Monday, July 05, 2010

0 HADITS "SESUNGGUHNYA ORANG MATI DISIKSA KARENA TANGIS ORANG HIDUP" DAN PERDEBATAN YANG ADA SEPUTAR MASALAH INI


Hadits Umar r.a.[1]

Imam Bukhari berkata (hadits 1290):
Diriwayatkan oleh Ismail ibn Khalil dari Ali ibn Mushir dari Abu Ishaq—dia adalah al-Syaibâni—dari Abu Burdah dari ayahnya dia berkata, ketika Umar r.a. tertimpa musibah, membuat Shuhaib berkata, "aduhai saudaraku." Lalu Umar berkata, "tidakah engkau mengetahui bahwa Nabi s.a.w. bersabda, 'sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan orang hidup."
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Muslim halaman (639).

Hadits Aisyah r.a.

Imam Bukhari berkata (hadits 1289):
Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Yusuf dari Malik dari Abdullah ibn Abu Bakar dari ayahnya dari Umrah binti Abdurrahman meriwayatkan kepadanya bahwa dia mendengar Aisyah r.a. istri Nabi s.a.w. berkata, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. sedang lewat pada perempuan Yahudi (meninggal) dan keluarganya menangisinya lalu dia berkata, "mereka menangisinya sedang dia sesungguhnya disiksa dalam kuburnya."
Hadits Sahih

Dan dikeluarkan oleh Muslim hal. (643), Turmudzi dalam Bab Jenazah hadits (1006) dan berkata, ini hadits hasan lagi sahih, dan Nasa`i (4/17).

Redaksi lain bagi dua hadits itu sekalian

Imam Bukhari berkata (hadits-hadits 1286, 1287, 1288):    
Diriwayatkan oleh Abdân dari Abdullah dari Ibnu Juraij dia berkata, diriwayatkan oleh Abdullah ibn Ubaidullah ibn Abi Mulaikah dia berkata, anak perempuan Ustman r.a. wafat di Makkah dan kami datang untuk menghadirinya dan hadir juga Ibnu Umar r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dan aku duduk di antara mereka berdua—atau dia berkata, aku duduk di samping salah satu keduanya—kemudian datang orang lain lalu duduk di sampingku. Kemudian Abdullah ibn Umar r.a. berkata kepada Amar ibn Ustman, "tidakkah kamu berhenti menangis? Karena sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda, 'bahwasanya orang mati disiksa dengan tangisan keluarga atasnya." Kemudian Ibnu Abbas r.a. berkata, "sesungguhnya Umar r.a. berkata sebagian itu." Kemudian dia menceritakan (hadits), dia berkata, saya bersama Umar r.a. keluar dari Makkah sampai ketika kami berada di sahara, tiba-tiba ada rombongan dalam bayang kecoklat-coklatan. Lalu dia (Umar) berkata, "pergilah dan lihat siapa rombongan itu." Dia berkata, lalu aku melihat ternyata Shuhaib kemudian aku beritahu kepadanya. Lalu dia berkata, "panggil dia kemari untukku." Lalu aku kembali kepada Shuhaib dan aku katakan, "pergilah dan temui Amirul Mu'minin." Ketika Umar tertimpa musibah, Shuhaib masuk sambil menangis dan berkata, "aduhai saudaraku.. aduhai sahabatku." Sehingga Umar r.a. berkata, "hai Shuhaib, apakah kamu menangisi diriku. Padahal Rasulullah s.a.w. telah bersabda, 'sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan keluarganya atas dirinya??!!" Ibnu Abbas r.a. berkata, kemudian setelah Umar r.a. meninggal, aku ceritakan hal itu kepada Aisyah r.a. lalu dia berkata, "semoga Allah merahmati Umar. Demi Allah, Rasulullah tidak menyatakan bahwa Allah menyiksa seorang mukmin karena tangisan keluarganya atas dirinya, tetapi Rasulullah s.a.w. berkata, 'sesungguhnya Allah menambah siksa orang kafir karena tangisan keluarganya atas dirinya'." Dan dia berkata, "cukup bagi kalian al-Qur'an 'seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain'  [(QS. Fâthir-[35]:18)]." Ibnu Abbas r.a. berkata ketika itu, "dan Allah 'Dialah Zat yang membuat tertawa dan membuat menangis.'" Ibnu Abi Mulaikah berkata, "demi Allah, Ibnu Umar tidak mengatakan sesuatu pun."[2]
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Muslim halaman 641 dan Nasa`I  (4/18).

Haram menampar pipi, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan Jahiliah

Imam Bukhari berkata (1294):
Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dari Sufyan dari Zubaid al-Yâmi dari Ibrahim dari Masrûq dari Abdullah r.a. dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "bukan termasuk golongan kami[3] orang yang menampar pipi, merobek saku, dan menyeru dengan seruan Jahiliah."[4]
Hadits Sahih

Dan dikeluarkan oleh Bukhari pada beberapa tempat dalam kitab sahihnya, dan Muslim hal. (299/1), Nasa`I (4/21), Turmudzi dalam bab Jenazah hadits (999) dan dia berkata, ini hadits hasan lagi sahih, dan Ibnu Majah hadits (1584).

Imam Muslim berkata (hadits 104):
Diriwayatkan oleh Hakam ibn Musa al-Qanthari dari Yahya ibn Hamzah dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Jabir bahwa Qâsim ibn Mukhaimirah meriwayatkan kepadanya, dia berkata diriwayatkan oleh Abu Burdah ibn Abu Musa dia berkata, Abu Musa menderita sakit sehingga tidak sadarkan diri dan kepalanya dalam pangkuan seorang wanita dari keluarganya. Lalu seorang wanita dari keluarganya berteriak dan dia tidak sanggup untuk mengatakan sesuatu kepadanya. Maka ketika sudah sadarkan diri dia berkata, "Aku berlepas diri dari apa yang Rasulullah s.a.w. berlepas diri darinya maka sesungguhnya Rasulullah s.a.w. berlepas diri dari wanita yang menyaringkan suaranya,[5] wanita yang menggundul kepalanya[6], dan wanita yang merobek-robek pakainnya.[7]"
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Bukhari sebagai penjelasan tambahan (hadits 1296).


[1]Dan hadits dari Umar r.a. terdapat beberapa sanad riwayat, silahkan lihat beberapa di antaranya dalam Sahih Muslim halaman 638 dan setelahnya.
[2] Al-Allamâh Ibnu al-Qayyim dalam syarah singkatnya terhadap Sunan Abu Daud (bersama Aunul Ma'bûd, 8/400) berkata: ini salah satu hadits yang ditolak oleh Aisyah r.a., dan ia perbaiki dan menyatakan padanya bahwa Ibnu Umar keliru. [(footnote: menurut saya, dia (Aisyah) lebih utama lagi menyatakan bahwa Umar keliru karena Ibnu Umar periwayat hadits dari ayahnya juga.)]. Pendapat yang benar bersama Ibnu Umar karena dia menghapalnya dan tidak melakukan kekeliruan padanya. Dan ayahnya Umar ibn Khattab meriwayatkannya dari Nabi s.a.w. dan hadits itu terdapat dalam dua kitab sahih. Dan dia disepakati oleh mereka yang hadir dari para sahabat sebagaimana Bukhari dan Muslim dalam dua kitab sahihnya meriwayatkan dari Ibnu Umar dia berkata, ketika Umar ditusuk, dia pingsan lalu ada yang berteriak karenanya. Kemudian ketika sudah sadarkan diri, dia berkata, "tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, 'sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan orang yang masih hidup."

Dan mereka berdua juga meriwayatkan darinya dari Nabi s.a.w. dia bersabda, "orang mati disiksa karena ratapan atas dirinya." Dan mereka berdua juga meriwayatkan dari Abu Musa dia berkata, ketika Umar tertimpa  musibah, membuat Shuhaib berkata, "aduh saudaraku." Lalu Umar berkata kepadanya, "wahai Shuhaib, tidakkah kamu mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, 'sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan orang yang masih hidup."

Dan dalam kalimat lain dari riwayat mereka berdua: Umar berkata, Demi Allah aku mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, "siapa yang ditangisi atas dirinya disiksa." Dan dalam dua kitab sahih dari Anas bahwasanya Umar ketika ditikam, Hafshah (histeris) meratapinya sehingga dia berkata, wahai Hafshah, tidakkah kamu mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, "orang yang diratapi itu disiksa." Dan dalam dua kitab sahih dari Mughîrah ibn Syu'bah, saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, "siapa yang diratapi maka dia disiksa karena ratapan atas dirinya."

Maka mereka semua ini, Umar ibn Khattab, dan anaknya Abdullah, anak perempuannya Hafshah, Shuhaib, Mughirah ibn Syu'bah, semuanya meriwayatkan hadits itu dari Nabi s.a.w. dan mustahil jika mereka semua ini keliru dalam hadits. [(footnote: demikian perkataan Ibnu al-Qayyim. Dan kepadanya sedikit komentar dari sisi bahwa sebagian besar dari mereka meriwayatkan hadits dari Umar dari Rasulullah s.a.w. sebagaimana tampak jelas dari sanad-sanad riwayat hadits secara khusus dalam riwayat Muslim dan lainnya.)].

Dan pertentangan yang dikemukakan oleh Ummul Mukminin r.a. antara riwayat mereka dengan firman Allah, "seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain." [(QS. Fâthir-[35]:18)] sama sekali tidak mesti berlaku. Dan seandainya mesti berlaku, tentu juga berlaku pada riwayatnya bahwa orang kafir ditambah siksanya oleh Allah karena tangisan keluarganya atas dirinya. Maka sesungguhnya Allah tidak menyiksa seseorang karena dosa orang lain yang tidak ada kaitan dengan dirinya. Lalu apa yang menjadi jawaban Ummul Mukminin dari cerita orang kafir adalah jawaban 'anak-anaknya' itu sendiri terhadap hadits yang ia perbaiki dan koreksi terhadap mereka.

Kemudian dia menyebutkan beberapa cara penggabungan dan dia menyatakan bagus bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah bentuk kepedihan dan tersiksa yang dialami orang mati disebabkan tangisan mereka yang masih hidup atas dirinya dan bukan maksudnya bahwa Allah menyiksanya karena tangisan mereka yang masih hidup atas dirinya. Sebab sesungghunya perasaan tersiksa termasuk jenis kepedihan yang ia dapatkan dengan orang yang dekat dengannya karena derita yang menimpanya. Dan seumpamanya sabda Nabi s.a.w. "perjalanan (musafir) adalah sebagian dari siksa" dan ini bukan sanksi siksa atas suatu dosa tetapi adalah bentuk tersiksa dan kepedihan. Maka apabila hal tercela berupa ratapan terhadap yang mati dilakukan maka dia akan merasakan kepedihan dan bentuk tersiksa karena hal itu. Dan menunjukkan atas hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab sahihnya dari Nu'man ibn Basyir dia berkata, Abdullah ibn Rawâhah tidak sadarkan diri sehingga membuat saudarinya menangis (dan berkata), aduhai 'beratnya' dan begini begitu dia meratapi atas dirinya. Ketika sudah sadarkan diri dia berkata, "kamu tidak mengatakan sesuatu kecuali telah disampaikan kepadaku bahwa kamu begitu..?! dan telah lewat sabda Nabi s.a.w. dalam hadits Abdullah ibn Tsâbit,  "apabila telah meninggal dunia maka jangan ada seorangpun menangis." Dan ini paling sahih sesuatu yang dikemukakan dalam hadits. Demikian perkataan Ibnu al-Qayyim.

Dan ini sebagai tambahan dalam penggabungan antara hadits-hadits (hadits Umar r.a. dan hadits Aisyah r.a.) dan beberapa cara dan metode yang ditempuh oleh para Ulama dalam masalah ini. Mereka mengemukakan beberapa pendapat dalam masalah ini, kami kemukakan yang paling masyhur di antaranya secara singkat:

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh jumhur ulama bahwa orang yang disiksa karena tangisan keluarga atasnya adalah dia yang berwasiat agar ditangisi dan diratapi setelah kematiannya lalu dilaksanakan wasiatnya. Maka ini yang disiksa karena tangisan dan ratapan keluarganya atas dirinya karena hal itu disebabkan olehnya dan terkait dengannya. Mereka mengatakan, adapun orang yang ditangisi dan diratapi oleh keluarganya bukan dengan wasiat darinya maka ini tidak disiksa karena firman Allah s.w.t. "seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain." [(QS. Fâthir-[35]:18)] Mereka mengatakan, kebiasaan orang Arab adalah memberi wasiat untuk melakukan hal itu. Seperti perkataan Tharfah ibn 'Abd:

Apabila aku mati maka ratapilah aku karena aku layak diratap
 dan robeklah kantong pakaian atasku wahai anak perempuan Ma'bad (syair).
Imam Nawawi menisbatkan pendapat ini kepada jumhur (Syarah Muslim, 2/589).

Kedua, pendapat Bukhari ketika dia memberi judul bab dengan Bab sabda Nabi s.a.w. "orang mati disiksa karena sebagian tangisan keluarganya atas dirinya," apabila meratap termasuk dari sunnahnya (tradisi dan sesuatu yang dicontohkan) karena firman Allah s.w.t., "peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka" [(QS.  Al-Tahrîm-[66]:6)] Dan Nabi s.a.w. bersabda, "setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin." Maka apabila tidak termasuk tradisinya maka sebagaimana pendapat Aisyah r.a. "seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain." [(QS. Fâthir-[35]:18)] Dan seperti firman Allah s.w.t. "dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun" [(QS. Fâthir-[35]:18)] dan apa yang diperbolehkan berupa tangisan tanpa ratapan. Dan Nabi s.a.w. bersabda, "tidaklah suatu jiwa dibunuh secara zhalim kecuali atas anak Adam pertama ada bagian dari darahnya." Karena dia orang yang pertama kali memberi contoh pembunuhan.

Ketiga, dia disiksa sebanding dengan ukuran tangisan keluarganya atas dirinya. Karena perbuatan-perbuatan yang mereka sebut-sebut atas dirinya pada biasanya adalah perbuatan-perbuatan terlarang lalu mereka memujinya dengan perbutan-perbuatan itu sedang dia disiksa karena perbuatannya tersebut, yaitu sesuatu yang mereka puji-puji itu.

Keempat, bahwa yang dimaksud adalah bentuk kepedihan orang yang mati karena apa yang dilakukan oleh keluarganya.

Kelima, dia disiksa karena lalai dalam mengajarkan keluarganya sehingga menyebabkan mereka melakukan hal itu. Maka dia bertanggung jawab atas orang yang ia pimpin.

Dan masih terdapat banyak lagi pendapat disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri (3/154-155), Ibnu al-Qayyim dalam syarah singkatnya terhadak Sunan Abu Daud, dan Nawawi dalam Syarah Muslim (2/589), siapa yang ingin penjelasan tambahan silahkan merujuk kesana.

Catatan: Imam Nawawi mengutip (Syarah Muslim, 2/590) kesepakatan ijma bahwa yang dimaksud dengan tangisan dalam hadits ini adalah tangisan dengan suara dan ratapan. Dia berkata, dan mereka semua sepakat secara ijma dengan segala perbedaan mazhab mereka bahwa yang dimaksud dengan tangisan di sini adalah tangisan dengan suara dan ratapan bukan semata-mata air mata.     
[3] Al-Hafizh dalam Fathul Bâri berkata: perkataannya (bukan termasuk golongan kami) yaitu bukan termasuk pengikut sunnah dan jalan kami dan bukan maksudnya dia keluar dari agama. Tetapi kegunaan pernyataan dengan kata ini untuk menunjukkan hal yang bersangatan dalam mengancam agar tidak terjatuh dalam perbuatan seperti itu sebagaimana seorang laki-laki berkata kepada anaknya ketika dia mencelanya aku bukan darimu dan kamu bukan dariku, yakni kamu bukan pengikut jalanku. Dan Zain ibn Munir berkata dimana kesimpulannya adalah takwil pertama menuntut bahwa 'khabar' hanya terdapat dari sesuatu yang eksis dan ini dipelihara perkataan Pembuat ketetapan dari tafsiran itu dan lebih bagus dikatakan bahwa yang dimaksud adalah pelaku hal-hl tersebut beresiko untuk dijauhi dan ditinggalkan sehingga tidak bisa berbaur pengikut sunnah sebagai sanksi mendidik baginya karena dia melakukan perbuatan jahiliah yang dicela oleh Islam. Maka ini lebih utama daripada ditafsirkan atas sesuatu yang tidak bisa diambil suatu faidah yang lebih dari perbuatan yang ada.

Dan disebutkan dari Sufyan bahwa dia membenci terlalu jauh dalam mentakwilkannya dan dia berkata: semestinya untuk berhenti dari pentkwilan itu agar lebih mengena sasaran dalam jiwa dan lebih mendalam ancaman yang diberikan. Dan dikatakan, maknanya tidak berada dalam agama kami secara sempurna yakni dia telah keluar dari salah satu cabang dari cabang-cabang agama dan walaupun bersamanya masih ada fondasi dasar (ashal) agama, disebukan oleh Ibnu al-Arabi. Dan yang nampak menurut saya, bahwa pengeluaran ini ditafsirkan oleh berlepas diri yang terdapat dalam hadits Abu Musa, dia berkata, dan Rasulullah s.a.w. berlepas diri darinya. Dan asli makna berlepas diri adalah berpisah dari sesuatu dan sepertinya dia mengancam tidak akan memasukkan dalam kelompok orang yang menerima syafaatnya misalnya. Sedangkan Mahlab berkata, saya berlepas diri yaitu dari orang yang melakukan apa yang disebutkan waktu perbuatan itu dilakukan dan bukan bermaksud mengeluarkannya dari Islam. Saya tegaskan, antara dua pendapat itu terdapat pendapat penengah yang diketahui dari penjelasan yang telah lewat pada awal pembahasan. Dan ini menunjukkan atas pengharaman apa yang disebutkan berupa merobek-robek saku (pakaian) dan selainnya. Dan sepertinya sebab pelarangan karena perbuatan-perbutan itu mengandung ketidakrelaan terhadap ketentuan (Qadha) dan apabila terjadi pernyataan tegas hal itu dibolehkan padahal mengetahui itu diharamkan atau dibenci misalnya dengan apa yang terjadi maka tidak ada halangan menafsirkan makna pengeluaran itu sebagai keluar dari agama.      
[4] Seruan jahiliah yaitu meratapi, histeris menyesali orang mati dan menyeru-nyeru dengan kata-kata celaka. Demikian dikutip oleh Nawawi dari 'Iyâdh.
[5] (penjelasan kata) shâliqah yaitu wanita yang menyaringkan suaranya ketika tertimpa musibah.
[6] (penjelasan kata) hâliqah yaitu wanita yang menggundul kepalanya ketika tertimpa musibah.
[7] (penjelasan kata) syâqqah yaitu wanita yang merobek-robek pakaiannya ketika terjadi musibah.

Dan dalam suatu riwayat Imam Muslim dari sanad Abdurrahman ibn Yazid dan Abu Burdah mereka berdua berkata, Abu Musa tidak sadarkan diri lalu istrinya Ummu Abdillah datang berteriak histeris. Mereka berdua berkata, kemudian dia sadarkan diri dan berkata, "tidakkah kamu mengetahui (dia berbicara kepadanya) bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, Aku berlepas diri dari orang yang menggundul kepala, menyaringkan suara, dan orang yang merobek-robek."

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "HADITS "SESUNGGUHNYA ORANG MATI DISIKSA KARENA TANGIS ORANG HIDUP" DAN PERDEBATAN YANG ADA SEPUTAR MASALAH INI"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...