Imam Bukhari r.a berkata (hadits 291) :
Diriwayatkan dari Mu'âz ibn Fudhâlah , ia berkata: diriwayatkand dari Hisyâm. Dan dari Abu Nu'aim dari Hisyâm dari Qatâdah dari Hasan dari Abu Râfi' dari Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah s.a.w, Beliau berkata: "Apabila seorang laki-laki (suami) duduk diantara empat Sya'b[1] (celah) perempuan (istri) nya. Kemudian ia melobanginya[2], maka wajib atasnya mandi"[3]
(Hadits Shahih)
Riwayat ini dikuti oleh Amar ibn Marzûq, dari Syu'bah (seperti hadits diatas). Musa berkata: Abân meriwayatkan kepada kami, ia berkata: diriwayatkan dari Qatâdah, dari Hasan (seperti hadits diatas)
Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a (hal. 271), Abu Dâud r.a (216), Ibnu Mâjah r.a (610) dan Nasâ'î r.a (1/110)
· Imam Muslim r.a berkata (hadits 350) :
Diriwayatkan dari Hârûn ibn Ma'ruf, dan dari Hârûn ibn Sa'îd al-Aily, keduanya berkata: diriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari 'Iyâdh ibn Abdullah ibn Zubair, dari Jâbir ibn Abdullah dari Ummu Kultsum dari Aisyah r.a –istri Rasulullah s.a.w- ia berkata: "Sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah s.a.w tentang seseorang yang menjima' istrinya, apakah keduanya diwajibkan mandi?. Saat itu Aisyah r.a sedang duduk, Rasulullah s.a.w berkata: "Sesungguhnya aku juga akan melakukan hal tersebut, kemudian kami akan mandi"
(Hadits Shahih)
· Imam Muslim r.a berkata (hadits 349) :
Diriwayatkan dari MuHammâd ibn Mutsannâ, dari MuHammâd ibn Abdullah al-Anshari, dari Hisyâm ibn Hassan, dari Humaid ibn Hilal dari Abu Burdah, dari Abu Musa al-Asy'ari r.a. (dari sanad lain) hadits ini juga diriwayatkan dari MuHammâd ibn Mutsannâ, dari Abdu al-A'la (kembali kesanad pertama) dari Hisyâm dari Humad ibn Hilal, ia berkata: (saya tidak mengetahuinya kecuali dari Abu Burdah) dari Abu Musa r.a, ia berkata: sekelompok sahabat yang terdiri dari al-Anshar dan al-Muhajirin, mereka berbeda pendapat tentang permasalahan ini.
Al-Anshar berkata: "Mandi diwajibkan hanya apabila keluar air mani". Lalu al-Muhajirin berkata: "Bahkan mandi diwajibkan apabila kedua suami isteri telah bersetubuh (sekalipun tidak keluar air mani). Maka Abu Musa r.a berkata: "aku akan menyelesaikan perselisihan ini". Setelah itu Abu Musa bangkit kemudian pergi untuk menanyakan hal tersebut kepada Aisyah r.a. Abu Musa berkata: "Wahai ummu al-mu'minîn..! sesungguhnya aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu, namun aku merasa malu". Aisyah r.a berkata: "Jangan kamu merasa malu untuk bertanya kepadaku, anggaplah aku seorang ibu yang telah melahirkanmu. Karena sesungguhnya aku hanyalah ibumu". Abu Musa r.a berkata: "apa sajakah yang mewajibkan mandi?" Aisyah r.a berkata: kamu bertanya tepat pada orangnya, Rasulullah s.a.w berkata: "apabila seorang laki-laki telah duduk diantara empat sya'b istrinya, kemudian khitan[4] berbemu khitan, maka wajiblah hukumnya mandi".
(Hadits Shahih)
PENDAPAT ULAMA TENTANG MASALAH DIATAS
Dengan hadits-hadits yang telah lalu Jumhur ulama mengatakan bahwa mandi diwajibkan terhadap laki-laki dan perempuan apabila khitan keduanya telah bertemu, baik mengeluarkan air mani maupun tidak.
Sementara itu pendapat lain yang mengatakan bahwa kewajiban mandi baru dibebankan apabila telah keluar air mani, mereka berpegang kepada hadits Rasulullah s.a.w: "sesungguhnya kewajiban air (mandi) hanyalah disebabkan oleh air (keluar air mani)", dan hadits-hadits lain[5] yang tidak mewajibkan mandi kecuali apabila keluar air mani. Dan mereka hanyalah sebagian kecil para ulama.
Adapun Jumhur Ulama dan sebagian besar mereka, berpendapat bahwa hadits: "sesungguhnya kewajiban air (mandi) hanyalah disebabkan oleh air (keluar air mani)" dan hadits-hadits yang seumpamanya, telah dinasakh dengan hadits: "Apabila kedua khitan telah bertemu, maka wajiblah hukumnya mandi, baik mengeluarkan air mani maupun tidak". Dan dengan hadits-hadits yang telah lalu.
· Diantara dalil ulama yang mengatakan bahwa hadits: "sesungguhnya kewajiban air (mandi) hanyalah disebabkan oleh air (keluar air mani)" telah dinasakh, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a (no. 214) dan yang lainnya dari Zuhri, ia berkata: diriwayatkan dari sebagian orang-orang yang aku senangi, bahwa Sahal ibn Sa'ad al-Sa'îdi, telah meriwayatkan kepadanya, bahwa Ubai ibn Ka'ab r.a meriwayatkan bahwasanya Rasulullah s.a.w: hanya menjadikan hal tersebut (hadits yang dinasakh diatas) sebagai rukhsah (keringanan) bagi orang-orang yang hidup diawal-awal datangnya ajaran Islam. Sebab pada saat itu pakaian masih sedikit. Kemudian setelah ajaran Islam mulai mengakar, Rasulullah s.a.w mewajibkan mandi dan melarang –sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dâud r.a- hadits yang dinasakh tersebut.
Menurut hemat saya: sanad hadits ini lemah, sebab perantara yang meriwayatkan hadits antara Zuhri dan Sahal tidak diketahui identitasnya.
* Ada hadits lain yang serupa, diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a (no. 215), akan tetapi hadits tersebut dikritik oleh Abu Hâtim r.a, Beliau berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-'Ilal (1/41)-: "aku bertanya kepada Abu Abdurrahman al-Habli –beliau adalah orang yang sangat paham dengan hadits-". Aku berkata: apakah anda tahu hadits ini:
"Diriwayatkan dari MuHammâd ibn Mahran, ia berkata: diriwayatkan dari Mubassyir al-Halabi, dari MuHammâd ibn Muthrif, dari Abu Hazim, dari Sahal ibn Sa'd, dari Ubai ibn Ka'b r.a dari Rasulullah s.a.w, Beliau berkata: "Mulanya fatwa pada masa awal-awal Islam datang, mandi hanya diwajibkan apabila keluar mani". Kemudian Rasulullah berkata: "apabila kedua khitan telah bertemu, maka wajiblah hukumnya mandi".
Maka Abu Abdurrahman al-Habli berkata kepadaku: orang yang meriwayatkannya kepadamu telah mencampur aduk redaksi hadits. Sehingga kami tidak dapat mengenal sumber hadits tersebut.
Penulis menyimpulkan: dengan demikian maka andalan terakhir orang yang mengatakan bahwa hadits: "sesungguhnya kewajiban air (mandi) hanyalah disebabkan oleh air (keluar air mani)" adalah hadits Aisyah r.a: "apabila kedua khitan telah bertemu, maka wajiblah atas keduanya mandi", dan hadits-hadits yang telah disebutkan terdahulu.
Kesimpulunnya bahwa apabila khitan bertemu[6] dengan khitan yang lain, maka mandi hukumnya wajib terhadap laki-laki dan perempuan, baik mereka mengeluarkan air mani maupun tidak. Dan jawaban terhadap hadits: "sesungguhnya kewajiban air (mandi) hanyalah disebabkan oleh air (keluar air mani)". Bahwa pembatasan yang disebutkan dalam hadits tersebut telah dinasakh, dan sebagian sahabat yang dikatakan termasuk orang yang tidak mewajibkan mandi kecuali apabila keluar air mani, telah menarik kembali pendapat tersebut –sebagaimana yang insya Allah akan kita paparkan nanti-.
Disamping itu pendapat yang dinukil oleh sebagian ulama –seperti al-Shan'âni r.a dalam kitabnya Subul al-Salâm- dari Imam Syafi'I r.a bahwa zinah yang mewajibkan had (hukuman) adalah jima', sekalipun tidak mengeluarkan air mani.
· 'Ikrimah berkata –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abu Syaibah r.a dalam kitabnya al-Mushannaf, dengan sanad yang shahih (1/86)-:
"apakah sesuatu yang mewajibkan hukuman mati dan rajam, tidak mewajibkan satu wadah dari air?!!. (maksudnya adalah mandi). Dan diriwayatkan dari Syuraih r.a -dengan reprensi yang sama- perkataan beliau: "apakah sesuatu yang mewajibkan denda empat ribu, tidak mewajibkan sewadah dari air. Maksudnya: "orang yang bersetubuh dengan wanita namun tidak mengeluarkan air mani.
Dibawah ini sebagian perkataan ulama, sebagai bukti terhadap apa yang telah kita uraikan diatas:
· Imam Turmudzî r.a berkata (Sunan at-Turmudzî, tahqiq: Ahmad Syakir 1/183) :
"Telah diriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah r.a, dari Rasulullah s.a.w: "apabila satu khitan telah melewati khitan yang lainnya, maka mandi hukumnya wajib". Ini adalah pendapat sebagian besar ulama dari sahabat Rasulullah s.a.w, seperti; Abu Bakar r.a, Umar r.a, Utsman r.a, Ali r.a, Aisyah r.a, dan para fuqaha dari tâbi'în dan ulama-ulama sesudah mereka, seperti Sufyan al-Tsauri r.a, Imam Syafi'I r.a, Imam Ahmad r.a, Ishâq r.a dan yang lainnya. Mereka berkata: apabila kedua khitan telah bertemu maka mandi hukumnya wajib.
Imam Turmudzî r.a juga berkata (1/185): Hadits: "sesungguhnya kewajiban air (mandi) hanyalah disebabkan oleh air (keluar air mani)" adalah kewajiban yang ditetapkan pada awal datangnnya ajaran Islam. Kemudian hadits tersebut dinasakh. Demikianlah yang telah diriwayatkan oleh lebih dari satu orang sahabat Rasulullah, seperti Ubai ibn Ka'ab r.a, Râfi' ibn Khudaij r.a. Dan pendapat inilah yang diamalkan oleh sebagian besar ulama. Yaitu; apabila seorang suami menjima' istrinya pada vagina, maka keduanya diwajibkan mandi, sekalipun keduanya tidak mengeluarkan air mani.
· Dalam kitanya al-Muhallâ (2/2) Ibnu Hazm r.a berkata:
Masalah: Memasukan kepala penis atau yang seukurannya –bagi orang yang hanya memiliki batang penis saja-, kedalam lobang vagina –tempat keluarnya anak. Baik dengan cara yang halal maupun yang haram jika keduanya sengaja, baik laki-laki tersebut mengeluarkan air mani ataupun tidak. Dan apabila wanita tersebut juga bermaksud dengan sengaja agar penis dimasukan kedalam vaginanya, maka hukumnya sama, baik wanita tersebut mengeluarkan air mani maupun tidak.
Masalah ini telah disebutkan oleh Ibnu Hazm r.a dalam bab Sesuatu yang mewajibkan mandi junub. Adapun pembatasan kewajiban tersebut dengan redaksi "dengan bersengaja", maka pembatasan tersebut ditemukan pada redaksi hadits.
· Disebutkan dalam kitab Mukhtashar al-Kharqi, pada bab Mâ yûjibu al-Ghusla (1/198-204) :
"pertemuan kedua khitan”: Ibnu Qudâmah r.a berkata: maksudnya adalah tenggelamnya kepala penis kedalam lubang vagina. Maka inilah yang telah mewajibkan mandi, baik keduanya berkhitan maupun tidak. atau kedua khitan tersebut bertumpang tindih maupun tidak. dan seandainya kedua khitan tersebut hanya saling bersentuhan tanpa memasukan kepala penis kedalam lubang vagina, maka ulama sepakat mengatakan: tidak wajib mandi.
Ibnu Qudâmah r.a berkata lagi: Para fuqaha telah mensepakati kewajiban mandi pada masalah ini, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Dâud r.a, ia berkata: orang bersetubuh yang tidak mengeluarkan air mani tidak diwajibkan mandi, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w: "sesungguhnya kewajiban air (mandi) hanyalah disebabkan oleh air (keluar air mani)". Dan ada sekelompok sahabat[7] bekata: "tidak diwajibkan mandi terhadap orang yang menjima' istrinya, dan ia tidak mengeluarkan air mani".
Mereka juga meriwayatkan –tentang itu- beberapa hadits dari Rasulullah s.a.w, yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah s.a.w telah memberikan keringanan kepada mereka sehingga orang yang berjima' dan tidak mengeluarkan air mani tidak diwajibkan mandi. Namun setelah itu Rasulullah s.a.w menyuruh mereka mandi.
· Dalam kitabnya Syarh Muslim (1/650) Imam Nawawi r.a berkata –ketika menguraikan Hadits "apabila kedua khitan telah bertemu maka mandi hukumnya wajib"-:
Makna hadits tersebut adalah: kewajiban mandi tidak tergantung kepada keluarnya air mani. Akan tetapi, kapan saja kepala penis tenggelam dalam lubang vagina, maka mandi hukumnya wajib terhadap laki-laki dan perempuan. Dan sampai hari ini tidak ada orang yang menyalahi pendapat ini. Sebelumnya memang pernah terjadi perbedaan antara sahabat dan ulama-ulama setelah mereka. Kemudian setelah itu terwujudlah kesepakatan ulama mengatakan sebagaimana pendapat yang telah kami paparkan.
· Lihat: Kitab al-Majmû' Syarh al-Muhazzab (2/136-137)
· Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata (Fathu al-Bârî 1/399): Imam Syafi'I r.a mengatakan dalam bukunya Ikhtilâf al-Hadits:
Hadits: "sesungguhnya kewajiban air (mandi) hanyalah disebabkan oleh air (keluar air mani)" memang pernah ditetapkan. Akan tetapi ia telah dinasakh…(sampai kepada perkataan Beliau): Maka sebagian ulama hijaz ada yang tidak sependapat dengan kami, mereka mengatakan: tidak diwajibkan mandi kecuali apabila keluar air mani.
Dengan demikian, ternyata perbedaan pendapat ini telah masyhur dikalangan tabi'in dan ulama-ulama setelah mereka. Akan tetapi Jumhur ulama mengatakan bahwa bersetubuh telah mewajibkan mandi, meskipun tidak mengeluarkan air mani. Wallahu a'lam.
[1] . Dalam kitab al-Majmu' (2/138) Imam Nawawi r.a berkata: ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan empat Syu'ab wanita adalah; celah kedua kaki dan bibir vagina wanita. pendapat lain mengatakan ia adalah; kedua celah tangan dan kaki wanita. adapula pendapat yang mengatakan: ia adalah kedua celah betis dan pahanya.
Ibnu Qudâmah r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Mughni (1/205): al-Azhari berkata: Yang dimaksudkan oleh Rasulullah s.a.w, adalah celah antara dua kaki dan bibir vagina wanita. Dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/395) al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: Syu'ab adalah kalimat jamak dari syu'bah, yang artinya satu potong. Dan ada pendapat lain mengatakan, bahwa yang dimaksud disini adalah kedua tangan dan kaki wanita. pendapat lain lagi mengatakan: ia adalah kedua kaki dan paha wanita. dan ada pula yang mengatakan: ia adalah kedua betis, paha dan mulut vagina. Adapula yang mengatakan: ia adalah kedua paha dan bibir vagina. Dan ada juga yang mengatakan ia adalah: empat –arah- bibir vagina. Wallahu a'lam.
[2] . Makna ini berdasarkan pendapat al-Khattabi r.a yang dinukil oleh Imam Muslim r.a dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim (1/649). Namun ada juga yang mengartikannya dengan makna "kemudian ia membuat istrinya letih". Wallahu a'lam.
[3] . Pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam muslim r.a, terdapat tambahan kalimat: "sekalipun keduanya tidak mengeluarkan air mani".
[4] . Al-Khathnu artinya memotong kulit. Sedangkan Khafadh wanita artinya memotong kulit yang berada diatas vagina, yang menyerupai jambul ayam jago dan terpisah antara daging tersebut dengan lobang vagian oleh kulit yang lembut. Inilah tafsiran yang disebutkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/395). Beliau juga berpendapat tentang perkataan Rasulullah s.a.w: "dan Khitan menyentuh khitan": maksudnya adalah berpapasan. Makna ini ditunjukan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzî r.a dengan redaksi: "apabila ia melampaui". disini kalimat al-mass (menyentuh) tidak dapat diartikan dengan makna aslinya. Sebab makna asal kalimat tersebut menunjukan bahwa kepala penis belum tenggelam kedalam lubang vagina. Dan jika yang terjadi hanya sekedar menyentuh tanpa memasukan kepala penis, maka ijma' ulama tidak mewajibkan mandi.
· Disebutkan dalam kamus Lisan al-'Arab: al-Khitan adalah tempat pemotongan pada penis atau kelentit vagina, makna ini sebagaimana yang dikatakan oleh Manshur. Hal tersebut diperkuat oleh hadits yang berbunyi: "apabila dua khitan saling bertemu, maka wajiblah hukumnya mandi". Pemotong pada dua kelamin juga dapat disebut dengan I'zâr dan Khafadh. Dan yang dimaksudkan dengan pertemuan kedua khitan adalah: tenggelamnya kepala penis kedalam lobang vagina, sehingga kedua khitan (tempat pemotongan) saling berpapasan. Dan bukanlah yang dimaksudkan hanya sekedar menyentuh. Beginilah pendapat yang dikatakan oleh Imam Syafi'I r.a sebagimana yang disebutkan dalam kitabnya.
· Disini ada pembahasan bagus yang dipaparkan oleh Imam Nawawi r.a dalam kitabnya al-Majmu' (2/131), Beliau berkata: Syaikh Abu Hamid menjelaskan tentang vagina dan pertemuan kedua khitan dengan uraian yang sangat lengkap. Beliau dan yang lainnya mengatakan: khitan laki-laki adalah batas yang berawal darinya pemotongan ketika berkhitan, letaknya dibawah sekerat daging kepala penis. Adapun Khitan wanita. maka perlu diketahui bahwa lubang masuk penis ialah lubang tempat keluar darah haid, bayi, dan air mani. Diatas lubang tersebut terdapat lubang kecil –tempat keluarnya kencing- seperti lubang kencing yang ada pada laki-laki. Kemudian terdapat antara lubang kecil tersebut dengan lubang tempat masuknya penis kulit lembut. Dan diatas lubang tempat keluar kencing tersebut terdapat kulit tipis –seperti kertas letaknya diantara dua bibir vagina. Sementara dua bibir tersebut mengelilingi seluruh vagina. Maka ketika berkhitan sebagian kulit tipis tesebut harus dipotong. Itulah yang disebut dengan khitan wanita.
Dengan demikian maka khitan perempuan letaknya tersendiri dan dibawahnya terdapat lubang tempat keluar kencing, sedangkan dibawah lubang kecil terletak lubang tempat masuk penis. Al-Bandanîji r.a dan yang lainnya mengatakan: tempat keluar darah haid yang sekaligus sebagai tempat keluar anak dan tempat masuk penis hanyalah lubang yang kecil. Apabila keperawanan wanita telah hilang maka lubang tersebut menjadi besar, dan wanita itu pun disebut tidak perawan. Ulama Syafi'I mengatakan: maka yang dimaksud dengan pertemuan kedua khitan adalah: tenggelamnya kepala penis kedalam lubang vagina. Dan setelah kepala penis tersebut tenggelam, maka itulah yang dinamankan pertemuan dua khitan. Bukan yang dimaksud dari pertemuan tersebut: saling menempel satu sama lainnya. Sebab apabila satu khitan diletakan diatas khitan yang satunya, tanpa memasukan penis, maka ijma' ulama belum diwajibkan mandi (footnote: Dalam kitabnya al-Mughni (1/204) Ibnu Qudâmah berkata: apabila khitan menyentuh khitan yang lainnya tanpa memasukan kepala penis maka ijma' ulama tidak mewajibkan mandi). Yang disebutkan diatas adalah perkataan Syaikh Abu Hamid dan ulama lainnya.
[5] . Antara lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Ma'mar, ia berkata: diriwayatkan dari Abdu Wârits, dari Husin, dari Yahya ia berkata: diriwayakan dari Abu Salâmah, bahwa 'Athâ' ibn Yâsar meriwayatkan, bahwa Zaid ibn Khalid al-Jahmi bertanya kepada Utsman ibn 'Affan r.a: "bagaimana pendapat anda apabila seorang laki-laki menjima' istrinya namun ia tidak mengeluarkan air mani? Utsman menjawab: "orang tersebut cukup berwudhu seperti whudu shalat dan lalu ia membasuh penisnya". kemudian Utsman r.a berkata: aku telah mendengarnya dari Rasulullah s.a.w". Lalu hal tersebut juga aku tanyakan kepada Ali ibn Abu Thalib, Zubair ibn 'Awwam, Thalhah ibn 'Ubaidullah dan Ubai ibn Ka'ab ra, mereka menjawab seperti apa jawaban yang diberikan oleh Utsman ibn 'Affan r.a.
Yahya berkata: diriwayatkan dari Abu Salâmah, bahwa 'Urwah ibn Zubair, meriwayatkan kepadanya, bahwa Abu Ayyûb juga mendengar hadits tersebut dari Rasulullah s.a.w.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a ( hal. 270 ). Dan hadits itu shahih. Sekalipun ia mendapat kritikan dari Imam Dâruquthnî r.a. (lihat: Mukaddimah Fathu al-Bârî hal. 350-351)
· Diantaranya lagi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (hadits 180), Beliau berkata: Diriwayatkan dari Ishâq, ia berkata: diriwayatkan dari an-Nadhar, ia berkata: diriwayatkan dari Syu'bah, dari Hakam, dari Zakwan Abu Shalih, dari Abu Sa'îd al-Khudri r.a, bahwasanya Rasulullah s.a.w pernah memanggil seorang laki-laki dari al-Anshar. Maka laki-laki itupun datang dalam keadaan rambut masih basah. Rasulullah s.a.w berkata: "apakah kami terlalu terburu memanggil kamu?". Laki-laki tersebut menjawab: "Ya..". Rasulullah s.a.w berkata: "apabila kamu tidak mengeluarkan air mani (saat bersetubuh) maka kamu cukup hanya berwudhu". (Hadits Shahih)
Hadits ini juga dikuatkan oleh Wahab, ia berkata: telah diriwayatkan dari Syu'bah… (seperti hadits diatas)
Abu Abdillah berkata: hadits yang diriwayatkan oleh Ghandur, dan Yahya, dari Syu'bah tidak menyebutkan perihal berwudhu. (footnote: hadits Ghandur yang disebutkan dalam kitab Shahih Muslim : "maka kamu tidak diwajibkan mandi, akan tetapi hanya berwudhu". Begitupula yang disebutkan oleh Imam Ahmad r.a (3/21). Sedangkan hadits Yahya yang disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad (3/26) : "Kamu tidak diwajibkan mandi".)
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a hal. 270 (dengan redaksi yang berbeda, dan nanti –insyaAllah- akan kami paparkan), dan Ibnu Mâjah r.a ( hadits 606 )
· Diantaranya lagi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a, Beliau berkata: diriwayatkan dari Yahya ibn Yahya, Yahya ibn Ayyûb, Qutaibah dan Ibnu Hajar, mereka berkata: diriwayatkan kepada kami dari Ismail –dia adalah Ibnu Ja'far-, dari Syuraik (Ibnu Abi Nimr), dari Abdurrahman ibu Abi Sa'îd al-Khudri, dari ayahnya, ia berkata: Pada hari senin aku pernah pergi bersama Rasulullah s.a.w menuju Quba', dan ketika kami telah berada di kampung Bani Salim, Rasulullah s.a.w berhenti dipintu 'Atban, lalu Beliau berteriak memanggilnya. Tak lama kemudian sambil membetulkan sarungnya 'Atban keluar. Rasulullah s.a.w berkata: "kita telah terburu-buru memanggilnya". Maka 'Atban berkata: "Wahai Rasulullah apa yang diwajibkan terhadap seorang laki-laki yang terburu-buru bersetubuh dengan istrinya dan ia tidak sempat mengeluarkan air maninya?". Maka Rasulullah s.a.w menjawab: "Mandi hanya diwajibkan apabila keluar ari mani"
(hadits Hasan)
· Diantaranya lagi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a (hadits 293), Beliau berkata: diriwayatkan dari Musaddat, dari Yahya, dari Hisyâm ibn 'Urwah, ia berkata: diriwayatkan dari ayahku, dari Abu Ayyûb, dari Ubai ibn Ka'ab r.a bahwa beliau berkata: "wahai Rasulullah, (bagaimana) apabila seseorang bersetubuh dengan istrinya, namun ia tidak mengeluarkan air mani?". Rasulullah s.a.w berkata: "ia hanya cukup membasuh benda yang menyentuh istrinya, kemudian berwudhu dan shalat"
Imam Bukhari mengatakan: "mandi lebih baik, dan ini adalah pendapat yang lain. Dan kami hanya menjelaskan perbedaan para ulama saja".
Dan hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a ( hal. 270)
[6] . Pertemuan yang mewajibkan mandi, adalah pertemuan yang dengan cara memasukan kepala penis kelobang vagina. Perhatikanlah baik-baik peringatan yang akan datang, dan lihat kembali definisi khitan yang telah kita sebutkan terdahulu.
[7] . Sekelompok sahabat tersebut telah disebutkan oleh Ibnu Hazm r.a dalam kitabnya al-Muhalla (2/4), Beliau berkata: Sebagian orang yang berpendapat bahwa mandi tidak diwajibkan terhadap orang yang bersetubuh dan tidak mengeluarkan air mani adalah: Utsman ibn 'Affan r.a, Ali ibn Abu Thalib r.a, Zubair ibn Awwam r.a, Thalhah ibn 'Ubaidillah r.a, Sa'ad ibn Abi Waqqash r.a, Ibnu Mas'ud r.a, Rafi' ibn Khudaij r.a, Abu Sa'îd al-Khudri r.a, Ubai ibn Ka'ab r.a, Abu Ayyûb al-Anshari r.a, Ibnu Abbas r.a, Nu'man ibn Basyir r.a, Zaid ibn Tsabit r.a dan jumhur al-Anshar ra, serta 'Athâ' ibn Abi Rabah r.a, Abu Salâmah ibn Abdurrahman ibn 'Auf r.a, Hisyâm ibn 'Urwah r.a dan sebagian ulama mazhab Zahiri.
Menurut pendapat saya: riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Hazm r.a tidak semuanya benar, ada yang shahih dan apa pula yang keliru dalam menisbatkan pendapat tersebut kepada sebagian para sahabat dan tabi'in. sebab orang-orang yang disebutkan diatas, diantaranya ada dua pendapat yang diriwayatkan dari mereka. Dan adapula yang menarik kembali pendapat yang telah mereka katakan.
Ibnu Hazm berkata lagi: Adapun para sahabat yang mengatakan bahwa orang yang bersetubuh dan tidak mengeluarkan air mani, tetap diwajibkan mandi, mereka adalah: Aisyah r.a –Ummu al-Mu'minin-, Abu Bakar as-Shiddiq r.a, Umar ibn Khatthab r.a, Utsman ibn 'Affan r.a, Ali ibn Abu Thalib r.a, Ibnu Mas'ud r.a, Ibnu Abbas r.a, Ibnu Umar r.a dan orang-orang al-Muhajirin r.a. Pendapat ini juga dikatakan oleh Imam Abu Hanifah r.a, Imam Mâlik r.a, Imam Syafi'I r.a dan sebagian ulama dari mazhab Zahiri.
Aku menambahkan: lihatlah sanad-sanad riwayat tersebut dalam kitab al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah r.a ( 1/85/91)
comments
0 Responses to "HUKUM MANDI BAGI ORANG YANG BERSETUBUH"Speak Your Mind
Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!