Monday, July 05, 2010

0 LAKI-LAKI TIDAK DIBOLEHKAN MENJIMA' ISTRINYA YANG BARU SELESAI DARI MASA HAID SEBELUM IA MANDI (BERSUCI)


Pendapat ini berdasarkan firman Allah s.w.t: "dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu" (Q.S. al-Baqarah: 222)

* Diriwayatkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a (1272) dari 'Umar ibn Habib dari Mujâhid, tentang interpretsi firman Allah s.w.t: "dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu".

Mujâhid berkata: ada dua pensucian yang harus dilewati oleh wanita.
Pertama: suci yang disebutkan oleh firman Allah: "sehingga mereka telah suci". Suci ini maksudnya adalah selesai dari masa haid.
Kedua: suci yang maksudkan dari firman Allah: "dan apabila mereka bersuci", yaitu apabila mereka telah mandi.

Oleh sebab itu apabila wanita tersebut belum mandi dari haidnya, maka –sekalipun masa haidnnya telah selesai- suaminya belum dihalalkan untuk menjima' wanita tersebut.

Kemudan Allah berfirman: "maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu". Maksudnya adalah: jima'lah mereka melalui lobang keluarnya darah haid. dan jika ia menjima'nya bukan pada lobang tersebut, maka orang itu tidak termasuk orang-orang yang tobat dan orang-orang yang menyucikan diri.
(Shahih dari perkataan Mujâhid)

Riwayat ini juga disebutkan oleh Imam Baihaqî r.a (as-Sunan al-Kubrâ 1/310) dan Ibnu Abi Syaibah r.a ( al-Mushannaf 1/96) dari Ibn Abi Nujaih, dari Mujâhid.

* Diriwayatkan oleh Abdu ar-Razzak r.a (1274) dari Mâlik dari Abdullah ibn Abu Bakar, bahwa Salim ibn Abdullah dan Sulaiman ibn Yâsar ditanya orang tentang wanita yang sedang haid, apakah dibolehkan bagi suaminya menjima'nya setelah habis masa haid, namun ia belum bersuci (mandi)? Maka keduanya menjawab: "tidak boleh, sebelum istrinya selesai dari mandi".
(Shahih dari Salim dan Sulaiman)

Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Imam Mâlik r.a dalam kitabnnya al-Muwattha' (1/85), dan Imam Baihaqî r.a dalam kitabnya as-Sunan al-Kubrâ (1/310) dari Salim dan Sulaiman.

* Diriwayatkan pula dari Abdu ar-Razzâq r.a (1273) dari Ibnu Juraij, ia berkata: seseorang telah bertanya kepada 'Athâ': seorang wanita yang telah habis masa haidnya, namun dia belum mandi apakah dibolehkan bagi suaminya untuk menjima' wanita tersebut? beliau menjawab: tidak boleh, sebelum istrinya selesai mandi".
(Shahih kepada 'Athâ')[1]

Pendapat diatas juga telah disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah r.a dalam kitabnya al-Mushannaf dari riwayat-riwayat 'Athâ' (1/96).

Ulama berpendapat bahwa wanita yang selesai masa haidnya, tidak boleh dijima' oleh suaminya sebelum ia bersuci (mandi). Dan dibawah ini kami akan memaparkan perkataan dan pendapat ulama tentang permasalah diatas:

* Setelah menguraikan tentang qira'ât (methode pembacaan al-Qur'an) pada firman Allah s.w.t: "sehingga mereka telah suci" (Q.S. al-Baqarah: 222), Ibnu Jarîr at-ThaBârî r.a mengatakan –sebagaimana yang disebutkan dalam tafsirnya (4/384): Qira'at yang lebih benar adalah qira'at yang membaca :"yatthahharna" –dengan dobble huruf "Ha". Dengan demikian maka makna ayat tersebut adalah: "sehingga wanita tersebut mandi". Sebab ijma' ulama mengatakan bahwa diharamkan terhadap laki-laki mendekati istrinya setelah darah haidnya tidak keluar lagi sebelum wanita tersebut selesai mandi.

Kemudian beliau menyebutkan sebagian perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan ulama tentang bersuci. Beliau juga menukil dari sebagian ulama: bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut adalah, mandi dengan meratakan air keseluruh tubuh.

Namun ada pendapat lain yang  mengatakan bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut adalah; berwudhu seperti wudhu shalat. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah membasuh vagina. Akan tetapi Ibnu Jarîr r.a memilih pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah: mandi. Hal ini dapat dilihat dari perkataannya: interpretasi ayat tersebut adalah: "dan mereka menanyakan kepada kamu tentang haid. katakanlah kepada mereka, bahwa haid adalah kotoran, maka hindarilah dari menjima' istri-istrimu diwaktu haid. dan janganlah mendekati mereka sampai mereka selesai mandi dan bersuci dari haidnya ketika darah haid sudah tidak keluar lagi".

Beliau juga mengatakan tentang tafsiran firman Allah s.w.t: "dan apabila mereka telah suci". Bahwa maksud dari makna ayat tersebut adalah: dan apabila mereka telah mandi (bersuci) dengan air, maka silakan kalian menjima mereka".

* Dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim (1/593) Imam Nawawi r.a berkata:
Ketahuilah bahwa larangan (haram) menjima dan menggauli istri yang sedang haid –berdasarkan pendapat yang mengharamkan keduanya- berlaku ketika wanita masih dalam masa haid dan setelah darah tidak keluar lagi, sampai ia mandi atau bertayammum -jika tidak mendapatkan air untuk mandi-.

Ini lah pendapat kami dan pendapat Imam Mâlik r.a, Imam Ahmad r.a, dan jumhur ulama salaf dan khalaf.

Imam Abu Hanifah r.a berkata: apabila darah tersebut tidak keluar lagi setelah melalui lebih dari masa haid maka –pada saat itu- dibolehkan menjima'nya, sekalipun belum mandi.

Dalil pendapat jumhur ulama adalah firman Allah s.w.t: "dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu" (Q.S. al-Baqarah: 222). Wallahu a'lam.

* Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah r.a pernah ditanya –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Majmû' Fatawa (21/624) tentang seorang wanita yang telah habis masa hainnya, namun ia tidak mendapatkan air untuk mandi. Apakah dibolehkan –dengan tanpa syarat- bagi suaminya menjima' sebelum ia mandi?

Beliau menjawab: wanita haid yang tidak mengeluarkan darah lagi, tidak boleh dijima' oleh suaminya sebelum ia mandi, ini apabila ia memang dapat melakukan mandi. Kalau tidak maka ia harus bertayammum. pendapat seperti inilah yang dikatakan oleh Jumhur ulama, seperti Imam Mâlik r.a, Imam Ahmad r.a dan Imam Syafi'I r.a.

Dan ini lah makna pendapat yang telah diriwayatkan dari sahabat, ketika telah diriwayatkan lebih dari sepuluh orang sahabat yang mengatakannya. Seperti Abu Bakar r.a, Umar ibn Khattab r.a, Utsman ibn 'Affan r.a dan Ali ibn Abu Thalib r.a. Mereka mengatakan tentang wanita yang masih dalam masa 'iddahnya: suaminya lebih berhak terhadapnya, selama ia belum mandi dari masa haid yang ketiga.

Pendapat ini juga sangat didukung oleh Al-Qur'an. Coba perhatikan firman Allah s.w.t: "dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu". (Q.S. al-Baqarah: 222)

Mujâhid r.a mengatakan: yang dimaksud dari firman Allah s.w.t: "sehingga mereka suci" adalah: sehingga darah haid tidak keluar lagi. Sedangkan yang dimaksud dari firman Allah s.w.t: "maka apabila mereka telah bersuci" adalah: apabila mereka telah mandi.

Pada kedua firman Allah tersebut, Allah s.w.t menyebutkan dua batas waktu:
Pertama: Firman Allah s.w.t: "sehingga mereka suci". Disini Allah s.w.t memberikan batas waktu larangan mendekati yang disebabkan oleh darah haid. Larangan tersebut tidak akan terangkat oleh apapun, baik mandi maupun yang lainnya. Akan tetapi ia hanya akan terangkat oleh terhentinya darah yang keluar dari vagina. Sedangkan larangan menjima' masih berlaku, sampai batas waktu kedua, yaitu;

Kedua: Ketika wanita tersebut selesai dari mandi. Maka larangan tersebut telah terangkat secara total setelah melalui dua batasan yang telah ditetapkan Allah s.w.t dalam firmannya diatas. Oleh sebab itu Allah berfirman: "Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu" (Q.S. al-Baqarah: 222)

Masalah ini sama dengan firman Allah s.w.t: "Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain" (Q.S. al-Baqarah: 230)

Pernikahan wanita tersebut dengan laki-laki lain adalah batas berakhirnya larangan (haram) –terhadap suami pertama- yang disebabkan oleh talak tiga. Akan tetapi manakala wanita itu telah menjadi istri orang lain –sebagai syarat yang membolehkan terhadap suami pertamanya untuk menikahinya kembali-, maka diharamkan bagi suami pertama untuk menikahinya. Karena wanita itu telah menjadi hak suami kedua. Jadi larangan menikahi bagi suami pertama –pada saat itu- bukan lagi disebabkan talak tiga yang telah ia ucapkan. Akan tetapi disebabkan karena wanita tersebut telah menjadi istri orang lain. Dan apabila suami kedua telah menceraikan wanita tersebut, maka suami pertamapun baru dibolehkan menikahinya lagi.

Sebagaian ulama dari mazhab zhahiri mengatakan: yang dimaksud dari firman Allah s.w.t: "Maka apabila mereka telah bersuci" adalah: membasuh vagina.

Akan tetapi pentafsiran ini sangat keliru sehingga tidak perlu diberikan perhatian, apalagi dijadikan pegangan. Karena Allah s.w.t telah berfirman: "dan jika kamu dalam keadaan Junub maka bersucilah" (Q.S. al-Mâ'idah: 6). Dan kalimat bersuci yang disebutkan dalam al-Qur'an maksudnya adalah mandi.

Adapun firman Allah s.w.t: "Sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci" (Q.S. al-Baqarah: 22), maka ayat ini mencakup orang yang mandi, berwudhu maupun beristinja. Akan tetapi kalimat bersuci yang digandengkan dengan kalimat haid, sama halnya dengan kalimat bersuci apabila digandengkan dengan kalimat junub. Sebab yang dimaksud dari bersuci –dengan penggandengan tersebut- adalah: mandi.

* Imam Abu Hanifah r.a berkata: apabila seorang wanita telah mandi dari haid, atau waktu shalat telah lewat, atau darah haid tidak keluar lagi setelah sepuluh hari berlalu, maka wanita tersebut boleh dijima' oleh suaminya. Ini berdasarkan bahwa wanita tersebut telah dianggap suci.

Namun pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa sebelum wanita tersebut mandi, sekalipun darah haid tidak keluar lagi, suaminya belum dibolehkan mejima'nya. Sebagaimana alasan dan interpretasi yang telah disebutkan diatas.

Aku menambahkan: maksudnya, bahwa yang dimaksud dari firman Allah: "maka apabila mereka telah bersuci", adalah: apabila mereka telah mandi. Dengan demikian maka maka dapat disimpulkan, bahwa sebelum wanita tersebut mandi, tidak dibolehkan bagi suaminya untuk menjima'nya.

* Pendapat Ibn Hazm r.a –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhallâ (2/171-172):
Masalah: Apabila seorang wanita telah melihat bahwa darah haidnya tidak lagi keluar, maka suaminya atau tuannya –jika wanita tersebut seorang budak- tidak dibolehkan menjima'nya, sebelum ia meratakan air keseluruh tubuhnya, atau –jika tidak memungkinkan untuk mandi- bertayammum. Dan jika hal tersebut tidak ia lakukan, maka ia harus berwudhu –seperti wudhu shalat- atau –jika tidak memungkinan untuk berwudhu- bertayammum. dan seandainya hal ini juga tidak ia lakukan, maka sekurang-kurangnya ia harus membasuh vaginanya.

Salah satu dari empat macam solusi yang disebutkan diatas tadi adalah suatu kelaziman (kewajiban) yang harus dilakukan. sehingga dengan melakukannya maka telah dibolehkan bagi suami atau tuannya untuk menjima'.

Dalil pendapat ini adalah firman Allah s.w.t: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu" (Q.S. al-Baqarah: 222)

Firman Allah: "sebelum mereka suci", maksudnya adalah: sehingga mereka telah dianggap suci, yakni dengan habisnya masa haid. Dan firman Allah s.w.t: "apabila mereka telah suci", maksudnya adalah: mereka melalukan perbuatan bersuci.

Semua yang telah kami sebutkan diatas tadi, dapat disebut dengan bersuci, baik dilihat dari sudut syari'ah (istilah hukum), maupun bahasa. Oleh sebab itu apabila wanita tersebut telah melakukan salah satu dari empat macam bersuci yang telah kami sebutkan diatas, maka ia termasuk dalam firman Allah s.w.t: "apabila mereka telah suci".

Hal ini juga diperkuat oleh nash-nash berikut ini:
1. Firman Allah s.w.t: "Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri" (Q.S. at-Taubah: 108). Menurut nash dan ijma' ulama bahwa yang dimaksud dengan membersihkan diri –pada ayat ini- adalah: membasuh vagina dan lubang pantat dengan air.

1.      Sabda Rasulullah s.a.w: "telah dijadikan bagiku –termasuk umat Beliau- tanah sebagai tempat sujud dan dapat digunakan untukbersuci". Dengan demikian maka tayammum dapat mensucikan dari hadast kecil dan hadast besar.

2.      Firman Allah s.w.t: "dan apabila kalian dalam keadaan junub, maka hendaklah kalian bersuci" (Q.S. al-Mâ'idah: 6).

3.      Sabda Rasulullah s.a.w: "Allah tidak akan menerima shalat yang dilakukan tanpa bersuci", maksudnya adalah tanpa berwudhu.

Kemudian –dalam kitabnya tersebut- Ibnu Hazm r.a meneruskan perkataannya untuk memperkuat pendapat yang beliau katakan, bahwa –bagi wanita yang selesai masa haidnya- wudhu atau membasuh vagina telah mencukupi dari mandi.

Padahal sesungguhnya telah jelas –sebelum Ibnu Taimiyah membantah pendapat ini- dengan firman Allah s.w.t: "Dan apabila kamu dalam keadaan junub, maka hendaklah bersuci" (Q.S. al-Mâ'idah: 6). Bahwa yang dimaksudkan dari kalimat bersuci yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah: mandi. Sebab kalimat bersuci apabila disebutan bergandengan dengan haid, maka sama halnya jika kalimat itu disebutkan bergandengan dengan junub, yakni yang dimaksudkan adalah "mandi".
* Dalam kitabnya as-Sunan al-Kurbra (1/309) Imam Baihaqî r.a menyebutkan sebuah permasalah dengan memberi judul besar: Bab: Wanita yang haid tidak boleh dijima' sebelum ia suci dan mandi.

* Imam ar-Razi r.a mengatakan dalam kitab tasfirnya (6/68):
Pendapat sebagian besar ulama al-Amshâr, bahwa wanita yang telah habis masa haidnya, tidak boleh dijima, kecuali setelah ia mandi dari haid. dan ini adalah pendapat yang dikatakan oleh Imam Mâlik r.a, Auzâ'î r.a, Imam Syafi'I r.a dan Tsaurî r.a.

Kemudian Beliau menyebutkan lagi (6/69): Menurut Imam Syafi'I r.a dan sebagian besar para fuqaha, yang dimaksud dengan suci pada firman Allah s.w.t: "apabila mereka telah suci", adalah mandi.

* Dalam kitab Tafsirnya al-Hafiz Ibnu Katsîr r.a mengatakan:
Ulama telah sepakat bahwa wanita yang telah selesai masa haidnya tidak boleh dijima' sebelum ia mandi atau –jika tidak memungkinkan untuk mandi- bertayammum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Namun Imam Abu Hanifah r.a  berpendapat lain, beliau mengatakan apabila darah haid tidak keluar lagi setelah lebih dari masa haid –dan menurut beliau maksimal masa haid adalah sepuluh hari- maka –dengan terputusnya darah yang keluar- ia boleh dijima, tanpa harus mandi terlebih dahulu. Wallahu a'lam.

Menurut hemat saya: Pendapat yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah r.a ini, adalah perkataan yang diucapkan tanpa berdasarkan dalil. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pendapat yang benar ialah: pendapat yang mengatakan bahwa wanita tersebut belum boleh dijima' –sekalipun darah haid tidak keluar lagi- kecuali ia telah selesai mandi. Wallahu a'lam.


[1] . Disebutkan dalam kitab at-Tahzîb (6/406) dari Ibnu Juraij, ia berkata: apabila aku berkata: 'Athâ' telah berkata, maka ucapanku tersebut menunjukan bahwa aku telah mendengar langsung darinya, sekalipun aku tidak menggunakan kalimat "aku telah mendengar darinya".

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "LAKI-LAKI TIDAK DIBOLEHKAN MENJIMA' ISTRINYA YANG BARU SELESAI DARI MASA HAID SEBELUM IA MANDI (BERSUCI)"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...