Hadits-hadits dan perkataan Salaf dalam Masalah ini.
· Abu Daud berkata (hadits 591):
Diriwayatkan oleh Ustman ibn Abi Syaibah dari Waki' ibn Jarrah dari Walid ibn Abdullah ibn Jami' dia berkata, diriwayatkan oleh nenek saya dan Abdurrahman ibn Khallad al-Anshâri dari Ummu Waraqah binti Naufal bahwa Nabi s.a.w. ketika berada dalam perang Badar, saya katakan padanya, "Wahai Rasulullah.. izinkan kepadaku untuk berperang bersamamu, aku merawat orang-orang yang terluka dari kalian, semoga Allah menganugrahkan kepadaku kesyahidan." Dia menjawab, "tetaplah di rumahmu karena sesungguhnya Allah menganugrahkan kepadamu kesyahidan." Dia berkata, maka dia disebut wanita syahid. Dia berkata, dan dia selalu membaca al-Qur'an. Lalu meminta izin kepada Nabi s.a.w. untuk menyediakan seorang muazzin di rumahnya maka dia izinkan untuknya. Dia berkata, dia menjanjikan kemerdekaan[1] budak laki-laki dan budak perempuan setelah wafatnya. Lalu mereka berdua mendatanginya pada malam hari dan menutup kepalanya dengan beludru miliknya sampai mati kemudian mereka berdua melarikan diri. Ketika pagi Umar berdiri di depan orang-orang dan berkata, "Siapa yang mengetahui keberadaan dua orang ini atau siapa yang melihat mereka berdua, hendaklah menangkap mereka berdua." Kemuadian keduanya tertangkap dan diperintahkan untuk dihukum hingga mereka berdua disalib. Maka mereka berdua adalah orang yang pertama kali disalib di Madinah.
Hadits Dhaif[2]
Dan dikeluarkan oleh Baihaqi (3/130) dan Daraquthni (1/403).
· Dan Abu Daud juga berkata (hadits 592):
Diriwayatkan oleh Hasan ibn Hamad al-Hadrami dari Muhammad ibn Fudhail dari Walid ibn Jami' dari Abdurrahman ibn Khallad dari Ummu Waraqah binti Abdullah ibn Harits sebagaimana hadits tersebut dan yang pertama lebih lengkap. Dia berkata, Rasulullah s.a.w. berkunjung ke rumahnya dan menetapkan untuknya seorang muazzin untuk melakukan azan baginya dan memerintahkan kepadanya untuk menjadi imam anggota rumahnya. Abdurrahman berkata, "saya melihat muazzinnya adalah laki-laki yang sudah sangat tua."
Hadits Dhaif[3]
Dan dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab sahihnya (3/89), Baihaqi (3/130), Daraquthni dalam kitab Sunannya (1/403), dan Hakim dalam al-Mustadrak (1/203).
Atsar Aisyah r.a.
Abdur Razzaq meriwayatkan (al-Mushannaf, 3/141) dari Tsauri dari Maisarah ibn Habib al-Nahdi dari Raithah al-Hanafiah bahwa Aisyah menjadi imam mereka dan mengerjakan di antara mereka dalam shalat wajib.
Hadits Sahih Lighairih[4]
Dan dikeluarkan oleh Daraquthni dalam Sunannya (1/404), Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra (3/131) dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (4/219).
Atsar Ummu Salamah r.a.
Imam Syafi'I berkata (al-Musnad, hal. 53):
Diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Amar al-Duhani dari seorang perempuan kaumnya disebut Hajirah dari Ummu Salamah r.a. bahwa dia menjadi imam mereka dan berdiri di tengah.
Hadits Sahih Lighairih[5]
Dan dikeluarkan oleh Abdur Razzaq (al-Mushannaf, 3/140), Baihaqi (3/131) dari riwayat Syafi'I, Daraquthni (al-Sunan, 1/405), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/405), dan Ibnu Hazam dalam al-Muhalla (4/220).
Atsar Ibnu Abbas r.a.
Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq (3/140) dari riwayat Ibrahim ibn Muhammad dari Daud ibn Hushain dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dia berkata, "wanita menjadi imam bagi para perempuan, berdiri di tengah mereka."
Dhaif Sekali[6]
Dan dikeluarkan oleh Baihaqi (3/131).[7]
Tambahan Beberapa Atsar dari Ulama Salaf
· Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq (3/140) dari Ibnu Juraij dia berkata, wanita menjadi imam para wanita tanpa keluar barisan ke depan mereka, tetapi sejajar dengan mereka dalam shalat wajib dan sunat. Saya katakan, "walaupun mereka banyak sehingga terdiri dari dua shaf atau lebih?" Dia menjawab, "dia berdiri di tengah mereka."
Sahih dari Ibnu Juraij
· Dan dikeluarkan oleh Abdur Razzaq (3/140) dari Ma'mar dia berkata, wanita menjadi imam para wanita pada bulan Ramadhan dan berdiri bersama mereka dalam shaf.
Sahih dari Ma'mar
Dan demikian juga sahih seumpama perkataan itu dari Hasan dan Syu'bi pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/89).
Tambahan Beberapa Pendapat Para Ulama dalam Masalah ini
· Al-Kharqi berkata (dalam al-Mughni, 2/202):
Apabila seorang wanita melaksanakan shalat bersama para wanita, dia berdiri bersama mereka dalam barisan di tengah-tengah.
· Ibnu Qudamah berkata:
Terdapat perbedaan pendapat dalam riwayat apakah disunnahkan bagi wanita shalat bersama para wanita berjamaah. Diriwayatkan bahwa hukumnya sunat dan diriwayatkan bahwa wanita menjadi imam bagi para wanita dari beberapa orang diantaranya Aisyah, Ummu Salamah, Athâ, Tsuari, Auza'I, Syafi'I, Ishaq, dan Abu Tsaur. Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad[8] bahwa hal tersebut tidak disunnahkan. Sedangkan para pengikut mazhab Hanafi menyatakan makruh[9] dan apabila mereka melakukannya, shalat mereka sah. Dan al-Syu'bi, Al-Nakha'I, dan Qatadah mengatakan, boleh bagi mereka melakukannya dalam shalat sunnat bukan shalat wajib. Sedangkan Hasan dan Salim Yasar mengatakan, wanita tidak menjadi imam baik dalam shalat fardhu atau shalat sunnat. Dan Malik mengatakan, tidak sepantasnya wanita menjadi imam bagi siapapun karena makruh baginya azan yaitu memanggil jamaah maka makruh baginya apa yang menjadi tujuan azan itu.
Ibnu Qudamah berkata, dalil kami adalah hadits Ummu Waraqah[10] dan karena mereka termasuk orang yang mendapat perintah kefardhuan maka sama seperti laki-laki. Dan hanya saja dimakruhkan bagi mereka melakukan azan karena pada azan menyaringkan suara dan mereka tidak termasuk ahlinya.
Apabila sudah tetap hal ini, maka apabila dia shalat bersama para wanita, dia berdiri di tengah-tengah mereka. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan dalam masalah ini antara mereka yang berpendapat boleh baginya menjadi imam. Dan karena wanita disunnahkan baginya menutup diri, dan karena itu tidak disunnahkan baginya pada posisi renggang dan keberadaannya di tengah shaf lebih menutup baginya karena dengan mereka dia terlindung dari kedua sisi sampingnya maka disunnahkan baginya posisi tersebut, seperti orang telanjang. Dan apabila dia shalat berada di depan mereka, bisa jadi sah karena hal itu adalah posisi secara umum dan karena ini menjadi posisi bagi laki-laki, dan bisa jadi tidak sah karena dia menyalahi posisinya sehingga serupa dengan seandainya laki-laki menyalahi posisinya.
· Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (4/219) berkata:
Dan shalat seorang perempuan dengan para wanita hukumnya boleh dan tidak boleh baginya menjadi imam para laki-laki. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Syafi'I kecuali Abu Hanifah menyatakan hal itu makruh dan membolehkan. Dan Syafi'I berkata, bahkan itu sunnah. Dan Malik melarang hal tersebut.
Ali (yaitu Ibnu Hazm) berkata, adapun pelarangan kepada mereka menjadi imam laki-laki karena Rasulullah s.a.w. memberitahukan bahwa wanita memutus shalat laki-laki dan posisinya dalam shalat di belakang laki-laki, sedangkan imam harus berada di depan para makmum atau berdiri di sebelah kiri seorang makmum apabila tidak ada lagi makmum lain. Maka apabila wanita berada pada posisi di depan laki-laki tentu terputus shalat laki-laki dan shalatnya dan demikian juga seandainya dia shalat di sebelah laki-laki karena dia melewati tempat yang diperintahkan baginya maka dia telah melaksanakan shalat menyalahi apa yang diperintahkan kepadanya.[11]
Sedangkan boleh bagi wanita untuk menjadi imam para wanita karena wanita tidak memutus shalat wanita apabila shalat di depannya atau di sampingnya dan juga tidak terdapat dalil yang melarang hal tersebut baik dalam al-Qur'an atau hadits. Dan hal tersebut merupakan perbuatan baik. Sesungguhnya Allah s.w.t. berfirman, "Lakukanlah kebaikan" dan hal itu merupakan saling membantu dalam kebaikan dan taqwa.
Kemudian dia mengemukakan beberapa atsar dan berkata, kami tidak mengetahui adanya dalil sama sekali dalam melarang mereka maju ke depan dan hukumnya menurut kami boleh bagi dia maju di depan para wanita. Dan kami tidak mengetahui satu dalil pun bagi mereka yang melarang wanita menjadi imam bagi para wanita apalagi hal itu adalah pendapat jamaah para sahabat sebagaimana kami kemukakan, tidak ada seorang pun yang dikenal dari para sahabat yang menyalahi pendapat mereka.[12]
· Pengarang al-Muhazzab (4/295) berkata:
Sunat bagi wanita yang menjadi imam para wanita berdiri di tengah-tengah mereka karena sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah bahwa mereka berdua menjadi imam bagi para wanita dan berdiri di tengah-tengah mereka.
Kesimpulan Masalah bab ini
Bisa disimpulkan dari penjelasan yang telah lewat bahwa boleh bagi wanita menjadi imam jama'ah perempuan dan itu berdasarkan sebagai berikut:
- sifat umum yang terdapat dalam hadits-hadits keutamaan shalat berjama'ah.
- tidak terdapat larangan shalat perempuan dengan para wanita.
- perbuatan sebagian wanita sahabat—tanpa ada yang menyalahkan—seperti Ummu Salamah r.a. dan Aisyah r.a.
Dan demikian juga terdapat beberapa atsar dari para ulama yang menyatakan boleh mengerjakan hal tersebut.
· Adapun posisinya di antara mereka dalam shalat:
Sesuai dengan apa yang dikemukakan sebelumnya dari perbuatan Aisyah r.a. dan Ummu Salamah r.a. bahwa mereka berdua menjadi imam dan berdiri di tengah para wanita. Dan semikian juga kebanyakan pendapat ulama salaf dalam masalah tersebut.
Dan kami tidak mengetahui adanya larangan bagi wanita untuk berada di depan para wanita. Tetapi apabila dia mengikuti perbuatan ulama salaf maka itu lebih utama dan lebih baik. Wallahu A'lam.
· Dan apakah menyaringkan suara dalam shalatnya atau pelan?
Ibnu Qudamah berkata (al-Mughni, 2/202), menyaringkan suara pada shalat yang bernyaring dan apabila terdapat para laki-laki, jangan ia nyaringkan suara kecuali mereka adalah muhrimnya maka tidak mengapa.
Saya tegaskan, pendapat ini merupakan pendapat yang bagus karena dia menetapkannya atas dasar utama yang terdapat dalam shalat berjama'ah yaitu menyaringkan suara dalam shalat yang bernyaring kemudian dia memberikan pengecualian yaitu apabila mereka berada di antara para laki-laki atau didengar oleh laki-laki karena Rasulullah s.a.w. bersabda, "menepuk tangan bagi wanita". Dan dalam pendapat ini menjauhkan dari fitnah. Wallahu A'lam.
· Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata (al-Muhalla, 3/55):
Menyaringkan dan bersuara pelan dalam bacaan shalat sunat baik malam atau siang boleh bagi laki-laki dan wanita karena tidak terdapat larangan dari hal tersebut dan juga tidak terdapat perintah yang mewajibkannya baik dari al-Qur'an atau hadits. Apabila dikatakan, para wanita menurunkan suaranya, kami katakan kenapa? Tidak berbeda pendapat dua orang muslim pun bahwa orang-orang mendengarkan perkataan istri-istri Nabi s.a.w. boleh bagi laki-laki dan tidak ada nash yang menyatakan para istri Nabi tersebut membenci hal itu. Semoga Allah memberikan taufiqNya.[13]
Saya tegaskan, hadits Rasulullah s.a.w. "menepuk tangan bagi wanita" merupakan larangan hal tersebut dalam keberadaan para laki-laki. Wallahu A'lam.
[1] (penjelasan kata) tadbîr yaitu seorang laki-laki memerdekakan "dari belakang" setelah kemudian, yakni memerdekakan setelah kematiannya. Bentuknya, dia mengatakan kamu merdeka setelah aku mati, maka budak itu disebut mudabbar (budak yang menjadi merdeka setelah kematian tuannya). Dan dalam hadits, bahwa seseorang memerdekan budak miliknya dari belakang yakni setelah kematiannya. Lihat Lisân al-Arab.
[2] Lihat sisi kelemahan dalam hadits yang dijelaskan sesudahnya.
[3] Di dalam sanadnya—dan sanad hadits sebelumnya—terdapat Abdurrahman ibn Khallâd dan Laila binti Malik (Nenek Walid ibn Jami'), mereka berdua ini tidak diketahui. Al-Hafizh dalam al-Talkhîs al-Habîr (2/27) mengatakan, dalam sanadnya terdapat Abdurrahman ibn Khallâd dan dia tidak diketahui.
[4] Dalam sanadnya terdapat Raithah al-Hanafiah, saya tidak menemukan biografinya. Tetapi pensyarah (mualliq) Sunan Darâquthni mengutip perkataan Nawawi dalam al-Kulâshah, (sanadnya sahih).
Saya sampaikan, terdapat dua sanad riwayat pendukung terhadap sanadnya, dari Athâ dari Aisyah r.a.:
o Ibnu Abi Syaibah berkata (2/89), diriwayatkan oleh Waki' dari Ibnu Abi Laila dari Athâ dari Aisyah bahwa dia menjadi imam shalat para wanita, berdiri bersama mereka dalam shaf.
o Dan Hakim meriwayatkan (1/203) dan Baihaqi (3/131) dari riwayat Ahmad ibn Abdul Jabbar al-Atahâridi dari Abdullah ibn Idris dari Laits dari Athâ dari Aisyah bahwa dia melakukan azan dan iqamah dan menjadi imam para wanita dan dia berdiri di tengah-tengan mereka. dan riwayat pendukung ini dhaif.
o Riwayat pendukung ketiga berstatus munqathi' dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf (3/141) dari riwayat Ibnu Juraij dia berkata, diriwayatkan oleh Yahya ibn Said bahwa Aisyah menjadi imam para wanita dalam shalat sunat, dia berdiri bersama mereka dalam shaf.
o Riwayat pendukung keempat disebutkan oleh pensyarah Sunan Darâquthni (1/405) dia berkata, dan diriwayatkan oleh Muhammad ibn Hasan dalam kitabnya al-Âtsâr, dari Abu Hanifah dari Hamâd ibn Abu Sulaiman dari Ibrahim al-Nukha'I bahwa Aisyah menjadi imam para wanita pada bulan Ramadhan dan dia berdiri di tengah-tengah mereka.
o Riwayat pendukung kelima riwayat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (4/219) dari sanad riwayat Muhammad ibn Basyâr dari Yahya ibn Said al-Qaththân dari Ziyâd ibn Lâhiq dari Tamîmah binti Salamah dari Aisyah Ummul Mu'minin bahwa dia dia menjadi imam para wanita dalam shalat magrib, maka dia berdiri di tengah-tengah mereka dan menyaringkan bacaan.
Maka secara keseluruhan, atsar Aisyah r.a. dengan keseluruhan sanad riwayatnya adalah sahih. Wallahu A'lam.
[5] Hajîrah, tidak saya temukan biografinya. Tetapi hadits itu memiliki riwayat pendukung yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/88) dia berkata, diriwayatkan oleh Ali ibn Mushir dari Qatadah dari Ibu Hasan bahwa dia melihat Ummu Salamah, istri Nabi s.a.w. menjadi imam para wanita berdiri bersama mereka dalam shaf. Dan dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (4/219-220) dia berkata, (tentang Ibu Hasan) dia (namanya adalah Khairah) salah seorang terpercaya dari orang-orang tsiqah, dan sanad riwayat ini seperti emas (sanad emas). Dan dalam al-Muhalla (3/127) dia juga berkata, dia adalah Khairah—namanya—salah seorang tsiqah yang masyhur. Demikian, Qatadah secara tegas menyebutkan cara periwayatan (haddatsana) Ummu Hasan kepadanya pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Hazm.
o Dan pensyarah Sunan Darâquthni mengutip pernyataan Imam Nawawi terhadap kesahihah sanad hadits ini (Sunan Darâquthni, bagian syarah, 1/405).
[6] Dalam sanad riwayatnya terdapat Ibrahim ibn Muhammad dan dia adalah Ibnu Abi Yahya, dia ditinggalkan (matrûk). Dan demikian juga riwayat Daud Ibnu Hushain dari Ikrimah lemah.
[7] Baihaqi setelahnya mengatakan, dan kami riwayatkan padanya sebuah hadits musnad dalam bab azan dan padanya terdapat kelemahan.
Saya katakan, dalam kitab al-Kâmil (2/203) dalam mengemukakan biografi Hakam Ibnu Abdullah ibn Sa'ad, Ibnu 'Adi mengeluarkankan dari riwayat Hakam dari Qasim dari Asmâ dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "tidak ada bagi wanita azan, iqamah, jum'at, mandi jum'at, dan tidak berdiri di depan mereka seorang perempuan tetapi berdiri di tengah mereka."
Dan Ibnu 'Adi membicarakan tentang Hakam, dalam biografinya dia mengemukakan perkataan Yahya ibn Ma'în, padanya tidak ada apa-apanya. Dalam suatu riwayat, dia tidak tsiqah dan tidak dipercaya. Dalam riwayat lain, dia bukan apa-apa, tidak ditulis haditsnya. Dalam riwayat lain lagi, dia tidak tsiqah. Pada riwayat lain kemudian, dia lemah. Semua perkataan ini dari Ibnu Ma'în tentang Hakam.
Dan dia mengemukakan perkataan dari Ibnu Mubarak, hadits Hakam ditinggalkan. Pada suatu riwayat, Ibnu Mubarak melemahkannya dan Ahmad melarang haditsnya.
Dalam suatu riwayat dari Nasa`I, hadits dia ditinggalkan (matruk).
Bukhari berkata, mereka meninggalkannya.
Saya tegaskan, maka atas dasar ini haditsnya sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah. Wallahu A'lam.
[8] Dan terdapat juga riwayat dari Imam Ahmad bahwa dia berpendapat sunnat. Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla (4/220): Auza'I, Sufyan Tsauri, Ahmad ibn Hambal, Ishaq Ibnu Râhawaih, dan Abu Tsaur mengatakan, disunnahkan bagi wanita menjadi imam para wanita dan berdiri di tengah mereka.
[9] Dan terdapat dalam riwayat bahwa Nafi' sahaya Ibnu Umar termasuk orang yang menyatakan makruh sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dari riwayat Abdul Wahhâb ibn Athâ dari Ibnu 'Aun dia berkata, "saya menuliskan surat kepada Nafi' menanyakan kepadanya apakah wanita menjadi imam bagi para wanita?" dia menjawab, "saya tidak mengetahui wanita menjadi imam bagi para wanita." dan ini sanadnya hasan. Juga terdapat riwayat dari Ali seumpamanya dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah tetapi sanadnya dhaif.
[10] Hadits Ummu Waraqah ini sudah lewat penjelasan kelemahannya.
[11] Dalam masalah ini perlu tinjauan, akan datang pada tempatnya insya Allah.
[12] Saya kemukakan, semestinya pengarang (yakni Ibnu Hazm) berhenti pada masalah ketika dia berusaha mematahkan lawan debatnya. Karena tidak terdapat dalil dari para wanita sahabat bahwa siapa saja wanita yang menjadi imam bagi para wanita berada di posisi depan mereka. Tetapi yang terdapat dalam riwayat dari mereka bahwa dia berdiri di tengah-tengah mereka. Benar tidak terdapat dalil tegas yang melarang hal itu tetapi perbuatan para wanita sahabat lebih utama dan lebih pantas. Semoga Allah memberikan taufiq.
[13] Syaikh Ahmad Syâkir berkata (catatan pinggir al-Muhalla): disini dengan catatan pinggir Yamaniyah, teksnya begini (al-Dzahabi mengatakan, para istri Nabi s.a.w. adalah ibu-ibu kita berbeda dengan para wanita lain) dan Ahmad Syâkir mengatakan, komentar ini tidak tepat karena mereka r.a. adalah ibu-ibu kita dalam hal penghormatan, memuliakan, dan keharaman mengawini. Dengan demikian maka tidak dibolehkan bagi seorang pun untuk melihat bagian dari mereka itu apa yang dibolehkan baginya melihat bagian dari ibu dan saudarinya sendiri. Dan sebagaimana pendapat Ibnu Hazm, kami tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa suara perempuan adalah aurat sebagaimana yang disebukan oleh para fuqaha.
comments
0 Responses to "WANITA MENJADI IMAM"Speak Your Mind
Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!