Monday, July 05, 2010

0 TATA CARA MEMANDIKAN ORANG MATI DAN SEBAGIAN PENDAPAT PARA ULAMA DALAM MASALAH INI DAN HADITS UMMU ATHIAH R.A. DALAM MASALAH INI.


Imam Bukhari berkata (hadits 12540:
Diriwayatkan oleh Muhammad dari Abdul Wahhâb al-Tsaqafi dari Ayyûb dari Muhammad dari Ummu Athiah r.a. dia berkata, Rasulullah s.a.w. masuk ke ruangan kami ketika kami sedang memandikan anak perempuannya[1] lalu dia berkata: "basuhlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih dengan air dan pohon bidara dan lakukan yang terakhir dengan kapur barus (wangi-wangian kamper), apabila kalian telah selesai, beritahu aku." Ketika kami sudah selesai, kamu memberitahukannya, lalu dia melempar kain sarungnya[2] kepada kami dan berkata, "belitkan padanya."[3]
Kemudian Ayyûb berkata, dan diriwayatkan oleh Hafshah seperti hadits Muhammad dan di dalam hadits Hafshah disebutkan "basuhlah dia dengan hitungan ganjil" dan disebutkan juga "tiga kali atau lima kali atau tujuh kali"[4] dan di dalam hadits itu disebutkan bahwa dia berkata, "mulailah dengan sebelah kanannya dan anggota-anggota wudhunya" dan disebutkan juga di dalamnya bahwa Ummu Athiah berkata, "dan kami menyisir rambutnya, kami jadikan tiga kepang."
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Muslim hadits (939), Abu Daud hadits (3142), Nasa`I (4/32) dan Ibnu Majah hadits (1458).

Derajat hadits Ummu Athiah r.a. dalam masalah mandi

Hadits Ummu Athiah dipandang sebagai dasar utama dalam masalah memandikan orang mati dan tata caranya. Dan hadits ini menjadi pegangan utama para ulama yang menulis tentang tata cara memandikan orang mati dan pokok pembicaraan para fuqaha dan pemahaman mereka dengan meneliti, mengambil dasar hukum, dan menjadikannya pegangan dasar.

·      Ibnu Mundzir berkata (sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh dalam Fathul Bâri, 3/127):
Tidak ada hadits-hadits dalam masalah memandikan orang mati yang lebih tinggi dari hadits Ummu Athiah r.a. dan hadits ini menjadi pegangan utama para ulama.

·      Dan Ibnu Hajar berkata:
Dan sumber periwayatan hadits Ummu Athiah berkisar pada Muhammad dan Hafshah, keduanya anak Sîrîn dan Hafshah menghapalkan darinya apa yang tidak dihapalkan oleh Muhammad.

·      Dan Ibnu Abdil Bar dalam al-Isti'âb ketika membicarakan tentang biografi Ummu Athiah (bersama al-Ishâbah, 3/452) dan nama Ummu Athiah adalah Nasîbah, dia berkata:
Dia menyaksikan pelaksanaan memandikan anak perempuan Rasulullah s.a.w. dan menceritakannya dengan apik. Dan haditsnya merupakan dasar utama dalam masalah memandikan orang mati, sedangkan kelompok sahabat dan para ulama tabi'in di Basrah mengambil darinya tata cara memandikan orang mati.

·      Dan al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (dalam al-Ishâbah, 4/455, biografi Ummu Athiah):
Dan haditsnya tentang memandikan anak perempuan Nabi s.a.w. masyhur dalam kitab sahih dan kelompok ulama tabi'in mengambil kesimpulan hukum dari sana.

·      Dan dalam riwayat Abu Daud dari sanad Qatadah dari Muhammad ibn Sîrîn bahwa dia mengambil tata cara memandikan orang mati dari Ummu Athiah.

Rangkaian tata cara memandikan sebagaimana terdapat dalam hadits Ummu Athian r.a. disertai beberapa tambahan.

Dari hadits yang membicarakan tentang masalah memandikan orang mati tersebut bisa diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.       Para wanita memandikan wanita—kecuali sebagian kasus-kasus pengecualian yang akan dijelaskan dalam masalah-masalah kasus tertentu. Hal itu karena para wanita, mereka yang memandikan anak perempuan Rasulullah s.a.w. dan dalam riwayat Nasa`I (4/30) dengan sanad yang sahih sampai pada Ummu Athiah dia berkata, telah meninggal dunia salah seorang anak perempuan Nabi s.a.w. lalu dia mengutuskan kepada kami dan berkata, "mandikan dia dengan air dan pohon bidara."

·    Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim, 2/602):
Dan dalam hadits Ummu Athiah ini terdapat dalil terhadap paling sahih dari dua pendapat dalam mazhab kami bahwa para wanita lebih berhak untuk memandikan wanita yang meninggal daripada suaminya. Dan bisa saja penunjukan dalil ini terbantah sampai dipastikan bahwa suami Zainab hadir saat kematiannya di mana tidak ada halangan baginya untuk memandikan dan dia tidak menyerahkan pekerjaan ini kepada para wanita. Dan akan datang penjelasan lebih lanjut terhadap masalah ini insya Allah.  

2.       Para wanita yang memandikan ini memiliki kelayakan berupa kesalehan dan keahlian dalam memandikan.

·      Adapun kesalehan, karena orang yang saleh lebih mengetahui hukum-hukum dan syariat agamanya sehingga mereka menutupi orang yang meninggal tersebut sebagaimana sabda Nabi s.a.w., "… barangsiapa menutupi seorang muslim, Allah akan menutupinya pada hari kiamat."[5] Dan mereka tidak menggunjingkannya dengan celaan dan seumpamanya. Rasulullah s.a.w. bersabda, "jangan menggunjingkan orang mati karena mereka sudah sampai pada apa yang telah mereka lakukan."[6] Dan mereka bisa menyimpan rahasianya dan jangan menggibahnya karena Nabi s.a.w. bersabda, "tahukan kalian apa itu gibah?" Mereka menjawab, "Allah dan RasulNya lebih tahu." Dia berkata, "kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia senangi." Ditanyakan, bagaimana menurutmu apabila aku mengatakan sesuatu tentang saudaraku? Dia menjawab, "apabila benar yang kamu katakan maka kamu telah menggibahnya. Dan apabila tidak benar maka kamu telah memfitnahnya."[7]

Al-Syaukani berkata (Nailul Authâr, 4/26):
Perkataanya (barang siapa menutupi orang muslim, Allah menutupinya pada hari kiamat): di dalam hadits ini terkandung dorongan agar menutupi aurat orang muslim dan secara zhahir hadits tidak membedakan antara yang hidup dan yang mati sehingga termasuk dalam maknanya yang umum seorang yang memandikan orang mati menutupi apa yang ia lihat dan seumpamnya pada orang mati tersebut dan dilarang menyebarkan dan menggunjingkannya. Dan juga telah ditetapkan dalam hadits sahih bahwa gibah adalah menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia senangi dan tidak ada perbedaan antara saudara yang masih hidup dan yang sudah mati. Dan sudah pasti bahwa orang mati tidak senang disebutkan sesuatu dari aib-aibnya yang nampak saat kematiannya sehingga atas dasar ini menyebutkannya diharamkan.

Demikian, terdapat riwayat yang dikeluarkan oleh Hakim dalam al-Mustadrak (1/354 dan 362), dan Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (3/395) dengan derajat sanad hasan[8] dari hadits Abu Râfi' r.a. dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "barangsiapa memandikan orang mati lalu menutup mulut atasnya, dia diampuni empatpuluh kali. Dan barangsiapa mengkafan orang mati, Allah memakainnya pakaian dari sutera (sundus) dan sutera tebal (istabraq) surga. Dan barangsiapa yang menggali kubur untuk orang mati lalu menyemayamkannya disana, diberikan kepadanya pahala seperti pahala sebuah rumah yang ia berikan untuk tempat tinggalnya hingga hari kiamat."

·      Adapun keahlian dalam memandikan, ini mutlak dibutuhkan karena wanita yang mengetahui tata cara memandikan bisa melaksanakan sunnah Rasulullah s.a.w. sehingga berbuat baik kepada orang mati dan berbuat baik dalam memandikannya. Dan Nabi s.a.w. mengutus kepada Ummu Athiah untuk memandikan anak perempuannya. Dan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (2/600) berkata, Ummu Athiah adalah wanita yang memandikan wanita-wanita yang meniggal dunia. Dan al-Hafiz Ibnu Hajar mengutip (Fathul Bâri, 3/128) dari Ibnu Abdil Bar bahwa ia menyatakan dengan tegas dalam biografi Ummu Athiah bahwa dia adalah wanita yang mememandikan wanita-wanita yang meninggal dunia.

Menurut saya, kalau riwayat itu tetap dan sahih maka hal itu menunjukkan boleh spesialisasi dalam masalah memandikan, yaitu bagi mereka yang ahli, mengerti agama, dan wara' dalam masalah ini.

Dan tuntutan keahlian menjadi lebih kuat bahwa Nabi s.a.w. dimandikan oleh kelompok orang yang mengetahui tata cara memandikan. Hal itu sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1467), Hakim dalam al-Mustadrak (1/362), Baihaqi (3/388) dan dinisbatkan oleh al-Muzzi kepada Abu Daud dalam al-Marâsîl (riwayat-riwayat mursal) dari riwayat Ma'mar dari Zuhri dari Said ibn Musayyab dari Ali ibn Abu Thalib r.a. dia berkata, ketika dia memandikan Nabi s.a.w., dia berangkat lalu memeriksa padanya apa yang mesti diperiksa pada orang mati [seperti mungkin ada yang keluar berupa kotoran] dan tidak menemukannya lalu dia berkata, "betapa ayahku yang baik, kamu baik ketika hidup dan kamu baik ketika meninggal."[9] Pada hadits ini terdapat dalil bahwa Ali mengetahui dengan seluk beluk yang berhubungan dengan orang mati dan apa yang mesti diperiksa.

3.       Melepaskan pakaian orang mati dan menutup aurat-auratnya.

·      Adapun harus dilepaskan dari pakaiannya, karena terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah[10] r.a. dengan derajat sanadnya hasan dia berkata, ketika mereka ingin memandikan Rasulullah s.a.w. mereka berkata, "demi Allah, kita tidak tahu apakah kita melepaskan pakaian Rasulullah s.a.w. sebagaimana kita melepaskan pakaian mayit-mayit kita atau kita memandikannya dengan pakaian di tubuhnya?" Saat mereka berselisih, Allah timpakan tidur kepada mereka hingga tidak ada seorang laki-laki dari mereka kecuali dagunya menyentuh dada. Kemudian seseorang berbicara kepada mereka dari sisi rumah yang mereka tidak ketahui siapa dia, "mandikan Nabi s.a.w. dengan pakaian di tubuhnya." Lalu mereka bangkit menuju Rasulullah s.a.w. dan memandikannya sedang pakaiannya masih ditubuhnya, mereka mengucurkan air dari atas pakaian dan mereka menggosoknya dengan pakaian menghalangi tangan mereka. Dan Aisyah berkata, "seandainya aku mengetahui sebelum ini kalau akan begini jadinya, tidak memandikan dirinya kecuali para istrinya.

Pada perkataan mereka, (apakah kita melepaskan pakaian Rasulullah s.a.w. sebagaimana kita melepaskan pakaian mayit-mayit kita) merupakan dalil bahwa mereka melepaskan pakaian orang-orang yang meninggal dunia dari mereka.

·      Adapun mereka harus menutup auratnya, karena sabda nabi s.a.w. "seorang laki-laki jangan melihat aurat laki-laki dan wanita jangan melihat aurat wanita…"[11] Dan pendapat ini dikemukakan oleh sejumblah ulama.

Imam Syafi'I dalam al-Um (1/248) berkata:
Dilepaskan pakaiannya jika tubuhnya mengenakan dan dibentangkan pakaian menutupi seluruh tubuhnya dan diletakkan dari bawah kakinya, kepalanya, dan dua sampingnya agar jangan terbuka.

Dan al-Kharqi berkata (2/453):
Permasalahan: apabila dia sudah mulai dalam memandikan, dia menutup bagian antara pusar dan lututnya. Ibnu Qudamah berkata, dan kesimpulannya disunnahkan untuk melepaskan pakaian mayit ketika memandikan dan ditutup auratnya dengan kain yang lebar panjang. Dan ini zhahir pendapat al-Kharqi dan diriwayatkan oleh Atsram dari Ahmad dia berkata, ditutup bagian antara pusar dan lututnya. Dan pendapat ini pilihan Abu Khattab, dan juga pendapat Ibnu Sîrîn, mazhab Malik, dan mazhab Abu Hanifah. Sedangkan al-Mirwadzi meriwayatkan dari Ahmad bahwa dia berkata, bagus menurutku memandikan orang mati dan pada tubuhnya ada pakaian, dia memasukkan tangannya dari balik pakaian, dia berkata, Abu Qilâbah apabila memandikan orang mati dia menutupinya secara menyeluruh dengan pakaian.  

4.       Menguraikan anyaman rambutnya (yakni membuka anyamannya) karena perkataan Ummu Athiah (sebagaimana dalam riwayat Bukhari hadits 1260) dan selainnya bahwa dia berkata, kami membuat rambut anak perempuan Rasulullah s.a.w. tiga kepang kemudian kami uraikan, kemudian kami memandikannya lalu kami buat rambutnya tiga kepang.

5.       Orang yang memandikan harus melakukan pekerjaan-pekerjaan memandikan dengan lembut (dan perlahan) karena sabda Nabi s.a.w., "sesungguhnya kelembutan tidak berada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah dan tidak terlepas dari sesuatu kecuali membuatnya buruk."[12]

6.       Mulai dengan mencampurkan pohon bidara dengan air untuk basuhan-basuhan pertama karena sabda Nabi s.a.w. "Dan mandikan (basuhkan) dengan air dan pohon bidara."[13] Dan apabila pohon bidara tidak ada, digunakan apa yang bisa menggantikannya seperti sabun atau seumpamanya.[14] Dan sesungguhnya Allah s.w.t. berfirman, "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (QS. Al-Taghâbun-[64]:16)  dan Dia s.w.t. berfirman, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah-[2]:286)

7.       Memilih apa yang lebih dibutuhkan pada orang mati dari sisi menghangatkan air atau tidak. [15]

8.       Memulai memandikan dari bagian sebelah kanan dan anggota-anggota wudhu karena sabda Nabi s.a.w. "mulailah dengan sebelah kanannya dan anggota-anggota wudhunya." Dan pertama-tama dengan mengucapkan basmalah karena umumnya sabda Nabi s.a.w. "tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya." Dan demikian juga dilakukan dengan niat karena hadits Rasulullah s.a.w. "hanya saja segala perbuatan itu dengan niat."[16]

9.       Dan termasuk dalam wudhu, mengkumur-kumurkan dan memasukkan air ke hidung. Ini sesuai dengan tuntutan hadits Rasulullah s.a.w. "mulailah dengan sebelah kanannya dan anggota-anggota wudhunya."[17]

10.   Membasuh kepala sebaik-baiknya dengan pohon bidara sampai bersih dan menyampaikan air hingga kulit kepala[18] dan menguraikan [atau menyisirkan] rambutnya secara lembut dan perlahan.

11.   Membasuh bagian sebelah kanan karena sabda Nabi s.a.w., "mulailah dengan sebelah kanannya." Dan karena perkataan Aisyah r.a. bahwa Nabi s.a.w. sangat senang melakukan sesuatu dari kanan, dalam memakai alas kakinya, dalam berjalannya, dalam bersucinya, dalam segala perkaranya semuanya.[19]

12.   Kemudian membasuh bagian sebelah kiri sebagaimana yang dilakukan pada sebelah kanan[20] kemudian membalikkan tubuhnya[21] lalu membasuh tengkuk, punggung, dan dua pantat (dan apa yang berdekatan dengan bagian itu dari anggota badan yang tidak bisa dibasuh dari depan).

13.   Menyisirkan rambutnya dan mengepangnya menjadi tiga kepang; dua di bagian samping kepala dan satu kepang dari tengah bagian ubun-ubun sebagaimana perkataan Ummu Athiah (dan kami menyisir rambutnya, kami jadikan tiga kepang) dan dilepaskan ke belakangnya sebagaimana perkataan Ummu Athiah juga (dalam hadits Bukhari 263), … dan kami menyisir rambutnya, kami jadikan tiga kepang dan kami lepaskan ke belakangnya. Dan dalam riwayat Muslim, dan kami menyisir rambutnya, kami jadikan tiga kepang; dua bagian samping dan ubun-ubun.[22] Perlu diperhatikan bahwa hal itu dilakukan apabila mayit akan dimandikan dengan sekali basuh saja.[23] Dan dalam kondisi ini juga (yaitu dibasuh sekali saja), kapur barus dicampur dengan pohon bidara karena sabda Nabi s.a.w., "dan jadikan kapur barus pada bagian terakhir." Dan apabila dimandikan dengan beberapa kali basuhan, maka mencampurkan kapur barus diletakkan pada basuhan terakhir karena hadits Rasulullah s.a.w. seperti demikian.

Dan apabila kapur barus tidak ditemukan, dipakai minyak wangi misk dan itu bagus karena Nabi s.a.w. bersabda dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim (hadits nomor 2252) dari hadits Abu Said al-Khudri r.a.—tentang misk—itu adalah paling bagus wangi-wangian. Dan apabila mayit dimandikan lebih dari sekali basuhan, mengepangnya ditunda sampai pada basuhan terakhir.

14.    Berkaitan dengan jumblah basuhan, minimal sekali basuhan karena sabda Nabi s.a.w., "dan basuhlah dia dalam hitungan ganjil." Dan ganjil digunakan untuk makna termasuk hitungan satu. [24]

15.   Berkaitan dengan maksimal jumblah basuhan, yaitu apabila bersih bisa dihasilkan karena sabda Rasulullah s.a.w. (atau lebih banyak jika kalian melihat [perlu] hal itu) tetapi dia mengkaitkan dengan hitungan ganjil sebagaimana telah lewat.[25]

16.   Melakukan apa telah dilakukan pada poin 13 dari menyisirkan rambut dan mengepangnya menjadi tiga kepang sebagaimana perkataan Ummu Athiah, (dan kami menyisir rambutnya, kami jadikan tiga kepang) dan melepaskan rambutnya ke belakang, disertai mencampurkan kapur barus—atau minyak wangi misk apabila kapur barus tidak didapatkanpada basuhan terakhir.

17.   Demikian apa yang bisa disimpulkan dari hadits Ummu Athiah r.a. dan sebagian ulama menambahkan beberapa tambahan (dan akan datang penjelasan tambahan pada bagian sub permasalahan). Imam Syafi'I berkata (al-Um, 1/249): apabila sudah selesai dari basuhan terakhir dalam memandikannya, kedua tangan dan kakinya dilemas-lemaskan dengan perlahan agar tidak kaku. Kemudian diluruskan dan dirapatkan dengan sampingnya dan ratakan antara kedua kakinya, rapatkan kedua mata kakinya, dan rapatkan kedua pahanya. Lalu apabila ada sesuatu yang keluar mayit setelah selesai dimandikan, dibersihkan dan cukup sekali basuhan kemudian dikeringkan dalam pakaian maka apabila sudah kering, dia siap dikafankan.


[1] Anak perempuan ini adalah Zainab binti Rasulullah s.a.w. dan terdapat dalam riwayat Muslim hal. 618 "ketika Zainab meninggal dunia…"
[2] (penjelasan kata) hiqwu yaitu tempat kain sarung diikat. Termasuk di antaranya sabda Nabi s.a.w.—dalam menjelaskan keadaan-keadaan manusia pada hari kiamat—dan di antara mereka ada yang keringatnya (menggenangi) sampai pinggang (hiqwu)." Dan digunakan kata hiqwu di sini untuk makna kain sarung secara majaz.  
[3] (penjelasan kata) asy'irnâhâ iyyâhu yakni jadikan sebagai pakaian dalam padanya yaitu pakaian yang langsung melekat pada tubuh. Dan digunakan juga kata isyâr untuk makna membelitkan sehingga makna hadits adalah belitkan padanya.
[4] Dalam riwayat Nasa`I (4/30): dan basuhlah dia dalam hitungan ganjil, tiga kali, atau lima kali, atau tujuh kali.
[5] Dikeluarkan oleh Bukhari (hadits 2442) dan Muslim (hadits 2580) dari hadits Ibnu Umar r.a. dari Nabi s.a.w.
[6] Dikeluarkan oleh Bukhari (1393) dari hadits Aisyah r.a. marfû. Para penulis al-Mu'jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits keliru ketika menisbatkannya kepada Muslim dalam bagian Fadhâil al-Sahabat, 221-222. Hadits yang terdapat dalam riwayat Muslim di dalamnya menyebutkan (jangan menggunjing sahabat-sahabatku). Kami kemukakan hal ini karena banyak kekeliruan dan kesalahan yang terdapat dalam al-Mu'jam (ensiklopedia) tersebut sehingga bisa dimanfaatkan dan jangan ditinggalkan, tetapi jangan dijadikan pegangan secara total.
[7] Dikeluarkan oleh Muslim dari Hadits Abu Hurairah r.a. marfû (hadits 2589).
[8] Dan al-Hafizh dalam al-Dirâyah hal. 230 berkata: sanadnya kuat, dan Hakim berkata, ini hadits sahih atas syarat Muslim dan mereka berdua tidak mengeluarkannya. Dan al-Dzahabi berkata, atas syarat Muslim.
[9] Sanadnya sahih. Dan untuk penjelasan lebih lanjut, silahkan lihat risalah kami tata cara memandikan dan mengkafan.
[10] Dikeluarkan oleh Abu Daud hadits (3141), Ahmad (6/267), dan Hakim (3/59-60) dan dia berkata, ini hadits sahih atas syarat Muslim dan mereka tidak mengeluarkan riwayatnya, sedang al-Dzahabi tidak memberikan komentar. Dan dikeluarkan oleh Baihaqi (3/387), Ibnu Hibban (Mawârid al-Zham`ân, 2156) dan selain mereka dari riwayat Muhammad ibn Ishaq dia berkata: diriwayatkan oleh Yahya ibn Ubbâd dari ayahnya Ubbâd ibn Abdullah ibn Zubair dia berkata, saya mendengar Aisyah r.a. berkata… lalu dia menyebutkan haditsnya. Saya tegaskan, hadits ini sanadnya hasan karena Muhammad ibn Ishaq adalah orang jujur pelaku tadlîs, hanya saja dia meriwayatkan hadits secara tegas [menggunakan haddatsana/ni] dalam sebagian besar riwayat yang mereka keluarkan.

·         Demikian, dan Imam Syafi'I dalam al-Um (1/248) berkata:
Dilepaskan pakaiannya jika tubuhnya mengenakan dan dibentangkan pakaian menutupi seluruh tubuhnya dan diletakkan dari bawah kakinya, kepalanya, dan dua sampingnya agar jangan terbuka.

·         Dan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/454) berkata:
Dan argumen kami bahwa dengan melepaskan pakainnya lebih mudah memandikannya dan lebih bagus hasil dalam membersihkannya. Orang hidup melepaskan pakaiannya apabila dia mandi maka demikian juga pada orang mati dan juga apabila dimandikan dengan pakaian, pakaiannya berpotensi menjadi najis disebabkan kotoran yang keluar dan terkadang tidak bersih dengan menyiramkan air sehingga mayit menjadi najis karenanya. Sedangkan Nabi s.a.w. maka hal itu khusus baginya. Tidakkah kamu lihat mereka mengatakan, "apakah kita melepaskan pakaiannya sebagaimana kita melepaskan pakaian mayit-mayit kita," demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah. Ibnu Abdil Bar berkata, hadits itu diriwayatkan darinya dengan sanad yang sahih maka yang jelas melepaskan pakaian mayit selain pada bagian aurat sudah masyhur di antara mereka. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi s.a.w. tetapi yang zhahir bahwa hal itu atas perintahnya karena mereka mengambil pendapatnya sebagai pemutus terakhir dan mengerjakan sesuai dengan perintahnya dalam perkara-perkara syariat. Dan mengikuti perintahnya lebih utama daripada mengikuti selain dia dan karena apa yang dikuatirkan akan membuat najis pakaiannya akibat ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya adalah sesuatu yang terjamin pada Nabi s.a.w. karena dia bersih ketika hidup dan ketika meninggal berbeda dengan orang lain. Dan hanya saja Saad berkata, "buatkan untukku liang lahat dan tegakkan untukku batu bata sebagaimana dilakukan pada Rasulullah s.a.w." seandainya riwayat ini tetap bahwa yang dia maksud adalah dalam memandikan, maka perintah Rasulullah s.a.w. lebih utama untuk diikuti. Sedangkan menutup bagian antara pusar dan lutut, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini karena bagian itu adalah aurat dan menutup aurat diperintahkan… kemudian dia menyebutkan dua hadits, pada kedua hadits itu terdapat komentar dan tinjauan, tidak kami sebutkan disini.  

·         Dan apakah mayit anak kecil ditutup??
Dalam al-Mughni karya Ibnu Qudamah: Abu Daud berkata, saya menanyakan kepada Ahmad, apakah anak kecil ditutup sebagaimana orang dewasa ditutup? Saya maksud anak kecil yang meninggal dunia dalam memandikannya? Dia menjawab, segala sesuatu ditutup dan bukanlah auratnya itu aurat,  dan boleh bagi para wanita memandikannya."
[11] Dikeluarkan oleh Muslim hadits (338) dari hadits Abu Said al-Khudri r.a. hadits marfû.
[12] Dikeluarkan oleh Muslim (2594) dari hadits Aisyah r.a. dan Nabi s.a.w. Dan pada suatu riwayat disebutkan bahwa Aisyah ingin menunggang onta dan mendapatkan kesulitan sehingga terulang beberapa kali, lalu Rasulullah s.a.w. berkata kepadanya, "lakukanlah dengan  lembut." Kemudian menyebutkan seumpama hadits ini.

Terkait dengan masalah bab ini terdapat hadits (mematahkan tulang orang mu'min yang sudah meninggal dunia sama seperti mematahkan tulangnya selagi hidup) dan dalam riwayat lain (mematahkan tulang orang mati sama seperti mematahkan tulang orang yang masih hidup) dikeluarkan oleh Ahmad (6/58, 167-169, 200, dan 264), Daraquthni (3/188), dan Baihaqi (4/58) dari riwayat Saad ibn Said suadara Yahya ibn Said dari Umrah dari Aisyah r.a. dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "mematahkan tulang orang mati sama seperti mematahkan tulang orang hidup." Dan ini hadits sahih dan kami bicarakan panjang lebar dalam risalah kami (Tata cara memandikan dan mengkafan), maka silahkan rujuk ke sana jika anda inginkan, dan kepada Allah kita memohon taufiq.
[13] Ini dengan pengecualian orang yang sedang melaksanakan haji karena dia tidak menyentuh wangi-wangian. Dan pohon bidara adalah pohon bidara yang dihaluskan sebagaimana akan djelaskan nanti dalam bab tersendiri insya Allah.
[14] Ibnu Qudamah berkata (al-Mughni, 2/459): apabila pohon bidara tidak didapatkan, dia memandikannya dengan apa yang bisa menggantikannya atau mendekati fungsinya seperti tumbuhan hollyhock dan seumpamanya karena tujuan bisa tercapai dengannya. Dan apabila dia memandikannya menggunakan bahan itu padahal pohon bidara sendiri ada, hukumnya boleh karena syariat menyatakan ini untuk maksud yang logis yaitu membersihkan sehingga mencakup semua apa yang bisa menghasilkan maksud itu.
[15] Ibnu Qudamah berkata (al-Mughni, 2/460) dalam menguraikan permasalahan: dan air hangat, garam abu, dan tusuk digunakan apabila dibutuhkan. Dia berkata: tiga jenis ini dipergunakan ketika diperlukan seperti misalnya dibutuhkan air yang hangat karena cuaca sangat dingin atau kotoran tidak hilang kecuali menggunakannya. Dan demikian juga garam abu dipergunakan apabila pada mayit terdapat kotoran.

Ahmad berkata:
apabila lama penyakit orang yang sakit, ia dimandikan dengan garam abu. Yakni kotorannya menjadi banyak sehingga dibutuhkan garam abu untuk menghilangkannya dan tusuk dibutuhkan untuk mengeluarkan sesuatu. Dan disunnahkan agar terbuat dari pohon yang lembut seperti jenis tumbuhan willow dan seumpamanya yang bisa membersihkan dan tidak melukai. Dan bagus apabila dia menggosok kepalanya dengan kapas dan diperhatikan bagian-bagian bawah kukunya lalu dibersihkan. Apabila bagian dari segala peralatan ini tidak dibutuhkan, tidak disunnahkan menggunakannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Syafi'I. sedangkan Abu Hanifah menyatakan bahwa air yang hangat lebih utama dalam kondisi apapun karena ia bisa membersihkan apa yang tidak bisa dibersihkan oleh air yang dingin. Dan argumen kami, bahwa air dingin mengencangkannya dan air hangat melunakkannya dan karena itu dicampurkan kapur barus (camphor) ke dalam air untuk mengetatkan dan mendinginkannya. Dan membersihkan bisa dihasilkan dengan pohon bidara apabila kotorannya tidak banyak, dan apabila banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air panas, maka menjadi disunnahkan.  
[16] Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/463) berkata: dan wajib dalam memandikan mayit adalah niat.
[17] Dan pendapat ini dikemukakan oleh Syafi'I dan dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/458) bahwa dia berkata, "dikumur-kumurkan dan dimasukkan air ke hidung (istinsyaq) sebagaimana dilakukan oleh orang hidup." Dan sebagian ulama mengajukan bantahan karena memasukkan air ke mulut dan hidungnya menyebabkan air tidak bisa dihindari akan sampai ke tenggorokannya sehingga mengakibatkan tertahan di sana dan tidak bisa dihindari apabila keluar ke kain-kain kafannya. Termasuk dari mereka adalah Ibnu Qudamah dalam al-Mughni tetapi dia berkata juga: … kemudian dia mengambil kain kasar lalu membasahinya dan diletakkan di jari-jemarinya kemudian menggosok bagian gigi dan hidungnya sampai bersih. Saya tegaskan, permasalahan ini semuanya kurang lebih saja karena sebagian orang ada yang memiringkan [atau menegakkan] mayit ketika mengkumur-kumurkan dan memasukkan air ke hidungnya sehingga masuk air hingga tenggorokan bisa dihindari.  
[18] Hal itu karena Nabi s.a.w. dalam mandinya (setelah berwudhu), dia menciduk air dengan genggaman dua tangan penuh tiga kali dan menyela-nyela rambutnya sehingga air sampai ke tempat tumbuh rambut. Dikeluarkan oleh Bukhari (272) dan selainnya dari hadits Aisyah r.a. dia berkata, Rasulullah s.a.w. apabila mandi junub, dia membasuh kedua tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat kemudian mandi dan menyela-nyela rambut dengan tangannya sampai dia yakin sudah membasahi kulitnya, dia mengucurkan air padanya tiga kali kemudian baru menyiram seluruh tubuhnya.

·         Dan dalam riwayat Maimunah pada riwayat Bukhari (274): Rasulullah s.a.w. mengambil wudhu dalam mandi junub lalu dia mengucurkan dengan tangan kananya ke bagian sebelah kiri dua atau tiga kali, kemudian membasuh kemaluannya, kemudian menggosok tangannya ke tanah—atau ke dinding—dua atau tiga kali kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung, membasuh wajah dan kedua lengannya, kemudian menyiramkan air ke kepalanya kemudian menyiram tubuhnya…

·         Dan Imam Syafi'I berkata (al-Um, 1/249): "… dan dia mengambilkan wudhu untuknya kemudian membasuh kepala dan janggutnya dengan pohon bidara sampai bersih dan menguraikan keduanya dengan perlahan dan lembut." Dan Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mugni (2/458): dan kesimpulan hal itu adalah apabila dia mengambilkan wudhu untuknya, dia mulai dengan membasuh kepala kemudian janggutnya, ini dinyatakan dengan tegas oleh Ahmad, lalu menghaluskan pohon bidara kemudian membasuh keduanya dengan busanya dan membasuh wajahnya.
[19] Dikeluarkan oleh Bukhari (hadits 168). Imam Syafi'I berkata: kemudian membasuhnya dari permukaan lehernya sebelah kanan satu cidukan sampai kaki kanannya. Dan dalam melakukan itu dia membasuh sebelah kanan bagian dada, bagian samping, paha, dan betisnya, sambil seseorang menggerakkan untuknya agar air menyapu secara menyeluruh pada bagian antara dua pahanya, dan dia mengusapkan dua tangannya pada bagian itu, kemudian mengambil air lalu membasuh sebelah kanan punggungnya. Dan Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni (uraian permasalahan: dan menyiramkan air padanya maka mulai dari sebelah kanannya dan membalik tubuhnya dari dua bagian samping sehingga air menyapu seluruh tubuhnya) dia berkata, dan dia membasuh tangan kanan dari bahu sampai dua telapak, permukaan leher sebelah kanan, bagian dada, bagian samping, paha, dan betisnya. Dia membasuh yang nampak dari seluruh bagian itu sedang tubuhnya dibiarkan telentang. 
[20] Imam Syafi'I dalam al-Um berkata—setelah mengemukakan pembicaraan yang baru saja lewat—(1/249): kemudian dia ke sebelah kiri dan melakukan hal yang sama. Kemudian membalikkan bagian samping sebelah kiri lalu membasuh punggung sebelah kiri, [(footnote: teks aslinya yâsah tanpa koreksi dan yang tampak bagi saya apa yang saya sebutkan. Dan pengoreksi al-Um berkata, demikian teks aslinya tanpa titik dan barangkali adalah nâbiyah zhahrih (yaitu yang membatasi punggung) atau nâtiah zhahrih (yaitu lengkungan punggung) tengkuk, paha, dan betisnya sampai ke kaki dan ia lihat bisa dibasuh. [(footnote: begitu pada teks aslinya dan tampaknya yang benar adalah, dan apa yang ia lihat bisa dibasuh.)]
[21] Dan Ibnu Qudamah berkata [(footnote: Ibnu Qudamah berkata (al-Mughni, 2/458): dan jangan menelungkupkan kepalanya.)] dalam al-Mughni (2/458)—setelah perkataanya tubuhnya telentang—, kemudian seperti itu dilakukan pada bagian sebelah kiri. Kemudian dia mengangkatnya dari samping sebelah kanan [yakni tubuh mayit menghadap ke kiri] maka jangan menelungkupkan kepalanya, lalu membasuh punggung dan apa yang ada pada bagian itu seperti pinggul, paha, dan betisnya. Kemudian dia beralih posisi lalu membalikkan tubuh ke sebelah kanan dan membasuh anggota badan sebelah kiri seperti itu juga. Demikian disebutkan oleh Ibrahim al-Nakha'i dan al-Qadhi dan ini lebih dekat dalam menyesuaikan dengan sabda Nabi s.a.w. "mulailah dari bagian sebelah kanannya" yaitu menyerupai mandi orang yang hidup.

Saya tegaskan, apabila bisa dilakukan membasuh paha kanan dan betis kanan dari sebelah depan dan belakang, pertama-tama keduanya dibasuh dari depan dan belakang. Kemudian baru dilanjutkan dengan sebelah kiri. Kemudian setelah itu baru membasuh pinggung termasuk bersamanya tengkuk dan dua pantat dan anggota tubuh yang tersisa dengan mendahulukan sebelah kanan pada semua pekerjaan itu karena alasan sebagaimana telah lewat dari sabda Rasulullah s.a.w        
[22] Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim, 2/600): yaitu tiga kepang, mereka buat dari masing-masing samping (yakni dua sisi kepala) dua kepang dan dari ubun-ubun satu kepang. Dan Ibnu Daqîq al-Id berkata (sebagaimana dia kutipkan dari al-Hafizh dalam Fathul Bâri, 3/134): dalam hadits ini mengandung anjuran sunnah bagi wanita menguraikan rambut dan mengepangnya.
[23] Dan akan datang penjelasannya dalam poin berikutnya insya Allah.
[24] Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/460) berkata: yang wajib dalam membasuh mayit adalah satu kali karena ini adalah mandi yang diwajibkan bukan karena ada najis menimpanya maka cukup satu kali seperti mandi junub dan haid. Dan dianjurkan sunnah untuk membasuhnya tiga kali pada setiap basuhan dengan air dan pohon bidara sebagaimana telah kami jelaskan.

·         Dan Imam Nawawi berkata (sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh dalam Fathul Bâri, 3/129): maksudnya adalah mereka membasuhnya dalam hitungan ganjil dan jadikan tiga kali maka apabila masih dibutuhkan jadikan lima dan kesimpulannya hitungan ganjil dituntut dan tiga kali disunnahkan. Lalu apabila bersih bisa diperoleh dengannya jangan masuk hitungan diatasnya, kalau tidak maka ditambah dalam hitungan ganjil sampai bersih bisa dihasilkan. Dan yang wajib dari semua itu adalah satu kali saja meliputi seluruh tubuh.

Dan seumpama itu perkataan Nawawi dalam Syarah Muslim (2/599): dan sebagian ulama (mereka adalah ulama Kufah, pengikuti Zhahiriah dan al-Muzni—sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, 3/128) mengambil kesimpulan dari hadits Rasulullah s.a.w., "dan basuhlah dia tiga kali…" sebagai mewajibkan tiga kali. Mereka juga berkata, apabila keluar sesuatu darinya setelah itu, dibasuh pada tempatnya. Al-Hafizh dalam Fathul Bâri mengatakan, ini menyalahi zhahir hadits. Saya tegaskan, dalam riwayat Nasa`I yang sudah kami singgung (ketika mengemukakan hadits Ummu Athiah) terdapat apa yang menyatakan tidak wajib tiga kali atau lima kali.. yaitu sabda Nabi s.a.w., "dan basuhlah dia dalam hitungan ganjil." Dan satu termasuk ganjil sehingga hadits itu menunjukkan bahwa memandikan dengan sekali basuhan sudah cukup. 
[25] Kecuali sebagian para ulama menafsirkan tambahan dalam sabda Nabi s.a.w. (jika kalian melihat perlu hal itu) bahwa maksudnya maksimal adalah tujuh kali yang dijelaskan dalam sebagian riwayat hadits. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 3/129): saya tidak melihat sedikitpun dari berbagai riwayat itu setelah perkataanya (atau tujuh kali), ungkapan yang menyatakan lebih banyak dari itu kecuali dalam satu riwayat pada Abu Daud. Adapun selainnya, adakalanya (atau tujuh kali) dan adakalanya (atau lebih dari itu) [(footnote: dan ini pendapat yang aneh dari al-Hafizh Ibnu Hajar, karena terdapat dalam riwayat Bukhari (1259) "atau tujuh kali atau lebih dari itu." Dan demikian juga dalam riwayat Muslim hal. 647 dan riwayat Abu Daud (3146).)] sehingga dimungkinkan menafsirkan perkataanya "atau lebih dari itu" dengan tujuh kali. Dan pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad, dia menyatakan makruh lebih dari tujuh kali. Dan Ibnu Abdil bar mengatakan, saya tidak mengetahui seseorang menyatakan lebih dari tujuh kali. Dan dia mengemukakan dari riwayat Qatadah bahwa Ibnu Sirin mengambil tata cara memandikan dari Ummu Athiah tiga kali, kalau tidak maka lima kali, dan kalau tidak maka lebih banyak lagi, dia berkata: maka kami melihat bahwa lebih banyak dari itu adalah tujuh kali. Dan al-Dâudi mengatakan: lebih dari tujuh kali adalah pemborosan. Dan Ibnu Mundzir berkata: telah sampai kepadaku bahwa tubuh orang mati menjadi lembek dengan air maka aku tidak senang lebih dari itu. Saya tegaskan, dalam riwayat (atau tujuh kali atau lebih banyak dari itu) menunjukkan boleh lebih dari tujuh kali apabila dibutuhkan.

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "TATA CARA MEMANDIKAN ORANG MATI DAN SEBAGIAN PENDAPAT PARA ULAMA DALAM MASALAH INI DAN HADITS UMMU ATHIAH R.A. DALAM MASALAH INI."

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...