Monday, July 05, 2010

0 DIWAJIBKAN TERHADAP WANITA YANG SEDANG HAID MENOLAK AJAKAN SUAMINYA UNTUK BERSETUBUH DENGAN MEMASUKAN PENIS KEDALAM LUBANG VAGINA.


Ketahuilah bahwa diwajibkan terhadap wanita yang sedang haid menolak ajakan suaminya untuk bersetubuh dengan memasukan penis kedalam lubang vagina, hal ini berdasarkan nash-nash dibawah ini

Firman Allah s.w.t: "Maha hendaklah kalian menjauh kan diri dari wanita diwaktu mereka sedang haid" (Q.S. al-Baqarah: 222)

Sabda Rasulullah s.a.w: "Bantulah saudaramu yang berbuat zalim dan saudaramu yang dizalimi". Lalu sahabat berkata: bagaimana caranya kami dapat menolong saudara kami yang berbuat zalim, wahai Rasululah? Beliau menjawab: "kalian dapat menolongnya dengan mencegah agar ia tidak melakukan kezaliman".

Firman Allah s.w.t: "dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran" (Q.S. al-Mâ'idah: 2).

Sabda Rasulullah s.a.w: "Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangan, dan jika ia tidak mampu –dengan tangan-, maka hendaklah ia merubahnya dengan ucapan. Dan jika ia tidak mampu merubahnya –dengan ucapan-, maka hendaklah hatinya mengingkari kemungkaran tersebut. Dan itulah selemah-lemahnya iman".


APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH WANITA YANG SEDANG HAID, APABILA SUAMINYA MEMAKSA UNTUK BERSETUBUH DENGAN MEMASUKAN PENIS KEDALAM VAGINA?

Diwajibkan terhadap wanita yang sedang haid menolak ajakan suaminya untuk besetubuh, sebagaimana dengan jelas kita ketahui pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi jika wanita tersebut tidak kuasa menolak keinginan suaminya, maka –jika persetubuhan terjadi disaat wanita tersebut masih dalam keadaan haid- ia tidak dianggap berbuat dosa. Meskipun demikian, hendaklah ia mengucapkan istrighfar dan meminta ampun kepada Allah s.w.t.

* Ada hadits yang diriwayatkan tentang seorang laki-laki yang menjima' istrinya yang sedang haid, diantaranya; hadits Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Rasulullah bersabda: "barang siapa yang menjima' istrinya, sementara ia sedang haid, maka hendaklah ia bersedekah satu atau setengah dinar".

Namun sanad hadits ini dapat kritikan dari ulama hadits, hal tersebut juga telah kami ketahui.

Bahkan Imam Baihaqî ra dengan panjang lebar telah mejelaskan –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya as-Sunan al-Kubrâ 1/314-319). Beliau juga menyebutkan dengan sanad yang shahih dari Syu'bah r.a bahwa beliau telah menarik kembali pernyataannya yang mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits marfu'. Lalu beliau (Syu'bah) menyatakannya sebagai hadits mauquf terhadap Ibnu Abbas r.a.

Dan manakala orang menanyakan hal tersebut kepada Syu'bah, beliau hanya berkata: sesungguhnya dahulu aku menyatakan hal tersebut disaat masih gila, namun sekarang aku telah menjadi orang yang normal(as-Sunan al-Kubrâ 1/315).

Sekalipun –andaikata- hadits ini shahih, ia juga hanya dikhususkan terhadap suami, dan tidak ada kaitannya dengan si istri. Dan sebagian besar ulama telah mengatakan: sesungguhnya seorang suami apabila ia menjima' istrinya yang sedang haid, maka ia dianggap telah berbuat maksiat, dan ia pun tidak lebih hanya diwajibkan beristrighfar.

Dibawah ini sebagian perkataan para ulama tentang permasalahan diatas:
·        Al-Khattabi r.a berkata ('Aun al-Ma'bud 1/448):
Sebagian besar ulama mengatakan: laki-laki yang menjima' istrinya yang sedang haid tidak diwajibkan membayar kaffarah (tebusan) ia hanya diwajibkan mengucapkan istighfar. Mereka mengatakan bahwa hadits diatas adalah mursal atau mauquf kepada Ibnu Abbas r.a. Ia bukan hadits yang muttashil maupun marfu'. Sementara selama tidak ada dalil yang menyatakan sesuatu, maka siapapun tidak memiliki tanggungan kewajiban.

·        Pendapat ini juga telah dinukil oleh Ibnu Qudâmah dari sebagian besar para ulama–sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mughni 1/335.

·        Dalam kitabnya al-Majmû' syahr al-Muhazzab (2/360-361) Imam Nawawi r.a berkata:
(Masalah): mengenai pendapat ulama tentang seorang laki-laki yang -dengan sengaja dan mengetahui dengan larangan- menjima' istrinya yang sedang haid; sesungguhnya telah kami sebutkan bahwa pendapat yang shahih dan masyhur menurut mazhab syafi'I, bahwa laki-laki tersebut tidak diwajibkan membayar kaffarat.

Pendapat ini juga dikatakan oleh Imam Mâlik r.a, Imam Abu Hanifah r.a dan kedua muridnya (Abu Yûsuf r.a dan Muhammad ibn Hasan r.a), serta Imam Ahmad r.a menurut salah satu pendapat yang diriwayatkan dari beliau.

Pendapat ini juga telah diriwayatkan oleh Abu Sulaiman al-Khattabi r.a dari sebagian besar para ulama, dan juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Munzir r.a dari 'Athâ' r.a, Ibnu Abi Mâlikah r.a, as-Sya'bi r.a, an-Nukha'I r.a, Makhûl r.a, Zuhri r.a, Ayyûb r.a, as-Sahktiyâni r.a, Abu az-Zannad r.a, Rabi'ah r.a, Hammâd ibn Abi Sulaiman r.a, Sufyan at-Tsauri r.a, dan Laits ibn Sa'd r.a.

Sebagian kelompok ulama lain mengatakan bahwa, laki-laki yang menjima' istrinya disaat ia sedang haid diwajibkan membayar satu dinar setengah, sesuai dengan rincian yang telah terdahulu.

Namun mereka berbeda pendapat menentukan standar situasi dan kondisi ketika terjadinya persetubuhan dengan istri yang sedang haid. pendapat ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Munzir dari Ibnu Abbas r.a, Qatâdah r.a, Auzâ'î r.a, Ahmad r.a, dan Ishâq r.a.

Dan diriwayatkan pula –pendapat lain- dari Sa'îd ibn Jubair r.a bahwa laki-laki tersebut diwajibkan memerdekaan seorang budak. Ada lagi sebuah pendapat yang diriwayatkan dari Hasan al-Basri r.a: diwajibkan terhadap laki-laki tersebut sebagaimana yang diwajibkan terhadap orang yang bersetubuh disiang hari bulan Ramadhan, ini berdasarkan pendapat masyhur yang diriwayatkan dari Hasan al-Basri r.a. Riwayat lain –dari Hasan al-Basri r.a-, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Jarîr r.a, bahwa beliau mengatakan: diwajibkan terhadap laki-laki tersebut memerdekaan seorang budak atau menyembelih hewan kurban, atau memberikan makan sebanyak dua puluh shâ' (takaran yang berukuran empat kali dua telapak tangan).

Dan dalil yang mendasari pendapat mereka, adalah hadits Ibnu Abbas r.a. sementara telah kita ketahui bersama bahwa hadis tersebut sangat lemah berdasarkan kesepakatan seluruh ulama hadits.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa laki-laki yang menjima' istrinya yang sedang haid tidak diwajibkan membayar kaffarah. Wallahu a'lam.

·        Dalam kitanya al-Muhallâ (2/187) Ibnu Hazm r.a berkata:
Masalah: Dan barangsiapa yang menjima' istrinya yang sedang haid, maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah s.w.t, ia diwajibkan bertaubat dan mengucapkan istighfar, namun ia tidak diwajibkan membayar kaffarah.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "DIWAJIBKAN TERHADAP WANITA YANG SEDANG HAID MENOLAK AJAKAN SUAMINYA UNTUK BERSETUBUH DENGAN MEMASUKAN PENIS KEDALAM LUBANG VAGINA."

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...