Kewajiban Menutup Aurat
Imam Muslim berkata (hadits 3028):
Diriwayatkan oleh Muhammad ibn Basyar dari Muhammad ibn Ja'far. Pada sanad yang lain, diriwayatkan oleh Abu Bakar ibn Nafi' (dan lafazh hadits ini darinya) dari Ghandar dari Syu'bah dari Salamah ibn Kuhail dari Muslim al-Baththin dari Said ibn Jubair dari Ibnu Abbas dia berkata, perempuan melakukan thawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang lalu berkata, "siapa yang meminjamkan bagiku pakaian thawaf[1]" kemudian dia letakkan di kemaluannya sambil berkata:
Hari ini nampak sebagiannya atau seluruhnya
maka apa yang nampak darinya tidak aku halalkan. (syair)
Maka diturunkan ayat ini, "pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid." (QS. Al-A'râf-[7]:31).
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Ibnu Jarir ketika manfsirkan ayat ini dalam Tafsirnya (8/160), dan dinisbatkan oleh al-Muzi dalam al-Athrâf kepada Nasa'I dalam al-Sunan al-Kubra, dan ia mengeluarkannya (2/319-320) dan berkata, ini hadits sahih atas syarat Bukhari dan Muslim dan mereka berdua tidak mengeluarkannya. Dan al-Dzahabi sepakat dengannya. (tetapi dalam riwayat Hakim, maka diturunkan ayat, Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah.") [(QS. Al-A'râf-[7]:32)].
Imam Bukhari berkata (hadits 578):
Diriwayatkan oleh Yahya ibn Bakîr, dia berkata: diriwayatkan oleh Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab, dia berkata: diriwayatkan oleh Urwah ibn Zubair dari Aisyah r.a., dia berkata: "para wanita mu'min menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah s.a.w. berbelit tubuh[2] dengan pakaian tebal[3] kemudian kembali[4] ke rumah masing-masing setelah melaksanakan shalat, tak ada seseorang yang mengetahui mereka karena gelap pekat."
Hadits Sahih
Dan diriwayatkan oleh Bukhari pada beberapa tempat dalam kitab sahihnya, dan Muslim (juz 2/288), Nasa'I (3/82) dan Ibnu Majah (669).
Imam Bukhari berkata (hadits 351):
Diriwayatkan oleh Musa ibn Ismail dia berkata, diriwayatkan oleh Yazid ibn Ibrahim dari Muhammad dari Ummu Athiah dia berkata, kami diperintahkan untuk mengajak keluar wanita-wanita haid pada dua hari raya, dan wanita-wanita yang mendekam[5] di rumah sehingga mereka menyaksikan jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Sedangkan wanita yang haid menjauhi tempat-tempat shalat. Salah seorang wanita berkata, "wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak mempunyai pakaian (jilbab)."[6] Dia menjawab, "hendaklah memakaikan kepadanya 'wanita dekatnya' dari pakaiannya (jilbab)."
Hadits Sahih
Sudah lewat takhrij hadits dalam Bab-bab Bersuci.
Hadits "Allah tidak Menerima Shalat Wanita Haid kecuali Menggunakan penutup kepala (khimâr)" dan penjelasan kelemahannya
Abu Daud berkata (hadits 641):
Diriwayatkan oleh Muhammad ibn Mutsanna dari Hajjaj ibn Manhal dari Hamad dari Qatadah dari Muhammad ibn Sîrîn dari Shafiyah binti Harits dari Aisyah dari Nabi s.a.w. beliau bersabda, "Allah tidak menerima shalat wanita haid[7] kecuali menggunakan tudung kepala."
Sanadnya cacat[8]
Abu Daud berkata, diriwayatkan oleh Said—yakni Ibnu Abi Arubah—dari Qatadah dari Hasan dari Nabi s.a.w.[9]
Saya menegaskan, dan hadits ini diriwayatkan oleh Turmudzi nomor (377) dan berkata ini hadits hasan, dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah nomor (655), Ahmad dalam Musnad (6/150, 218, dan 259), Baihaqi (al-Sunan al-Kubra, 2/233), Hakim dalam al-Mustadrak (1/251), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/230), dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab sahihnya (1/380).
Riwayat Pendukung yang lemah terhadap hadits ini
Thabrani berkata (al-Sughra, 542):
Diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Abi Harmalah al-Kilâbi di kota Qulzum dari Ishaq ibn Ismail ibn Abdul A'la al-Aily dari Amr ibn Hisyam al-Beiruty dari Auza'i dari Yahya ibn Abi Katsir dari Abdullah ibn Abi Qatadah dari ayahnya berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "Allah tidak menerima shalat perempuan kecuali dia menutup perhiasaannya (aurat) dan tidak juga wanita budak yang mencapai masa haid kecuali menggunakan penutup kepala (burka)."
Hadits Dhaif[10]
Thabrani berkata, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Auza'i selain Amr ibn Hisyam, dan Ishaq ibn Ismail meriwayatkan darinya (Amr ibn Hisyam) sendirian.
Atsar Ummu Salamah r.a.
Abu Daud berkata (639):
Diriwayatkan oleh Qa'nabi dari Malik dari Muhammad (ibn Zaid) ibn Qunfuz dari Ibunya bahwa dia bertanya kepada Ummu Salamah, "Pakaian apa yang digunakan wanita dalam shalat?" dia menjawab, "Shalat menggunakan pakaian penutup kepala dan pakaian rumah yang panjang hingga menutupi punggung kedua kakinya."
Hadits Dhaif[11]
Dikeluarkan oleh Baihaqi (2/232, al-Sunan al-Kubra), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/225) dan Malik dalam al-Muwaththa` (1/142).
Abu Daud berkata (hadits 640):
Diriwayatkan oleh Mujahid ibn Musa dari Ustman ibn Umar dari Abdurrahman ibn Abdullah—yakni ibn Dinar—dari Muhammad ibn Zaid—dengan hadits ini[12]—dia berkata, dari Ummu Salamah bahwa dia bertanya kepada Nabi s.a.w. "apakah wanita shalat menggunakan pakaian wanita (pakaian rumah) dan pakaian penutup kepala, tanpa menggunakan pakaian yang dibelitkan ke badan (sarung)?" Nabi menjawab, "apabila pakaian wanita (pakaian rumah) itu luas hingga menutupi kedua punggung kakinya."
Hadits Dhaif[13]
Dan dikeluarkan oleh Baihaqi (al-Sunan al-Kubra, 2/233).
Beberapa atsar yang lain dari Ulama Salaf Tentang Pakaian Wanita dalam Shalat
· Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 2/224):
Diriwayatkan oleh Ibnu Aliah dari Sulaiman al-Taimi dari Ibnu Sîrîn dari Abu Hurairah dia berkata, Umar berkata, "wanita shalat dengan tiga lapis pakaian."
· Dan dalam referensi yang sama, Ibnu Abi Syaibah juga berkata:
Diriwayatkan oleh Isa ibn Yunus dari Auza'i dari Makhul dia berkata, saya tanya kepada Aisyah dalam hal pakaian apa wanita shalat? Dia menjawab, datanglah kepada Ali dan tanyakan kepadanya kemudian kembali ke sini. Lalu dia mendatangi Ali dan menanyakan kepadanya. Kemudian dia menjawab, "menggunakan pakaian rumah[15] yang luas dan penutup kepala." Kemudian dia kembali kepada Aisyah dan memberitahunya. Lalu Aisyah menjawab, "dia benar."
Dhaif[16]
Dan dikeluarkan oleh Abdur Razzaq (al-Mushannaf, 3/128).
· Ibnu Abi Syaibah berkata (dalam referensi yang sama):
Diriwayatkan oleh Ubbad ibn 'Awâm dari Muhammad ibn Ishaq dari Bakîr ibn Asyaj dari Ubaidullah[17] al-Khûlâni dia berkata, "Saya melihat Maimunah istri Nabi s.a.w. mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian rumah lebih besar dan meletakkan sebagian kainnya di atas kepala." Dia berkata, Ubaidullah adalah seorang yatim yang berada dalam asuhannya.
Dhaif[18]
· Ibnu Abi Syaibah juga berkata:
Diriwayatkan oleh Wakî' dia berkata, diriwayatkan oleh Malik ibn Anas dari Bakîr ibn Abdullah ibn Asyaj dari Ubaidullah al-Khûlâni dari Maimunah binti Harits, istri Nabi s.a.w. bahwasanya dia shalat mengenakan pakaian rumah dan penutup kepala.
Dhaif[19]
Dan dikeluarkan oleh Malik dalam al-Muwaththa (1/142) dari Seorang tsiqah dari Bakîr.
· Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 2/225):
Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Numair dari Ubaidullah ibn Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar dia berkata, "apabila wanita mengerjakan shalat maka kerjakanlah dengan mengenakan pakaiannya seluruhnya; pakaian rumah, penutup kepala, dan pakaian yang dibelitkan (pelapis seperti toga)."
Sahih sampai kepada Ibnu Umar
· Ibnu Abi Syaibah berkata (2/225):
Diriwayatkan oleh Ibnu Aliah dari Ayyub dari Ibnu Sîrîn dia berkata, "wanita shalat menggunakan tiga pakaian."[20]
Sahih sampai pada Ibnu Sîrîn
· Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf 2/225):
Diriwayatkan oleh Abu Usamah dari Hisyam ibn Urwah dia berkata, salah seorang perempuan berkata kepada ayahku, "saya seorang perempuan sedang mengandung dan sulit bagi saya mengerjakan shalat dengan pakaian bersabuk, apakah saya shalat dengan mengenakan pakaian rumah dan penutup kepala?" dia menjawab, ya.
Sahih sampai pada Urwah
Dan dikeluarkan oleh Malik dalam al-Muwaththa (1/142).
· Ibnu Abi Syaibah berkata (2/226):
Diriwayatkan oleh Yazid ibn Harun dari Hamam dari Qatadah dari Jabir ibn Zaid dia berkata, "wanita shalat menggunakan pakaian rumah yang tebal dan penutup kepala yang tebal."
Sahih dari Jabir ibn Zaid
· Ibnu Abi Syaibah berkata (2/226):
Diriwayatkan oleh Isa ibn Yunus dari Auza'i dia berkata, Athâ mengatakan, (wanita shalat) mengenakan pakaian rumah dan penutup kepala.
Sahih dari Athâ
· Dia juga berkata:
Diriwayatkan oleh Ibnu Fudhail dari Âshim dari Ma'âdzah dari Aisyah bahwasanya dia melaksanakan shalat dengan pakaian rumah dan penutup kepala lalu kemudian budak perempuan datang sehingga ia lemparkan pakaian padanya.
Sahih
· Abdur Razzaq meriwayatkan dalam al-Mushannaf (3/128) dari Hisyam dari Hasan dia berkata, wanita mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian rumah dan penutup kepala.
Sahih dari Hasan
· Dia juga meriwayatkan (3/130) dari Ibnu Juraij dari Athâ, dia berkata, "wanita melaksanakan shalat mengenakan pakaian rumahnya, penutup kepalanya, dan pakaiannya yang diselendangkan (pakaian seperti toga) dan bahwa menggunakan jilbab (pakaian longgar) lebih senang bagi saya." Lalu saya katakan, "bagaimana menurutmu kalau pakaian rumahnya dan penutup kepalanya, salah satunya tipis?" dia menjawab, "kalau demikian maka jilbab (pakaian longgar) di atasnya karena Malaikat bersamanya." Saya katakan, "pakaian rumahnya sampai dua lutut?" dia menjawab, "tidak, sehingga pakaian itu panjang dan tebal." Dia berkata, "dan hendaknya menyelendangkan pakaian pelapis (seperti toga) dan ia ikatkan di kedua belah pinggangnya."
Sahih dari Athâ
· Abdur Razzaq meriwayatkan (al-Mushannaf, 3/132) dari Ibnu Juraij dia berkata, saya berkata pada Athâ, "seorang budak perempuan yang belum mencapai masa haid dan dia ingin mengerjakan shalat." Dia menjawab, "cukup baginya pakaian selendangnya."
Sahih dari Athâ
Ini tambahan terperinci dan beberapa tambahan pendapat para ulama
Pertama: Wajah perempuan.
Kebanyakan para ulama membolehkan bagi wanita membuka wajahnya dalam shalat.[21]
· Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni (1/603):
Ibnu Abdil Bar mengatakan, mereka sudah menyatakan secara ijma'[22] bahwa bagi perempuan untuk membuka wajahnya dalam shalat dan saat berihram.
· Ibnu Qudamah juga berkata (al-Mughni, 1/601):
· al-Khaththabi berkata (Ma'alim al-Sunan bersama Aunul Ma'bud, 2/343-344):
Orang-orang berbeda pendapat dalam masalah apa yang wajib bagi wanita merdeka dalam hal menutup tubuhnya apabila melaksanakan shalat. Syafi'i dan Auza'i mengatakan, dia harus menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Dan demikian juga pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Athâ.[23] Dan Abu Bakar ibn Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam berkata, segala sesuatu dari wanita adalah aurat bahkan hingga kukunya. Dan Ahmad ibn Hambal berkata, wanita mengerjakan shalat dalam keadaan tidak kelihatan padanya sesuatupun dan tidak juga kukunya.
· al-Shan'âni berkata (Subulus Salâm, 1/219):
Diperbolehkan bagi wanita membuka wajahnya karena tidak ada dalil yang memerintahkan untuk menutupnya. Dan maksudnya adalah membukanya ketika shalat sekiranya tidak ada laki-laki asing yang melihatnya karena ini adalah auratnya dalam shalat. Adapun auratnya dari sisi pandangan laki-laki bukan muhrim kepadanya maka seluruhnya adalah aurat sebagaimana akan datang penjelasannya.
· Pengarang al-Muhazzab berkata (3/167):
Dan adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena firman Allah s.w.t., "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." [(QS. Al-Nûr-[24]:31)]. Ibnu Abbas berkata, wajahnya dan dua telapak tangannya.[24] Dan karena Nabi s.a.w. melarang wanita berihram[25] menggunakan dua sarung tangan dan cadar (niqab).[26]
Dan Imam Nawawi mengatakan (al-Majmû', 3/169), "Dan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Dan dengan pendapat ini semua dinyatakan oleh Malik dan beberapa kelompok ulama dan ini tersebut dalam satu riwayat dari Ahmad.[27] Sedangkan Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzni mengatakan, dua telapak kakinya tidak termasuk aurat. Dan Ahmad berkata, seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajahnya saja. Dan disebutkan dari Mawirdi dan Mutawalli dari Abu Bakar ibn Abdurrahman al-Tâbi'i bahwa seluruh badannya adalah aurat.
· Abu Muhammad ibn Hazm berkata (al-Muhalla, 3/216):
Adapun perempuan, maka Allah s.w.t. berfirman, "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka." Sampai firman Allah s.w.t., "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." [(QS. Al-Nûr-[24]:31)]. Maka Allah s.w.t. memerintahkan kepada mereka menutup daerah rongganya dengan kain kudung dan ini ketetapan perintah untuk menutup aurat, leher dan dada. Dan padanya terdapat ketetapan kebolehan membuka wajah dan sama sekali tidak mungkin selain itu.[28] Dan firman Allah s.w.t., "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan" merupakan ketetapan bahwa kedua kaki dan dua betis termasuk anggota yang harus disembunyikan dan tidak boleh dinampakkan.
Kesimpulan Masalah Membuka Wajah bagi Wanita dalam Shalat
Dalil-dalil yang terdapat dalam masalah membuka wajah dan menutupnya bagi wanita dalam shalat bisa disimpulkan sebagai berikut:
Hadits Rasulullah s.a.w., "Wanita adalah aurat..."[29]
Firman Allah s.w.t., "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya."[30] (QS. Al-Nûr-[24]:31)
Sebab turunnya firman Allah s.w.t., "Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripada-mu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang terkemudian (dari padamu)." Dan didalamnya disebutkan ada seorang wanita cantik melaksanakan shalat sehingga sebagian orang berlambat agar bisa melihatnya.[31]
Kesepakatan Ijma ulama yang dikutip oleh sebagian para ulama bahwa boleh bagi wanita membuka wajah dalam shalat.
Dan atas dasar dalil-dalil ini bisa disimpulkan sebagai berikut:
wanita membuka wajahnya dalam shalat di depan suami atau muhrimnya, atau ketika mengerjakan shalat sendirian maka dalam kondisi ini boleh baginya membuka wajah karena tidak ada larangan sama sekali dari hal itu dan kita tidak mengetahui seorang pun dari ulama yang menyatakan wajib baginya untuk menutup wajahnya dalam kondisi ini.
wanita membuka wajahnya di depan orang-orang asing (bukan muhrim) ketika mengerjakan shalat. Dan ini terdiri dari dua hal:
Pertama, bahwa dia adalah wanita yang termasuk qawaid (perempuan-perempuan tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin lagi.
Maka ini tidak wajib baginya menutup wajahnya di depan orang asing (bukan muhrimnya). Tetapi apabila dia melakukan dan menutup wajahnya maka itu lebih baik baginya karena firman Allah s.w.t., "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Nûr-[24]:60)
Kedua, wanita yang tidak termasuk perempuan-perempuan tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama, bahwa boleh baginya membuka wajahnya dalam shalat. Dan dalil mereka yang mengatakan pendapat ini adalah tafsir yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam firman Allah s.w.t. "kecuali apa yang (biasa) nampak daripadanya" bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua telapak tangan, Ijma' yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar bahwa wanita boleh membuka wajahnya dalam shalat, dan sebab turunnya ayat firman Allah s.w.t. "Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripada-mu."
Berkaitan dengan masalah bentuk-bentuk penarikan kesimpulan dari dalil (istidlal) ini, sudah didiskusikan pada footnote yang telah lewat baru saja. Adapun Ijma yang dikutip oleh Ibnu Abdil Bar adalah ijma yang tidak bulat karena terdapat pendapat sebagaimana tersebut dari Ahmad dan Abu Bakar ibn Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam bahwa perempuan melaksanakan shalat sedang dia tidak nampak padanya sesuatu pun dan tidak juga kukunya.
Pendapat kedua, bahwa tidak boleh bagi wanita membuka wajahnya di depan orang asing (bukan muhrim) dalam shalat karena hadits Rasulullah s.a.w. yang menyatakan bahwa wanita adalah aurat.
Pendapat ini adalah pendapat yang kuat. Kami cenderung kepada pendapat ini dan hati kami menyatakan pendapat ini baik. Pendapat ini lebih jauh dari fitnah, lebih selamat bagi agama dan lebih berhati-hati bagi kaum muslimin. Dan dengan pendapat ini Syaikh Muhammad ibn Saleh al-'Ustaimin memberikan fatwa. (Di dalam buku Fatwa-Fatwa Wanita yang dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid halaman 37) beliau ditanya, apakah hukumnya wanita muslimah yang membaca al-Qur'an, melaksanakan shalat dan puasa, tetapi dia tidak menutup kepalanya (saya tegaskan, yakni pada saat itu). Beliau menjawab, membaca al-Qur'an tidak disyaratkan menutup kepala. Sedangkan shalat, maka shalatnya tidak sah kecuali dengan menutup aurat. Dan wanita merdeka yang sudah mencapai usia baligh, seluruhnya adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya maka tidak diwajibkan kepadanya untuk menutup wajah ketika mengerjakan shalat kecuali apabila di sekitarnya terdapat laki-laki yang bukan muhrim baginya maka diwajibkan baginya untuk menutup wajah dari mereka karena wanita tidak diperbolehkan untuk membuka wajah kepada selain suami dan muhrimnya. Wallahu A'lam.
Kedua: rambut dan kepala wanita.
Tambahan beberapa pendapat
Telah lewat beberapa perkataan dan pendapat dari para ulama salaf tentang masalah wanita menutup rambutnya dalam shalat. Dan ini beberapa tambahan dari pendapat-pendapat para ulama.
· Imam Syafi'i berkata (al-Um, 1/77), seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan kedua bagian atas telapak kaki wanita adalah aurat. Maka apabila terbuka pada bagian antara pusar dan lutut dalam shalat bagi laki-laki, dan bagi wanita apabila terbuka bagian rambut sedikit atau banyak dalam shalatnya, dari bagian tubuhnya selain wajah, kedua telapak tangan, dan bagian yang berdekatan dengan telapak hingga kedua sendi pergelangannya dan tidak melewatinya, apakah dia tahu atau tidak tahu, wajib mengulangi shalatnya kecuali kalau terbuka akibat angin atau terbuka tidak sengaja [seperti, kancing terbuka] kemudian dengan segera ditutup kembali pada tempatnya dalam waktu yang tidak lama. Maka apabila waktu berselang lama setelahnya seukuran mungkin baginya untuk menutup bagian itu dengan segera, wajib baginya mengulang shalat demikian juga wanita.
· Turmudzi setelah mengemukakan hadits Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haid kecuali mengenakan kudung kepala, mengatakan, "Dan ketetapan terhadap hal itu menurut para ulama bahwa wanita apabila sudah baligh lalu melaksanakan shalat dan bagian dari rambutnya terbuka, tidak sah shalatnya. Ini adalah pendapat Syafi'i, dia berkata, tidak boleh wanita shalat sedang bagian dari tubuhnya terbuka. Syafi'i berkata, dikatakan apabila kedua bagian atas telapak kakinya terbuka maka shalatnya sah.
· Pengarang al-Muhazzab (3/167) berkata, dan adapun wanita merdeka maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dan Imam Nawawi (al-Majmû', 3/169) berkata, dan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan.
· Dan Ibnu Taimiah ditanya (Majmû al-Fatâwa, 22/123) tentang perempuan apabila nampak bagian dari rambutnya dalam shalat apakah shalatnya batal atau tidak? Dia menjawab, apabila terbuka sedikit dari bagian rambut dan tubuhnya, tidak wajib baginya mengulang shalat menurut kebanyakan para ulama dan ini pendapat Mazhab Abu Hanifah dan Ahmad. Dan apabila terbuka banyak maka wajib baginya mengulang shalat pada waktunya menurut seluruh ulama dan imam empat dan selain mereka. Wallahu A'lam. Saya katakan, dan tetapi mana dalil yang sahih terhadap pendapat itu?!!!
Kesimpulan Masalah Rambut Wanita dalam Shalat
Dari pendapat-pendapat yang telah lewat, dalil-dalil yang menyatakan hukum terhadap masalah rambut wanita yang terbuka dalam shalat tersimpul sebagai berikut:
Hadits marfû' dari Aisyah r.a. "Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haid kecuali mengenakan kudung." Dan sudah dijelaskan bahwa hadits ini dhaif.
Hadits Ummu Salamah r.a. bahwasanya dia bertanya kepada Nabi s.a.w. apakah wanita shalat dengan pakaian rumah dan kudung tidak wajib baginya sarung? Nabi menjawab, "apabila pakaian rumah itu panjang menutup kedua bagian atas telapak kakinya." Dan hadits ini sudah dijelaskan baik yang marfû atau mauqûf adalah hadits dhaif.
Ijma yang dikutip oleh Ibnu Qudamah (1/61) bahwa bagi wanita merdeka untuk menutup kepalanya dengan kudung apabila shalat dan apabila dia melaksanakan shalat sedang seluruh kepalanya terbuka, wajib baginya mengulang shalatnya.
Hadits Abu Qatadah marfû', "Allah tidak menerima shalat seorang perempuan kecuali dia menutup perhiasannya (aurat) dan tidak juga dari sahaya perempuan yang sudah mencapai haid kecuali mengenakan kudung kepala (khimar)." Dan ini hadits lemah sebagaimana sudah dijelaskan.
Hadits "Wanita adalah aurat" sebagaimana telah lewat.
Dari semua ini tidak ada dalil kuat yang bisa kita terima yang menyatakan kewajiban menutup rambut bagi wanita kecuali hadits wanita adalah aurat. Kemudian setelah itu, klaim Ijma yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni. Adapun hadits wanita adalah aurat, berlaku atas kasus dalam masalah apabila wanita melaksanakan shalat dengan keberadaan orang lain (bukan muhrim). Tetapi apabila shalat sekiranya tidak ada seorangpun yang melihatnya atau tidak ada yang melihatnya kecuali muhrim dan wanita-wanita muslimah, maka ketika itu tidak diberlakukan hadits wanita adalah aurat dan tersisa dalil ijma ulama yang menyatakan bahwa wanita harus menutup kepalanya apabila shalat dan apabila dia shalat sedang seluruh kepalanya terbuka, maka baginya mengulang shalat. Pendapat saya, pada klaim ijma bahwa dia harus mengulang shalat perlu ditinjau kembali.[32]
Al-Syaukani—setelah mengemukakan sebagian dalil-dalil yang kami sebutkan—dalam kitab Nailul Authâr (2/68) mengatakan:
Dan dijawab terhadap dalil-dalil ini[33] bahwa maksud akhirnya adalah menyatakan hukum wajib. Sedangkan hal yang berkaitan dengan syarat dimana ketiadaannya menyebabkan ketiadaan yang disyaratkan, maka tidak layak untuk dijadikan bentuk pengambilan kesimpulan (dari dalil) karena syarat adalah bentuk hukum positif syar'i, tidak tetap dengan semata-mata perintah-perintah. Benar, mungkin dilakukan pengambilan kesimpulan hukum untuk dinyatakan sebagai syarat dari hadits masalah ini,[34] dari hadits setelahnya,[35] dan dari hadits Abu Qatadah pada riwayat Thabrani dengan lafazh "Allah tidak menerima shalat seorang perempuan kecuali dia menutup perhiasannya (aurat) dan tidak menerima shalat sahaya perempuan yang sudah mencapai haid kecuali mengenakan kudung kepala."[36] Tetapi pengambilan kesimpulan hukum dengan hal itu tidak menjernihkan kekeruhan karena pertama, diajukan bantahan: kami tidak menerima bahwa menafikan penerimaan itu menunjukkan atas bentuk syarat karena terdapat ketiadaan penerimaan shalat terhadap budak yang melarikan diri, orang yang di tenggorokannya minuman keras (khamr), dan orang yang mendatangi dukun, beserta adanya ketetapan secara ijma bahwa shalatnya sah. Kedua, bahwa maksud akhir dari hal itu, yaitu menutup aurat merupakan syarat sah shalat bagi wanita, dan hal itu lebih khusus daripada tuntutan dan menghubungkan laki-laki dengan wanita, tidak sah disini karena adanya perbedaan yaitu bentuk fitnah yang terdapat pada wanita yang terbuka dan ini adalah makna yang tidak terdapat dalam aurat laki-laki. Ketiga, dengan hadits Sahal ibn Sa'ad dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Nasa'i dengan lafazh para laki-laki melaksanakan shalat bersama Nabi s.a.w., mereka menyimpulkan kain-kain sarung mereka di atas leher seperti bentuk anak-anak kecil, dan dikatakan kepada para wanita, "jangan kalian angkat kepala kalian sampai para laki-laki sempurna duduk semua." Dalam riwayat Abu Daud terdapat tambahan, "karena sempitnya kain sarung." Dan ini menunjukkan tidak wajibnya menutup apalagi menjadi syarat. Dan keempat, dengan hadits Amr ibn Salamah tersebut di dalamnya, "Lalu aku menjadi imam mereka dan aku mengenakan selendang yang sobek sehingga bila aku sujud, kainnya mengkerut ditubuhku." Dan dalam satu riwayat, "terbuka duburku sehingga salah seorang perempuan dari kampung berkata, tidakkah kalian tutupkan dubur orang yang membaca (menjadi imam) bagi kalian." Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud dan Nasa`i. Maka yang benar adalah bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib saja sebagaimana pada kondisi-kondisi lain, bukan sebagai syarat yang meninggalkannya menyebabkan tidak sah. Selesai.
Demikian perkataan al-Syaukani, dan dia mengemukakan pendapatnya atas dasar menyatakan sahih terhadap hadits "Allah tidak menerima shalat wanita yang mencapai haid kecuali mengenakan kudung kepala," dan hadits Abu Qatadah "Allah tidak menerima shalat seorang perempuan kecuali dia menutup auratnya dan tidak menerima shalat sahaya perempuan yang mencapai haid kecuali mengenakan kudung kepala." Dan pendapat yang dikemukakan oleh al-Syaukani ini menjadi lebih kuat dengan dinyatakan kelemahan hadits-hadits yang ia pergunakan untuk mendasari pendapatnya dengan asumsi derajatnya sahih. Maka pendapat yang sahih adalah perempuan siapa saja yang nampak bagian rambutnya pada saat melaksanakan shalat, tidak batal shalatnya, secara khusus apabila dia mengerjakannya di rumah. Adapun jika dia mengerjakannya tidak di rumah juga tidak batal shalatnya. Hanya saja bagian itu adalah aurat yang diwajibkan baginya untuk menutupnya dari laki-laki. Wallahu A'lam.
· Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni (1/601) berkata:
Para ulama bersepakat secara ijma bahwa wajib bagi perempuan merdeka untuk menutup kepalanya ketika mengerjakan shalat, dan bahwa apabila dia shalat dan seluruh kepalanya terbuka, maka wajib baginya mengulang shalat. Sedangkan Abu Hanifah berkata, "kedua kaki [maksudnya bagian telapak dan bagian atasnya] tidak termasuk aurat karena termasuk bagian yang biasa nampak maka keduanya seperti wajah. Dan apabila terbuka dari perempuan lebih sedikit dari seperempat bagian rambut, atau seperempat bagian paha, atau seperempat bagian perutnya, tidak batal shalatnya."
· Al-Khaththabi berkata (dalam Aunul Ma'bûd syarah Sunan Abu Daud, 2/344):
Dan Malik ibn Anas berkata, "apabila wanita shalat dan terbuka rambutnya atau bagian sebelah atas telapak kakinya, wajib baginya mengulang shalat selama berada dalam waktu." Dan para pengikut mazhab Hanafi berkata tentang masalah perempuan yang mengerjakan shalat sedang seperempat bagian rambut atau sepertiganya terbuka, atau seperempat bagian paha atau sepertiganya terbuka, maka shalatnya batal. Dan apabila lebih sedikit dari ukuran itu tidak batal shalatnya. Dan diantara mereka terdapat perbedaan dalam menentukan batasnya. Dan sebagian mereka ada yang menetapkan batasnya separuh. Dan saya tidak mengetahui sedikitpun terhadap pendapat yang mereka kemukakan ada dasar dalil yang dipegang.
Wanita apabila tidak memiliki lebih
dari satu pakaian
Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 2/226):
· Diriwayatkan oleh Azhar al-Sammân dari Ibnu 'Aun[37] dari Muhammad dia berkata, dia kenakan pakaian itu.
Sahih dari Muhammad Ibnu Sîrîn
· Diriwayatkan oleh Ibnu Fudhail dari Umar ibn Dzar dia berkata, saya bertanya kepada Mujahid dan Athâ tentang wanita yang melaksanakan shalat dan tidak memiliki kecuali satu pakaian saja. Dia menjawab, "dia kenakan pakaiannya."
Sahih sampai pada Mujahid dan Athâ
· Diriwayatkan oleh Waki' dia berkata, diriwayatkan oleh Umar ibn Dzar dia berkata, saya bertanya kepada Athâ tentang perempuan yang tidak memiliki kecuali satu pakaian saja. Dia menjawab, "dia kenakan pakaiannya." Waki' berkata, yakni apabila dia masih kecil.
Sahih dari Athâ
Ketiga: kaki perempuan dalam shalat
Tambahan beberapa pendapat para ulama
· Imam Syafi'i berkata (al-Um, 1/77):
Dan kedua bagian atas telapak kaki wanita adalah aurat dan dia berkata—sebagaimana dikutip oleh Turmudzi (dalam Tuhfah, 2/378)—dan dikatakan apabila kedua bagian sebelah atas telapak kakinya terbuka maka shalatnya sah.
· Sebagaimana sudah lewat pendapat Imam Malik bahwa perempuan adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka menurut pendapat itu baginya kedua kaki perempuan termasuk aurat. Dan demikian juga telah lewat pendapat Imam Ahmad (dalam satu riwayat), seluruh tubuh perempuan adalah aurat maka demikian juga sesuai menurut pendapat itu kedua kaki perempuan adalah aurat. Dan silahkan lihat lebih lengkapnya tentang permasalahan ini dalam al-Majmû' syarah al-Muhazzab (3/169).
· Abu Hanifah berkata, kedua kaki (bagian telapak dan sebelah atasnya) tidak termasuk aurat. (lihat al-Mughni, 1/601).
· Ibnu Taimiah ditanya (Majmû' al-Fatâwa, 22/123) tentang perempuan apabila mengerjakan shalat sedang bagian atas telapak kakinya terbuka, apakah sah shalatnya? Beliau menjawab, masalah ini terdapat perdebatan antara para ulama dan menurut mazhab Abu Hanifah, shalatnya sah dan itu salah satu dari dua penpadat.
Kesimpulan dalil-dalil dalam bab ini
Dalam bab ini terdapat dalil-dalil sebagai berikut:
Hadits Rasulullah s.a.w., "wanita adalah aurat."
Hadits Ummu Salamah r.a., bahwa wanita melaksanakan shalat mengenakan kudung dan pakaian rumah yang panjang yang menutupi bagian sebelah atas telapak kakinya. Dan ini adalah riwayat atsar yang lemah sebagaimana telah lewat. Dan dalam riwayat yang marfû, "apabila pakaian rumah itu panjang menutupi bagian sebelah atas telapak kakinya" dan ini juga lemah sebagaimana penjelasan telah lewat.
Hadits sahih dari Ibnu Umar r.a.—dan akan datang takhrijnya pada bab pakaian insya Allah—disebutkan di dalamnya bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda, "Allah tidak memandang (dengan rahmatNya) kepada orang yang mengulurkan (memberaikan) pakaiannya karena sombong." Kemudian Ummu Salamah berkata, "lalu bagaimana dengan wanita membuat ujung pakaian-pakaian mereka?" Dia menjawab, "mereka ulurkan sejengkal." Kemudian Ummu Salamah berkata, "kalau demikian terbuka kaki mereka?" Nabi menjawab, "maka mereka ulurkan sehasta dan jangan mereka lebihkan dari itu." Mereka mengatakan, ini menunjukkan kewajiban untuk menutup kedua kaki.
Inilah beberapa hal yang diangkat dalam masalah bab ini. Pertama, hadits "Wanita adalah aurat" dan derajatnya sahih. Hadits ini menyatakan bahwa wanita harus menutup kedua kakinya apabila mengerjakan shalat dengan keberadaan orang lain yang bukan muhrim. Kedua, hadits Ummu Salamah dan ini menyatakan secara teks dalam masalah ini. Hanya saja statusnya lemah sehingga tidak dijadikan sandaran utama. Dan ketiga, hadits Ibnu Umar. Hanya saja hadits itu tidak menegaskan ketika shalat, tetapi dalam lingkup umum ketika wanita keluar rumah atau ketika shalat di depan orang yang bukan muhrim.
Atas dasar ini maka perincian masalah adalah bahwa wanita apabila shalat di depan orang yang bukan muhrim, wajib baginya menutup kedua kakinya karena hadits "wanita adalah aurat" dan hadits Ibnu Umar. Dan apabila dia shalat di depan muhrimnya atau di depan wanita-wanita muslimat, maka tidak wajib baginnya untuk menutupnya karena tidak ada dalil yang menyatakan hal itu. Dan apabila dia shalat di depan orang yang bukan muhrim sedangkan kakinya terbuka, maka dia salah dan berdosa apabila melakukan itu dengan sengaja, tetapi apakah shalatnya batal karena itu? Kami tidak mengetahui dalil yang menyatakan shalatnya batal. Wallahu A'lam.
Keempat: seluruh badan perempuan.
Kebanyakan pendapat para ulama sebagaimana disebutkan menyatakan bahwa wajib bagi wanita menutup seluruh badannya ketika shalat. Dan sudah kami jelaskan secara terperinci pendapat tentang masalah wajah, dua kaki, kepala dan rambutnya. Dan juga telah lewat pendapat Imam Syafi'i bahwa tidak sah shalat wanita sedang bagian dari tubuhnya terbuka.
Dan pendapat Imam Ahmad, bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Dan pendapat Imam Malik bahwa wanita adalah aurat (kecuali wajah dan dua telapak tangan).
Dan pendapat Abu Hanifah dalam salah satu riwayat darinya bahwa boleh terlihat kedua kaki (bagian telapak dan sebalah atas telapak) dan tempat gelang kakinya (lihat Tuhfah al-Ahwadzi Syarah Sunan Turmudzi, 2/378).
Dan pendapat-pendapat yang lain.
Adapun dari segi dalil-dalil yang sahih dari Rasulullah s.a.w. dalam masalah ini bisa disimpulkan sebagai berikut:
Hadits Rasulullah s.a.w., "wanita adalah aurat."
Firman Allah s.w.t. dalam al-Qur'an, "pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid"[38] [(QS. Al-A'râf-[7]:31)].
Dan firman Allah s.w.t., "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." [(QS. Al-Nûr-[24]:31)]. Maka dengan pengecualian wajah dan telapak tangan menurut sebagian ulama, seluruh mereka menyatakan kewajiban menutup seluruh badan.
Dari dalil-dalil ini jelas bahwa wanita apabila shalat di depan orang yang bukan muhrim, wajib baginya menutup seluruh tubuhnya dari mereka. Dan apabila dia shalat sendirian atau di depan wanita-wanita muslimah, atau di depan muhrimnya, dia harus menutup[39] seluruh tubuhnya juga (dengan pengecualian wajah, dua telapak tangan, dan dua kaki sebagaimana sudah kami jelaskan terperinci pendapat dalam masalah ini). Dan apabila nampak bagian dari tubuhnya di depan orang yang bukan muhrim, maka dia berdosa tetapi tidak batal shalatnya sesuai pendapat sahih yang kami pegang karena tidak ada dalil sahih yang menyatakan shalatnya batal dan ilmu hanya pada Allah s.w.t.
Adapun hadits-hadits yang menyatakan bahwa para wanita membelitkan tubuh dengan pakaian tebal mereka, bahwa mereka mengenakan baju kurung (jilbab) untuk keluar melaksanakan shalat, dan perkataan-perkataan ulama salaf bahwa wanita shalat mengenakan 3 pakaian; pakaian rumah, kudung kepala, dan pakaian yang dibelitkan (seperti toga), maka semua itu untuk menunjukkan hal yang sangat dianjurkan dalam menutup. Karena semakin wanita itu tertutup maka itu semakin baik baginya dan apabila dia menutup kurang dari itu, boleh dan cukup baginya.
· Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (1/602) berkata:
Dan disunnahkan bagi wanita mengerjakan shalat mengenakan pakaian rumah, dia berkata, pakaian rumah yaitu menyerupai gamis tetapi panjang sehingga menutup kedua kakinya, dan kain kudung yang menutup kepala dan leher serta baju kurung (jilbab) yang ia selimutkan sebagai lapisan pakaian rumah. Dan pendapat ini diriwayatkan dari Umar, anaknya [Ibnu Umar], Aisyah, Ubaidah al-Salmâni, dan Athâ,[40] dan ini adalah pendapat Imam Syafi'i. Dia berkata, keseluruhan mereka bersepakat atas pakaian rumah dan kudung kepala, dan apa yang lebih dari itu lebih baik dan lebih menutup, dan karena apabila dia memiliki baju kurung (jilbab) maka itu merenggangkan dari tubuhnya sewaktu ruku' dan sujud agar pakaiannya tidak menggambarkan lekuk hingga membuat jelas pinggul dan tempat-tempat auratnya.
· Pengarang al-Muhazzab (3/172) berkata:
Dan disunnahkan baginya untuk membuat tebal baju kurungnya (jilbab) sehingga tidak menggambarkan anggota-anggota tubuhnya dan pakaian pelapis (seperti toga) merenggang dari tubuhnya pada saat ruku' dan sujud sehingga pakaiannya tidak menggambarkan lekuknya.
Aurat Budak Perempuan dalam Shalat
Pertama: Kepala Budak Perempuan
· Ibnu Qudamah berkata (al-Mughni, 1/604):
Dia berkata, dan shalat bagi budak perempuan dengan kepala terbuka hukumnya boleh dan kami tidak mengetahui seseorang yang berbeda dengan pendapat ini kecuali Hasan karena dia salah seorang ulama yang mewajibkan menggunakan kudung kepala apabila dia sudah kawin atau laki-laki memperistrinya. Dan Athâ menyatakan sunnah baginya agar mengenakan kudung penutup apabila shalat.
Ibnu Qudamah berkata: Dan dalil kami bahwa Umar r.a.[41] memukul seorang budak perempuan milik keluarga Anas yang ia lihat mengenakan kudung penutup dan berkata, "buka kepalamu dan jangan menyerupai wanita-wanita merdeka." Dan ini menunjukkan bahwa kejadian ini masyhur tidak ada yang membantah di kalangan sahabat sehingga Umar mengecam penentangannya. Dan Abu Qilâbah[42] berkata, bahwa Umar ibn Khattab tidak membiarkan budak perempuan bertutup cadar pada masa kekhilafahannya, dan dia berkata, cadar hanya untuk wanita merdeka.
· Imam Nawawi (al-Majmû', 3/170) berkata:
Para ulama sepakat dalam ijma bahwa kepala wanita budak tidak termasuk aurat apakah dia dikawini atau tidak kecuali satu riwayat dari Hasan Basri bahwa perempuan budak yang dikawini dan oleh suaminya diberikan tempat tinggal di rumahnya, hukumnya seperti wanita merdeka. Wallahu A'lam.
· Adapun Abu Muhammad Ibnu Hazm, dia mengemukakan pendapat bahwa aurat perempuan budak seperti aurat perempuan merdeka, dan para pengikuti Zahiriyah sependapat dengannya. Dan Abu Muhammad ibn Hazm mengambil kesimpulan tidak membedakan antara wanita budak dengan wanita merdeka dengan hadits "Allah tidak menerima shalat perempuan haid kecuali mengenakan kudung kepala."[43] Dia berkata (al-Muhalla, 3/218):
Dan adapun perbedaan antara perempuan budak dan perempuan merdeka maka agama Allah adalah satu, penciptaan dan tabiat adalah satu. Semua itu pada perempuan merdeka dan perempuan budak adalah sama kecuali ada nash yang menyatakan perbedaan antara keduanya dalam suatu bentuk sehingga dikaitkan pada bentuk itu.[44]
Lalu apabila dikatakan bahwasanya firman Allah s.w.t., "dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka," al-ayat [(QS. Al-Nûr-[24]:31)] menunjukkan bahwa Allah s.w.t. menghendaki dengan hal itu adalah wanita-wanita merdeka. Maka kami jawab, ini adalah kebohongan tanpa ragu-ragu lagi karena kata al-ba'l (suami) dalam bahasa Arab berarti tuan dan suami sedangkan perempuan budak juga kawin. Dan kami sama sekali tidak mengetahui bahwa perempuan-perempuan budak tidak mempunyai anak, ayah, sandara pihak ibu, dan saudara pihak ayah sebagaimana dimiliki oleh perempuan-perempuan merdeka.
Dan sebagian mereka yang berpikir pendek berpendapat terhadap firman Allah s.w.t., "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. [(QS. Al-Ahzâb-[33]:59)] bahwa hanya saja Allah memerintahkan hal itu karena orang-orang fasiq mengganggu para wanita dalam kefasikan maka diperintahkan kepada para wanita merdeka untuk mengenakan baju kurung (jilbab) mereka agar orang-orang fasiq mengetahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka lalu tidak mengganggu mereka.
Ali (dia yakni Ibnu Hazm) berkata, dan kami berlepas diri menyerahkan kepada Allah dari penafsiran yang rusak ini, yang disebabkan kekeliruan orang yang berilmu atau kealpaan orang berakal dan mulia, atau dusta mengada-ada dari orang fasiq karena dalam penafsiran itu mengandung makna bahwa Allah membiarkan orang-orang fasiq mengganggu kehormatan sahaya-sahaya perempuan yang muslim dan ini adalah musibah besar. Tidak berbeda pendapat dua orang yang memeluk agama Islam dalam pengharaman zina bagi wanita merdeka seperti pengharamannya terhadap perempuan sahaya dan hukuman bagi pelaku zina terhadap wanita merdeka sama dengan hukuman bagi pelaku zina terhadap wanita sahaya, tidak ada perbedaan dan bahwa perlakuan wanita merdeka dalam keharaman sama seperti perlakuan wanita budak tanpa ada perbedaan. Karena itu dan seumpamanya wajib untuk tidak menerima perkataan seseorang setelah Rasulullah s.a.w. kecuali mempunyai sandaran dalil kepadanya s.a.w.
Saya katakan (yakni Mushtafa), pendapat Abu Muhammad ibn Hazm terbantah dari beberapa segi:
Pertama, hadits yang kami tunjukkan pada footnote tentang Nabi s.a.w. membangun rumah tangga dengan Shafiah binti Hayyin r.a. dan di dalamnya disebutkan apabila dia memakaikan hijab baginya maka dia termasuk salah seorang ummul mu'minin dan apabila tidak dia pakaikan hijab maka termasuk sahaya yang dikawini. Maka hadits ini menunjukkan adanya pembedaan antara wanita merdeka dan wanita sahaya dalam menutup aurat.
Kedua, bahwa pendapat yang dikritik oleh Abu Muhammad Ibnu Hazm dalam menafsirkan ayat adalah pendapat jumhur para ahli tafsir dari para tabi'in dan orang setelah mereka.
Ketiga, riwayat yang tetap dari Umar bahwa dia melarang perempuan budak menyerupai perempuan merdeka dan tidak adanya bantahan terhadapnya dari para sahabat r.a. (dan akan datang penjelasan masalah itu sebentar lagi). Maka dalam perlakuan ini terkandung apa yang menunjukkan bahwa bagi perempuan sahaya ada pakaian khusus tanpa bertutup cadar dan kudung kepala.
Keempat, bahwa pendapat jumhur ahli tafsir—yang dikritik oleh Abu Muhammad Ibnu Hazm—tidak terdapat dalamnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm bahwa Allah membiarkan orang fasiq mengganggu wanita-wanita sahaya. Dan untuk memperjelas hal itu kami katakan, apabila Allah s.w.t. memerintahkan istri-istri Nabi dengan suatu perintah seperti dalam firman-Nya, "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya" [(QS. Al-Ahzâb-[33]:32)] maka apakah dalam perintah ini mengandung kebolehan bagi mereka yang hatinya memiliki penyakit untuk berkeinginan terhadap istri-istri orang mu'min dan perempuan sahaya mereka?! Tidak dan jauh sekali, tetapi ini adalah perintah kepada istri-istri Nabi s.a.w. untuk lebih berhati-hati dari orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya.
· Al-Syinqithi (Adhwâul Bayân, 6/588) berkata, dalam kesimpulannya tidak ada masalah dalam perintah kepada wanita merdeka untuk membedakan pakaian dari wanita sahaya agar disegani oleh orang-orang fasiq sedangkan menolak kemudharatan orang-orang fasiq dari wanita sahaya adalah mesti (wajib).
Atsar yang datang dari Umar r.a.
dalam masalah itu
Ibnu Abi Syaibah berkata (al-Mushannaf, 2/230):
Diriwayatkan oleh Waki' dia berkata, diriwayatkan oleh Syu'bah dari Qatadah dari Anas dia berkata, Umar melihat perempuan sahaya milik kami mengenakan cadar lalu dia pukul dan berkata, "Jangan menyerupai wanita-wanita merdeka."
Sahih dari Umar[45]
Dan dia juga berkata:
Diriwayatkan oleh Ali ibn Mushir dari Mukhtar ibn Fulful dari Anas ibn Malik dia berkata, seorang budak perempuan masuk kepada Umar ibn Khattab dan dia mengenalnya dengan sebagian Muhajirin dan Anshar, sedang ia mengenakan jilbab (bercadar) yang menutup dirinya, lalu dia tanyakan kepadanya, "apakah kamu merdeka?" dia menjawab, "tidak." Dia berkata, "lalu kenapa jilbab itu, tanggalkan dari kepalamu. Hanya saja jilbab bagi wanita-wanita merdeka dari orang-orang mu'min." Lalu dia berlambat melakukan itu sehingga dia (Umar) berdiri mendekatinya dengan menyentaknya lalu memukulnya di kepala hingga terlepas dari kepalanya.
Sahih
Kedua: Seluruh Badan Budak perempuan
· Jumhur ulama berpendapat bahwa aurat sahaya perempuan adalah antara pusar hingga lutut.
Al-Syaukani berkata (Nailul Authâr, 2/67), dan dengan ini (yakni dengan hadits Allah tidak menerima shalat wanita haid kecuali mengenakan kudung), mereka yang menyamakan antara wanita merdeka dan wanita sahaya mengambil kesimpulan hukum dalam masalah aurat karena umumnya penyebutan haid dan tidak membedakan antara wanita merdeka dan wanita sahaya. Dan ini adalah pendapat pengikut mazhab Zhahiriyah. Dan 'itrah (ulama keturunan Nabi, atau dari Syiah), Syafi'i, Abu Hanifah, dan Jumhur ulama membedakan antara aurat perempuan merdeka dan perempuan budak. Maka menurut mereka aurat budak perempuan adalah antara pusar dan lutut seperti laki-laki. Dan al-Syaukani mengajukan pengambilan kesimpulan hukum bagi mereka dengan hadits "Apabila salah seorang kalian mengawinkan budaknya dengan sahaya perempuannya maka jangan melihat kepada auratnya."[46] Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan aurat yang disebutkan dalam hadits ini adalah apa yang sudah ditegaskan keterangannya pada hadits yang pertama. Dan Malik berkata, aurat sahaya perempuan seperti wanita merdeka kecuali rambutnya maka tidak termasuk aurat. Sepertinya dia melihat yang berlaku di negri Hijaz bahwa para budak perempuan membuka kepala mereka, demikian disampaikan oleh Ibnu Abdil Bar dalam al-Istidzkar. Sedangkan al-Iraqi dalam Syarah Turmudzi berkata, dan pendapat yang masyhur darinya bahwa aurat budak perempuan seperti laki-laki.
· Dalam al-Mughni karya Ibnu Qudamah (1/604) disebutkan, al-Kharqi tidak menyebutkan selain membuka kepala dan ini pendapat yang dinyatakan secara tegas oleh Imam Ahmad menurut riwayat Abdullah. Dia berkata, dan apabila budak perempuan mengerjakan sembahyang dengan kepala terbuka, tidak mengapa. Sedangkan sahabat-sahabat kami berbeda pendapat pada bagian selain itu. Ibnu Hamid berkata, auratnya seperti aurat laki-laki dan dia mengisyaratkan kepadanya. Dan al-Qadhi dalam al-Mujarrad berkata, apabila terbuka darinya dalam shalat pada bagian antara pusar dan lutut maka shalatnya batal dan apabila terbuka bagian selain itu maka shalatnya sah. Dan dia berkata dalam al-Jami, aurat perempuan budak adalah bagian selain kepala, kedua tangan hingga siku, dan dua kaki hingga lutut. Dan dia memberikan argumen dengan perkataan Imam Ahmad, boleh bagi laki-laki untuk membolak-balik budak perempuan apabila dia ingin membeli, dari atas pakaian, dan menyingkap dua lengan dan dua betis, karena itu yang nampak pada biasanya dalam melakukan pelayanan dan dilihat-lihat dalam jual beli maka tidak termasuk aurat. Sedang bagian selain itu pada biasanya tidak nampak dan tidak ada keperluan untuk membukanya. Dan ini pendapat sebagian pengikut Syafi'i, dan jika tidak tentu akan muncul dengan tegas dari mereka seperti pendapat Ibnu Hamid sebagaimana diriwayatkan dari Abu Musa bahwa dia mengatakan di atas mimbar, "ketahuilah, saya tidak mengetahui seseorang yang ingin membeli budak perempuan lalu melihat ke bagian atas pusar dan bagian bawah lutut, tidak melakukan itu seorang pun kecuali aku hukum. Dan telah kami sebutkan hadits Daraquthni dari Amr ibn Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi s.a.w. bersabda, "apabila salah seorang kalian mengawinkan budak laki-laki dengan budak perempuannya atau sewaannya maka jangan ia melihat bagian auratnya karena bagian bawah pusar hingga ke lutut termasuk aurat." Dia maksudkan adalah budak perempuan karena sewaan dan budak laki-laki tidak boleh dilihat pada bagian itu apakah dia dikawinkan atau tidak dikawinkan dan karena orang yang kepalanya tidak termasuk aurat, maka dadanya tidak termasuk aurat seperti laki-laki.
· Imam Malik berkata—sebagaimana diriwayatkan darinya dalam banyak sumber (diantaranya Tuhfatul Ahwadzi, 2/378 dan Nailul Authâr seperti telah lewat), aurat budak perempuan seperti wanita merdeka kecuali rambutnya tidak termasuk aurat.
Saya kemukakan, bisa disimpulkan dari apa sudah disebutkan bahwa tidak terdapat dalil yang membedakan antara aurat perempuan budak dengan perempuan merdeka—kecuali kepala, dan wajah, dan sudah lewat penjelasan tentang keduanya--. Adapun hadits apabila salah seorang kalian mengawinkan... sudah kami bicarakan pada footnotenya. Maka atas dasar ini, pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh Malik yang menyatakan bahwa perempuan budak, auratnya seperti aurat wanita merdeka kecuali rambutnya tidak termasuk aurat. Tetapi apabila nampak bagian selain wajah dan rambutnya maka tidak batal shalatnya. Wabillahitaufiq.
Dua catatan:
Budak perempuan yang belum mencapai haid, tidak diwajibkan baginya mengenakan kudung ketika shalat. Abdur Razzaq meriwayatkan (al-Mushannaf, 3/132) dari Ibnu Juraij dia berkata, saya bertanya kepada Athâ tentang budak perempuan yang belum mencapai haid bagaimana shalatnya? Dia menjawab, cukup baginya kain sarung. (Sahih dari Athâ).
Pendapat ganjil (syaz) dari Ibnu Hazam.
Ibnu Hazm mengemukakan pendapat yang ganjil (al-Muhalla, 4/73), dia mengatakan batal shalat wanita apabila pakaiannya panjang melebihi dari satu hasta dengan mengambil kesimpulan dari dalil hadits Ibnu Umar r.a. berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan memandang kepadanya." Kemudian Ummu Salamah berkata, "lalu bagaimana dengan wanita membuat ujung pakaian-pakaian mereka?" Dia menjawab, "mereka ulurkan sejengkal." Ummu Salamah berkata, "kalau demikian terbuka kaki mereka?" Nabi menjawab, "maka mereka ulurkan sehasta dan jangan mereka lebihkan dari itu." Sehingga Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla: Dan adapun wanita, boleh baginya mengulurkan ujung pakaian yang ia kenakan satu hasta tidak lebih. Apabila lebih dari itu dan dia tahu dengan larangan ini maka shalatnya batal.
Saya tegaskan, ini pendapat yang asing dari Abu Muhammad ibn Hazm karena memanjangkan pakaian wanita mempunyai hukum tersendiri dan shalatnya mempunyai hukum tersendiri pula. Dan adapun hadits bahwa Allah tidak menerima shalat laki-laki yang mengulurkan ujung pakaiannya, ini adalah hadits dhaif.
[1] Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim, 5/878): perkataannya "siapa yang meminjamkan bagiku pakaian thawaf" kata tithwaf dengan kasrah Tâ, yaitu pakaian yang digunakan wanita dalam pelaksanaan thawaf. Penduduk Jahiliah melakukan thawaf sambil bertelanjang dan melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya terhampar di atas tanah. Mereka tidak akan mengambilnya selama-lamanya dan membiarkannya terinjak-injak kaki sampai hancur dan dinamakan al-Liqâ sampai Islam datang dan Allah s.w.t. memerintahkan untuk menutup Aurat. Maka Allah s.w.t. berfirman, "pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid." Dan Nabi s.a.w. bersabda, "tidak thawaf di Baitullah dengan bertelanjang."
[2] (penjelasan kata) talaffu' , bahwa kamu berbelit dengan pakaian hingga meliputi seluruh tubuhmu. Lihat Lisanun Arab.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 1/482), terdapat dalam syarah Muwatta' karangan Ibnu Habib bahwa talaffu' tidak terjadi kecuali dengan menutup kepala sedang talaffuf bisa tertutup kepala dan bisa juga tidak.
[3] (penjelasan kata) Dalam Lisanul Arab, kata mirth adalah pakaian dari sutra atau wol atau katun, dan dikatakan, pakaian berwarna hijau. Sampai dia berkata, dan barangkali dari sutra atau lainnya yang dibelitkan. Dan dia juga berkata, mirth adalah setiap pakaian yang tidak menggunakan jahitan.
Dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri (1/482) berkata, mirth dengan kasrah mîm adalah pakaian dari sutera atau wol atau lainnya, dan dari Nadhr ibn Syumail ada keterangan yang menunjukkan bahwa itu pakaian khusus para wanita.
[4] (penjelasan kata) inqilâb yakni pulang. Termasuk kata itu yang bermakna pulang adalah firman Allah s.w.t., "Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira." [(QS. Al-Muthaffifîn-[83]:31)].
Kemudian, Imam Bukhari (bersama Fathul Bâri, 1/482) memberi nama bab terhadap hadits ini dengan Bab (Pada Berapa Pakaian Wanita Melaksanakan Shalat), dan dia mengemukakan atsar Ikrimah: jikalau dia menutup tubuhnya dengan satu pakaian sudah mencukupinya. Dan Ibnu Hajar dalam uraiannya di dalam bab itu mengatakan:
Ibnu Mudzir berkata—setelah mengemukakan pendapat dari jumhur ulama bahwa yang wajib bagi wanita adalah melaksanakan shalat dengan pakaian lebar dan tudung kepala—yang dimaksud dengan hal itu adalah menutup tubuh dan kepalanya. Maka seandainya pakaian yang ia kenakan itu luas dan lebihnya bisa menutup kepala, hukumnya boleh. Dia berkata: dan atsar yang kami riwayatkan dari Athâ bahwa dia berkata, "wanita melaksanakan shalat dengan pakaian, tudung kepala, dan kain sarung," dan dari Ibnu Sirin seumpamanya dan dia menambahkan "dan kain tebal (seperti selimut)" maka saya mengira hal itu dimaksudkan sebagai anjuran sunnah.
· Dan Ibnu Hajar juga berkata: bisa saja diajukan bantahan kepada penyusun (Bukhari) terhadap pengambilan kesimpulannya dengan hadits itu sebagai hukum boleh bagi wanita melaksanakan shalat dengan satu pakaian bahwa membelitkan yang disebutkan itu bisa jadi dimaksudkan adalah di atas lapisan pakaian yang lain. Jawaban terhadap bantahan itu bahwa Bukhari berpegang pada prinsip bahwa dasar dalam masalah ini tidak ada penambahan atas pakaian yang disebutkan. Hanya saja dia tidak menyatakan sesuatu pendapat secara tegas kecuali bahwa pilihannya pada biasanya bisa disimpulkan dari atsar-atsar yang ia kemukakan di bagian penjelasan (biografi).
[5] (penjelasan kata) dzawat al-khudûr, al-Hafizh dalam Fathul Bâri (1/424) berkata: dengan dhammah khâ dan dâl, bentuk plural dari khidrun dengan asrah khâ dan sukun dâl yaitu (ruangan) tertutup yang terdapat di dalam rumah dan wanita perawan berdiam di dalam atau di baliknya.
[6] Hafizh berkata: hadits ini mengandung larangan wanita keluar tanpa menggunakan jilbab.
Adapun makna jilbab:
· Abu Muhammad ibn Hazm berkata (al-Muhalla, 3/217): jilbab dalam bahasa Arab yang dipergunakan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits yang dia sampaikan kepada kita adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh bukan sebagiannya.
· Al-Qurthubi berkata (tafsir Surah al-Ahzâb): pendapat yang sahih bahwa itu adalah pakaian yang menutup seluruh badan.
· Dan al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 1/424):
Jilbab dengan kasrah jîm dan sukun lâm dan dua huruf bâ diselingi alif, dikatakan, itu adalah pakaian yang menutup muka atau tudung kepala atau lebih luas darinya. Dan dikatakan, itu adalah pakaian yang luas lebih kecil dari pakaian sejenis toga. Dikatakan: kain disarungkan, dan dikatakan: kain tebal sejenis yang biasa diselimutkan, dan dikatakan: gamis.
· Saya tegaskan, barangkali makna jilbab lebih jelas pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (hadits 4101) (dan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, 3/518 menisbatkannya kepada Ibnu Abi Hatim) dari hadits Ummu Salamah r.a. dengan sanad yang hasan dia berkata, ketika diturunkan ayat, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka," [(QS. Al-Ahzâb-[33]:59)], para wanita Anshar keluar rumah seakan-akan kepala mereka seperti burung-burung gagak karena pakaiannya.
· Adapun dari segi pengambilan kesimpulan hukum dari dalil dengan hadits ini, Ibnu Hazm berkata (al-Muhalla, 3/217): ini adalah perintah kepada mereka agar mengenakan pakaian jilbab dalam shalat.
Dan al-Hafizh (sebagai uraian terhadap penjelasan kewajiban dalam hal pakaian dalam shalat): dan dalilnya (hadits tersebut) terhadap masalah ini adalah dari sisi penegasan perintah berpakaian bahkan kepada wanita yang meminjam untuk keluar melaksanakan shalat hari raya sehingga tentu saja untuk melaksanakan shalat fardhu lebih utama lagi.
Menurut saya, dalam pengambilan kesimpulan dalil oleh al-Hafizh dan Ibnu Hazm perlu ditinjau karena wanita juga melaksanakan shalat di rumahnya dan tidak diperintahkan agar meminjam pakaian untuk shalat di rumahnya. Maka yang jelas bagi saya, meminjam pakaian hanya saja diperintahkan untuk keluar bukan untuk shalat itu sendiri. Wallahu A'lam.
[7] Haid disini maksudnya adalah wanita yang sudah mencapai usia baligh. Disebut haid karena wanita sudah mencapai usia haid. Dan bukan maksudnya wanita yang sedang berada dalam masa haid karena wanita haid sama sekali tidak shalat.
[8] Banyak para ulama yang memberikan penjelasan terhadap cacatnya, diantaranya Abu Daud, Hakim, Daraquthni, dan Baihaqi. Dan ini sebagian dari pernyataan para ulama dalam masalah ini:
· al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Talkhîs al-Habîr (setelah menisbatkan hadits kepada mereka yang mengeluarkan riwayatnya) berkata, Dâraquthni menyatakan cacatnya karena mauqûf dan mengatakan bahwa mauqûfnya lebih serupa, dan Hakim menyatakan cacat karena mursal, dan Thabrani meriwayatkan dalam al-Shagîr dan al-Ausat dari hadits Abi Qatâdah dengan lafazh, "Allah tidak menerima shalat seorang perempuan kecuali dia menutupi perhiasannya [aurat] dan seorangwanita budak yang sudah mencapai usia haid kecuali dia mengenakan penutup kepala." [(footnote: dhaif sebagaimana akan dijelaskan insya Allah)].
· Al-Zaila'i mengutip dari Dâraquthni dalam kitab al-'Ilal perkataannya (hadits Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haid kecuali menggunakan penutup kepala), diriwayatkan oleh Qatâdah dari Muhammad ibn Sirin dari Shafiah binti Harits dari Aisyah dan terdapat perbedaan dalam hadits itu terhadap Qatadah. Lalu Hamad ibn Salamah meriwayatkan dari Qatadah sebagaimana sanadnya sebagai hadits musnad dan marfu' sampai pada Nabi s.a.w. dan berbeda dengan Syu'bah dan Said ibn Basyir dimana mereka berdua meriwayatkan dari Qatadah sebagai hadits mauqûf. Dan Ayyub al-Sakhtiyâni dan Hisyam Ibnu Hasan meriwayatkannya dari Ibnu Sirin sebagai hadits mursal dari Aisyah bahwa dia berkunjung ke rumah Shafiah binti Harits dan menyampaikan hadits ini kepadanya, dan mereka berdua meriwayatkan sebagai hadits marfu'. Dan Hisyam ([footnote: dan riwayat Hisyam ini disinggung oleh Abu Daud dalam sunannya (1/422) dan terjadi kekeliruan padanya dengan menyatakan Hisyam ibn Sirin dan ini salah karena tidak ada anak-anak Sirin yang bernama Hisyam. Yang benar adalah Hisyam ibn Hasan dan dia ini yang terkenal meriwayatkan dari Ibnu Sirin.)] mendekati kebenaran. Silahkan lihat Irwa al-Ghalîl (1/216) walaupun kami tidak sependapat dengannya dalam memberi koreksi terhadap hadits.
· Hakim setelah mengeluarkan hadits ini (1/251) mengatakan, "hadist ini sahih atas syarat Muslim, dan Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya, dan saya perkirakan karena terdapat perbedaan dalam riwayat hadits yang terdapat pada Qatadah." Kemudian setelah itu dia mengemukakan riwayat mursal Qatadah.
· Al-Dzahabi memberikan komentar terhadapnya dengan mengatakan, ”cacatnya adalah Ibnu Abi Arûbah, yakni bahwa Ibnu Abi Arûbah meriwayatkan hadits itu dari Qatadah dari Hasan dari Nabi s.a.w. maka Hasan melakukan periwayatan mursal.
· Sebagaimana disebutkan segi cacat yang disebutkan oleh Abu Daud terhadap hadits.
· Setelah Baihaqi mengemukakan hadits (al-Sunan al-Kubra, 2/233), dia melanjutkan setelahnya dengan menyebutkan riwayat mursal seakan-akan dia mengisyaratkan dengan hal itu kepada sisi cacat riwayat.
Maka kesimpulan pendapat para ulama terhadap hadits ini sebagai berikut:
Pertama, bahwa terdapat perbedaan pada riwayat Qatadah dari beberapa sisi, yaitu:
1. Diriwayatkan oleh Hamad ibn Salamah dari Qatadah dari Ibnu Sirin dari Shafiah binti Harist (dia adalah ibu Thalhah dari sekian banyak Thalhah [thalhah al-thalhât) dari Aisyah sebagai hadits marfu'.
Terdapat pembelaan dan dukungan terhadap riwayat Hamad ibn Salamah dari riwayat Hamad ibn Zaid disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (3/219), dan Affan ibn Muslim meriwayatkan hadits itu dari dia. Tetapi kami ragu-ragu terhadap penyebutan Hamad ibn Zaid dalam redaksi riwayat itu dan kami lebih membenarkan penyebutan Hamad ibn Salamah karena dia yang terdapat dalam sebutan berbagai sanad riwayat dan dengannya diketahui riwayat hadits ini. Demikian juga tidak seorang pun dari para ulama terdahulu yang mengisyaratkan terhadap riwayat Hamad ibn Zaid ini. Kemudian riwayat Affan sesungguhnya dikemukakan oleh Ahmad dengan penyebutan yang samar terhadap Hamad (tanpa ibn) setelah menyebutkan riwayat terdahulu yang terdapat Hamad ibn Salamah. Lalu sebenarnya sanad riwayat ibn Hazam ini adalah sanad rendah (nâzil) sehingga tidak membantu banyak dengan penyebutan Hamad ibn Zaid dalam riwayat itu.
Setelah itu juga sesungguhnya riwayat Hamad ibn Zaid ini terdapat dalam redaksi hadits yang lain disebutkan oleh Abu Daud (642). Abu Daud meriwayatkan setelah riwayat sebelumnya dan berkata, diriwayatkan oleh Muhammad ibn Ubaid dari Hamad ibn Zaid dari Ayyub dari Muhammad bahwasanya Aisyah berkunjung ke rumah Shafiah ibu Thalhah segala Thalhah lalu melihat anak-anak perempuannya kemudian berkata, "bahwasanya Rasulullah s.a.w. masuk dan di kamarku ada seorang budak perempuan kemudian dia melemparkan sarungnya [(footnote: (penjelasan kata) Hiqwu disini berarti sarung. Asli katanya bermakna, bagian dimana sarung dibelitkan)] dan berkata kepadaku, robeklah menjadi dua bagian lalu berikan kepada wanita ini satu bagian dan wanita yang ada di rumah Ummu Salamah bagian yang lain karena aku tidak melihatnya kecuali sudah haid dan aku tidak melihat keduanya kecuali sudah haid."
Dan sanad riwayat ini mursal karena Muhammad (yaitu Ibnu Sirin) tidak mendengar dari Aisyah r.a. sedikitpun. Dan Daraquthni mentarjih riwayat mursal ini lalu berkata—sebagaimana telah lewat—(dan diriwayatkan oleh Ayyub al-Sakhtiyâni dan Hisyam ibn Hasan dari Ibnu Sirin sebagai riwayat mursal dari Aisyah.. dan Hisyam lebih mendekati kebenaran.)
2. Diriwayatkan oleh Said ibnu Abi Arûbah dari Qatadah dari Hasan dari Nabi s.a.w. sebagai riwayat mursal.
Dan sebagaimana diketahui, Said adalah perawi paling tetap (kuat) dalam meriwayatkan dari Qatadah. Dan Qatadah mendapat pembelaan atas riwayat mursal ini, yaitu oleh Amr yang meriwayatkan juga dari Hasan, dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abdur Razzaq (3/130).
3. Diriwayatkan oleh Syu'bah dan Said Ibnu Basyir dari Qatadah dalam riwayat mauqûf. Dan juga Syu'bah termasuk perawi yang paling tetap dalam meriwayatkan dari Qatadah. Syu'bah berkata, "cukup bagi kalian tadlîs tiga orang, (salah satunya Qatadah)." Maka apabila Qatadah meriwayatkan dengan cara 'an'an [yaitu meriwayatkan dengan kata dari] dan perawinya adalah Syu'bah maka riwayat dengan kata dari padanya dimaknai sebagai mendengarkan.
Dan pada sanad riwayat ini, yang paling pertama dengan status musnad dan marfû' terdahulu, Qatadah meriwayatkan dengan kata dari dan dia sendiri pelaku tadlîs. Di dalamnya terdapat Shafiah binti Harits yang diperdebatkan para ulama tentang status kesahabatannya dan kami tidak menemukan suatu sanad yang menetapkan kesahabatanya. Dan sekalipun ada sebagian ulama yang mengatakan dia seorang sahabat, banyak ulama yang lain menyatakan dia bukan seorang sahabat. Dan dalam statusnya yang bukan sahabat, tidak ada seorang pun yang menyatakannya tsiqah (terpercaya) selain Ibnu Hibbân. Dan Ibnu Hibbân memang terkenal dalam menyatakan tsiqah orang-orang yang tidak diketahui.
Dan Daraquthni mentarjih riwayat Ibnu Sirin yang mursal sedangkan selain dia mentarjih riwayat Hasan yang mursal.
Kedua, juga terdapat perbedaan pada riwayat Ibnu Sirin:
· Diriwayatkan oleh Qatadah dari Ibnu Sirin sebagaimana telah dijelaskan.
· Diriwayatkan oleh Hisyam Ibnu Hasan dan Ayyub al-Sakhtiyâni dari Ibnu Sirin sebagai riwayat mursal. Dan Hisyam termasuk perawi yang paling tetap dalam meriwayatkan dari Ibnu Sirin walaupun bukan satu-satunya perawi paling tetap.
Maka atas dasar yang disebutkan, hadits ini tidak tetap dari Rasulullah s.a.w. karena cacat yang terdapat padanya dan karena kekacauan yang terdapat pada perawinya.
[9] Seakan-akan Abu Daud memberikan isyarat kepada cacat pada hadits dengan mengemukakan perbedaan pada riwayat Qatadah. Dan riwayat hadits mursal yang diisyaratkan oleh Abu Daud ini (dari Qatadah dari Hasan dari Nabi s.a.w.) diriwayatkan oleh Hakim dalam al-Mustadrak (1/251), Baihaqi (al-Sunan al-Kubra, 2/233). Dan Qatadah mendapat pembelaan dalam riwayat mursal ini dengan dukungan riwayat yang dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dari riwayat Ma'mar dari Amr dari Hasan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, "Wanita budak mana saja yang sudah haid lalu tidak mengenakan penutup kepala, Allah tidak menerima shalatnya." Dan bentuk cacat yang dikemukakan oleh Abu Daud dalam menyatakan kecacatan dalam hadits—yaitu cacat irsal—bentuk cacat itu juga yang dinyatakan oleh al-Dzahabi terhadap riwayat ini. Al-Dzahabi,—memberikan komentar terhadap perkataan Hakim (atas riwayat Qatadah dari Muhammad ibn Sirin dari Shafiah binti Harits dari Aisyah dari Nabi s.a.w), hadits ini sahih atas syarat Muslim dan mereka berdua (Bukhri dan Muslim) tidak mengeluarkannya, dan saya kira karena perbedaan dalam riwayat hadits yang terdapat pada Qatadah—dia berkata, illatnya adalah Ibnu Abi Arûbah. Saya garis bawahi yaitu riwayat Said ibn Abi Arubah dari Qatadah dari Hasan dari Nabi s.a.w. sebagai hadits mursal.
[10] Dalam riwayatnya terdapat sebagai berikut:
Ishaq ibn Ismail, biografinya tersebut dalam kitab al-Tahdzib dan tidak disebutkan ada orang yang menyatakan dirinya tsiqah.
Amr ibn Hisyam al-Beiruty. Al-Hafidz memberikan komentar tentangnya dalam al-Tahdzib; Ibnu Abi Hatim berkata dari Ibnu Warah, "aku menuliskan riwayat darinya dan dia punya sedikit hadits, bukan karena apa-apa, dia masih kecil ketika saya meriwayatkan dari Auza'i." Dan Ibnu Abi 'Adi berkata, dia tidak mengapa.
Saya tegaskan, terdapat dalam kitab al-Dhu'afa karangan Uqaili bahwa Amr ibn Hisyam dari Ibnu 'Ijlan tidak diketahui dalam meriwayatkan, tidak dikuti haditsnya. Kemudian dia mengemukakan hadits baginya dari riwayat Ali ibn Ma'bad darinya dari Ibnu 'Ijlan dari Nafi' dari Ibnu Umar, menyatakan marfu', saya tidak bersaksi atas dusta. Kemudian berkata, riwayat ini tetap dari Ibnu Basyir.
Yahya ibn Abi Katsir, dia mudallis dan meriwayatkan dengan kata dari ('an'an).
Atas dasar ini, maka hadits tersebut adalah hadits pendukung yang lemah. Dan atas dasar itu, maka hadits "Allah tidak menerima shalat wanita haid kecuali menggunakan kain penutup kepala" tidak bisa dijadikan hujjah.
[11] Dalam sanad riwayatnya terdapat Ibu Muhammad ibn Zaid ibn Qunfuz dan dia tidak diketahui. Dan atsar ini juga terdapat dengan riwayat marfu' dari Ummu Salamah padahal lebih lemah lagi. Karena di dalamnya terdapat kesalahan orang yang menyatakannya marfu'. Di dalamnya juga terdapat Ibu Muhammad yang tidak diketahui. Dan ini dia lebih tinggi.
[12] Yaitu sanad yang mauqûf sebelumnya, dan di dalamnya terdapat penyebutan Ibu juga (sebagaimana juga riwayat Baihaqi, 2/233).
[13] Abu Daud menjelaskan sisi lemahnya dan setelah mengeluarkan hadits ini dia berkata, "hadits ini diriwayatkan oleh Malik ibn Anas, Bakar ibn Mudhar, Hafash ibn Giyâts, Ismail ibn Ja'far, Ibnu Abi Dzi`b dan Ibnu Ishaq dari Muhammad ibn Zaid dari ibunya dari Ummu Salamah. Tidak seorangpun dari mereka menyebutkan Nabi s.a.w. dan mereka menyebutkan terbatas pada Ummu Salamah r.a."
Dan saya tegaskan juga, dalam sanadnya—sebagaimana telah lewat—terdapat Ibu Muhammad ibn Zaid dan dia tidak diketahui.
[14] Tapi saya ragu ketetapan riwayat ini karena Sulaiman al-Taimi walaupun dia meriwayatkan dari tingkatan Ibnu Sirin, hanya saja terdapat dalam biografi Sulaiman dalam kitab al-Tahdzîb, Yahya ibn Ma'în berkata, dia melakukan tadlis. Dan dalam Tarikh Bukhari dari Yahya ibn Said, apa yang diriwayatkan dari Hasan dan Ibnu Sirin adalah layak apabila dia mengatakan saya dengar (sami'tu) atau meriwayatkan kepada kami (haddatsana). Saya garis bawahi, dia disini tidak tegas menggunakan cara apa dalam meriwayatkan hadits.
[15] (penjelasan kata) dalam Lisanul Arab, dir'ul mar`ah yaitu gamisnya (saya tegaskan, bukan pakaian tidur sebagaimana yang dipahami orang-orang tetapi pakaian) dan kata itu juga bermakna pakaian kecil yang dikenakan oleh jariyah (budak perempuan) kecil di rumahnya dan kedua kata itu berbentuk mudzakkar dan terkadang dimuannatskan. Lihyâni berkata, dir'ul mar`ah berbentuk mudzakkar tidak lain lagi dan pluralnya adrâ'. Dalam al-Tahdzib, al-dir'u yaitu pakaian yang dipotong oleh wanita di tengahnya, dibuatkan dua lengan, dan dijahit dua celahnya. [pakaian rumahan dan berbentuk seperti toga; penterjemah]
[16] Dan sanadnya sekalipun zhahirnya sahih, tetapi kita tidak mengetahui Makhûl pernah mendengarkan dari Ali r.a. dan keterputusan (maqtû') ini menjadi jelas dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dari riwayat Auza'I dari Makhûl tentang siapa yang bertanya kepada Aisyah dalam hal pakaian apa wanita shalat?... lalu dia menyebutkan seperti hadits tersebut.
Dan dalam sanad hadits ini ada bentuk kesamaran maka karena itu statusnya dhaif.
[17] Dalam al-Mushannaf tersebut Abdullah al-Khûlâni. Benarnya adalah Ubaidullah dengan bentuk kata tashgîr.
[18] Dalam sanadnya terdapat Muhammad ibn Ishaq dan dia melakukan tadlîs dan melakukan riwayat dengan kata dari ('an'an).
[19] Malik tidak mendengar sedikit pun dari Bakîr ibn Abdullah ibn Asyaj. Dan Baihaqi telah mengeluarkan riwayat dari Malik dari Orang tsiqah dari Bakîr ibn Abdullah ibn Asyaj. Dan Orang tsiqah ini masih samar sehingga kita tidak tahu apakah dia Ibrahim ibn Abi Yahya al-Kazzâb atau selain dia dari orang-orang yang tsiqah.
[20] Terdapat penafsiran terhadap tiga pakaian dari Ibnu Sirin yaitu (terdapat dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah juga) pakaian rumah, penutup kepala, dan pakaian yang disarungkan.
[21] Dan disini kami ingin mengingatkan sisi lemah riwayat yang dikeluarkan oleh Turmudzi (3122) dalam tafsir surah al-Hajar dari riwayat Qutaibah, diriwayatkan oleh Nuh ibn Qais al-Juzâmi dari Amr ibn Malik dari Abu Jauzâ dari Ibnu Abbas dia berkata, pernah seorang perempuan melaksanakan shalat di belakang Rasulullah s.a.w. dan dia seorang wanita cantik termasuk paling cantik. Maka sebagian dari kaum maju ke depan hingga bisa berdiri di barisan pertama agar tidak melihatnya, dan sebagian lagi terlambat sehingga berdiri di barisan belakang. Sehingga apabila dia ruku', dia bisa melihat dari bawah dua ketiaknya, lalu Allah turunkan ayat "Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripada-mu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang terkemudian (dari padamu)." [(QS. Al-Hajar-[15]:24)].
Saya tegaskan, hadits ini lemah dan Turmudzi setelahnya menyatakan, "dan Ja'far ibn Sulaiman meriwayatkan hadits ini dari Amr ibn Malik dari Abu Jauzâ seumpamanya dan dia tidak menyebutkan dari Ibnu Abbas. Dan ini lebih mendekati hal yang lebih sahih bahwa ini dari hadits Nuh.
· Dan Ibnu Katsir sangat mengingkari hal ini sebagaimana terdapat dalam tafsir surah al-Hajar.
[22] Dan dalam mengutip ijma' ini perlu tinjauan ulang karena terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dan selainnya dari hadits Asma—dalam masalah haji—bahwa kami apabila sedang berpapasan dengan rombongan para pengendara (musafir) kami turunkan (penutup) dan apabila kami sudah melewati mereka, kami buka wajah-wajah kami. (atau mendekati makna ini dan akan datang penjelasan dalam babnya tersendiri insya Allah).
[23] Silahkan melihat pendapat Ibnu Abbas dalam masalah membuka wajah bagi wanita dalam risalah kami al-Hijab. Dalil-dalil mereka yang mewajibkan dan kekaburan mereka yang membantah pendapat itu, dalam kesahihan sanadnya masih perlu tinjauan.
[24] Pengarahan dalam pengambilan kesimpulan dari dalil (istidlal) ini terdapat dalam risalah kami al-Hijab secara lebih luas, dalil-dalil mereka yang mewajibkan dan kekaburan mereka yang membantah. Dan kami kemukakan di sana perkataan Ibnu Mas'ud yang mempunyai sanad riwayat paling kuat yaitu menafsirkan perhiasan dengan pakaian.
[25] (penjelasan kata) kata harâm maksudnya yaitu wanita berihram.
[26] Dalam risalah kami al-Hijab, kami uraikan pengarahan bentuk pengambilan kesimpulan dari dalil (istidlal) ini dengan cukup panjang dimana intinya bahwa wanita yang sedang berihram adalah perkara lain berbeda dengan wanita yang sedang tidak berihram. Dan disana kami kemukakan perkataan (atsar) Asma yang memberikan penjelasan bahwa cadar (niqab) bukan hal menurunkan. Dan dia dan para wanita yang bersamanya menurunkan penutup apabila berpapasan dengan para musafir.
[27] Dengan demikian terdapat dua riwayat dari Ahmad; salah satunya, bahwa wanita seluruhnya adalah aurat dan kedua, seluruhnya adalah aurat kecuali wajahnya. Demikian, telah kami uraikan panjang lebar dalam risalah al-Hijab dengan menerangkan bahwa wanita seluruhnya adalah aurat. Silahkan lihat bagi yang menginginkannya.
[28] Demikian ia mengatakan dan pendapatnya ini ada komentar, silahkan lihat risalah kami (al-Hijab, dalil-dalil yangmereka mewajibkan dan kekaburan yang membantah).
[29] Dan ini hadits yang bisa dijadikan hujjah. Takhrij haditsnya kami kemukakan panjang lebar dalam risalah kami al-Hijab.
[30] Dalam tafsirnya terdapat dua pendapat; Pertama dan yang paling sahih adalah pendapat Ibnu Mas'ud bahwa yang dimaksud adalah pakaian. Kedua, adalah pendapat Ibnu Abbas—dan dalam sanad riwayat hingga sampai kepadanya terdapat kelemahan—bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua telapak tangan. Dan pembicaraan terhadap dua pendapat ini kami utarakan panjang lebar dalam risalah kami al-Hijab.
[31] Hadits dhaif sebagaimana kami terangkan baru saja sebelumnya.
[32] Lihat bab berikutnya untuk keterangan ini.
[33] Ini dalam derajatnya yang sahih, lalu bagaimana sedang dalil-dalil itu tidak sahih.
[34] Yaitu hadits "Allah tidak menerima shalat perempuan yang sudah haid kecuali mengenakan kudung kepala," dan ini hadits dhaif.
[35] Yaitu hadits Ummu Salamah, dan ini hadits dhaif.
[36] Sudah kami jelaskan sisi dhaifnya.
[37] Pada aslinya 'Aun, yang benar seperti yang sudah kami sebutkan.
[38] Sudah lewat penjelasan sebab turunnya ayat.
[39] Dan berkaitan dengan masalah ini hadits Bahaz ibn Hakîm dari ayahnya dari kakeknya (dikeluarkan oleh Abu Daud, 4017 dengan derajat sanadnya hasan) dia berkata, saya berkata, "Wahai Rasulullah, aurat-aurat kami apa yang boleh kami lakukan dan apa yang kami tinggalkan?" Dia menjawab, "jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak-budak milikmu." Dia berkata, saya berkata, "Wahai Rasulullah, apabila kaum di antara sesama mereka?" Dia menjawab, "apabila kamu mampu agar tidak terlihat oleh seorang pun maka jangan sampai terlihat." Dia berkata, saya berkata, "Wahai Rasulullah, apabila seorang kami hanya sendiri." Dia menjawab, "Allah lebih pantas bagi kamu untuk malu dari pada manusia." Saya katakan, tetapi perkataannya "Allah lebih pantas bagi kamu untuk malu daripada manusia" tidak memberikan faidah hukum wajib menutup ketika mandi sendirian tetapi bermakna anjuran saja. Dan Nabi Musa a.s. mandi dalam keadaan telanjang—tetapi jauh dari penglihatan orang-orang tentunya—sebagaimana terdapat dalam hadits sahih Bukhari dan Muslim. Dan Nabi Ayyub a.s. juga mandi dengan telanjang sebagaimana juga disebutkan dalam hadits sahih.
Dan Allah menurunkan ayat dalam firmanNya, "Ingatlah, sesungguhnya mereka memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya. Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati." (QS. Hûd-[11]:5) pada orang-orang yang merasa takut untuk "membuka" ketika sendirian sehingga terlihat sampai ke langit dan takut menyetubuhi istri mereka sehingga bisa terlihat hingga ke langit, lalu turun ayat ini pada mereka. Dikeluarkan oleh Bukhari dari hadits Ibnu Abbas r.a.
Dan dalam satu riwayat dari Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Ibnu Abbas membaca ayat "Ingatlah, sesungguhnya mereka memalingkan dada mereka." Saya katakan, "Wahai Ibnu Abbas (yang berkata adalah Muhammad ibn Ubbâd ibn Ja'far, periwayat dari Ibnu Abbas), "apa maksud mereka memalingkan dada-dada mereka?Dia menjawab, ”seorang laki-laki menyetubuhi istrinya lalu malu atau 'terbuka' sedang sendirian lalu malu sehingga diturunkan ayat itu pada mereka."
[40] Telah lewat pemantapan (identifikasi) perkataan-perkataan salaf (atsar) ini baru saja.
[41] Atsar dari Umar akan datang sebentar lagi Insya Allah.
[42] Abu Qilâbah tidak mendengar dari Umar. Dan riwayat yang sahih dari Umar sudah cukup.
[43] Dan sudah kami jelaskan sisi lemahnya. Dan atas asumsi sahih, hadits ini terdapat pengarahan (penjelasan maksud).
[44] Saya tegaskan, terdapat nash dalam masalah itu yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari (bersama Fathul Bâri, 9/126) dari hadits Anas r.a. dia berkata, Rasulullah s.a.w. menetap antara Khaibar dan Madinah tiga hari membangun rumah tangga dengan Shafiah binti Hayyin maka aku undang kaum muslimin menghadiri walimahnya. Tidak ada roti pada acara itu dan tidak juga daging. Dia memerintahkan untuk menggelar tikar dari kulit dan diletakkan di atasnya kurma, keju dan samin maka jadilah walimahnya. Kaum muslimin berkata," salah seorang ummul mu'minin atau budak yang diperistri?" Lalu mereka mengatakan, "apabila dia memakaikan hijab padanya maka dia adalah salah seorang ummul mu'minin dan apabila tidak maka dia adalah sahaya yang ia kawini." Dan ketika mereka sudah beranjak pulang, Dia 'berkumpul' dengannya setelah itu dan memakaikan penutup padanya dari orang-orang. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Muslim (3/593) dan Nasa`I (6/134).
Maka di dalam hadits ini terdapat pembedaan antara ummul mu'minin dengan sahaya yang diperistri atau dengan kata lain ada pembedaan antara perempuan budak dengan perempuan merdeka.
[45] Dan juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah seumpamanya dari riwayat Zuhri dari Anas.
[46] Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud (4113) dari riwayat Muhammad ibn Abdullah ibn Maimûn dari Walid dari Auza'I dari Amr ibn Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi s.a.w. dia bersabda, "Apabila salah seorang kalian mengawinkan budaknya dengan sahaya perempuannya maka jangan melihat kepada auratnya."
Dalam sanad ini terdapat Walid ibn Muslim, dia pelaku tadlîs taswiyah dan meriwayatkan dengan kata dari ('an'an). Kemudian tidak ada dalam hadits ini menyebutkan bagian aurat secara terperinci.
Dan dikeluarkan oleh Abu Daud (4114) dari riwayat Zuhair ibn Harb dari Waki' dari Daud ibn Siwar (Abu Daud berkata: dan benarnya adalah Siwar ibn Daud) al-Muzni dari 'Amr ibn Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi s.a.w. dia bersabda, "apabila salah seorang kalian mengawinkan pembantunya—hamba sahaya atau sewaannya—maka jangan melihat bagian bawah pusar dan bagian atas lutut."
Dan Siwar ibn Daud dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma'in. Dan Ahmad berkata, tidak mengapa dengannya. Daraquthni berkata, tidak terdapat pendukung yang bisa dipandang atas haditsnya dan Ibnu Hibban menyebutnya dalam kelompok orang-orang tsiqah dan berkata, dia keliru (lihat al-Tahdzîb dan al-Mîzân) dan al-Dzahabi menyebutkan baginya hadits ini dalam al-Mizan pada biografi Siwar. Dan Walid ibn Muslim dalam riwayat sebelumnya (Abu Daud, 4113) adalah pelaku tadlis taswiyah dan meriwayatkan dengan kata dari ('an'an) dan kami kuatir dia telah menggugurkan Siwar ibn Daud dari sanad. Dan bagaimanapun juga, dalam dukungan haditsnya tidak disebutkan penentuan aurat sebagaimana terdapat dalam riwayat Siwar ibn Daud. Dan pada semuanya tidak terdapat penentuan aurat kecuali penetapan aurat sahaya perempuan terhadap tuannya setelah perkawinan yaitu dia tidak boleh memandang kepada bagian dari pusar hingga lututnya.
comments
0 Responses to "PAKAIAN WANITA DALAM SHALAT"Speak Your Mind
Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!