al-Kubra 1/337) yang diriwayatkan dari Qatâdah, dari Ummu Huzail (dia adalah: Hafshah ibnti Sîrin), dari Ummu 'Athiyyah r.a, beliau berkata: "kami tidak menganggap apa-apa terhadap shufrah dan kudrah yang keluar setelah habis masa haid". dan Qatâdah tidak menjelaskan apakah ia telah dihaditskan atau tidak. Oleh sebab itu maka ia termasuk periwayat yang mudallis.

Namun hadits ini mendapat dukungan dari hadits yang diriwayatkan melalui Ummu Bakr dari Aisyah r.a –marfu' menurut Ibnu Mâjah r.a dan yang lainnya-. dan Ummu Bakr yang disebutkan pada riwayat pendukung ini termasuk orang yang tidak dikenal.

Sebenarnya tambahan yang terdapat pada riwayat kedua hanyalah sekedar makna yang dipahami dari hadits Ummu 'Athiyyah r.a saja. Dan pemahaman seperti inilah yang mendorong Imam Bukhari r.a untuk membuat bab khusus yang diberi judul : as-Shafrah dan al-Kadrah yang ditemukan diluar masa haid.

·         Imam as-Shan'ânî r.a mengatakan (Subul as-Salâm 1/170):
 Hadits diatas adalah dalil yang mengatakan bahwa darah yang bukan kasar dan dan tidak berwarna kehitam-hitaman yang keluar setelah selesai masa haid bukanlah termasuk darah haid dan tidak ada hukumnya. Ada dua kemungkinan yang dapat dipahami dari perkataan Ummu 'Athiyyah: "setelah habis masa haid".
pertama: apabila as-shufrah dan al-kadrah keluarnya sebelum selesai masa haid maka ia juga dianggap darah haid. dan tentang ini ulama telah berbeda pendapat menentukannya. Untuk lebih jelasnya lagi silakan merujuk kepada kitab-kitab fiqih..

·         Imam Syaukani r.a berkata (Nail al-Arthar 1/276):
Hadits yang ada pada bab ini, seandainya mencapai derajat marfu' –sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari r.a dan yang lainnya- maka makna hadits tersebut adalah: kami dizaman Rasulullah s.a.w –dengan sepengetahuan Beliau- tidak menganggap apa-apa terhadap as-shufrah dan al-kudrah yang keluar setelah selesai masa haid. Dan jika demikian berarti sikap para waniita tersebut telah mendapat persetujuan dari Rasulullah. Disamping itu jika hadits tersebut difaham dari konteksnya maka as-sufrah dan al-kudrah yang keluar setelah selesai masa haid tidak termasuk darah haid. sebaliknya –jika difaham dari makna yang terdapat dibalik konteks- apabila kedua cairan tersebut keluarnya sebelum selesai masa haid, maka ia dianggap termasuk darah haid. ini sebagaimana pendapat yang dikatakan oleh Jumhur ulama.

·         Ibnu Hazm ra berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhalla (2/191):
Maka apabila darah yang ia lihat telah berwana merah muda, atau seperti air daging, atau berwarna kuning, atau keruh atau putih atau ia tidak melihat sama sekali, berarti wanita tersebut telah suci, dan iapun diwajibkan mandi atau –jika tidak memunggkinan untuk menggunakan air- bertayammum, lalu ia mengerjakan shalat dan puasa, serta –saat itu- telah dibolehkan bagi suami atau tuannya untuk menjima'. Begitulah seterusnya setiap kali ia melihat darah hitam keluar dari vagina, maka ia dianggap sedang haid. Dan setiap kali ia melihat warna darah tersebut berubah lebih muda atau sebagiamana yang disebutkan diatas, maka wanita tersebut telah dianggap suci. Dengan haid dan suci seperti itulah 'iddah wanita yang dicerai suaminya harus dihitung.

Dan apabila darah yang kehitam-hitaman tersebut terus menerus keluar, maka maksimal masa haidnya adalah tujuh belas hari. Dan jika –setelah lewat tujuh belas hari- darah itu masih keluar, maka darah tersebut bukan dianggapa darah haid.

Menurut pendapat saya: dalil yang dipegang oleh Ibnu Hazm r.a adalah: pertama hadit Rasulullah s.a.w ketika Beliau menggambarkan darah haid, bahwa ia adalah darah yang berwana merah kehitam-hitaman, dan berbau. Dan masalah ini –insya Allah- akan kita bahas kembali.

Adapun landasan pijakan Ibnu hazm r.a mengatakan bahwa maksimal masa haid adalah tujuh belas hari, adalah sekedar –sejauh- apa yang pernah Beliau dengar, bahwa tidak ada wanita yang haid lebih dari tujuh belas hari. Dan sesungguhnya telah kita bahas bersama tentang minimal dan maksimal masa haid yang biasanya dilewati oleh wanita. Dan disana kita juga menegaskan bahwa tidak ada satu dalilpun dari Rasulullah s.a.w yang memberikan batasan maksimal atau minimal tentang masa haid.
[6] . Beliau adalah: Abdullah ibn Abu Bakar ibn Muhammad ibn 'Amr ibn Hazm.
[7] . Disini kami tidak dapat menentukan dengan pasti siapakah yang dimaksud dengan "bibinya", apakah ia dalah bibi aslinya atau bibi kakeknya.
[8] . Disini kami juga tidak dapat menentukan dengan pasti orang yang dimaksud dengan anak perempuan Zaid ibn Tsâbit, apakah ia Ummu Kultsum atau bukan. Dan perbedaan ulama tentang sanad atsar ini telah disebutkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dalam kibanya Fathu al-Bârî (1/420-421)

bahkan sekalipun atsar ini tidak shahih, tetap saja tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa wanita dizaman Rasulullah s.a.w sampai melakukan hal tersebut (tengah malam meminta lampu hanya untuk melihat apakah mereka telah suci). Maka tidak melakukannya lebih dekat kepada mengikut sunnah Rasulullah s.a.w, dan terhindar dari kesulitan yang dibuat-buat. Wallahu a'lam.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "DATANG DAN PERGINYA HAID"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...