Monday, July 05, 2010

0 SIAPAKAH YANG HARUS MASUK KEDALAM LIANG LAHAD UNTUK MENGUBURKAN MAYAT WANITA


Imam Bukhari r.a berkata (hadits 1342):
Diriwayatkan dari Muhammad ibn Sinân, dari Fulaih ibn Sulaiman, dari Hilâl ibn Ali, dari Anas r.a, beliau berkata: kami telah menyaksikan –pemakaman- putri Rasulullah s.a.w, sementara itu Rasulullah s.a.w sedang duduk diatas kubur, aku melihat kedua matanya mengalirkan air mata, lalu beliau berkata: apakah diantara kalian ada orang yang tadi malam tidak melakukan muqârafah?[1] Maka Abu Thalhah menjawab: "saya". Rasulullah s.a.w berkata: turunlah kedalam liang lahadnya. Maka Abu Thalhah pun turun, lalu menguburkannya"
(Shahih li ghairih)[2]

Ibnu Fulaih r.a berkata: menurut saya, yang dimaksud dengan al-Muqârafah adalah dosa. Abu Abdullah berkata: maksudnya adalah berkerja. Sebab orang sering mengatakan makna bekerja dengan menggunakan kalimat al-muqârafah.

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a (3/126 dan 128) Imam Baihaqi r.a (4/53) dan yang lainnya.

Imam Ahmad r.a berkata (3/270) :
Diriwayatkan dari 'Affân, dari Hammâd, dari Tsâbit, dari Anas, bahwasanya manakala Ruqayyah[3] meninggal dunia, Rasulullah s.a.w berkata: "tidak diperkenankan bagi laki-laki yang tadi malam telah melakukan muqârafah terhadap istrinya, masuk kedalam kubur"
(Shahih)

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a (3/229) al-Hâkim r.a (4/47), beliau mengatakan: hadits ini shahih menurut syarat Muslim, dan keduanya tidak mentafsirkan hadits tersebut. sementara ad-Dzahabî r.a tidak memberikan komentar apapun terhadap hadits ini.

Dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (4/53), Imam Bahaqi r.a berkata:
Diriwayatkan dari Abu Abdillah al-Hafiz dan Abu Sa'îd ibn Abu Umar, keduanya berkata: diriwayatkan dari Abu al-'Abbas Muhammad ibn Ya'kub, dari Ibrahim ibn Marzuq,[4] dari Wahb ibn Jarir, dari Syu'bah, dari Ismail ibn Abu Khalid, dari as-Sya'bî, dari Abdurrahman ibn Abzî, bahwa Umar ibn Khattab r.a telah mengangkat takbir sebanyak empat kali (melakukan shalat jenazah) untuk Zainab binti Jahsyin. Kemudian beliau mengutus seseorang kepada istri-istri Rasulullah s.a.w untuk menanyakan, siapakah yang akan memasukan Zainab binti Jahsyin kedalam kuburnya? Maka mereka menjawab: orang yang dibolehkan masuk kepadanya semasa ia masih hidup.
(Shahih)

Imam Baihaqi r.a berkata: hadits ini juga telah kami riwayatkan dari Ya'lâ ibn 'Ubaid, dari Ismail. Dan pada riwayat tersebut terdapat redaksi tambahan: "Dan Umar ibn Khattab r.a sangat senang apabila beliau yang harus memasukannya kedalam kuburnya. Maka ketika istri-istri Rasulullah s.a.w menjawabnya, Umar berkata: mereka telah benar.

Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah r.a dalam kitabnya al-Mushannaf (3/324)

Perkataan dan pendapat ulama tentang bab ini:
* Dalam kitabnya al-Muhalla (5/144) Abu Muhammad ibn Hazm r.a berkata:
Orang yang paling berhak memasukan mayat perempuan kedalam kuburnya adalah orang yang pada malam kematian tersebut ia tidak menjima'nya. Sekalipun orang tersebut bukan sanak famili, baik pemakaman tersebut dihadiri oleh suami dan walinya, maupun tidak…

Kemudian Ibnu Hazm r.a berkata: al-muqârafah[5] adalah jima', bukan bermakna dosa. Dan tidak mungkin rasanya Abu Thalhah membanggakan diri didepan Rasulullah s.a.w bahwa tadi malam ia tidak berbuat dosa apapun. Dengan demikan maka sahlah bahwasanya orang yang –tadi malam- tidak menjima' wanita tersebut lebih berhak dari Ayah dan suaminya atau yang lainnya.

Aku berpendapat: dapat dipahami dari perkataan Ibnu Hazm r.a sebuah kesan, bahwa beliau mewajibkan hal yang baru disebutkan diatas. Jika hal itu benar, maka kami termasuk orang yang tidak sependapat dengannya. Sebab wanita yang meninggal dimasa Rasulullah s.a.w sangat banyak sekali, dan kami tidak mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w pernah mensyaratkan hal tersebut untuk mayat perempuan lainnya, selain putri Beliau. dan kami juga tidak mengetahui ada ulama yang mewajibkan hal tersebut.

* Imam al-Kharqî r.a berkata (lihat: Mukhtashar al-Kharqî bersama kitab al-Mughnî, 2/501):
Yang berhak memasukan mayat wanita kedalam kuburnya adalah mahramnya[6]. Kemudian jika mahramnya sedang tidak ada, maka yang memasukannya adalah para wanita[7]. Kemudian apabila wanita juga tidak ditemukan, maka pemakaman tersebut dilakukan oleh orang-orang yang telah tua.

* Dalam kitabnya al-Mughni, Ibnu Qudâmah r.a mengatakan:
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, bahwa orang yang paling diprioritaskan untuk memasukan mayat perempuan kedalam kuburnya adalah marhamnya, yaitu orang yang dibolehkan baginya memandang kepada wanita tersebut sewaktu ia masih hidup dan bepergian dengannya. Al-Khallâl telah meriwayatkan –dengan sanadnya- dari Umar r.a bahwasanya beliau bediri disamping mimbar Rasulullah s.a.w ketika wafatnya Zainab binti Jahsyin. Lalu Umar berkata: perhatian… sesungguhnya aku telah mengutus seseorang kepada para wanita untuk mencari orang yang akan memasukannya kedalam kuburnya. Maka mereka mengutus seseorang yang dibolehkan baginya masuk kedalam rumah wanita yang meninggal tersebut, semasa ia masih hidup. Maka Umar pun menganggap keputusan yang mereka sepakati (mengutus orang tersebut) adalah sikap yang benar.

Dan manakala istri Umar meninggal dunia, beliau berkata kepada keluarganya: kalian adalah orang yang lebih berhak. Dan karena orang yang paling berhak menjadi wali bagi seorang wanita sewaktu ia masih hidup adalah mahramnya, maka begitupula hukumnya ketika wanita tersebut telah meninggal dunia.

Dilihat dari zhahir perkataan Imam Ahmad r.a, sanak famili lebih diprioritaskan daripada suaminya. Al-Khallâl r.a berkata: telah benar riwayat yang disampaikan dari Abu Abdillah bahwa apabila –ketika pemakaman mayat perempuan- dihadiri oleh para wali dan suaminya. Maka para wali lebih berhak dari pada suaminya untuk memasukannya kedalam kubur. Dan jika –disana- para walinya tidak ada, maka suaminya menjadi orang yang paling berhak untuk menguburkannya. Hal ini berdasarkan riwayat Umar yang baru saja kita sebutkan diatas.

Memprioritaskan para wali dari pada suaminya, dikarenakan, bahwa setelah meninggal dunia ikatan suami istri dengan wanita yang meninggal itu telah terputus, sedangkan ikatan pertalian darah tetap masih utuh sekalipun setelah meninggal dunia.

Al-Qadhi r.a berpendapat: suami lebih berhak daripada para walinya. Karena pada saat istri Abu Bakar r.a meniggal dunia, orang yang memasukannya kedalam kuburnya bukanlah para wali wanita itu, akan tetapi suaminya sendiri, yakni Abu Bakar r.a. Hal ini juga dikarenakan bahwa orang yang paling berhak memandikan mayat wanita adalah suaminya sendiri. Oleh sebab itu maka –ketika sampai waktu pemakaman- suaminyalah yang paling berhak melakukannya.

Dan dapat disimpulkan -dari kedua pendapat yang saling berbeda tentang siapakah orang yang paling berhak memasukan mayat wanita kedalam kuburnya, apakah para walinya atau suaminya- bahwa siapapun yang didahulukan antara dua orang tersebut, maka urutan orang yang lebih berhak setelahnya adalah salah satu dari kedua orang tersebut. maksudnya. Jika para wali adalah urutan pertama maka suaminya berada diurutan kedua. Begitupula sebaliknya.

Namun apabila keduanya tidak berada disaat pemakaman, maka –sebagaimana sebuah pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a- orang yang berhak memasukannya kedalam kubur adalah para wanita. Sebab mereka dibolehkan memandang mayat wanita tersebut sewaktu ia masih hidup, dan juga, mereka adalah orang yang paling berhak memandikannya.

Dan urutan yang harus diperhatikan adalah siapakah diantara wanita tersebut yang paling dekat ikatan keluarga dengannya, maka dialah yang lebih berhak untuk memasukannya kedalam kubur, sebagaimana halnya jika yang meninggal tersebut adalah mayat laki-laki.

Dan diriwayatkan pula dari Imam Ahmad r.a bahwa wanita tidak mampu masuk kedalam kubur, dan mereka juga tidak mampu menguburkannya. Riwayat ini lah yang paling shahih dan paling bagus.

Kemudian, setelah Ibnu Qudâmah r.a menambahkan pendapat orang yang mengatakan bahwa wanita juga berhak untuk melakukan pemakaman, beliau berkata: akan tetapi jika mahram mayat perempuan tersebut tidak ada, maka disunnahkan agar pemakaman itu dilakukan oleh orang-orang yang sudah tua[8]. Sebab mereka adalah orang yang paling rendah nafsunya dan paling jauh dari fitnah. Dan jika mereka juga tidak ada, maka urutan selanjutnya adalah orang-orang shaleh dan memiliki keta'atan beragama yang tinggi. Sebab Rasulullah s.a.w telah menyuruh Abu Thalhah r.a untuk menguburkan putri Beliau, padahal disana masih banyak sahabat lainnya. Dan untuk lebih lengkapnya lagi, silakan lihat kitab al-Majmû' (5/288) dan kitab al-Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaibah r.a (3/324)


SEBAGIAN ULAMA MENGATAKAN BAHWA KUBUR MAYAT WANITA HARUS DITUTUP DENGAN KAIN YANG DAPAT MENGHALANGI PANDANGAN MATA, SAMPAI MAYAT TERSEBUT SELESAI DIMAKAMKAN

* Ada sebuah hadits dha'îf yang menyebutkan tentang hal itu, yaitu hadits Ibnu Abbas r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w telah menutupi kuburan Sa'ad dengan baju Beliau. hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Baihaqi r.a dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (4/54), beliau berkata: hadits ini tidak saya ingat kecuali dari Yahya ibn 'Uqbah ibn Abu 'Aizâr, dan hadtis ini adalah dha'îf.

* Dalam kitabnya al-Mughni (2/501), Ibnu Qudâmah r.a berkata:
(Syarah masalah: Kubur mayat wanita harus ditutupi dengan kain) kami tidak mengetahui ada ulama yang tidak mengatakan bahwa hal tersebut disunnahkan. Ibnu Sîrîn r.a telah meriwayatkan dari Umar r.a; bahwa beliau juga menutupi kuburan seorang mayat perempuan. Dan diriwayatkan pula dari Ali; bahwasanya beliau pernah melewati suatu kaum yang sedang menguburkan mayat seorang laki-laki, mereka menghamparkan kain diatas kubur tersebut, lalu Ali menariknya dan beliau berkata: hal ini dilakukan hanya untuk mayat perempuan saja[9]. Dan Anas ibn Malik r.a pernah menyaksikan pemakaman Abu Zaid al-Anshârî, ketika kuburnya ditutupi dengan kain Abdullah ibn Anas berkata: angkat kain tersebut, sebab sesungguhnya hal tersebut dilakukan hanya untuk mayat perempuan saja. Sementara pada saat itu Anas –yang sedang berdiri ditempi lobang kuburan- hanya berdiam saja, dan tidak memberikan protes sama sekali. Dan karena wanita adalah aurat yang dikhawatirkan jika terlihat darinya sesuatu yang tidak dibenarkan untuk dilihat.

Dan apabila mayat tersebut adalah seorang laki-laki maka dimakruhkan menutupi kuburnya dengan kain atau sejenisnya, hal ini berdasarkan dalil dan alasan yang telah kami sebutkan. Pendapat ini juga diaminkan oleh Abdullah ibn Zaid.

Namun Ulama mazhab Hanafi dan Abu Tsûr r.a mengatakan bahwa tidak dimakruhkan menutupi kubur mayat laki-laki dengan kain. Akan tetapi yang lebih utama adalah pendapat pertama, sebab perbuatan Ali r.a dan Anas r.a menunjukan bahwa hal tersebut dimakruhkan dan juga, kerena tanpa menutupi kubur mayat laki-laki akan lebih memungkinkan dan lebih jauh dari penyerupaan dengan mayat perempuan, disamping itu, hal tersebut termasuk mutâba'ah (mengikuti) perbuatan para sahabat Rasulullah s.a.w.

Aku menyimpulkan: makna dari perkataan mereka mengandung arti bahwa; apabila mayat tersebut adalah seorang wanita, maka disunnahkan, ketika memakamkannya, untuk menutupi kuburnya dengan kain atau sejenisnya.

* Dalam kitabnya al-Majmû' (5/ 291), Imam Nawawi r.a mengatakan:
Disunnahkan untuk melindungi kubur dengan kain ketika melakukan pemakaman, baik mayat tersebut seorang perempuan maupun seorang laki-laki. Ini lah pendapat yang masyhur, yang ditegaskan oleh ulama-ulama mazhab Syâf'î. mereka mengatakan: hal ini lebih ditekankan lagi jika mayat tersebut seorang perempuan. Imam ar-Râfi'î r.a telah meriwayatkan sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa anjuran ini hanya dikhususkan untuk mayat perempuan saja. Dan pendapat ini lah yang dipilih oleh Abu al-Fadhl ibn Abdan (dari ulama mazhab Syâf'î), sebagaimana ia juga dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah r.a. Dan orang-orang yang memilih pendapat ini menjadikan hadits yang disebutkan diatas sebagai dalil yang menguatkan pendapat mereka. Akan tetapi sangat disayangkan hadits tersebut adalah dha'îf. Disamping itu menutupi kuburan mayat –baik laki-laki maupun perempuan- dapat lebih menutup, sebab siapa tahu –jika tidak ditutup- akan terlihat sesuatu yang seharusnya disembunyikan. Wallâhu a'lam.

* Imam Syâf'î r.a mengatakan, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Umm (1/245:
Dan menutup kubur mayat wanita apabila dimasukan kedalam kuburnya lebih ditekankan daripada mayat laki-laki.


DALAM KONDISI DARURAT DIBOLEHKAN MENGUBURKAN MAYAT PEREMPUAN BERSAMA MAYAT LAKI-LAKI.

Dalam kitabnya al-Mushannaf (6378), Abdu ar-Razzâq r.a meriwayatkan:
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: diriwayatkan dari Sulaiman ibn Musa, bahwa Wâtsilah ibn Asqa' r.a apabila menguburkan mayat laki-laki dan mayat perempuan dalam satu lubang, beliau meletakan mayat laki-laki disebelah arah kiblat, sedangkan mayat perempuan diletakan dibelakang mayat laki-laki.
(Shahih dari Wâtsilah)

Sulaiman berpendapat: apabila mayat tersebut adalah dua orang laki-laki yang akan dikuburkan dalam satu lubang, maka mayat yang lebih tua posisinya menjadi imam untuk mayat yang lebih muda.
(Shahih dari Sulaiman)

* Ibnu Abi Syaibah r.a meriwayatkan –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mushannaf (3/355):
Dari Abdu al-Wahhâb, dari Sa'îd, dari Qatâdah -tentang mayat laki-laki dan mayat perempuan yang dikuburkan dalam satu lubang- beliau berkata: mayat laki-laki diletakan sebelah depan mayat perempuan.
(Shahih dari Qatâdah)

Untuk lebih banyak lagi tentang âtsâr yang membahas masalah ini, silakah lihat kitab al-Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaibah r.a. Dan dibawah ini adalah perkataan dan pendapat ulama tentang masalah diatas:

* Dalam kitanya al-Umm (1/245), Imam Syâf'î r.a mengatakan:
Aku tidak menyukai sama sekali mayat wanita dikuburkan bersama mayat laki-laki. Akan tetapi jika hal tersebut darurat dan tidak ada jalan lain kecuali menguburkan mereka dalam satu lubang, maka  mayat laki-laki diletakan disebelah depan, dan mayat perempuan disebelah belakangnya, lalu diantara mayat laki-laki dan mayat perempuan tersebut diletakan tanah sebagai pemisah antara keduanya.

* Imam as-Syairâzî r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhazzab (5/248 bersama kitab al-Majmû'):
Dan jika kondisi darurat mendesak untuk menguburkan mayat laki-laki dengan mayat perempuan dalam satu lubang, maka diantara kedua mayat tersebut harus dibuat pemisah dari tanah, dengan posisi mayat laki-laki dibagian depan sedangkan mayat perempuan dibelakannya. Sebagaimana halnya ketika keduanya masih hidup.

* Perkataan Imam as-Syairâzî r.a ini disyarahkan oleh Imam Nawawi r.a:
Dan seandainya terkumpul mayat laki-laki, anak kecil dan perempuan, maka mayat laki-laki diletakan pada bagian depan –menghadap kiblat-, kemudian dibelakangnya diletakan anak kecil, lalu waria dan setelah itu baru mayat perempuan… kemudian beliau berkata: dan tidak dibolehkan menguburkan mayat laki-laki bersama mayat perempuan kecuali setelah menyakini bahwa hal tersebut adalah tuntutan kondisi darurat. Pada saat itu wajib menjadikan pemisah dari tanah yang diletakan antara kedua mayat tersebut, dan tidak ada ulama yang menyalahi pendapat ini. Dengan posisi mayat laki-laki diletakan pada bagian depan menghadap kiblat, sekalipun ia hanya seorang anak kecil.

* Imam al-Kharqî r.a mengatakan (Mukhtasha al-Kharqî dan kitab al-Mughni, 2/562):
Dan jika mereka menguburkan mayat laki-laki, mayat perempuan dan mayat anak kecil –dalam satu lubang- maka posisi mayat laki-laki pada bagian depan kiblat, lalu dibelakangnya mayat perempuan. Sedangkan mayat anak kecil, maka posisinya dibelakang kedua mayat tersebut. lalu diantara setiap mayat diletakan tanah yang memisahkan antara mereka.


DIMANAKAH DIKEBUMIKAN SEORANG WANITA AHLI KITAB YANG MENINGGAL DUNIA SAAT MENGANDUNG SEORANG BAYI HASIL PERKAWINANNYA DENGAN SEORANG LAKI-LAKI MUSLIM?

* Dalam kitab al-Mushannaf (6583) Abdu ar-Razzâq r.a meriwayatkan:
Dari Muammar, dari az-Zuhrî, ia berkata: apabila soerang wanita nasrani mengandung seorang bayi hasil perkawinannya dengan laki-laki muslim meninggal dunia dalam keadaan hamil, maka ia dikebumikan bersama orang-orang satu agama dengannya.
(Shahih dari az-Zuhrî)

* Abdu ar-Razzâq r.a juga meriwayatkan:
Dari Ibnu Juraij dari 'Athâ' –tentang wanita tersebut-: pemakamannya dilaksanakan oleh orang-orang yang seagama dengannya, dan dimakamkan bersama mereka.
(Shahih dari 'Athâ')

Disana masih ada beberapa âtsâr lain yang disebutkan dalam kitab Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaibah r.a (3/355) dan kitab Mushannaf, karya Abdu ar-Razzâq r.a. Dan disana juga terdapat sejumlah pendapat dan keritikan para ulama.

Dibawah ini adalah perkataan dan pendapat sebagian ulama tentang masalah diatas:
* Imam al-Kharqî r.a mengatakan (lihat kitab Mukhtashar al-Kharqî dan kitab al-Mughni, 2/563):
Dan jika seorang wanita nasrani meninggal dunia dalam keadaan mengandung seorang bayi dari hasil perkawinannya dengan seorang muslim, maka ia dikebumikan diatara kuburan kaum muslimin dan kuburan kaum nasrani.

Ibnu Qudâmah r.a berkata: pendapat inilah yang menjadi pilihan Imam Ahmad r.a. Karena wanita tersebut termasuk orang kafir yang tidak dibolehkan dikuburkan dilingkungan kuburan kaum muslimin, agar mereka tidak terganggu dengan siksaan yang ditimpakan kepada wanita tersebut. namun wanita itu juga tidak dibenarkan dikuburkan dilingkungan kuburan kaum nasrani, agar anak yang terdapat dalam kandungannya –dan anak tersebut dihukumkan sebagai muslim- tidak terganggu oleh sikasaan yang ditimpakan kepada orang-orang nasrani. Oleh sebab itu wanita tersebut harus dimakamkan ditempat tersendiri. Pendapat seperti ini juga telah diriwayatkan dari Wâtsilah ibn Asqa' r.a[10].

Dan diriwayatkan dari Umar[11] bahwa wanita tersebut boleh dikebumikan dilingkungan kuburan kaum muslimin. Ibnu al-Mundzir r.a berkata: riwayat ini tidak benar. Ulama mazhab Hambali mengatakan: tubuh wanita tersebut dimiringkan diatas bagian bagian tubuhnya sebelah kiri dengan posisi membelakangi arah kiblat, agar wajah janin yang terdapat dalam kandungannya menghadap kearah kiblat, miring diatas bagian kanan tubuhnya. Karena wajah bayi yang ada dalam kandungan wanita tersebut menghadap kearah belakang tubuh wanita itu.


[1] . Al-Muqârafah maknanya: bekerja, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari r.a. Akan tetapi –menurut pendapat yang shahih- yang dimaksud –disini- dari kalimat tesebut adalah jima'.
[2] . Pada sanad hadits ini terdapat Fulaih ibn Sulaiman, dia adalah termasuk orang yang dipermasalahkan ulama hadits. Namun hadits ini telah diperkuat oleh riwayat lainnya. silakan lihat hadits-hadits yang akan datang.

* Dalam kitabnya Nail al-Authâr (5/86) Imam as-Syaukâni r.a berkata: … ada pendapat yang mengatakan bahwa makna al-Muqârafah adalah: tidak berjima' tadi malam, makna ini lah yang ditegaskan oleh Ibnu Hazm r.a. Beliau mengatakan, sangat tidak mungkin Abu Thalhah r.a membanggakan diri didepan Rasulullah s.a.w bahwa tadi malam ia tidak pernah melakukan dosa. Imam Syaukâni ra berkata lagi: pendapat ini deperkuat lagi oleh hadits yang akan datang nanti, yang mana disana disebutkan dengan bunyi redaksi: "orang yang tadi malam menjima' istrinya tidak dibolehkan masuk kedalam kubur".

Adapun mundurnya Ustman r.a ketika Rasulullah s.a.w mengucapkan kata-kata tersebut, padahal sangat tidak mungkin dia menjima' istrinya tadi malam, sebab pada saat itu adalah saat-saat kematian istrinya, dikarenakan beliau berusaha untuk menjaga perasaan Rasulullah. Namun jawaban ini dibantah lagi, bahwa mungkin saja Ummu Kultsum telah lama dalam keadaan sakit, sehingga Utsman sangat membutuhkan untuk berjima', dan dia tidak menyangka jikalau malam itu adalah malam kematian istrinya. Dan pada riwayat hadits tersebut tidak ada kalimat yang menunjukan bahwa Utsman ra telah menjima'nya setelah ia meninggal, bahkan tidak pula disaat istrinya sekarat.

Imam Syaukâni r.a berkata: hadits ini adalah dalil yang hanya membolehkan bagi pria saja untuk masuk kedalam kubur. Karena mereka jauh lebih kuat. Dan hadits ini juga mengatakan bahwa orang yang akan masuk kedalam liang lahad harus diprioritaskan dari laki-laki yang bukan mahramnya dan dari keluarga yang jauh. Sebelum memintanya kepada keluarga yang lebih dekat.

Sebagian ulama mencarikan alasan, kenapa Rasulullah s.a.w meminta hal tersebut kepada orang yang sebelumnya (tadi malam) telah menjima' istrinya. Mereka mengatakan: sebab jika orang yang akan masuk kedalam liang lahad tesebut adalah orang yang malam sebelumnya telah menjima' istrinya, maka syaitan akan lebih mudah mengingatkan dia –saat menguburkan mayat perempuan- dengan apa yang baru saja terjadi tadi malam bersama istrinya. Hal ini berbeda dengan orang yang –sebelumnya- tidak menjima' istrinya, sebab kemungkinan munculnya bayangan yang telah terjadi antaranya dengan istrinya sangat kecil.

Dan diriwayatkan dari Ibnu Habib, bahwa rahasia memprioritaskan Abu Thalhah dari pada Utsman r.a, adalah: karena tadi malam Utsman telah menjima' sebagian budak perempuannya. Maka Rasulullah s.a.w dengan bahasa yang sangat halus melarangnya turun kedalam liang lahad istrinya, tanpa mengucapkannya dengan terus terang. Dan disebutkan radaksi tambahan pada riwayat Hammâd yang telah lalu, yaitu: maka Ustman ra pun tidak masuk kedalam liang lahad.
[3] . Al-Hafiz Ibnu Hajar r.a menyatakan bahwa yang benar adalah Ummu Kultsum (bukan Ruqayyah). Beliau mengatakan dalam kitabnya Fathu al-Bârî (3/158): Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hammâd ibn Salamah, dari Tsâbit, dari Anas, dan ia menyebutkan bahwa yang meninggal tersebut adalah Ruqayyah. Hadits tersebut juga telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a dalam kitabnya at-Târîkh al-Ausath, dan al-Hâkim r.a dalam kitabnya al-Mustadrak. Imam Bukhari ra berkata: aku tidak mengetahui hal ini. Sebab sesungguhnya Ruqayyah meninggal dunia, disaat Rasulullah s.a.w sedang berada di Badar, dan tidak sempat menyaksikan wafatnya Ruqayyah. Aku berkata: Hammâd hanya keliru menyebutkan bahwa putri Rasulullah s.a.w yang meninggal tersebut adalah Ruqayyah.

Ada sebuah riwayat yang menguatkan pendapat pertama, yakni: putri Rasulullah s.a.w yang meninggal dunia tersebut adalah Ummu Kultsum r.a, yaitu riwayat yang disebutkan oleh Sa'ad - ketika beliau menuliskan tentang biografi Ummu Kultsum r.a- dari 'Umrah binti Abdurrahman, ia berkata: orang yang turun kedalam kuburnya adalah Abu Thalhah.

Lebih aneh lagi pendapat yang dikatakan oleh al-Khattâbî r.a, beliau berkata: perempuan yang meninggal dunia tersebut adalah putri dari salah seorang anak perempuan Rasulullah s.a.w (cucu beliau), namun kemudian wanita yang meninggal tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah s.a.w. Jadi seakan-akan ia mengira bahwa wanita yang meninggal dunia yang disebutkan dalam hadits Anas adalah wanita sekarat yang disebutkan pada hadits Usâmah. Padahal -sebagaimana yang telah kami uraikan- tidak demikian.

Pada kesimpulannya: penamaan siapa kah sebenarnya wanita yang disebutkan dalam hadits-hadits diatas, tidak terlalu penting bagi kita, jika dibandingkan dengan pentingnya mengetahui hukum masuk kedalam kuburan.
[4] . Ibrahim ibn Marzuq telah mengalami perubahan pada akhirnya (murtad). Akan tetapi orang yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad ibn Ya'kub Abu al-'Abbas, ia sempat bertemu dengan Sufyan ibn 'Uyainah dan orang-orang yang seangkatan dengannya. Dan generasi mereka lebih tinggi dari Ibrahim. Maka tentunya Muhammad ibn Ya'kub telah mendengar hadits tersebut dari Ibrahim sebelum dia berubah. Disamping itu Imam Baihaqi r.a juga telah mengisyaratkan bahwa beliau telah meriwayatkannya dari Ya'lâ ibn 'Ubaid. Dan hadits ini dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa orang yang berhak memasukan mayat kedalam kuburnya adalah pihak keluarga yang paling dekat dengan mayat tersebut.
[5] . Maksud dari al-muqârafah yang disebutkan dalam hadits Rasulullah s.a.w adalah: "apakah ada diantara kalian yang tadi malam tidak menjima' istrinya?"
[6] . Mereka adalah orang yang paling berhak memasukan mayat wanita kedalam kuburnya, hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t: "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak" (Q.S. al-Ahzâb: 6). Akan tetapi hal tersebut disyaratkan tidak menjima' istrinya tadi malam.
[7] . Perkataannya: maka yang memasukannya adalah para wanita. Dan apabila wanita juga tidak ditemukan, maka pemakaman tersebut dilakukan oleh orang-orang yang telah tua. Adalah pendapat yang sangat keliru, ini berdasarkan beberapa hal.
Pertama: Rasulullah s.a.w telah mendahulukan Abu Thalhah r.a untuk menguburkan putrinya, dan beliau tidak memintanya kepada kaum wanita.
Kedua: Pada prinsipnya wanita dimakruhkan mengikuti jenazah.
Ketiga: Tidak ada satu dalilpun yang membuktikan bahwa –dizaman Rasulullah s.a.w- wanita pernah menguburkan mayat laki-laki, sementara kaum pria sedang berada disana.
Keempat: Wanita adalah makhluk yang lemah. Maka barangkali akan muncul dari mereka sikap yang bertentangan dengan makna sabar dan mengharapkan pahala, seperti berteriak dan sebagainya. Disamping itu mereka juga lemah, yang tidak mungkin dengan mudah menggali tanah, jika hal tersebut (penggalian) diperlukan.
Kelima: Dengan melakukan penguburan, maka –jika hal tersebut dilakukan oleh wanita- akan menyebabkan terjadinya percampuran antara laki-laki dan perempuan, dan sedikit lebih terbuka, sehingga dapat mendatangkan kerusakan yang sangat besar, disaat dan ditempat yang seharusnya orang memperbanyak mengucapkan istrighfar dan meminta ampun kepada Allah s.w.t.
[8] . Hal ini juga dengan catatan bahwa mahram mayat wanita dan orang-orang tua tersebut tidak melakukan al-muqârafah pada malam wafatnya wanita tersebut.
[9] .  Riwayat ini telah disebutkan oleh Imam Baihaqi r.a (4/54) dengan sanad yang dha'îf, dan kami tidak tahu tentang atsar yang dinisbatkan kepada Ibnu Sîrîn bahwa beliau telah meriwayatkan tentang perbuatan Umar r.a yang disebutkan diatas. Lagi pula jarak masa antara Ibnu Sîrîn dan Umar sangat jauh sekali. Dengan demikian maka atsar yang dia riwayatkan juga termasuk dha'îf.
[10] . Riwayat dari Wâtsilah ini telah disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a (3/528) dan Ibnu Abi Syaibah r.a (3/355) dan pada sanadnya terdapat Ibnu Juraij, dia adalah termasuk orang yang mentadlis hadits dengan –waktu meriwayatkannya- menggunakan kalimat 'an .
[11] . Atsar Umar ini juga munqati'. Dan riwayat ini disebutkan dalam kitab Mushannaf karya Abdu ar-Razzâq r.a dan karya Ibnu Abi Syaibah r.a. Pada sanadnya terdapat inqitâ' (terputus)

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "SIAPAKAH YANG HARUS MASUK KEDALAM LIANG LAHAD UNTUK MENGUBURKAN MAYAT WANITA"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...