Monday, July 05, 2010

0 SHAF-SHAF PARA WANITA DALAM SHALAT


Paling baik shaf bagi wanita

Imam Muslim berkata (hadits nomor 440):
Diriwayatkan oleh Zuhair ibn Harb dari Jarir dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "paling baik shaf bagi laki-laki adalah paling depan dan paling buruknya adalah paling belakang. Dan paling baik shaf bagi perempuan adalah paling belakang dan paling buruknya adalah paling depan."[1]
Hadits Sahih[2]

Dan dikeluarkan oleh Nasa`I (2/93), Abu daud (678), Turmudzi (hadits 224) dan dia berkata, ini hadits hasan lagi sahih, dan Ibnu Majah hadits nomor (1000).

Wanita sendirian jadi satu shaf

Imam Bukhari berkata (hadits 727):
Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Muhammad dia berkata, diriwayatkan oleh Sufyan dari Ishaq dari Anas ibn Malik dia berkata, "Saya dan seorang anak yatim di rumah kami mengerjakan shalat di belakang Nabi s.a.w. dan ibuku—Ummu Sulaim—di belakang kami."[3]
Hadits Sahih

Dan dikeluarkan oleh Muslim (bersama [syarah] Nawawi cetakan al-Syu'b, 2/306), Abu Daud (hadits nomor 612), dan Nasa'I (2/85).

Shalat wanita di belakang laki-laki[4]

Imam Bukhari berkata (hadits 780):
Diriwayatkan oleh Yahya ibn Quz'ah dia berkata, diriwayatkan oleh Ibrahim ibn Saad dari Zuhri dari Hindun binti Harits dari Ummu Salamah dia berkata, "Rasulullah s.a.w. apabila sudah mengucapkan salam, para wanita berdiri setelah mereka selesai mengucapkan salam dan beliau bertahan di tempat beberapa saat sebelum berdiri." Dia berkata, kami berpendapat—wallahu a'lam—bahwa hal itu agar para wanita bisa pulang sebelum diketahui oleh seseorang dari kaum laki-laki.
Hadits Sahih

Dan dikeluarkan oleh Abu Daud (1040), Nasa'I (2/66), dan Ibnu Majah (hadits 932).

Haram berduaan (dalam sepi) bagi laki-laki dan perempuan bukan muhrim walau untuk shalat bersamanya[5]
Dan hukum shalat laki-laki dengan sekelompok wanita yang tidak terdapat satu muhrim baginya

Pengarang al-Muhazzab berkata (4/277):
Dan dimakruhkan bagi laki-laki melaksanakan shalat dengan wanita bukan muhrim karena hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda, "tidaklah seorang laki-laki berduaan dalam sepi dengan wanita maka orang ketiganya adalah setan."[6]

Imam Nawawi (dalam syarah al-Muhazzab, al-Majmû) berkata:
Yang dimaksud dengan makruh adalah makruh haram apabila dia berduaan dalam sepi dengannya. Sahabat-sahabat kami berkata, apabila seorang laki-laki menjadi imam istrinya dan berduaan hukumnya boleh tanpa ada makruh karena boleh baginya berduaan dengannya pada kondisi selain shalat. Dan apabila dia menjadi imam bagi seorang wanita bukan muhrim dan berduaan dengannya maka hukumnya haram bagi keduanya karena hadits-hadits sahih yang akan saya kemukakan insya Allah. Dan apabila dia menjadi imam beberapa wanita bukan muhrim dan tertutup bersama mereka, terdapat dua pendapat. Jumhur memutuskan boleh dan dikutip oleh Rafi'I dalam kitab al-Adad dari sahabat-sahabat kami. Sedangkan dalilnya adalah hadits yang akan saya sebutkan insya Allah, dan karena para wanita yang berkumpul banyak pada biasanya tidak ada kesempatan bagi laki-laki untuk melakukan kerusakan pada sebagian mereka. Dan disebutkan oleh al-Qadhi Abul Futûh dalam kitabnya tentang khuntsa (berkelamin ganda), padanya terdapat dua pendapat dan Pengarang al-Bayan mengutip darinya menyebutkan salah satunya boleh dan kedua tidak boleh karena takut terjadi kerusakan. Sedangkan Imam al-Haramain dan Pengarang al-'Iddah pada bagian awal bab haji dalam masalah-masalah kemampuan melaksanakan haji, mengutip bahwa Syafi'I menegaskan haram bagi laki-laki melaksanakan shalat dengan beberapa wanita (secara tertutup) kecuali di antara mereka terdapat muhrim atau istrinya dan memutuskan haram hukumnya bersepi dengan para wanita kecuali di antara mereka terdapat muhrimnya. Dan pendapat mazhab sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dan apabila dua orang laki-laki atau beberapa laki-laki bersepi dengan satu wanita maka pendapat yang masyhur adalah haram karena bisa terjadi kesepakatan laki-laki untuk berbuat kekejian terhadap seorang wanita. Dikatakan, apabila mereka termasuk orang yang jauh dari melakukan kesepakatan berbuat keji hukumnya boleh. Dan atas itu ditakwilkan hadits Ibnu Umar yang akan disebutkan nanti. Dan seorang khuntsa (berkelamin ganda) bersama seorang wanita seperti hukum seorang laki-laki, dan bersama para wanita begitu juga. Dan dia bersama seorang laki-laki seperti hukum seorang wanita, dan bersama beberapa laki-laki demikin juga. Demikian disebutkan oleh al-Qadhi Abul Futuh dan Pengarang al-Bayan mengamalkan kehati-hatian dan mengqiyaskan atas pendapat yang dikemukakan oleh para sahabat-sahabat kami dalam masalah memandang khuntsa sebagaimana akan kami jelaskan pada awal kitab nikah insya Allah. Dan adapun amrad (laki-laki muda rupawan), kami tidak menemukan adanya pembicaraan antara para sahabat kami dalam masalah berduaan. Dan berdasarkan qiyas terhadap pendapat mazhab, hukumnya haram berduaan dengannya sebagaimana dikatakan oleh Pengarang (al-Muhazzab) dan Jumhur ulama dan disebutkan secara tegas oleh Syafi'I sebagaimana akan kami jelaskan dalam kitab Nikah insya Allah bahwa haram memandang kepadanya. Dan apabila haram memandang maka berduaan lebih lagi haram karena lebih buruk dan lebih dekat dengan perbuatan keji serta makna yang ditakutkan pada wanita itu terdapat di sana. Dan adapun hadits-hadits yang menyatakan masalah ini diantaranya hadits diriwayatkan dari Uqbah ibn Amir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda, "Jangan kalian masuk kepada para wanita," lalu seorang laki-laki dari golongan Anshar berkata, "bagaimana menurutmu dengan kerabat mertua (al-Hamwu)." Dia berkata, "al-Hamwu kematian." (HR. Bukhari Muslim). Al-Hamwu adalah kerabat suami (istri) dan yang dimaksud disini adalah kerabat yang [pada dasarnya] halal dinikahi seperti saudara suami, pamannya (dari ayah), anak-anak mereka berdua, dan paman (dari ibu) dan selain mereka. Sedangkan ayahnya, anaknya, dan kakeknya, mereka adalah muhrim yang boleh baginya bersepi dengan mereka meskipun mereka dari kekerabatan mertua. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, "Jangan berduaan salah seorang kalian dengan wanita kecuali berserta muhrim." (HR. Bukhari Muslim). Dan dari Ibnu Amr Ibnu 'Ash r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda di atas mimbar, "Jangan berduaan seorang laki-laki setelah hari ini dalam sepi dengan perempuan 'maghibah' kecuali bersamanya seorang laki-laki atau dua orang." (HR. Muslim). Dan maghibah—dengan kasrah ghain—adalah wanita yang tidak ada suaminya dan yang dimaksud di sini adalah tidak berada di rumahnya meskipun dia berada di kota itu. Dan dari Sahal ibn Sa'ad r.a. dia berkata, pada kami terdapat seorang wanita, dalam satu riwayat wanita tua, mengambil akar-akar silq (tumbuhan sejenis bit) dan memasukkannya ke dalam kuali dan mencampurkan biji-biji gandum. Maka apabila kami selesai shalat jum'at, kami pulang dan mengucapkan salam kepadanya lalu dia menyuguhkan kepada kami. (HR. Bukhari). Maka hadits ini bisa jadi tidak bisa menguatkan dalil untuk masalah ini karena kemungkinan bersama mereka terdapat muhrim yang bukan muhrim perempuan tersebut dan dalam hadits tidak terdapat ketegasan menyatakan berduaan dengannya. Wallahu A'lam.

·      Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/200) berkata:
Makruh bagi laki-laki menjadi imam para wanita bukan muhrim karena Nabi s.a.w. melarang laki-laki berduaan dalam sepi dengan wanita bukan muhrim.[7]

Dan tidak mengapa menjadi imam para kerabat muhrimnya dan menjadi imam para wanita bersama para laki-laki karena sesungguhnya para wanita melaksanakan shalat bersama Nabi s.a.w. di masjid, dan Nabi s.a.w. menjadi imam bagi para istrinya,[8] dan menjadi imam bagi Anas dan ibunya di rumah mereka.

Beberapa Atsar dalam masalah ini

Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf berkata (2/222):
Diriwayatkan oleh Abu Mu'awiyah dan Abdah Ibnu Sulaiman dari Hisyam dari ayahnya bahwa dia menjadi imam bagi istri-istrinya[9] dalam shalat fardhu tidak ada bersama mereka seorang laki-laki pun.
Sahih sampai pada Urwah[10]

Dia juga berkata (2/222):
Diriwayatkan oleh Waki' dari Sufyan dari Ghalib Abu Huzail dari Ibrahim dia berkata, saya melaksanakan shalat di kampung pada masa haji dan tidak ada di belakang saya kecuali perempuan.
Sahih dari Ibrahim

Maka kesimpulan masalah, tidak boleh bagi laki-laki berduaan dengan wanita dan menjadi imamnya karena sabda Nabi s.a.w. "Tidaklah berduaan seorang laki-laki dengan seorang wanita maka orang ketiganya adalah setan."

Adapun menjadi imam bagi kelompok wanita maka hal itu boleh karena tidak terdapat larangan pada hal tersebut dan karena terdapat atsar tentang itu dari sebagian ulama salaf. Namun bentuk boleh itu apabila aman dari fitnah. Sedangkan apabila terdapat fitnah maka Allah tidak menyukai kerusakan. Hanya kepada Allah kita memohon taufiq dan pelurusan.


[1] Hadits ini mempunyai dukungan dalam riwayat Ahmad 3/16, 293 dan 387 dari riwayat Muhammad ibn Abdullah ibn Uqail.
[2] Dan ini dalam kondisi para laki-laki dan para wanita bersama dalam shalat bahwa para wanita berada di shaf belakang. Adapun apabila hanya jama'ah wanita saja atau bersama para laki-laki dalam shalat tetapi tidak bisa dilihat oleh para laki-laki maka paling baik shaf bagi perempuan adalah barisan pertama karena hadits Rasulullah s.a.w. "Seandainya mereka mengetahui apa yang ada (keutamaan) pada barisan pertama niscaya mereka mengadakan undian untuk mendapatkannya." Dikeluarkan oleh Bukhari (721).

Dan ini sebagian dari pendapat-pendapat para ulama:
o        Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim, hal. 81, cetakan al-Syu'b al-Mishriah): Adapun shaf-shaf para laki-laki yaitu secara keseluruhan maka paling baik adalah barisan pertama selamanya dan paling buruk adalah paling akhir selamanya. Adapun shaf-shaf bari para wanita maka yang dimaksud dalam hadits adalah shaf-shaf wanita yang melaksanakan shalat bersama laki-laki. Sedangkan apabila mereka mengerjakan shalat sesama mereka sendiri tidak bersama laki-laki maka mereka seperti laki-laki bahwa paling baik shaf mereka adalah barisan pertama dan paling buruk adalah barisan paling akhirnya. Maksud dari paling buruk shaf pada laki-laki dan wanita adalah paling sedikit pahala dan keutamaan dan paling jauh dari tuntutan syariah sedangkan maksud paling baik adalah sebaliknya. Hanya saja diutamakan barisan paling belakang pada shaf-shaf wanita yang menghadiri shalat bersama laki-laki karena jauh dari perbauran dengan laki-laki, dari penglihatan mereka, dan ketertarikan hati kepada mereka ketika melihat gerak-gerik mereka dan mendengarkan perkataan mereka dan seumpama hal tersebut. Dan dicela barisan paling depan karena sebaliknya dari hal tersebut. Wallahu A'lam.

o        Dan dia berkata (al-Majmû', 4/301), sudah kami sebutkan bahwa disunnahkan shaf paling depan kemudian selanjutnya dan selanjutnya hingga akhir. Dan ketentuan ini berlaku pada shaf-shaf para laki-laki dalam kondisi apapun. Dan demikian juga pada shaf-shaf para wanita sesama jama'ah mereka yang tersendiri berpisah dari jama'ah laki-laki. Adapun apabila para wanita melaksanakan shalat bersama para laki-laki dalam satu jama'ah dan tidak ada dinding penghalang antara mereka maka paling utama shaf wanita adalah barisan paling akhir karena hadits Abu Hurairah r.a. dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "paling baik shaf bagi laki-laki adalah paling depan dan paling buruknya adalah paling belakang. Dan paling baik shaf bagi perempuan adalah paling belakang dan paling buruknya adalah paling depan."

o        Al-Shan'âni dalam Subulus Salâm (hal. 429) berkata, dalam hadits terdapat makna yang menunjukkan boleh bagi wanita berbaris dalam beberapa shaf. Dan secara zhahir apakah mereka mengerjakan shalat bersama laki-laki atau bersama para wanita. Dan diberikan alasan terhadap paling baiknya adalah barisan terakhir karena mereka ketika itu berada pada posisi jauh dari laki-laki, dari penglihatan mereka, dari mendengarkan perkataan mereka. Hanya saja alasan ini tidak berlaku kecuali apabila mereka shalat bersama laki-laki. Dan adapun apabila mereka mengerjakan shalat dan yang menjadi imam mereka adalah perempuan maka shaf-shaf mereka seperti shaf-shaf laki, paling utama paling depan.

o        Dan al-Syaukâni berkata (Nailul Authâr, 3/184), perkataannya "dan paling baik shaf bagi wanita adalah barisan terakhir," hanya saja menjadi paling baiknya karena posisinya jauh dari perbauran dengan laki-laki, berbeda dengan barisan pertama dari shaf-shaf mereka karena padanya terdapat potensi perbauran dengan mereka dan ketertarikan hati yang disebabkan melihat mereka dan mendengarkan perkataan mereka dan karena inilah menjadi alasan paling buruknya. [(footnote: telah disebutkan sebelumnya dari Nawawi persis  seperti ungkapan ini. Dan demikianlah yang dilakukan oleh al-Syaukâni dalam banyak kesempatan mengutip ungkapan orang lain dengan teksnya persis atau dengan sedikit perubahan dan dia tidak menyebutkan siapa yang mengatakannya. Semoga Allah memaafkannya. Dan dia juga melakukan hal serupa dalam tafsirnya Fathul Qadîr, perhatikanlah hal tersebut. Hanya pada Allah tempat minta pertolongan.)]

Dan dalam hadits juga menunjukkan bahwa boleh bagi wanita membuat beberapa shaf dalam shalat tanpa ada perbedaan apakah mereka shalat bersama para laki-laki atau shalat dengan jama'ah sesama wanita saja.       
[3] Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim, 1/306), hadits menunjukkan bahwa wanita berdiri di belakang laki-laki dan dia apabila tidak ada wanita lain bersamanya, berdiri di bagian belakang sendirian.

·       Al-Shan'âni (Subulus Salâm, hal. 431) berkata, hadits menunjukkan bahwa… dan menunjukkan bahwa wanita tidak berbaris bersama laki-laki dalam shaf dan dia boleh sendirian dalam satu shaf. Dan ketiadaan wanita lain yang bergabung dengannya merupakan uzur dalam hal itu. Maka apabila seorang wanita bergabung bersama laki-laki, shalatnya sah karena tidak terdapat dalam hadits selain ketentuan baginya agar berada di barisan belakang dan itu posisinya. Dan tidak ada dalam hadits yang menunjukkan bahwa shalatnya rusak seandainya dia shalat tidak pada posisinya.
Saya katakan, tetapi yang terakhir ini menyalahi sunnah dan akan datang pembahasannya insya Allah.

·       Dan al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 2/212), perkataannya dan ibuku Ummu Salim di belakang kami, menunjukkan bahwa wanita tidak satu shaf bersama laki-laki dan dasarnya adalah kekuatiran terjadi fitnah dengannya. Lalu apabila dia menyalahi aturan, shalatnya sah menurut jumhur ulama [(footnote: saya katakan, dan akan datang penjelasan dalilnya insya Allah.)] dan menurut mazhab Hanafi, batal shalat laki-laki tidak shalat wanita. Ini pendapat yang asing dan dalam pengarahannya nampak serampangan seperti perkataan salah seorang dari mereka: "Dalilnya adalah perkataan Ibnu Mas'ud akhirkanlah para wanita sebagaimana Allah akhirkan mereka.[(footnote: Syaikh Ahmad Syakir dalam syarah singkatnya terhadap al-Muhalla (4/18) berkata, dan adapun apa yang diriwayatkan oleh sebagian ulama mazhab Hanafi dengan lafazh "akhirkanlah para wanita sebagaimana Allah akhirkan mereka" bahwa itu hadits marfu' sebenarnya adalah hadits mauqûf dari perkataan Ibnu Mas'ud diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam kitabnya al-Mushannaf – lihat Nashb al-Râyah (1/243).

Saya jelaskan, dan perkataannya "akhirkanlah para wanita sebagaimana Allah akhirkan mereka" dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf (5115) dan diriwayatkan juga oleh al-Thabrani dengan sanad riwayat yang sama dalam al-Mu'jam al-Kabîr (9484) dari Tsauri dari A'masy dari Ibrahim dari Abu Ma'mar dari Ibnu Mas'ud dia berkata: "para laki-laki dan wanita Bani Israel melaksanakan shalat bersama-sama. Dan wanita yang mempunyai kekasih menggunakan dua acuan agar bisa menjenguk kekasihnya sehingga ditimpakan haid kepada mereka. Karena itu Ibnu mas'ud berkata: akhirkanlah para wanita sebagaimana Allah akhirkan mereka." Saya tegaskan, sanad riwayatnya sahih.

·       Al-'Ajilûni dalam Kasyful Khafâ (hadits 156) berkata: "akhirkanlah para wanita sebagaimana Allah akhirkan mereka" yaitu para wanita. Dalam al-Maqâshid dia berkata mengutip dari Zarkasyi, menisbatkannya kepada dua kitab sahih adalah salah dan demikian juga orang yang menisbatkannya kepada Dalâil al-Nubuwah karya Baihaqi sebagai hadits marfû', dan kepada musnad Razîn. Tetapi terdapat dalam Mushannaf Abdur Razzaq dan dikeluarkan dari sanad riwayat yang sama oleh Thabrani dari perkataan Ibnu Mas'ud.. lalu dia menyebutkanya dan berkata, dan dalam masalah bab ini terdapat hadits-hadits yang lain disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagian dalam mentakhrij hadist-hadits al-Hidâyah, dan al-Qâri dalam kitab al-Maudhuât dari Ibnu Hamâm bahwa dia berkata dalam syarah al-Hidâyah, tidak berdasar status marfûnya apalagi masyhurnya dan yang benar bahwa hadits ini mauqûf atas Ibnu Mas'ud. Dan dia berkata dalam kitab al-La`âli, saya melihat ada orang yang menisbatkannya kepada dua kitab sahih [Bukhari dan Muslim] dan itu kekeliruan dalam Mushannaf Abdur Razzaq dari perkataannya.)] Kata perintah disini menunjukkan kewajiban, dan kata 'sebagaimana' adalah kata keterangan tempat dan tidak ada tempat yang wajib bagi mereka di posisi belakang kecuali pada shalat maka apabila dia sejajar dengan laki-laki batal shalat laki-laki karena dia mengabaikan perintah untuk memposisikan mereka di belakang." Dan kutipan ini sudah cukup daripada menyusahkan diri menjawabnya dan hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan. Memang sudah menjadi ketetapan adanya larangan shalat mengenakan pakaian hasil curian dan diperintahkan kepada pemakainya untuk melepaskannya. Lalu seandainya dia melanggar ketetapan ini dan melaksanakan shalat dengannya dan tidak melepaskannya maka dia berdosa dan shalatnya sah. Lalu kenapa tidak dikatakan begitu juga pada laki-laki yang berada dalam satu shaf sejajar dengan wanita? Dan lebih jelas dari itu seandainya di dekat pintu masjid ada sifat kepemilikan pribadi lalu ada seseorang melaksanakan shalat disana tanpa izin pemiliknya padahal dia bisa berpindah ke tanah masjid dengan satu langkah, shalatnya sah dan dia berdosa. Dan demikian juga dengan laki-laki bersama wanita yang mengambil posisi sejajar dengannya apalagi khususnya jikalau dia datang setelah laki-laki itu sudah melaksanakan shalat lalu dia shalat disampingnya.

Ibnu Rasyid berkata, makna yang lebih mendekati bahwa Bukhari bermaksud menjelaskan ketetapan ini sebagai pengecualian dari keumuman hadits yang di dalamnya menyatakan (tidak ada shalat bagi orang sendirian di belakang shaf) yakni bahwa itu khusus bagi laki-laki. Dan hadits tersebut dikeluarkan oleh Ibnu Hibbân dari hadits Ali ibn Syaibân dan status sahihnya perlu tinjauan kembali.

Saya katakan, dan akan datang penjelasannya dalam bab selanjutnya, bahwa apabila laki-laki mengerjakan shalat dan di sampingnya ada wanita maka shalatnya tidak batal meskipun hal itu menyalahi sunnah.       
[4] Telah lewat penjelasan masalah ini dalam beberapa bab dan kami tidak menemukan satu dalil pun dari dekat atau jauh yang menyatakan boleh bagi laki-laki melaksanakan shalat di belakang wanita. Kecuali hal itu terjadi dalam kondisi-kondisi darurat dan darurat diukur dengan standarnya tersendiri.

Begitu, dalam masalah kita sekarang terdapat hadits Anas r.a.—disebutkan pada bab sebelumnya—dan di dalamnya menyatakan "saya dan seorang yatim di rumah kami mengerjakan shalat di belakang Nabi s.a.w. dan ibuku—Ummu Salim—di belakang kami." Dan ini hadits sahih sebagaimana telah lewat.

·       Dan berkaitan dengan masalah ini juga hadits yang dikeluarkan oleh Ahmad (5/344) dari riwayat Syahr ibn Hausyab dari Abu Malik al-Asy'ari dari Rasulullah s.a.w. bahwa dia meratakan antara shalat yang empat raka'at dalam bacaan dan berdiri dan dia menjadikan raka'at pertama paling panjang agar orang-orang sempat berkumpul dan para laki-laki dewasa di depan anak-anak dan anak-anak di depan mereka dan para wanita di belakang anak-anak dan dia bertakbir setiap kali bersujud dan setiap kali bangkit dan bertakbir setiap kali berdiri di antara dua raka'at apabila sebelumnya duduk.

Dan sanad riwayatnya dhaif, di dalamnya terdapat Syahr ibn Hausyab. Dan pada penjelasan sebelumnya sudah cukup.  
[5] Dan dalil-dalilnya lebih lengkap dalam kitab al-Adab (sopan santun) bagian dari kitab ini (Jami' Ahkâm al-Nisa).
[6] Hadits sahih dan akan datang penjelasan takhrijnya dalam bab-bab adab (sopan santun)—insya Allah—dari buku kami Jami' Ahkam al-Nisa.

Dan kami kemukakan masalah ini disini karena terjadi kesalahpahaman bahwa shalat adalah ibadah sehingga boleh khalwat (berduaan) padanya. Dan ini kekeliruan yang ingin kami jelaskan dan larangan ini juga berlaku atas orang yang ingin berduaan dengan wanita untuk mengajarkan al-Qur'an kepadanya dan seumpamanya.
[7] Apabila terdapat sekelompok wanita maka status bersepi sudah tidak ada karena Nabi s.a.w. bersabda, "Tidaklah berduaan dalam sepi seorang laki-laki dengan seorang wanita maka orang ketiganya adalah setan." Adapun apabila terdapat sekelompok wanita maka bersepi tersebut sudah tidak ada dan tinggal memandang pada sisi-sisi lain seperti potensi terjadi fitnah dengan mereka karena dia atau terjadi fitnah dengannya karena mereka, atau salah seorang wanita dari mereka tergoda padanya.. atau seumpamanya.
[8] Teks aslinya istri-istri, yang benar apa yang sudah kami sebutkan.
[9] Demikian tersebut dalam al-Mushannaf (istri-istrinya), dan jika memang demikian maka pernyataan ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan masalah laki-laki menjadi imam bagi para wanita bukan muhrim.
[10] Dan Ibnu Abi Syaibah melanjutkan setelahnya dengan perkataannya, diriwayatkan oleh Waki' dia berkata, diriwayatkan oleh Hisyam dari ayahnya dia berkata, Umar Ibnu Khattab menetapkan para qari untuk (menjadi imam) orang-orang pada bulan Ramadhan, maka ayahku melaksanakan shalat dengan orang-orang dan Ibnu Abi Hatsmah shalat dengan para wanita.
Saya kemukakan, sanad hadits ini dhaif sebab mursal, karena Urwah tidak menemui (masa) Umar.

Dan terdapat beberapa atsar lain yang juga lemah. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/222) dari riwayat Marwan ibn Mu'awiyah dari Umar ibn Abdullah al-Tsaqafi dia berkata, diriwayatkan oleh 'Arfajah dia berkata, Ali memerintahkan orang-orang untuk menghidupkan malam Ramadhan dan menetapkan seorang imam bagi laki-laki dan imam bagi para wanita. 'Arfajah berkata, Ali memerintahkan kepadaku maka aku menjadi imam para wanita. Atsar ini lemah karena lemahnya Umar ibn Abdullah al-Tsaqafi.

·       Dan Ibnu Abi Syaibah juga berkata, diriwayatkan oleh Ubbâd ibn 'Awâm dari Hisyam dari Hasan dia berkata, ditanyakan tentang seorang laki-laki yang menjadi imam para wanita pada bulan Ramadhan. Dia berkata, dia berpendapat tidak mengapa apabila laki-laki itu orang baik-baik saja. Dia berkata, dan jika laki-laki keluar lalu tidak sempat melaksanakan shalat berjama'ah, hendaklah dia pulang kepada keluarganya dan mengumpulkan mereka lalu shalat bersama mereka. Dalam sanadnya terdapat kelemahan karena dalam riwayat Hisyam dari Hasan lemah.

·       Dan dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah juga (2/222) dari riwayat Waki' dari Sufyan dari Jabir dia berkata, saya bertanya kepada Syu'bi dan Athâ tentang laki-laki yang menjadi imam para wanita dan tidak terdapat bersama mereka seorang laki-laki. Mereka berdua menjawab, tidak mengapa.
Saya tegaskan, sanadnya dhaif karena di dalamnya terdapat Jabir al-Ja'fi dan dia lemah. 

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "SHAF-SHAF PARA WANITA DALAM SHALAT"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...