Monday, July 05, 2010

0 PERBUATAN YANG DIBOLEHKAN DENGAN WANITA YANG SEDANG HAID


Firman Allah s.w.t: "hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid" (Q.S. al-Baqarah: 222)

Ada tiga pendapat ulama dalam menginterpretasikan ayat diatas. Dua diantaranya termasuk pedapat yang berdasarkan dalil –sekalipun salah satunya lebih kuat dari yang satunya-, dan yang ketiga adalah pendapat yang dapat dianggap sebagai tafsiran yang ganjil.

Pendapat pertama: Yang dimaksudkan dengan menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid, adalah: tidak menjima', dengan memasukan penis kedalam lobang vagina'.

Berdasarkan pendapat ini, maka seorang suami dibolehkan makan, minum dan tinggal satu rumah dengan istrinya yang sedang haid. bahkan ia dibolehkan memeluk, mencium, menghisap bibir dan lidahnya, serta menjima diperut, diantara belahan buah dada, batang pahanya –tidak memasukan penis kedalam vagina- dan diantara kedua pipi pantatnya (tidak memasukan penis kedalam lubang pantat). Kesimpulannya ia dibolehkan melakukan apa saja selain jima' dengan memasukan penis kelobang vagina atau lobang pantat.

Dalil-dalil pendapat pertama:
1.      Sabda Rasulullah s.a.w –sebagaimana yang telah lalu-: "lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah (jima').
(hadits shahih)

2.      Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dâud r.a dalam kitab Sunan nya (hadits 272), beliau berkata: diriwayatkan dari Musa ibn Ismail, dari Hammâd ibn Ayyûb, dari 'Ikrimah, dari sebagian Istri Rasulullah s.a.w; bahwasanya Rasulullah s.a.w apabila hendak melakukan sesuatu dengan istrinya yang sedang haid, Beliau menutupi vaginanya dengan baju.
(hadits dengan sanad yang shahih)[1]

3.      Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr at-ThaBârî dalam tafsirnya (4/378). Beliau berkata: diriwayatkan dari Ibnu Bassyar, ia berkata: diriwayatkan dari Abdu al-Wahhab, ia berkata: diriwayatkan dari Ayyûb, dari kitab Abu Qilâbah; bahwasa seseorang yang bernama Masrûq dengan bertunggangan mendatangi Aisya r.a. Ia berkata: salâm kepada Rasulullah dan keluarganya. Maka Aisyah r.a berkata: wahai Abu Aisyah! Selamat datang! Setelah mereka mempersilahkan masuk, Masrûq berkata: aku ingin bertanya tentang sesuatu, namun aku malu mengatakannya! Aisya r.a berkata: Aku adalah ibumu, dan kamu adalah anakku ! Maka Masrûq berkata: apa saja yang dibolehkan bagi laki-laki, terhadap istrinya yang sedang haid? Maka Aisyah r.a menjawab: ia dibolehkan melakukan apa saja kecuali vaginanya (memasukan penisnya kedalam lobang vagina)
(Shahih)[2]

Para ulama yang memegang pendapat ini mengatakan: Aisyah r.a adalah orang yang paling tahu tentang hal tersebut. sebab Beliau adalah istri Rasulullah s.a.w. Tentunya hal tersebut telah dia pelajari dari pergaulannya bersama Rasulullah s.a.w.

Dan sebagian ulama yang mengatakan pendapat ini adalah: Aisyah r.a –sebagaima yang telah lalu-.

4.      Dalam kitab tafsirnya –tahkiq al-Wâdi'î (1/458), Ibnu Katsîr r.a berkata: sebagian besar para ulama berpendapat bahwa dibolehkan menggauli wanita yang sedang haid selain pada vaginanya.
5.      Dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/404) al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan: Sufyan at-Tsauri r.a, Ahmad r.a, Ishâq r.a dan sebagian ulama salaf mengatakan bahwa yang dilarang dari wanita yang sedang haid adalah memasukan penis kedalam lobang vagina. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Muhammâd ibn Hasan r.a, kemudian ditarjih oleh at-Thahawi r.a, sebagaimana pendapat ini yang telah dipilih oleh Ashbugh r.a dari mazhab Mâliki dan Ibnu Munzir r.a, dan salah satu pendapat mazhab Syafi'I.

Imam Nawawi r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim (1/513): dalil pendapat inilah yang lebih kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya.

6.      Ibnu Hazm r.a –dalam kitabnya al-Muhallâ (1/176) berkata: dibolehkan bagi laki-laki bersenang-senang dengan istrinya yang sedang haid, dan melakukan apa saja selain memasukan penis kedalam lubang vaginanya. Ia juga dibolehkan menggesek-gesek penisnya pada bibir vagina tanpa memasukannya kedalam lobang nya. Adapun lobang pantat maka diharamkan bagi laki-laki memasukan penis kedalamnya dalam keadaan apapun juga, maksudnya baik istrinya sedang haid maupun tidak.

Kemudian –setelah menyebutkan hadits "lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah"- Ibnu Hazm r.a berkata lagi (hal. 187): hadits ini shahih, ia menjelaskan –setelah turunnya ayat yang melarang laki-laki mendekatkan diri kepada wanita yang sedang haid- tentang yang dimaksud dari larangan tersebut: setelah hadits tersebut menjelaskan batasan-batasan yang dibolehkan dan yang dilarang, maka tidak dibenarkan bagi siapun melanggar batasan tersebut.

sesungguhnya terkadang –jika dipandang dari sudut bahasa arab- al-mahîdh juga dapat diartikan sebagai vagina. Dan penggunaan al-mahîdh dengan arti vagina adalah termasuk penggunaan yang fasih dalam bahasa arab.

Dengan demikian maka, makna ayat tersebut seirama dengan hadits yang telah disebutkan diatas. Jadi makna yang dimaksud dari ayat adalah: "maka hindarilah tempat keluarnya darah haid, yakni vagina. Tafsiran seperiti inilah yang sah diriwayatkan dari para sahabat Rasulullah s.a.w.

Dan setelah Ibnu Hazm menguraikan hadits Aisyah r.a –sebagaimana yang disebutkan diatas- dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a (hadits munqathi'), Beliau berkata: ini adalah pendapat yang dikatakan oleh Sufyan at-Tsauri r.a, MuHammâd ibn Hasan r.a dan pendapat yang shahih menurut Imam Syafi'I r.a. bahkan ia juga pendapat yang dikatakan oleh Dâud r.a dan ulama hadits lainnya.

Pendapat kedua: Yang dimaksudkan dengan menjauhkan diri dari wanita di waktu mereka sedang haid, adalah: menjauhi bagian tubuhnya yang terletak antara pusat dan lutut.
Berdasar pendapat ini maka yang dibolehkan bagi laki-laki hanyalah bersenang-senang dengan istrinya yang sedang haid pada bagian atas pusat dan dibawah lutut saja, baik dengan penis, ciuman, pelukan, sentuhan dan sebagainya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Nawawi r.a dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim (1/ 592), beliau berkata: hal tersebut dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan Syaikh Abu Hamid al-Asfirâ'ini ra. dan sejumlah para ulama lainnya mengatakan; bahwa ia telah menjadi ijma' ulama.

Aku menambahkan: yang dimaksud denga ijma' tersebut adalah kebolehan bersenang-senang dengan bagian atas pusat dan bawah lutut. Dan pada ijma' ini pula tidak terdapat larangan dari bagian bawah pusat wanita yang sedang haid. dengan kata lain. Ijma' tersebut hanya menegaskan tentang kebolehan bagian atas pusat dan bawah lutut saja, tanpa menyinggung bagian yang dibawah pusat. Disamping itu klaim ijima' ini pun sebenarnya perlu ditinjau kembali.

Dalil-dalil pendapat kedua:
1.      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a (hadits no. 303), beliau berkata:
Diriwayatkan dari Abu Nu'man, ia berkata: diriwayatkan dari Abdu al-Wahid, ia berkata: diriwayatkan dari Syaibani, ia berkata: diriwayatkan dari Abdullah ibn Sadâd, ia berkata: aku telah mendengar Maimunah r.a berkata: apabila Rasulullah s.a.w hendak menggauli istrinya yang sedang haid maka Beliau menyuruhnya terlebih dahulu mengenakan sarung"
(hadits shahih)

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a (hadits 294) dan Abu Dâud r.a (2167)

Imam Bukhari r.a juga telah meriwayatkan hadits serupa dengan riwayat diatas (300 dan 302). Begitupula halnya dengan Imam Muslim r.a (293) yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.

2. Imam Bukhari r.a berkata (hadits 299): diriwayatkan dari Qubaishah, ia berkata: diriwayatkan dari Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah r.a, Beliau berkata: aku pernah mandi bersama Rasulullah s.a.w dari tempat air yang sama, sementara kami berdua dalam keadaan junub. Ada apabila Beliau hendak menggauli aku –ketika sedang haid- Beliau menyuruhku untuk mengenakan sarung".

Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a (298), Imam Muslim r.a (296) dan Nasâ'î r.a (1/151) dari Ummu Salâmah r.a, Beliau berkata: ketika aku bersama Rasulullah s.a.w sedang berbaring dibagian tengah badan Rasulullah s.a.w, tiba-tiba aku datang haid, maka akupun bangkit dan mengambil baju haidku. Melihat apa yang aku lakukan Rasulullah s.a.w berkata: "apakah kamu haid?" aku menjawab: "ya". Maka beliaupun membiarkan aku, dan kami hanya berbaring-baring saja diatas beludru".

Aisyah r.a, Maimunah r.a dan Ummu Salâmah r.a; ketiganya adalah istri Rasulullah s.a.w. Dan tentunya mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang apa yang diperbuat oleh Rasulullah s.a.w.

Akan tetapi setelah memperhatikan dengan seksama riwayat yang disampaikan oleh para istri Rasulullah s.a.w (Maimunah r.a, Aisyah r.a dan Ummu Salâmah r.a), disana kami tidak menemukan larangan menjima' wanita yang sedang haid disela kedua paha mereka. Dan sejauh yang kami temukan bahwa hadits-hadits tersebut hanya menceritakan hal ihwal mereka bersama Rasulullah s.a.w saja.

Dengan demikian maka tidak ada kontradiksi antara hadits-hadits tersebut dengan perkataan Rasulullah s.a.w: "lakukanlah apa saja selain nikah (jima')". Dan nanti –inysa Allah- kami akan membahas bagaimana cara menggabungkan antara dua bentuk hadits tersebut.

Dibawah ini ada dalil ketiga yang menjadi dasar pendapat kedua diatas, yaitu:
3. Diriwayatkan dari Hârûn ibn Muhammad ibn Bakkar, dari Marwan (Ibnu Muhammad), dari Haitsam ibn Humaid, dari 'Ala ibn Hârits dari Haram ibn Hâkim dari pamannya, bahwa ia telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w tentang apa yang dibolehkan bagi suami dari istrinya yang sedang haid. Maka Rasulullah s.a.w menjawab: "kamu boleh melakukan apa saja pada bagian diatas sarung".
(Hadits dengan sanad yang shahih)

yang baru kami sebutkan tadi adalah sebagian dalil orang yang mengatakan pendapat kedua.

Para ulama yang berpegang dengan pendapat kedua:
·        Aisyah r.a –sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu riwayat haditsnya- dan Maimunah r.a, sebagaimana yang dapat dilihat dari riwayat hadits diatas.

·        Ibnu Abbas r.a, sebagaimana yang telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih oleh Ibnu Jarîr at-ThaBârî (4259). Dan ketika ditanya tentang wanita yang sedang haid, apa saja yang dibolehkan bagi suaminya? Maka beliau menjawab: sesuatu yang terletak diatas sarung.

·        Syuraih r.a –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarîr at-ThaBârî (4260), dan Abdu ar-Razzâq r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (1239), beliau berkata: dibolehkan baginya bagian tubuh diatas sarung.

Dan lihatlah uraian perkataan-perkataan ulama salaf yang lebih lengkap pada kitab Mushannaf karya Abdu ar-Razzâq r.a (1/322-323), tafsir at-ThaBârî (4/381), dan Sunan Baihaqî (1/313-314)

Dibawah ini adalah sebagian tambahan perkataan ulama tentang bab ini:
* Setelah menyebutkan pendapat para ulama tentang permasalahan yang menyangkut dengan bab ini, Ibnu Jarîr at-ThaBârî ra (tafsir at-ThaBârî 4/383) berkata: pendapat yang lebih layak untuk diikuti adalah pendapat orang yang mengatakan, bahwa: laki-laki dibolehkan bersenang-senang dengan istrinya yang sedang haid pada bagian tubuh diatas pinggang dan dibawah lutut. Hal ini berdasarkan alasan-alasan yang telah kami sebutkan.

* Disebutkan dalam kitab al-Muhazzab (al-Muhazzab dan Syarh al-Majmû' 2/361): dan diharamkan –bagi laki-laki- bersenang-senang pada bagian tubuh –wanita yang sedang haid- antara pusat dan lutut. Namun Abu Ishâq r.a berkata: tidak diharamkan selain memasukan penis kelobang vagina.

* Telah lalu kita sebutkan perkataan Imam Nawawi r.a.
* Dalam kitabnya Fathu al-Bârî (1/404) Ibnu Hajar ra berkata:
-Ketika menjelaskan hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a,: apabila salah satu diantara kami (istri-istri Rasulullah s.a.w) sedang haid, Dan Rasulullah s.a.w hendak menggauli kami, maka Beliau menyuruh kami agar mengenakan sarung disaat baru kedatangan haid. setelah itu barulah Rasulullah s.a.w menggauli kami. Kemudian Aisyah r.a berkata: Siapakah diantara kalian yang dapat menahan diri (nafsu) sebagaimana Rasulullah dapat menahannya?

Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a berkata: maksud dari hadist ini: bahwasanya Rasulullah s.a.w adalah orang yang paling mampu menahan nafsunya, oleh sebab itu tidak dikhawatirkan terdapat beliau, sesuatu yang dikhawatirkan terhadap orang lain yang mengelilingi lubang (penterjemah: sebuah pribahasa menyebutkan: siapa yang berjalan mengelilingi tepi lubang, maka ia dikhawatikan akan terperosok kedalam lubang tersebut).

Meskipun demikian Rasulullah s.a.w hanya menggauli bagian yang terletak diatas sarung. Hal ini Beliau lakukan sebagai didikan bagi orang-orang yang bukan ma'shum (tidak dipelihara dari perbuatan dosa). Pendapat ini lah yang dikatakan oleh sebagian besar ulama. Dan ia seirama dengan kaedah fiqih Mazhab Mâliki tentang Bab sad az-Zarâ'I' (kaedah yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya boleh namun dapat mengakibatkan terjadinya sesuatu yang diharamkan)

Cara penggabungan antara dua pendapat diatas, dengan menjelaskan apa saja yang dibolehkan bagi laki-laki dari istrinya yang sedang haid.

Pendapat pertama: pendapat ini menunjukan bahwa laki-laki dibolehkan melakukan apapun dengan istrinya yang sedang haid selain menjima'nya (dengan memasukan penis kedalam lobang vagina).
Pendapat kedua: Pendapat ini hanya membolehkan bagian atas dan bawah sarung saja.

Dalil masing-masing pendapat ini telah kita sebutkan diatas. Oleh sebab itu maka tidak perlu lagi kita mengulanginya.

Cara penggabungan antara kedua pendapat tersebut adalah –hanya Allah saja yang lebih tahu-: dengan mengatakan bahwa laki-laki dibolehkan melakukan apapun terhadap istrinya yang sedang haid, selain memasukan penisnya kedalam lubang vagina. Akan tetapi yang lebih afdhal dan lebih selamat, dianjurkan bagi laki-laki tersebut agar tidak mendekati daerah sekita lubang vagina. Sebab orang yang berjalan mengelilingi tepi jurang, sangat dikhawatikan akan terjatuh kedalamnya. Dan Penggabungan seperti inil telah dikatakan oleh sejumlah ulama.

* Imam Qurthubi r.a berkata (3/87):
Ulama berpendapat, bahwa menggauli istri yang sedang haid, dengan menyuruh istri tersebut mengenakan sarung adalah sikap yang lebih selamat dan dapat menghindarkan terjadinya hal yang dilarang. Sebab seandainya bagian paha wanita yang haid tetap dibolehkan, maka hal tersebut dapat menjadi menyebab terjadinya persetubuhan dengan memasukan penis kedalam lubang vagina. Sedangkan hal tersebut telah diharamkan oleh ijma' ulama.

Oleh sebab itu sangat dianjurkan –demi keselamatan dari perbuatan yang diharamkan- agar wanita tersebut mengenakan sarung, sekalipun sebenarnya yang diharamkan hanyalah lubang vagina. Dengan demikian maka kedua pendapat tersebut dapat dipertemukan.

* Ada cara lain yang disebutkan oleh Imam Nawawi r.a (Syarh Shahih Muslim 1/593):
Apabila laki-laki yang hendak menggauli istrinya yang sedang haid termasuk orang yang mampu menahan dirinya untuk tidak memasukan penisnya kedalam lobang vagina, dan iapun yakin dapat menjauhi lubang tersebut –misalnya ia orang yang lemah syahwat atau orang wara' (saleh) yang dapat menahan diri, maka dibolekan baginya bagian yang terletak antara pusat dan lutut selain lubang vagina.

Akan tetapi jika ia tidak dapat menahan diri. Maka baginya hanya dibolekan bagian diatas pusat dan dibawah lutut saja.

Kemudian beliau berkata: cara penggabungan ini sangat baik, dan ia adalah ide dari Abu Abbas al-Basri r.a dari mazhab Syafi'i.

Pendapat ketiga tentang interpretasi fiman Allah s.w.t: "Maka hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu mereka sedang haid"(Q.S. al-Baqarah: 222)

Pendapat ini sangat ganjil dan tidak perlu didengarkan. Kami menyebutkannya hanya sekedar untuk memberikan pembelaan terhadap Abdullah ibn Abbas r.a yang diisukan bahwa pendapat tersebut berasal dari Beliau. Apalagi lagi telah terdahulu kita sebutkan bahwa Ibnu Abbas telah menyatakan pendapat yang berbeda dengan isu tersebut.

Kesimpulan pendapat ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah tersebut adalah: menjauhi seluruh bagian tubuh wanita yang sedang haid.

Dalil yang mendasari pendapat ini adalah umumnya firman Allah s.w.t: "maka hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu ia sedang haid" (Q.S. al-Baqarah: 222)

* sebagian ulama yang mengatakan pendapat ini adalah: 'Ubaidah as-Salmani. Ibnu Jarîr at-ThaBârî r.a menyebutkan dalam tafsirnya (4/375-376) dua riwayat dari Muhamman ibn Sîrîn, ia berkata: aku bertanya kepada 'Ubaidah: apakah yang dibolehkan bagiku dari istriku apabila ia sedang haid? Beliau menjawab: "satu kasur dengan selimut yang berbeda".
(sanadnya shahih kepada 'Ubaidah)

* Disebutkan oleh Imam Baihaqî r.a –dengan panjang lebar- (al-Sunan al-Kubrâ), Ibnu Jarîr at-ThaBârî r.a (4/376), Ahmad r.a dalam kitab Musnadnya (6/332 dan 336), Abu Dâud r.a (267) Nasâ'î r.a (1/189), Abdu ar-Razzâq r.a (1233 dan 1234) dan yang lainnya dari riwayat Zuhri, dari Habib (budak 'Urwah[3] ibn Zubair) bahwa Nadbah (budak perempuan Maimunah Istri Rasulullah s.a.w). –redaksi hadits yang akan kami sebutkan berasal dari riwayat Imam Baihaqî r.a, dan sebagian riwayat yang dinisbatkan kepada Maimunah (baik secara ringkas, maupun panjang lebar)-. Nadbah menceritakan kepada Habib; bahwa Maimunah pernah menyuruh Nadbah menemui Ibnu Abbas r.a untuk menyampaikan sebuah pesan. Setelah Nadbah bertemu dengan Ibnu Abbas, ia melihat kasur Ibnu Abbas terpisah dengan kasur istrinya. Sepulangnya dari sana Nadbah menceritakan apa yang ia saksikan kepada Maimunah r.a. Mendengar apa yang diceritakan oleh Nadbah, Maimuah menyuruhnya lagi kembali menemui istri Ibnu Abbas dan menanyakan tentang pemisahan kasur tersebut. setelah Nadbah bertanya kepada sang istri, ia pun mengatakan kepada Nadbah, bahwa apabila ia sedang haid, maka Ibnu Abbas menjauhkan diri darinya. Setelah jawaban tersebut sampai kepada Maimunah, Beliau pun memanggil Abdullah ibn Abbas, kemudian ia meperingatkan kepadanya: apakah kamu tidak menyenangi Sunnah Rasulullah s.a.w. Demi Allah, seandainya wanita tersebut adalah istri Rasulullah s.a.w, pastilah Beliau akan menyuruhnya untuk memakai sarung sampai pertengahan kedua paha. Kemudian beliau menggauli seluruh tubuhnya.
(riwayat dengan sanad yang lemah)[4]

* Riwayat ini kami sebutkan beserta penjelasan kelemahannya, hanya semata-mata memberikan pembelaan kepada Abdullah ibn Abbas r.a yang diisukan telah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita yang sedang haid harus dihindari. Sebab pendapat ini sangat ganjil dan lebih dari satu ulama telah menegaskan keganjilan tersebut.

* Dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim (1/592) Imam Nawawi r.a mengatakan: pendapat yang diriwayatkan dari 'Ubaidah as-Salmâni dan yang lainnya, yang mengatakan bahwa laki-laki tidak boleh menyentuh tubuh wanita yang sedang haid, adalah pendapat yang sangat ganjil dan tidak perlu didengarkan, apalagi diberikan perhatian.

Sekalipun seandainya pendapat tersebut shahih, dan memang benar telah diriwayatkan dari Beliau, maka pendapat tersebut telah dibantah dan ditolak oleh hadits-hadits shahih dan masyhur yang telah disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadits lainnya, yang menegaskan bahwa Rasulullah s.a.w pernah menggauli istri-istrinya yang sedang haid, setelah menyuruh mereka mengenakan sarung. Dan Beliau juga membolehkan hal tesebut terhadap orang yang bertanya kepada Beliau. Hal ini telah menjadi ijma' ulama sebelum dan sesudah munculnya pendapat yang menyalahinya.

* Dalam kitab tafsirnya (3/86) Imam Qurthubi r.a berkata:
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a (penulis: telah kita tegaskan bahwa riwayat ini sangat lemah) dan 'Ubaidah as-Salmani r.a, bahwa keduanya mewajibkan kepada laki-laki agar menjauhi kasur istrinya apabila ia sedang haid. pendapat ini sangat ganjil, dan telah menyimpang dari pendapat-pendapat ulama.

* Dan dalam kitab tafsirnya Fathu al-Qadir (1/226) Imam Syaukani r.a mengatakan:
Pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a dan 'Ubaidah as-Salmani r.a, bahwa keduanya mewajibkan kepada laki-laki untuk menjauhi kasur istrinya apabila ia sedang haid, adalah pendapat yang tidak ada nilainya, sehingga tidak perlu diperhatikan.


[1] . Sanad hadits diatas telah dinyatakan kuat oleh al-Hafiz Ibnu Hajar r.a ( Fahtu al-Bârî 1/404)
[2] . Hadits ini telah diriwayatkan dari beberapa sanad, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarîr r.a.
[3] . Terdapat kekeliruan pada sebagian riwayat, yang mana riwayat tersebut tidak menyebutkan nama Habib. Riwayat yang benar adalah riwayat yang disebutkan pada sanadnya "Habib budak 'Urwah". Kekeliraun ini juga terjadi pada riwayat Abdu ar-Razzâq r.a dari Zuhri, kemudian langsung diambil dari Nadbah, tanpa menyebutkan Habib budak 'Urwah.
[4] . Sebab pada sanadnya terdapat Habib budak 'Urwah. Dan beliau –menurut kami- termasuk orang yang tidak dikenal. Sekalipun al-Hafiz menyatakan dalam kitabnya at-Taqrîb: bahwa riwayat dari Habib dapat diterima dengan syarat dukungan dari riwayat lain. Namun jika tidak terdapat dukungan maka riwayat Habib termasuk riwayat yang lemah. Dan pada realitanya tidak ada riwayat lain yang mendukungnya. Disamping itu tidak ada sanad yang shahih menegaskan bahwa Nadbah budak perempuan Maimunah pernah bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Lagi pula tidak ada pendapat yang dipandang yang menguatkannya. Oleh sebab itu maka riwayat ini sangat lemah.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "PERBUATAN YANG DIBOLEHKAN DENGAN WANITA YANG SEDANG HAID"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...