Monday, July 05, 2010

0 WANITA MEMANDIKAN SUAMINYA ATAU SEBALIKNYA


Aisyah r.a. berkata, "seandainya aku mengetahui sebelum ini kalau akan begini jadinya, tidak memandikan Rasulullah s.a.w. kecuali para istrinya."
Dan hadits ini menyatakan hal itu

Abu Daud berkata (hadits 3141):
Diriwayatkan oleh Nufaili dari Muhammad ibn Salamah dari Muhammad ibn Ishaq dari Yahya ibn Ubbâd dari ayanya Ubbâd ibn Abdullah ibn Zubair dia berkata, saya mendengar Aisyah r.a. berkata, ketika mereka ingin memandikan Rasulullah s.a.w. mereka berkata, "demi Allah, kita tidak tahu apakah kita melepaskan pakaian Rasulullah s.a.w. sebagaimana kita melepaskan pakaian mayit-mayit kita atau kita memandikannya dengan pakaian di tubuhnya?" Saat mereka berselisih, Allah timpakan tidur kepada mereka hingga tidak ada seorang laki-laki dari mereka kecuali dagunya menyentuh dadanya. Kemudian seseorang berbicara kepada mereka dari sisi rumah yang mereka tidak ketahui siapa dia, "mandikan Nabi s.a.w. dengan pakaian di tubuhnya." Lalu mereka bangkit menuju Rasulullah s.a.w. dan memandikannya sedang pakaiannya masih ditubuhnya, mereka mengucurkan air dari atas pakaian dan mereka menggosoknya dengan pakaian menghalangi tangan mereka. Dan Aisyah berkata, "seandainya aku mengetahui sebelum ini kalau akan begini jadinya, tidak memandikan dirinya kecuali para istrinya."[1]
Hadits Hasan
Dan lihat takhrijnya dalam buku kami Cara Memandikan dan Mengkafan.

·      Dan terdapat sejumblah atsar—secara keseluruhan sampai pada derajat sahih—bahwa istri-istri Abu Bakar r.a. melaksanakan sendiri dalam memandikannya karena wasiat darinya. Dan ini beberapa bagian dari atsar-atsar itu:

·      Abdur Razzaq berkata (al-Mushannaf no. 6117): diriwayatkan oleh Ma'mar[2] dari Ayyûb dari Ibnu Abi Mulaikah[3] bahwa istri Abu Bakar memandikannya ketika dia wafat. Dia berwasiat dengan hal itu.
Mursal

·      Dan Abdur Razzaq juga meriwayatkan (6119) dari Tsauri dari Ibrahim al-Nukha'I bahwa Abu Bakar dimandikan oleh istrinya Asma dan Abu Musa dimandikan oleh istrinya Ummu Abdillah.
Mursal

Tsauri berkata, dan kami mengatakan, seorang laki-laki tidak boleh memandikan istrinya karena seandainya dia mau dia bisa mengawini saudarinya setelah istrinya meninggal dunia. Dan kami mengatakan, boleh bagi seorang perempuan memandikan suaminya karena dia berada dalam masa 'iddah.

·      Dan Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 3/259):
Diriwayatkan oleh Ali ibn Mushir dari Ibnu Abi Laila dari Hakam dari Abdullah ibn Syidâd bahwa Abu Bakar berwasiat kepada Asma binti Umais agar memandikannya.
Mursal

·      Dan Abdur Razzaq meriwayatkan (6124):
Dari Ibnu Uyainah dari Amar dari Ismail ibn Abu Khalid dari Abu Bakar ibn Hafash ibn Saad dia berkata, Abu Bakar memerintahkan istrinya Asma untuk memandikannya sedangkan dia dalam keadaan berpuasa. Tetapi dia (Abu Bakar) sudah berketetapan hati padanya sehingga dia berbuka. Lalu dia minta ambilkan air sebelum matahati terbenam lalu minum dan berkata, Aku tidak mengikutkannya hari ini suatu dosa dalam kuburnya.
Mursal

·      Dan Imam Malik meriwayatkan (al-Muwaththa`, 1/223):
Dari Abdullah ibn Abu Bakr bahwa Asma binti Umais memandikan Abu Bakar al-Shiddiq ketika dia wafat kemudian dia keluar dan bertanya kepada mereka yang hadir dari golongan Muhajirin, dia berkata, "Aku sedang puasa dan hari ini sangat dingin apakah aku wajib memandikan?" Mereka menjawab, "tidak."
Mursal
Dan dikeluarkan oleh Abdir Razzaq (al-Mushannaf, 6123).

Maka semua atsar mursal ini secara keseluruhan sudah pasti sampai pada derajat sahih dan jelas tetap bahwa Abu Bakar dimandikan oleh Asma binti Umais istrinya atas wasiatnya r.a. untuk melakukan hal itu.[4]

Demikian, dan ini beberapa atsar lain yang terkait dengan masalah bab ini, yaitu:

·      Abdur Razzaq meriwayatkan (al-Mushannaf 6120):
Dari Tsauri dia berkata, saya mendengar dari Hamâd, apabila wanita bersama suatu kaum meninggal dunia maka wanita memandikan suaminya dan laki-laki memandikan istrinya.
Sahih dari Hamad
Dan dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (3/249-250).

·      Dan Abdur Razzaq meriwayatkan:
Dari Ibnu Uyainah dari Amar ibn Dinar dari Abu Sya'tsâ dia berkata, seorang laki-laki lebih berhak memandikan istrinya dari saudaranya (istri).
Sahih dari Abu Sya'tsâ
Dan silahkan lihat al-Muhalla karya Ibnu Hazm (5/175).

·      Dan Abdur Razzaq meriwayatkan (6125):
Dari Hisyâm ibn Hasân dari Hasan dia berkata, apabila seseorang perempuan meninggal dunia dan mereka tidak menemukan perempuan untuk memandikannya, maka suaminya atau anaknya memandikannya. Dan apabila mereka menemukan wanita Yahudi atau wanita Nasrani, dia memandikannya.[5]
Sahih sampai pada Hasan

Dan Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 3/250):
Diriwayatkan oleh Wakî' dari Sufyan dari Abdul Karim dari Athâ dia berkata, wanita memandikan suaminya.
Sahih dari Athâ

Demikianlah, dan terdapat lagi atsar dari berbagai sanad riwayat yang terdapat kelemahan padanya, yaitu pada riwayat Baihaqi (3/396-397), Syafi'I dalam al-Um (1/243), Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf (3/410-411) dan selain mereka bahwa Fatimah berwasiat agar dimandikan oleh Ali r.a. dan Asma binti Umais r.a. Dan masih terdapat banyak lagi atsar yang lain dalam masalah ini, sebagiannya kuat dan dan sebagian besarnya terdapat kelemahan kami gugurkan dari buku ini karena kuatir hanya memperpanjang saja.

Laki-laki memandikan istrinya

·      Imam Ahmad berkata (al-Musnad, 6/228):
Diriwayatkan oleh Muhammad ibn Salamah dari Muhammad ibn Ishaq dari Ya'qub ibn Utbah dari Zuhri dari Ubaidullah ibn Abdullah dari Aisyah dia berkata, Rasulullah kembali ke rumahku pada suatu hari dari suatu jenazah di Baqi' dan aku merasakan sakit di kepalaku dan aku berkata, "aduh kepalaku.." Dia berkata, "apa susahnya bagimu, seandainya kamu meninggal sebelumku lalu aku memandikanmu dan mengkafanmu kemudian aku menshalatkanmu dan menguburkanmu." Aku katakan, "tetapi aku atau sepertinya aku denganmu, demi Allah, seandainya kamu melakukan itu, kamu kembali ke rumahku lalu 'bercengkrama' dengan sebagian istri-istrimu." Dia bekata, lalu Rasulullah s.a.w. tersenyum kemudian diserang sakitnya yang dia meninggal dunia padanya.
Hadits Sahih Lighairih[6]

Dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1465) dari sanad riwayat Ahmad ibn Hambal juga. Dan dikeluarkan oleh al-Dârimi (1/37-38), Baihaqi (3/396), dan Daraquthni (2/74) dari riwayat Muhammad ibn Ishaq, dia pelaku tadlîs dan meriwayatkan dengan kata dari ('an'an) dalam sanad-sanad riwayat yang telah kami tunjukkan. Dan asal hadits terdapat dalam kitab sahih dengan sanad riwayat lain dari Aisyah dan tidak terdapat padanya kata (lalu aku memandikanmu).

Tambahan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah laki-laki memandikan istrinya dan wanita memandikan suaminya

Terlebih dahulu ketahuilah bahwa tidak terdapat nash yang melarang laki-laki memandikan istrinya dan tidak juga terhadap wanita memandikan sauminya. Dan selama masalahnya adalah seperti itu maka hukumnya adalah boleh dan termasuk ke dalam hukum ini dukungan atsar-atsar dan hadits-hadits yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan ini beberapa pendapat para ulama dalam masalah ini.

·      Imam Syafi'I berkata (al-Um, 1/242):
Dan laki-laki memandikan istrinya apabila telah meninggal dunia dan wanita memandikan suaminya apabila telah meninggal dunia…

·      Al-Syaukani mengutip (Nailul Authâr, 4/27) dari jumhur ulama, boleh bagi wanita memandikan suaminya dan laki-laki memandikan istrinya.

·      Dan Ibnu Hazm berkata (al-Muhalla, 5/174):
Dan boleh wanita memandikan sauminya, dan ibu anaknya memandikan tuannya dan apabila telah selesai masa iddah dengan melahirkan. Lalu apabila mereka berdua kawin, tidak boleh bagi keduanya untuk memandikannya kecuali statusnya seperti wanita-wanita bukan muhrim. Dan boleh bagi laki-laki untuk memandikan istrinya, ibu anaknya, perempuan budaknya selama dia 'wanita dalam perlindungannya' tidak kawin (mengawinkan) atau membuat halal 'wanita dalam perlindungannya' dengan kepemilikan. Maka apabila dia melakukan itu, tidak boleh baginya untuk memandikannya.

·      Dan Imam Nawawi berkata (al-Majmû, 5/132):
Pengarang (yakni pengarang al-Muhazzab) menyebutkan bahwa dalil istri memandikan suaminya adalah kasus Asma[7] dan kami sebutkan bahwa itu adalah hadits dhaif. Maka pendapat yang benar adalah mengajukan argumen dengan ijma. Ibnu Mundzir dalam bukunya al-Isyraq dan buku al-Ijma' mengutip bahwa umat bersepakat secara ijma boleh bagi wanita memandikan suaminya dan demikian juga ulama selain dia mengutip ijma ini. Dan adapun riwayat yang dikemukakan oleh pengarang al-Syamil dan lainnya dari Ahmad bahwa wanita tidak boleh memandikan suaminya, maka apabila ini telah tetap, ia dibantah dengan ijma sebelumnya."
Dan lihat juga al-Majmu (5/149).

·      Demikian, sebagian para ulama seperti Sufyan Tsauri berpendapat (sebagaimana sudah kami sebutkan riwayat darinya dari al-Mushannaf, 3/409) bahwa laki-laki tidak memandikan istrinya karena seandainya mau, dia bisa mengawini saudarinya ketika ia telah meninggal dunia. Sedangkan wanita, boleh memandikan suaminya karena dia berada dalam masa iddah karena kematian itu. Dan seperti ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah (dikutip oleh Ibnu Hazm darinya dalam al-Muhalla 5/174 dan selain dia).

·      Sedangkan Abu Muhammad Ibnu Hazm, dia berkata (al-Muhalla, 5/174):
"Dan boleh bagi wanita memandikan suaminya, dan laki-laki memandikan istrinya." Dia mengajukan argumen atas pendapatnya dengan firman Allah s.w.t. "Dan bagi kalian separuh apa yang ditinggalkan istri-istri kalian." Dia (Allah s.w.t) menyebutnya istri setelah kematiannya dan dia—jika mereka berdua orang Islam—adalah istrinya di surga. Dan demikian juga ibu anaknya dan wanita budaknya. Dan telah halal baginya melihat tubuh mereka, membolak-balik, dan menyentuh mereka. Maka semua itu masih tetap dalam kebolehan dan siapa yang menyatakan keharaman hal itu karena kematian maka pendapatnya tidak benar kecuali dengan dalil nash dan tidak ada jalan baginya dalam hal itu.

·      Al-Syairazi berkata (al-Muhazzab, 5/140):
Dan apabila seorang laki-laki meninggal dunia dan tidak ada di sana kecuali wanita bukan muhrim, atau seorang perempuan meninggal dunia dan tidak ada di sana kecuali laki-laki bukan muhrim, maka dalam masalah ini terdapat dua pendapat; pertama, ditayammumkan, dan kedua, ditutup dengan pakaian dan yang memandikan menggunakan kain di tangannya kemudian memandikannya.

·      Dan Imam Nawawi berkata (al-Majmû, 5/1410:
Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dan tidak ada kecuali wanita bukan muhrim, atau seorang perempuan meninggal dunia dan tidak ada kecuali laki-laki bukan muhrim, maka dalam masalah ini ada tiga pendapat:

Paling sahih menurut jumhur ulama adalah ditayammumkan dan tidak dimandikan. Dan dengan pendapat ini diputuskan oleh al-Mushahhih (orang yang melakukan koreksi) dalam al-Tanbih, al-Muhâmily dalam al-Muqni', al-Bagawi dalam Syarah al-Sunnah, dan selain mereka. Dan dinyatakan sahih oleh al-Rûyâni, al-Râfi'I dan lain-lain. Dan dikutip oleh Syaikh Abu Hamid, al-Muhâmily, al-Bandanijy, pengarang al-Iddah, dan lain-lain dari kebanyakan sahabat-sahabat pengikut mazhab kami, sahabat-sahabat terpercaya, dan dikutip oleh al-Dârimi dari nash Syafi'I dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir karena terdapat uzur syar'I memandikannya karena sentuhan dan pandangan sehinga ditayammumkan sebagaimana jikalau uzur secara indrawi.

Kedua, wajib memandikannya dengan pakaian di tubuhnya dan orang yang memandikan menyarungkan tangannya dengan kain dan menutup mata semampunya. Maka apabila dia terpaksa harus memandang, dia memandang sekedar keperluan saja. Pendapat ini ditegaskan oleh al-Bagawi, Rafi'I dan selain mereka berdua, sebagaimana juga boleh memandang auratnya dalam rangka pengobatan. Dan pendapat ini dikemukakan oleh al-Qaffâl dan dikutip oleh al-Sarkhasi dari Abu Thâhir al-Ziyâdi dari para sahabat kami, dan dikutip oleh pengarang al-Hâwi dari nash Syafi'I dan dinyatakan sahih oleh pengarang al-Hâwi, al-Dârimi, Imam Haramain, dan Ghazali karena memandikan hukumnya wajib dan itu masih bisa dilaksanakan dengan cara yang telah kami sebutkan maka tidak ditinggalkan.

Ketiga, tidak dimandikan dan tidak ditayammumkan tetapi dimakamkan apa adanya. Ini disampaikan pengarang al-Bayân dan selainnya. Dan ini pendapat yang lemah sekali bahkan batil.

Apakah seorang laki-laki memandikan anak perempuannya?

Telah lewat disebutkan bahwa Ummu Athiah, dialah yang memandikan anak perempuan Rasulullah s.a.w. Dan tetapi apabila tidak ada para wanita yang melakukan hal tersebut atau terdapat para wanita yang tidak punya keahlian dalam hal itu, apakah dalam kondisi itu seorang laki-laki boleh memandikan anak perempuannya?

Pertama-tama, tidak terdapat dalil dalam masalah ini yang menyatakan larangan. Kemudian terdapat beberapa pendapat tentang hal itu dari sebagian ulama salaf.

·      Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 3/251):
Diriwayatkan oleh Waki' dari Sufyan dari Abu Hasyim bahwa Abu Qilâbah memandikan anak perempuannya.[8]
Sahih sampai pada Abu Qilabah

·      Imam Nawawi berkata (al-Majmû, 5/151):
(Sub Permasalahan): Pendapat mazhab mereka pada masalah laki-laki memandikan ibunya, anak perempuannya, dan selain keduanya yang termasuk muhrimnya. Kami kemukakan bahwa pendapat mazhab kami menyatakan boleh dengan syarat yang disebutkan sebelumnya. Dan pendapat ini juga dinyatakan oleh Abu Qilâbah, Auza'I, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah dan Ahmad menyatakan dilarang. Dalil kami bahwa status dia terhadap laki-laki tersebut seperti laki-laki dalam hal aurat dan khalwat (bersepi).

Apabila seorang laki-laki meninggal dunia di tengah-tengah para wanita, apakah mereka memandikannya.
Dan seorang perempuan apabila meninggal dunia di tengah-tengah laki-laki, apakah mereka memandikannya.

Kami tidak menemukan dalil marfû dari Nabi s.a.w. dalam masalah ini kecuali satu hadits mursal yang diriwayatkan secara mursal oleh Makhûl dari Nabi s.a.w. dia bersabda, "apabila seorang laki-laki meninggal dunia di tengah-tengah para wanita, dan seorang wanita meninggal dunia di tengah-tengah laki-laki, maka mereka berdua ditayammumkan dan dimakamkan. Dan mereka berdua seperti orang yang tidak menemukan air." (al-Mushannaf, 3/413) dan Baihaqi (3/398). Tetapi sebagaimana telah lewat, ini hadits mursal dan jelas lemah. Namun tampaknya riwayat ini memiliki pendukung dikemukakan oleh al-Hafizh dalam al-Ishâbah ketika mengemukakan biografi Sinân ibn Ghurfah juz 2/82: Diriwayatkan oleh Bârûdi, Ibnu Sakan, dan Thabrani dari riwayat Busr ibn Ubaidillah dari Sinân ibn Ghurfah dan dia sempat mendampingi Nabi s.a.w. pada kejadian wanita yang meninggal dunia di tengah-tengah para laki-laki yang bukan muhrimnya, dia berkata, ditayammumkan dan tidak dimandikan dan demikian juga laki-laki." Dan pendapat tayammum ini dikemukakan oleh sebagian para ulama.

Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa setiap laki-laki dan wanita apabila meninggal dunia dan tidak ditemukan para laki-laki dan tidak juga istri, demikian juga wanita apabila tidak ditemukan para wanita dan tidak ditemukan suaminya, maka mereka berdua dimandikan dengan menggunakan pakaian.

Boleh bagi para wanita memandikan anak kecil laki-laki

·      Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 3/251):
Diriwayatkan oleh Hisyâm dari Yunus dari Hasan bahwa dia berpendapat tidak mengapa wanita memandikan anak-anak apabila sudah disapih dan yang usianya di atasnya sedikit.
Sahih dari Hasan

·      Diriwayatkan oleh Azhar dari Ibnu Aun, bahwa Muhammad ditanya tentang wanita yang memandikan anak kecil laki-laki. Dia menjawab, saya berpendapat tidak mengapa.
Sahih dari Muhammad ibn Sîrîn

·      Dan Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni (2/455):
Abu Daud berkata, saya menanyakan kepada Ahmad: anak kecil ditutup sebagaimana orang dewasa ditutup—saya maksud anak kecil yang meninggal dunia—ketika memandikannya? Dia menjawab, apa saja ditutup darinya dan bukanlah auratnya itu aurat dan boleh bagi wanita memandikannya.

·      Dan Imam Nawawi dalam al-Majmu berkata (5/149):
(sub permasalahan): al-Mutawalli, pengarang al-Bayân dan beberapa kelompok dari para sahabat kami bahkan semuanya berkata, apabila anak kecil laki-laki atau perempuan meninggal dunia dan belum mencapai batas 'diinginkan', boleh bagi para laki-laki dan para wanita semuanya memandikannya. Maka apabila anak kecil perempuan sudah mencapai batas 'diinginkan', tidak memandikannya kecuali para wanita dan demikian juga anak kecil laki-laki apa mencapai batas (bisa) menyetubuhi, dia dimasukkan sebagai laki-laki.

Saya mengatakan (yang berkata adalah Mushtafa), dan dalilnya adalah firman Allah s.w.t "dan Allah tidak menyukai kerusakan."

·      Dan Imam Nawawi berkata (5/152):
(sub permasalahan): Dalam pendapat mazhab mereka tentang wanita memandikan anak kecil laki-laki dan laki-laki memandikan anak kecil perempuan dan ukuran usianya. Ibnu Mundzir berkata, para ulama sepakat secara ijma bahwa boleh bagi perempuan memandikan anak kecil laki-laki. Kemudian Hasan berkata, dia memandikannya apabila sudah disapih atau di atas usianya sedikit. Sedangkan Malik dan Ahmad berpendapat, usia tujuh tahun. Dan Auza'I mengatakan, usia empat atau lima tahun. Sedangkan Ishaq menyatakan, usia tiga sampai lima tahun. Dia berkata, para pengikut mazhab Hanafi menetapkan ukuran dengan standar bicara, mereka mengatakan: boleh bagi wanita memandikan anak kecil laki-laki selama dia belum bisa berbicara dan boleh bagi laki-laki memandikan anak kecil perempuan selama belum bisa berbicara. Saya katakan (yang berkata Imam Nawawi), dan menurut mazhab kami, keduanya dimandikan selama belum mencapai batas 'diinginkan' sebagaimana telah lewat.

Saya tegaskan (Mushtafa), dan pendapat Nawawi adalah pendapat yang lebih tepat. Wallahu A'lam.


[1] Baihaqi berkata (al-Sunan al-Kubra, 3/397) setelah dia meriwayatkan hadits ini: lalu dia menyesal sedih atas hal itu dan tidak menyesali kecuali atas apa yang diperbolehkan.
[2] Dan meskipun dalam riwayat Ma'mar dari orang-orang Bashrah terdapat kelemahan dan Ayyub salah seorang dari mereka, tetapi dia mendapat pembelaan. Dibela oleh riwayat Ibnu Uyainah dari Amar ibn Dinar dari Ibnu Abi Mulaikah seumpama atsar tersebut dalm riwayat Abdur Razzaq juga dan demikian juga terdapat dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (3/249).
[3] Dan Ibnu Abi Mulaikah adalah Abdullah ibn Ubaidullah dan dia tidak menemui masa Abu Bakar maka atsar ini mursal hanya saja terdapat beberapa riwayat pendukung yang mengangkatnya kepada derajat sahih dan dikemukakan setelahnya.
[4] Dan ini tambahan: Baihaqi berkata (al-Sunan al-Kubra, 3/397), diriwayatkan oleh Abu Abdillah al-Hafizh dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Baththah al-Asfihâni dari Muhammad ibn Abdullah ibn Rastah dari Abu Ayyub Sulaiman ibn Daud al-Munqiri dari Muhammad ibn Umar dari Muhammad ibn Abdullah ibn Akhi al-Zuhri dari Urwah dari Aisyah dia berkata, Abu Bakar r.a. wafat pada malam selasa 8 hari tersisa dari Jumadil Akhir tahun 13 dan dia telah berwasiat agar Asma binti Umais istrinya memandikannya. Sedangkan dia lemah sehingga minta tolong kepada Abdurrahman. Dan hadits yang dinyatakan muttashil ini dan sekalipun perawinya Muhammad ibn Umar al-Wâqidi pengarang sejarah dan peperangan Nabi, adalah tidak kuat. Dan riwayat ini memiliki beberapa pendukung dari riwayat-riwayat mursal dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Athâ ibn Abi Rabâh, dan dari Saad ibn Ibrahim bahwa Asma binti Umais memandikan suaminya Abu Bakar r.a. dan sebagian mereka menyebutkan bahwa Abu Bakar r.a. yang berwasiat terhadap hal itu.

Dan diriwayatkan oleh Abu Hasan Ali ibn Ahmad ibn Abdân dari Ahmad ibn Ubaid al-Shaffâr dari Ubaid ibn Syuraik dari Abdullah ibn Abdul Jabbâr dari Hakam ibn Abdullah al-Azadi dari Zuhri dari Said ibn Musayyab dari Aisyah r.a. dia berkata, aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, "Allah memberi rahmat kepada seseorang yang dimandikan oleh istrinya dan dikafan dalam akhlaknya." Maka Abu Bakar melaksanakan hal itu dan dimandikan oleh istrinya Asma binti Umais al-Asyjaiyah dan dikafan dengan pakainnya yang (lusuh) sehari-hari dia pakai. Ini sanadnya lemah.
[5] Pada kalimat terakhir perlu tinjauan.
[6] Dalam hadits ini terdapat tambahan kata (lalu aku memandikanmu). Berkenaan dengan tambahan ini, beberapa pendapat para ulama sebagai berikut:
o        Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (al-Talkhîs al-Habîr, 1/107) setelah menyebutkan hadits ini: dan Baihaqi menyatakannya cacat pada Ibnu Ishaq dan dia tidak sendirian meriwayatkan ini tetapi terdapat pembelaan dengan riwayat Shaleh ibn Kaisân dalam riwayat Ahmad dan Nasa`i. Dan sedangkan Ibnu Jauzi mengatakan, dalam hadits tidak menyebutkan "aku memandikanmu" kecuali Ibnu Ishaq dan aslinya dalam riwayat Bukhari dengan kalimat "itu seandainya terjadi dan aku masih hidup lalu aku memintakan ampun buatmu dan mendoakanmu," selesai.

Dan Ibnu al-Turkimâni mengutip dari Baihaqi bahwa dia berkata—tentang Muhammad ibn Ishaq—(dalam bab haram membunuh makhluk yang mempunyai ruh): sesungguhnya para penghapal (huffazh) sangat berhati-hati pada hadits riwayat sendirian. Saya mengemukakan, sedangkan riwayat pembelaan Shaleh ibn Kaisân, maka terdapat dalam riwayat Ahmad (6/144), tetapi dari riwayat Shaleh dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah dan kalimatnya adalah (lalu aku mempersiapkanmu dan menguburkanmu).

o        Dan tidak ada pertentangan antara kalimat (lalu aku memandikanmu) dan kalimat (lalu aku mempersiapkanmu) karena memandikan termasuk mempersiapkan untuk pemakaman. Maka atas pemaparan yang telah lewat, Zuhri diperselisihkan sebagai berikut:
1.        Zuhri dari Ubaidillah dariAisyah.
2.        Zuhri dari Urwah dari Aisyah.
3.        Zuhri dari Ubadilah dari Urwah dari Aisyah sebagaimana dinisbatkan oleh al-Muzzi dalam al-Athrâf kepada Nasa`I (12/15). Maka bisa jadi ada kemungkinan bahwa Zuhri mendengar hadits dari Ubaidillah dari Urwah kemudian dia bertemu Urwah yang kemudian meriwayatkan hadits kepadanya. Kalau tidak, Wallahu A'lam.

Demikian, dan Syaikh Nâsiruddin al-Albâni menyebutkan (Hukum-Hukum Jenazah, hal. 50) bahwa Ibnu Ishaq meriwayatkan hadits dengan cara periwayatan secara tegas (haddatsana) sebagaimana terdapat dalam Sirah Ibnu Hisyam, 2/366) dan karena itu dia menyatakan kalimat tambahan itu sahih.  
[7] Demikian dia katakan dan telah kami sebutkan bahwa riwayat ini dengan keseluruhan sanad riwayatnya menjadi sahih.
[8] Dan dia memiliki sanad yang lain dari Abu Qilâbah dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah juga.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "WANITA MEMANDIKAN SUAMINYA ATAU SEBALIKNYA"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...