Monday, July 05, 2010

0 LARANGAN BAGI WANITA MENGGUNAKAN WANGI-WANGIAN APABILA INGIN BERANGKAT KE MASJID


Imam Muslim berkata (setelah hadits 443): [Hadits Muslim no. 443 terdapat dua hadits yang lafaznya berbeda tetapi berada dalam satu masalah bab dan hadits ini adalah hadits no 443 yang kedua; penterjemah]
Diriwayatkan oleh Abu Bakar ibn Abi Syaibah dari Yahya ibn Said al-Qaththân, dari Muhammad ibn 'Ijlan dari Bakîr ibn Abdullah ibn Asyaj dari Basr ibn Said dari Zainab istri Abdullah dia berkata, Rasulullah s.a.w. berkata kepada kami, "Apabila salah seorang kalian hadir ke masjid maka jangan menggunakan wangi-wangian."[1]
Hadits Sahih

Dan dinisbatkan oleh al-Muzi dalam al-Athrâf kepada Nasa`I dalam al-Sunan al-Kubra.

Imam Ahmad berkata (2/438):
Diriwayatkan oleh Yahya dari Muhammad ibn Amar dia berkata, dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi s.a.w. Dia bersabda, "Jangan kalian larang hamba-hamba Allah yang perempuan dari masjid-masjid Allah dan silahkan mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian[2]."
Hadits Sahih Lighairih[3]

Dikeluarkan juga oleh Ahmad (2/475 dan 528), Abu Daud (hadits 565), Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf (3/151 hadits 5121) dan Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ (3/134).


Perempuan Shalat Sunnat di Masjid

Imam Bukhari berkata (hadits nomor 1150):
Diriwayatkan oleh Abu Ma'mar dari Abdul Warist dari Abdul Aziz ibn Shuhaib dari Anas ibn Malik r.a. berkata, Rasulullah s.a.w. masuk[4] dan tiba-tiba menemukan tali yang memanjang antara dua tiang pancang lalu berkata, "Apa tali ini?" mereka menjawab, "Ini tali miliki Zainab, maka apabila dia sudah lemas[5], dia berpegang." Lalu Nabi s.a.w. berkata, "Jangan, lepaskanlah agar hendaknya masing-masing kalian shalat sesuai kemampuannya. Maka apabila lemas, duduklah."
Hadits Sahih

Dikeluarkan oleh Muslim (halaman 541-542), Abu Daud nomor (1312), Nasa`I dan Ibnu Majah (1371).


Perempuan Tidur di Masjid

Imam Bukhari berkata (hadits 439):
Diriwayatkan oleh Ubaid ibn Ismail dia berkata dari Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah r.a. Bahwa ada seorang budak hitam perempuan milik salah satu kabilah Arab lalu mereka memerdekakannya dan dia masih bersama mereka. Dia (sahaya perempuan) berkata, lalu keluar seorang remaja perempuan mereka mengenakan selempang merah dari kulit. Dia (sahaya perempuan) berkata, lalu dia letakkan—atau terjatuh darinya—kemudian lewat burung rajawali kecil sedangkan selempang tergeletak sehingga ia menyangkanya daging lalu ia sambar. Dia berkata, kemudian mereka mencarinya dan tidak menemukannya. Dia berkata, lalu mereka menuduhku (mencurinya). Dia berkata, kemudian mereka memeriksa hingga memeriksa kemaluan depannya. Dia berkata, demi Allah saya bersama mereka ketika burung rajawali kecil itu lewat lalu melemparkannya (selempang itu). Dia berkata, dan terjatuh di antara mereka. Dia berkata, kemudian saya katakan "Ini yang kalian tuduh aku (mencurinya), kalian berprasangka padahal aku tidak bersalah, nah ini dia." Dia (Aisyah) berkata, lalu dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan masuk Islam. Aisyah berkata, dia memiliki tenda [dari bulu atau selainnya; penterjemah] di dalam masjid[6] atau rumah-rumahan kecil yang beratap sempit. Dia (Aisyah) berkata, dia datang kepadaku lalu bercerita-cerita denganku. Dia (Aisyah) berkata, dia tidak duduk bersamaku dalam satu majlis kecuali selalu mengatakan:
Pada hari selempang salah satu keajaiban Tuhan kita
 Ketahuilah dari negri kafir Dia menyelamatkanku. [syair]
Aisyah berkata, lalu aku katakan padanya, "Apa gerangan padamu tidak duduk dalam satu majlis kecuali mengatakan ini? Dia (Aisyah) berkata, lalu dia ceritakan padaku cerita dalam hadits ini."
Hadits Sahih         


Perempuan Menyapu Masjid

Imam Bukhari berkata (hadits 458):
Diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Harb dia berkata, diriwayatkan oleh Hamad ibn Zaid dari Tsabit dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah bahwa salah seorang laki-laki orang hitam—atau perempuan orang hitam[7]—biasa menyapu masjd kemudian meninggal dunia. Kemudian Rasulullah s.a.w. menanyakan tentangnya lalu mereka menjawab, "telah meninggal dunia." Dia berkata, "Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku. Tunjukkan  kepadaku kuburnya, atau berkata kuburnya (perempuan)." Lalu Dia mendatangi kuburnya dan menshalatkannya.
Hadits Sahih

Dikeluarkan oleh Muslim (956), Abu Daud dalam kitab Jenazah (3203), dan Ibnu Majah hadits nomor (1725).


Perempuan Shalat di Rumahnya

Terdapat beberapa hadits yang menyatakan keutamaan shalat perempuan di rumahnya dan hal itu lebih utama dari shalat perempuan di masjid. Pada setiap hadits-hadits yang kami teliti terdapat tinjauan dan kritikan tetapi secara keseluruhan riwayatnya mencapai derajat sahih. Dan karena itu—maksud saya pernyataan yang ada terhadap hadits-hadits ini—Ibnu Khuzaimah dalam kitab sahihnya (3/92) berkata, "Bab pilihan perempuan shalat di rumahnya daripada shalat di masjid. Jika telah tetap hadits ini, maka saya tidak mengetahui Sâib sahaya Ummu Salamah sebagai orang yang adil atau cacat. Dan saya tidak menemukan Habib ibn Abu Tsabit mendengar hadits ini dari Ibnu Umar, dan tidak juga apakah Qatadah mendengar haditsnya dari Mauriq dari Abu Ahwash atau tidak. Dan sepertinya saya tidak ragu bahwa Qatadah tidak mendengar dari Abu Ahwash karena dia memasukkan Mauriq pada sebagian hadits-hadits Abu Ahwash antara dia dan Abu Ahwash. Dan hadits ini sendiri, Hamam dan Said ibn Basyir memasukkan Mauriq antara mereka berdua."

Saya katakan, sekarang ini Insya Allah kami akan mengeemukakan hadits-hadits yang membicarakan masalah ini dan kami jelaskan sisi lemah pada setiap haditsnya.

Abu Daud berkata (hadits 567):
Diriwayatkan oleh ibn Abi Syaibah dari Yazid ibn Harun dari 'Awam ibn Hausyab dari Habib ibn Abu Tsabit dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "Jangan kalian larang wanita-wanita kalian dari masjid-masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka."[8]
Hadits Sahih Lighairih[9]

Dan hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (2/76-77), Ibnu Khuzaimah (3/92-93), dan Baihaqi (3/131).

Abu Daud berkata (hadits 570):
Diriwayatkan oleh Ibnu Mutsanna bahwa Umar ibn 'Ashim meriwayatkan kepada mereka, dia berkata, diriwayatkan oleh Hamam dari Qatadah[10] dari Mauriq dari Abu Ahwash dari Abdullah dari Nabi s.a.w. bersabda, "Shalat perempuan di rumahnya lebih utama dari shalatnya di halaman rumahnya [hujrah berarti kamar, tetapi diambil dari Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Daud, maksud kata hujrah dalam hadits ini adalah halaman rumah. Menurut Ibnu Malik, hujrah adalah apa yang dekat pintu rumah. Aunul Ma'bud, juz 2/194; penterjemah] dan shalat mereka di kamar khusus[11] lebih utama dari shalat mereka di rumah."
Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab sahihnya (3/95), Baihaqi (3/131), Hakim dalam al-Mustadrak (1/209) dan berkata, hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim dan mereka berdua tidak mengeluarkannya. Keduanya sama-sama memberikan alasan adanya Mauriq ibn Musyamrakh al-'Ajali. al-Dzahabi berkata, atas syarat keduanya.

Imam Ahmad berkata (6/297):
Diriwayatkan oleh Yahya ibn Ghailan dia berkata, diriwayatkan oleh Rusydain dari Amr dari Abu Samah dari Saib[12] sahaya Ummu Salamah dari Ummu Salamah dari Rasulullah s.a.w. dia bersabda, "Paling baik masjid perempuan adalah bagian dalam rumah-rumah mereka."
Dan dikeluarkan oleh Ahmad (6/301) dari riwayat ibn Lahî'ah dari Darrâj dari Saib.. Dan dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/92) dari riwayat Ibnu Wahab dari Amr ibn Hârits bahwa Darrâj meriwayatkan kepadanya.. Dan Baihaqi (al-Sunan al-Kubra, 3/131).

Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 2/384):
Diriwayatkan oleh Zaid ibn Hubab dari Ibnu Lahî'ah,[13] diriwayatkan oleh Abdul Hamid ibn Mundzir al-Sa'I[14] dari ayahnya dari neneknya berkata, saya mengatakan, "wahai Rasulullah s.a.w. suami-suami kami melarang kami shalat bersamamu sedangkan kami senang shalat bersamamu." Lalu Rasulullah s.a.w. menjawab, "Shalat kalian di rumah kalian lebih utama dari shalat kalian di halaman rumah kalian, dan shalat kalian di halaman rumah kalian lebih utama dari shalat kalian menghadiri jama'ah."
Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (3/132-133).


[1] Dan dalam riwayat Muslim dari Makhramah ibn Bakir dari ayahnya dari Busr ibn Said bahwa Zainab al-Tsaqafiah telah menyampaikan hadits dari Rasulullah s.a.w. bahwa dia bersabda, "Apabila salah seorang kalian menghadiri shalat isya maka jangan memakai wangi-wangian pada malam itu." (dan pada riwayat Makhramah dari ayahnya terdapat keterputusan [hadits munqath'i?]).

Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim 2/84): Sabda Nabi s.a.w., "Apabila salah seorang kalian menghadiri shalat isya maka jangan memakai wangi-wangian pada malam itu." Maknanya apabila ingin menghadirinya. Adapun wanita yang telah menghadirinya kemudian kembali memakai wangi-wangian, maka tidak dilarang menggunakan wangi-wangian setelah itu. Demikian juga sabdanya s.a.w., "Apabila salah seorang kalian hadir ke masjid maka jangan menggunakan wangi-wangian," maknanya, apabila ingin hadir kesana.

·       Demikian, Abu Muhammad ibn Hazm mengemukakan pendapat yang asing dengan perkataannya dalam al-Muhalla (4/78), "tidak diperbolehkan bagi wanita apabila hadir ke masjid memakai wangi-wangian. Maka apabila dia melakukan hal itu shalatnya batal."

Ini adalah pendapat yang asing dari Abu Muhammad ibn Hazam, dan yang benar—Wallahu A'lam—bahwa siapa yang melakukan hal itu, dia berdosa, tetapi dosanya tersendiri terpisah dari shalatnya dan tidak ada kaitan antara hal itu dengan hal kebatalan shalat. Wallahu A'lam.

Catatan: terdapat hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. bahwasanya Dia bersabda, "Allah tidak menerima shalat seorang perempuan yang keluar menuju masjid sedang aromanya berhembus dengan keras sampai dia mandi sebagaimana dia mandi junub." Ini adalah hadits dhaif kami terangkan kelemahannya dalam penelitian kami terhadap kitab al-Muntakhab dari Musnad 'Abd ibn Hamid, maka rujuklah kesana jika anda inginkan.     
[2] (penjelasan kata) Dalam Lisanul Arab, tafila al-syai`u tafalan: berubah aromanya dan al-taflu meninggalkan harum-haruman. Saya katakan, maka makna tafilât dengan demikian adalah bahwa mereka tidak menggunakan wangi-wangian.
[3] Terdapat hadits pendukung dikeluarkan oleh Ahmad (6/69-70) dari hadits Aisyah r.a. marfu' dan satu lagi mursal dikeluarkan oleh Abdur Razzaq (3/151 dalam al-Mushannaf).
[4] Pada riwayat Muslim, "Rasulullah s.a.w. masuk ke masjid"
[5] (penjelasan kata) Lemas yaitu lemah atau malas.

·       Al-Hafizh ibn Hajar dalam Fathul Bâri (3/37) berkata, "di dalam hadits terkandung kemestian menghentikan kemungkaran dengan tangan dan lidah, dan boleh bagi wanita shalat sunnat di masjid." Dan sebelumnya Imam Nawawi mengatakan seperti ungkapan ini (Syarah Muslim 2/441).
[6] Al-Hafizh ibn Hajar dalam Fathul Bâri (1/535) berkata: "Dalam hadits terkandung boleh bermalam dan tidur di masjid bagi orang muslim yang tidak memiliki tempat tinggal, laki-laki atau perempuan ketika aman dari fitnah.
[7] Demikianlah hadits diriwayatkan dalam dua kitab sahih (Bukhari dan Muslim) dengan kata keraguan periwayat. Sebenarnya dia adalah perempuan sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab sahihnya (2/272) dari riwayat Ahmad ibn Abdah al-Dhabbi dari Hamad ibn Zaid, diriwayatkan oleh Tsabit dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah bahwa seorang perempuan hitam biasa menyapu masjid kemudian meninggal dunia..al-hadits.

·       Demikian juga dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dari riwayat 'Ala ibn Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa seorang perempuan biasa memungut sobekan-sobekan dan kayu-kayu (sampah) dari masjid… al-hadits.

·       Demikian juga dalam riwayat Baihaqi dalam kitab Jenazah (Sunan Baihaqi, 4/48) dari hadits Buraidah dan dalam haditsnya terdapat bahwa Abu Bakar menjawab Nabi s.a.w. dia berkata: "Wahai Rasulullah, dia adalah Ummu Mahjan senang sekali memungut kotoran (sampah) dari Masjid…" dan al-Hafizh dalam Fathul Bâri, 1/533 menyatakan sanad hadits Buraidah ini hasan.

Menurut saya, pendapat al-Hafizh yang menyatakan hasan perlu tinjauan kembali karena pada sanadnya terdapat Ibnu Hamid, dan yang jelas bagi saya dia adalah Muhammad Ibnu Hamid al-Razi dan dia dhaif.

Dan bagaimanapun juga, dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat pernyataan yang cukup untuk menetapkan bahwa orang yang biasa menyapu masjid adalah seorang perempuan dan dalam hadits terkandung hukum boleh bagi wanita untuk melakukan hal itu apabila aman dari fitnah pada mereka atau terhadap mereka. Wallau A'lam.
                     
[8]  Syaukani berkata (Nailul Authâr 3/131), yakni shalat mereka di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka daripada mereka shalat di masjid-masjid seandainya mereka mengetahui hal itu. Namun mereka tidak mengetahuinya lalu meminta keluar untuk melaksanakan shalat berjamaah dengan keyakinan bahwa pahala mereka mengerjakan di masjid-masjid lebih banyak. Dan sisi bahwa shalat mereka di rumah lebih utama adalah aman dari fitnah. Dan hal itu menjadi pasti setelah adanya perkara baru yang diperbuat para wanita dalam mempertontonkan dan berhias. Dan  karena itu Aisyah mengatakan apa yang telah ia katakan.
[9] Dalam sanadnya terdapat Habib ibn Abi Tsabit, dia mudallis dan periwayat 'an'an. kemudian hadits ini adalah hadits Ibnu Umar sebagaimana telah lewat pada Bab izin bagi para wanita keluar ke masjid, dan tidak terdapat tambahan "dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka." tetapi hadits ini mempunyai beberapa hadits pendukung yang tersebut sesudahnya.
[10] Qatadah yaitu Ibnu Di'amah, dia mudallis dan periwayat 'an'an.
[11] (penjelasan kata), Mukhda' dengan dhammah mîm bisa difAthâhkan dan dikasrahkan beserta fAthâh dâl pada semuanya, yaitu ruangan kecil yang terdapat dalam rumah besar biasanya tempat menyimpan barang-barang berharga. Begitu disebutkan oleh Ahmad Syakir dalam komentarnya (ta'lîq) terhadap al-Muhalla karangan ibn Hazm (3/137). Dalam Lisanul Arab, mukhda' terletak dibawah potongan kayu yang diletakkan di atas dinding 'ursy dan 'ursy adalah dinding yang dibangun antara dua dinding rumah tidak sampai ke ujungnya kemudian potongan kayu diletakkan dari sisi dinding 'ursy sebelah dalam dan dijadikan sebagai atap.

Kemudian dia berkata, dan asalnya adalah dengan dhammah [mîm], hanya saja orang-orang Arab mengkasrahkannya karena merasa berat pengucapannya. Dan disampaikan dengan fAthâh oleh Abu Sulaiman al-Ghinawi dan berbeda pendapat dalam fAthâh dan kasrah antara al-Qinani dan Abu Syunbul, salah satu memfAthâhkan dan yang lain mengkasrahkan.

Catatan: telah terjadi kesalahan baca pada kata (mukhda'iha) yang terdapat dalam hadits oleh Abu Muhammad ibn Hazm menjadi kata (masjidiha) [yang artinya masjidnya] sehingga redaksi hadits pada ibn Hazm sebagaimana dalam kitab al-Muhalla (3/137) adalah, "Shalat perempuan di dalam rumahnya lebih utama dari shalatnya di halaman rumahnya, dan shalatnya di masjidnya lebih  utama  dari  shalat di rumahnya."

Dan atas pengaruh kesalahan baca (tashhîf) ini Ibnu Hazm mendasari pendapat mazhabnya yang syaz (ganjil) dalam masalah ini dan menetapkan, "Ketahuilah bahwa shalat perempuan di masjid lebih utama dari shalat di rumah." Lalu menjelaskan terhadap kata baru yang terjadi kesalahan baca itu "… dan shalatnya di masjid lebih utama dari shalatnya di rumah." Dia berkata, "tidak diragukan lagi yang Ia maksud adalah masjid lokasinya, tidak boleh selain itu karena Nabi s.a.w. seandainya bermaksud dengan kata itu adalah masjid rumahnya tentu (sama saja) Ia mengatakan shalatnya di rumahnya lebih utama dari shalatnya di rumahnya, dan sangat jauh bagi Nabi s.a.w. untuk mengatakan yang mustahil. Apabila demikian halnya, maka menjadi tetap bahwa salah satu dua hukum itu dinasakh (dibatalkan). Maka adapun sabdanya "sesungguhnya shalatnya di masjidnya lebih utama dari shalatnya di rumah," dan Nabi s.a.w. mendorong mereka keluar pada hari raya dan ke masjid, dinasakh dengan sabdanya "Sesungguhnya shalatnya di rumah lebih utama dari shalatnya di masjid dan daripada mereka keluar menuju sholat hari raya." Sedangkan sabdaNya s.a.w. "Sesungguhnya shalatnya di rumah lebih utama dari shalatnya di masjidnya, dan shalatnya di masjidnya lebih utama daripada mereka  keluar  menuju shalat hari raya" dinasakh dengan sabdaNya s.a.w. "Sesungguhnya shalatnya di masjidnya lebih utama dari shalatnya di rumah" dan Nabi s.a.w. mendorong mereka untuk keluar melaksanakan shalat hari raya. Mau tidak mau harus memilih salah satu dari dua perkara ini dan tidak boleh memastikan pembatalan (nasakh) hadits sahih kecuali dengan hujjah.

Kemudian kami melakukan penelitian terhadap masalah ini dan kami temukan bahwa perbuatan mereka keluar ke masjid adalah amal tambahan terhadap shalat, dan menjadi beban pada waktu menjelang subuh, waktu gelap, saat sesak, pada waktu siang hari yang sangat panas, dan pada waktu hujan dan dingin. Maka seandainya keutamaan amal tambahan ini dibatalkan, secara pasti tidak terlepas dari salah satu dari dua segi tidak ada ketiganya yaitu; bahwa shalatnya di masjid dan mushalla sebanding dengan shalatnya di rumah, maka amal (tambahan) ini seluruhnya sia-sia, batal, membebani diri, dan susah payah saja dan tidak mungkin sama sekali selain itu. Dan mereka tidak mengatakan pendapat ini. Atau bahwa shalatnya di masjid dan mushalla rendah dalam segi keutamaan dari shalatnya di rumah sebagaimana dikatakan oleh mereka yang berpendapat berbeda. Maka amal (tambahan) tersebut seluruhnya adalah dosa meninggalkan keutamaan dan pasti begitu karena tidak menurunkan keutamaan dalam suatu shalat apapun dari shalat itu sendiri suatu amal tambahan kecuali amal itu diharamkan dan tidak mungkin selain itu. Sedangkan ini bukan masalah meninggalkan amal-amal yang dianjurkan sehingga hal itu menurunkan pahala seandainya ia laksanakan. Maka ini tidak melakukan suatu dosa tetapi meninggalkan amal-amal kebaikan. Dan adapun orang yang melakukan suatu amal yang membebankan dirinya dalam shalatnya sehingga merusak sebagian pahalanya yang ia bisa dapatkan seandainya ia tidak melakukannya, maka ini adalah amal yang diharamkan tanpa ragu-ragu lagi dan tidak mungkin selain ini. Dan tidak ada dosa sama sekali dalam perkara makruh, dan tidak juga mengugurkan amal tetapi dalam perkara itu adalah tidak ada pahala dan tidak ada dosa sekaligus. Sedangkan dosa hanya jika terjatuh dalam perbuatan haram saja.

Sudah menjadi kesepakatan seluruh penduduk bumi bahwa Rasulullah s.a.w. sama sekali tidak melarang para wanita shalat bersamanya di masjid sampai beliau s.a.w. wafat. Juga para Khulafa Rasyidun setelahnya tidak melarang maka tetaplah bahwa amal perbuatan ini tidak dibatalkan karena tidak diragukan lagi dalam masalah ini termasuk amal kebaikan. Dan seandainya tidak demikian, tentu Nabi s.a.w. tidak mengakui dan tidak membiarkan mereka membebani diri melakukan sesuatu yang tidak berguna, bahkan membahayakan (mudharat), bersusah payah, dan mengganggu bukan sebagai nasihat. Dan karena tidak ada keraguan lagi dalam masalah ini, maka hadits ini adalah yang membatalkan (nâsikh) dan selainnya adalah yang dibatalkan (mansûkh). Ini seandainya kedua hadits itu sahih, tetapi bagaimana sedangkan kedua hadits itu tidak sahih."

Saya katakan, pendapat yang dikemukakan oleh Abu Muhammad ibn Hazm ini adalah pendapat yang syaz (ganjil)—sebagaimana kami katakan sebelumnya. Bentuk keganjilannya adalah dia menyimpulkan pendapatnya dan berpegang dengan klaim pembatalan (nasakh) atas dasar satu kata yang terjadi kekeliruan padanya, yaitu kata Mukhda'ihâ yang berubah secara keliru menjadi kata masjidihâ. Padahal seluruh perawi yang meriwayatkan hadits ini dan telah kami tunjukkan mereka seluruhnya, meriwayatkan dengan kata mukhda'ihâ bukan masjidihâ. Kemudian hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud sendiri baik hadits mauqûf maupun marfû', sekalipun terdapat komentar dan pernyataan padanya, tetapi ia menerangkan keganjilan (syaz) riwayat dengan kata masjidihâ. Dalam riwayat Baihaqi (3/131) dari hadits Ibnu Mas'ud sebagai hadits marfû' , "Tidaklah seorang perempuan melaksanakan suatu shalat lebih dicintai di sisi Allah dari shalat di rumahnya yang paling gelap." Dan diriwayatkan sebagai hadits mauqûf dengan redaksi "di suatu tempat paling gelap di rumahnya."

Dan dalam suatu riwayat Baihaqi juga dari hadits Ibnu Mas'ud sebagai hadits mauqûf, "Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidaklah seorang perempuan melaksanakan shalat yang  lebih baik baginya daripada shalat yang ia laksanakan di rumahnya kecuali di Masjidil Haram atau Masjid Rasul s.a.w. bagi selain perempuan tua yang lemah dalam berjalan."             

Atas dasar ini, selama yang benar adalah sabda Nabi s.a.w. "dan shalatnya di kamar khusus (Mukhd'a) lebih utama dari shalat di rumahnya" maka tidak ada persoalan dan tidak ada pertentangan antara hadits "shalatnya di halaman rumah, rumahnya, dan kamar khusus lebih utama daripada shalat di masjid" dan hadits Nabi s.a.w. yang memerintahkan agar memberikan izin kepada mereka untuk pergi ke masjid apabila diminta izin (kecuali shalat dua hari raya karena Nabi s.a.w. memerintahkan untuk menyuruh mereka keluar sebagaimana penjelasan akan datang insya Allah). Dengan demikian tidak ada pertentangan sekarang, dan penggabungan maksud hadits masih bisa dilakukan dengan dikatakan—sebagaimana zhahir hadits—, "bahwa shalat perempuan di rumah lebih utama, tetapi apabila dia meminta izin—dan tidak ada faktor yang menjadi alasan penghalang—maka diberikan  izin baginya." Karena tidak dibawa kepada ketentuan nasakh dan pengambilan hukum dengannya kecuali apabila tidak bisa dilakukan penggabungan. Sedangkan penggabungan disini masih bisa dilakukan maka tidak ada sisi celah untuk menyatakan nasakh sebagaimana yang diklaim oleh Abu Muhammad, semoga Allah merahmatinya.      
[12] Dalam sanadnya terdapat Saib sahaya Ummu Salamah dan dia tidak diketahui (majhûl), dan pada sanadnya juga terdapat Darraz Abu Samah dan pada haditsnya terdapat kelemahan (layyin).
[13] Ibnu Lahî'ah kacau pikirannya (mukhtalith) sebagaimana diketahui dan terdapat pembelaan dalam Sunan Baihaqi.
[14] Yang benar adalah Abdul Hamid ibn Mundzir al-Sâ'idi, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Baihaqi. Dan saya tidak menemukan biografinya juga biografi ayahnya. Dan ibn Hazm menyebutkan dalam al-Muhalla (3/136) dengan ungkapannya, "Dan adapun Abdul Hamid ibn Mundzir adalah majhûl, tidak diketahui siapa dia? Dan tidak boleh ditinggalkan riwayat-riwayat orang-orang terpercaya (tsiqah) lagi mutawatir karena riwayat orang yang tidak diketahui siapa dia."

Saya katakan, hadits ini terdapat dalam riwayat Ibnu Khuzaimah (Sahih Ibnu Khuzaimah, 3/95) dari riwayat Abdullah ibn Suwaid al-Anshâri dari bibinya istri Abu Hamid al-Sâ'idi bahwa dia datang kepada Nabi s.a.w. lalu berkata, "wahai Rasulullah.. saya lebih senang melaksanakan shalat bersamamu." Lalu Nabi menjawab, "Aku tahu kamu senang shalat bersamaku. Shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di halaman rumahmu, dan shalatmu di halaman rumahmu lebih baik dari shalatmu di rumah besar (kabilah), dan shalatmu di rumah besar lebih baik dari shalatmu di masjid kaum, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalatmu di masjidku." Sehingga dia memerintahkan, dan dibangun untuknya tempat shalat di lokasi paling ujung dan paling gelap rumahnya. Dan dia selalu shalat di sana sampai wafat."

Saya garihbawahi dalam sanadnya terdapat Abdullah ibn Suwaid al-Anshâri. Biografinya terdapat dalam kitab Ta'jîlul Manfa'at, tidak menyebutkan orang yang meriwayatkan darinya selain Daud ibn Qais dan tidak menyebutkan ada seorangpun yang menyatakan dia terpercaya (tsiqah) selain Ibnu Hibban. Dan dikemukakan dalam kitab al-Jarh wa al-Ta'dîl, tetapi tidak ada disebutkan suatu tinjauan jarh dan ta'dîl. Maka atas dasar ini dia majhûl (tidak diketahui).

·       Kemudian untuk tambahan riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa shalat perempuan di rumahnya lebih utama dari shalat di masjid, silahkan lihat Sahih Ibnu Khuzaimah (3/96) dan Sunan Baihaqi al-Kubra (3/132).

Dan kesimpulannya, hadits-hadits yang menyatakan bahwa shalat perempuan di rumahnya lebih utama dari shalat di masjid berpredikat sahih dalam keseluruhan riwayatnya. Wallahu A'lam.  

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "LARANGAN BAGI WANITA MENGGUNAKAN WANGI-WANGIAN APABILA INGIN BERANGKAT KE MASJID"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...