Monday, July 05, 2010

0 WANITA KELUAR MELAKSANAKAN SHALAT HARI RAYA


Imam Bukhari berkata (hadits 980):
Diriwayatkan oleh Abu Ma'mar dia berkata, diriwayatkan oleh Abdul Warits dia berkata, diriwayatkan oleh Ayyub dari Hafshah binti Sîrîn dia berkata, kami melarang wanita-wanita sahaya kami untuk keluar pada hari raya, kemudian datang seorang perempuan dan mampir ke istana Bani Khalaf. Lalu saya mendatanginya kemudian dia menceritakan bahwa suami saudarinya ikut berperang bersama Nabi s.a.w. dalam dua belas peperangan dan saudarinya bersamanya dalam enam peperangan, lalu berkata, "kami melakukan perawatan terhadap orang yang sakit dan mengobati mereka yang terluka." Lalu dia berkata, "wahai Rasulullah, atas salah seorang kami 'kesalahan' apabila dia tidak memiliki pakaian (jilbab) untuk tidak keluar." Lalu dia menjawab, "hendaklah 'wanita dekatnya' meminjamkan dari pakaiannya maka hendaklah menyaksikan kebaikan dan seruan (doa) orang-orang beriman." Hafshah berkata, maka ketika Ummu Athiah datang, sayang menyambanginya dan saya tanyakan kepadanya, "apakah kamu mendengar tentang ini dan ini? Dia menjawab, "sungguh demi ayahku (aku tebuskan dengan ayahku), iya" dan jarang sekali dia menyebut Nabi s.a.w. kecuali dengan mengatakan 'biabi' (aku tebuskan dengan ayahku). Dia (Nabi) berkata, "hendaklah keluar para wanita 'awatiq'[1] (wanita yang terbebas) wanita 'khudur'[2] (mendekam di rumah/wanita rumahan)—atau dia berkata awathiq dan wanita 'khudur' (mendekam di rumah)—Ayyub ragu—dan wanita-wanita haid. Dan wanita haid menjauhi tempat shalat dan hendaklah saksikan kebaikan dan seruan (doa) orang-orang beriman." Dia berkata, lalu aku katakan padanya, "(terkejut) Apakah wanita haid?" Dia menjawab, "ya, bukankah wanita haid menghadiri di Arafah, menghadiri ini, dan menghadiri ini?"
Hadits Sahih

Demikian, dan terdapat beberapa atsar dari ulama salaf yang membolehkan wanita keluar untuk melaksanakan shalat pada dua hari raya dan beberapa astar lain dari sebagian mereka yang menyatakan melarang dari hal itu. Dan beberapa atsar lagi mengandung dua penadapat dari sebagian yang lain.[3] Dan selama hadits-hadits dari Rasulullah s.a.w. tetap dan sahih dalam masalah ini dan teksnya tegas menyatakan boleh bahkan menyatakan wajib[4]--sebagaimana pendapat kelompok para ulama—maka tidak perlu memandang pendapat seseorang bersama Rasulullah s.a.w. kecuali pendapat yang sesuai dengan perkataan Nabi s.a.w. dan karena itu kami tinggalkan di sini tanpa mengemukakan atsar-atsar lebih banyak lagi.

Tambahan dari beberapa pendapat para ulama

·      Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata (al-Muhalla, 3/87):
"Dan para wanita keluar menuju tempat shalat hingga yang perawan, wanita-wanita haid dan yang tidak haid. Dan wanita-wanita haid menjauh dari tempat shalat dan sedangkan yang suci melaksanakan shalat bersama orang-orang. Dan siapa yang tidak memiliki pakaian penutup hendaklah dia meminjam pakaian dan hendaklah dia keluar. Kemudian apabila imam telah selesai menyampaikan khutbah maka kita menurut kami keharusan baginya untuk mendatangi mereka memberikan nasihat dan memerintahkan mereka bersedakah dan sunat bagi mereka ketika itu untuk bersedakah semampunya."

Kemudian dia mengemukakan sejumblah hadits-hadits sebagaimana yang kami sebutkan kemudian berkata, "maka ini semua adalah atsar mutawatir dari Nabi s.a.w. dari riwayat Jabir, Ibnu Abbas dan lain-lain bahwa Nabi s.a.w. menyaksikan kehadiran para wanita di tempat shalat dan memerintahkan hal itu maka tidak ada tempat bagi pendapat selainnya apabila menyalahinya. Dan tidak ada sandaran bagi orang yang berbeda pendapat kecuali riwayat dari Ibnu Umar bahwa dia melarang mereka dan terdapat riwayat dari Ibnu Umar pendapat sebaliknya. Dan tidak boleh berprasangka yang bukan-bukan terhadap Ibnu Umar kecuali dia ketika melarang mereka tidak sampai padanya perintah Rasulullah s.a.w. maka apabila sampai padanya tentu dia akan kembali kepada kebenaran sebagaimana yang ia lakukan ketika mencela anaknya dengan celaan yang keras saat dia mendengarnya berkata bahwa kami melarang para wanita ke  masjid pada waktu malam.

Dan tidak ada hujjah bagi seseorang bersama Rasulullah s.a.w. dan seandainya seseorang mengklaim ijma terhadap sahihnya para wanita keluar rumah menuju shalat dua hari raya dan tidak boleh melarang mereka, maka dia benar karena kita tidak ragu lagi bahwa setiap orang yang hadir dari para Sahabat r.a. atau sampai kepadanya dari orang yang hadir, telah menerima, ridha dan patuh. Dan orang yang melarang perbuatan ini menyalahi ijma dan sunnah."

·      Dan al-Shan'âni (Subulus Salâm, 2/493) berkata:
Dan hadits adalah dalil atas kewajiban[5] mengajak mereka keluar dan dalam masalah ini terdapat tiga pendapat:

Pertama, hukumnya wajib. Dan ini pendapat tiga orang khalifah yaitu Abu Bakar,[6] Umar,[7] dan Ali.[8] Dan pendapat wajib ini diperkuat riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi s.a.w. mengajak keluar istri-istri dan anak-anaknya menuju (shalat) dua hari raya.[9] Dan hal itu adalah kenyataan yang terus berlangsung dari Rasulullah s.a.w. dan itu umum bagi siapa saja, wanita yang cantik (menarik) dan lainya dan secara tegas menyebutkan wanita remaja dan pada wanita tua lebih lagi.

Kedua, hukumnya sunat. Dan ditafsirkan perintah keluar bagi mereka sebagai anjuran sunat. Demikian pendapat sekelompok ulama dan dikuatkan oleh pensyarah dengan mengambil kesimpulan dari dalil bahwa dia menjelaskan alasan dalam perintah keluar mereka yaitu untuk menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Dia berkata, seandainya wajib tentu dia tidak memberikan alasan dengan hal itu dan tentu keluar mereka untuk menunaikan kewajiban atas mereka karena semata-mata mematuhi perintah.

Saya katakan (yang berkata masih al-Shan'âni), pernyataan itu perlu pemikiran lanjutan karena kewajiban terkadang diberikan alasan dengan apa yang terkandung di dalamnya dari beberapa faidah dan tidak diberikan alasan dengan menunaikannya. Dan ungkapan Syafi'i di dalam al-Um terdapat pembedaan antara wanita berparas cantik (menarik) dan wanita tua lalu dia berkata, saya senang para wanita yang sudah tua dan selain wanita cantik (menarik) menghadiri shalat dan sesungguhnya kehadiran mereka pada hari raya hukumnya sunat dan dianjurkan.

Ketiga, perintah itu mansukh (dibatalkan). Al-Thahâwi berkata, sesungguhnya hal itu terjadi pada awal Islam karena dibutuhkan kepada mereka untuk keluar agar memperbanyak jamaah sehingga dengan itu bisa membuat musuh gentar, kemudian dibatalkan. Dan pendapat ini dikritik bahwa pembatalan itu dengan semata-mata klaim kemungkinan, dan terbantah dengan riwayat bahwa Ibnu Abbas menyaksikan mereka keluar ketika dia masih kecil dan kejadian itu setelah penaklukan (pembukaan) kota Makkah dan mereka tidak diperlukan ketika itu. Demikian juga terbantah dengan pemberian alasan dalam hadits Ummu Athiah bahwa kehadiran mereka untuk menyaksikan kebajikan dan doa kaum muslimin dan juga terbantah dengan fatwa Ummu Athiah dalam hal itu setelah wafat Nabi s.a.w. beberapa masa dan tak seorangpun dari para sahabat yang menentangnya. Dan adapun perkataan Aisyah "seandainya Nabi s.a.w. melihat perkara baru yang diperbuat oleh para wanita, niscaya dia akan melarang mereka keluar ke masjid," maka ini tidak menunjukkan atas keharaman mereka keluar dan juga tidak menunjukkan atas pembatalan hukumnya bahkan sebagai dalil bahwa mereka tidak dilarang karena Nabi s.a.w. tidak melarang mereka bahkan memerintahkan untuk mengeluarkan mereka. Maka tidak ada hak bagi kita untuk melarang apa yang diperintahkan.[10]

·      Dan Ibnu Qudamah berkata (al-Mughni, 2/375):
Dan tidak mengapa para wanita keluar pada hari raya menuju tempat shalat. Dan Ibnu Hamid berkata, hal itu disunatkan.. kemudian dia mengemukakan beberapa hadits, atsar, dan pendapat-pendapat. Kemudian dia berkata, dan hanya saja disunatkan bagi mereka keluar tanpa menggunakan wangi-wangian dan tidak mengenakan pakaian mewah dan perhiasan dan tidak keluar dengan pakaian harian karena sabda Rasulullah s.a.w., "hendaklah mereka keluar tanpa menggunakan wangi-wangian." Dan jangan berbaur dengan para laki-laki tetapi pada sisi lain dari mereka.

·      Dan al-Syaukani berkata (Nailul Authâr, 3/287):
Dan hadits ini dan hadits-hadits yang semakna merupakan ketetapan disyariatkannya para wanita untuk keluar pada dua hari raya menuju tempat shalat tanpa ada perbedaan antara yang perawan, tidak perawan, remaja, wanita tua, wanita haid dan lainnya selama tidak dalam masa 'iddah atau dalam hal selama mereka keluar tidak terjadi fitnah, atau tidak ada uzur. Kemudian dia mengemukakan beberapa pendapat dan menutup dengan perkataannya: dan mengatakan makruh keluar secara mutlak adalah menolak hadits-hadits sahih dengan pendapat-epndapat yang rusak. Dan mengkhususkan wanita remaja tertolak dengan ketegasan hadits yang disepakati dan hadits lainya.

Takbir Wanita pada Hari Raya 

Imam Bukahri berkata (hadits 971):
Diriwayatkan oleh Muhammad dari Umar ibn Hafash dia berkata, diriwayatkan oleh ayahku dari 'Âshim dari Hafshah dari Ummu Athiah dia berkata, "kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya sampai kami mengeluarkan wanita perawan dari rumahnya, sampai kami mengeluarkan wanita-wanita haid dan tetaplah mereka di belakang orang-orang lalu bertakbir dengan takbir mereka[11] dan berdoa dengan doa mereka mengharapkan berkah hari itu dan kesuciannya."
Hadits Sahih

Dan dikeluarkan oleh Muslim (890) dan Abu daud (1136).

Menasihati para wanita
pada hari raya setelah shalat

Imam Bukhari berkata (hadits 978):
Diriwayatkan oleh Ishaq ibn Ibrahim ibn Nashr dia berkata, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dia berkata, diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dia berkata, diriwayatkan oleh Athâ dari Jabir ibn Abdullah dia berkata, saya mendengarnya berkata: Rasulullah s.a.w. berdiri pada hari raya lalu melaksanakan shalat. Dia memulai dengan shalat kemudian berkhutbah. Kemudian setelah selesai, dia turun dan mendatangi para wanita[12] dan mengingatkan (menasihati) kepada mereka sambil menggandeng tangan Bilal. Dan Bilal berpakaian 'sederhana', para wanita memberikan sedekah kepadanya. Saya kataka kepada Athâ, "zakat fitrah?" Dia menjawab, "bukan, tetapi sedekah yang mereka keluarkan ketika itu. Dilepaskan cincinnya[13] dan mereka melepaskan." Saya katakan, "Apakah menurutmu ini adalah hak (keharusan) atas imam dan mengingatkan mereka?" Dia menjawab, "itu adalah keharusan atas mereka dan apa yang membuat mereka tidak melakukannya?"
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Muslim (885) dan Abu Daud (1141).

Imam Bukhari berkata (hadits 977):
Diriwayatkan oleh Musaddad dia berkata, diriwayatkan oleh Yahya ibn Sufyan dia berkata, diriwayatkan oleh Abdurrahman ibn Abbas dia berkata, saya mendengar Ibnu Abbas ditanya, "Apakah kamu menyaksikan hari raya bersama Nabi s.a.w.?" Dia menjawab, "ya, seandainya aku tidak masih kecil niscaya aku tidak menyaksikannya sampai dia mendatangi panji yang ada di rumah Katsir ibn Shalt lalu melaksanakan shalat kemudian berkhutbah. Setelah itu kemudian dia mendatangi para wanita dan Bilal bersamanya lalu dia menasihati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan kepada mereka bersedekah sehingga aku lihat mereka menurunkan tangan mereka meletakkannya di baju Bilal. Kemudian dia dan Bilal pulang ke rumahnya."[14]
Hadits Sahih
Dan dikeluarkan oleh Abu Daud (1146), dan Nasa`i (3/192).

Keringanan (Rukhshah) bagi para sahaya wanita bernyanyi pada hari raya

Imam Bukhari berkata (hadits 949):
Diriwayatkan oleh Ahmad dia berkata, diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dia berkata, diriwayatkan oleh Amar bahwa Muhammad ibn Abdurrahman al-Asadi meriwayatkan hadits kepadanya dari Urwah dari Aisyah dia berkata, Nabi s.a.w. masuk kepadaku sedang padaku ada dua orang perempuan budak yang sedang menyanyikan[15] lagu 'Buast'[16] lalu dia berbaring di atas ranjang dan memalingkan wajahnya. Dan Abu Bakar masuk lalu menghardikku dan berkata, "mizmar (alat musik tiup) setan di rumah Nabi s.a.w.!" sehingga Rasulullah s.a.w. berpaling menghadapnya lalu berkata, "biarkan mereka berdua." Lalu ketika dia lengah, aku mengerdipkan mata kepada mereka berdua kemudian mereka berdua keluar. Pada hari raya, orang-orang hitam bermain-main dengan perisai dan alat perang. Bisa jadi 'saya bertanya kepada Nabi s.a.w.' atau dia berkata, "kamu ingin melihat?" Lalu aku jawab, "ya." Kemudian dia memposisikan diriku berdiri di belakangnya pipiku menyentuh pipinya (berdempetan) sehingga ketika aku sudah bosan dia berkata, "kamu sudah merasa cukup?" Aku jawab, "ya." Dia berkata, "pergilah."
Hadits Sahih


[1] (penjelasan kata) Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim, 2/540), para ahli bahasa mengatakan, 'awâtiq adalah plural 'âthiq yaitu wanita sahaya yang sudah mencapai baligh. Dan Ibnu Duraid berkata, dia adalah wanita yang hampir mencapai baligh. Dan Ibnu Sikkît berkata, dia adalah wanita antara mencapai baligh hingga agak tua (ta'nis) selama belum kawin. Dan ta'nis yaitu lama berdiam di rumah ayahnya tanpa suami hingga dimakan usia. Mereka mengatakan, dinamakan 'âthiq (wanita yang bebas) karena dia terbebas dari melakukan pelayanan dan keluar untuk keperluan-keperluan. Dan dikatakan, maknanya adalah wanita yang hampir kawin sehingga bebas dari kungkungan kedua orang tua dan keluarganya dan bertempat tinggal sendiri di rumah suaminya.  
[2] (penjelasan kata) Imam Nawawi berkata, khudûr yaitu rumah-rumah dan dikatakan, khidrun yaitu penutup yang terdapat dalam sisi rumah.

Saya katakan, dalam riwayat Muslim (halaman 606, susunan Muhammad Fuad) dari Ummu Athiah dia berkata, kami diperintahkan untuk keluar pada dua hari raya, dan wanita yang mendekam di rumah dan wanita perawan. Dia berkata, "wanita haid hendaklah keluar bersama kalian maka hendaklah di belakang orang-orang dan bertakbir bersama orang-orang." Imam Nawawi berkata, mukhabba`ah adalah wanita yang semakna dengan dzawât al-Khudûr [mendekam di rumah].
[3] Demikian seperti Abdullah Ibnu Umar r.a. terdapat dua pendapat dalam riwayat darinya. Terdapat riwayat yang membolehkan seperti riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/182), dia berkata, diriwayatkan oleh Ibnu 'Alîah dari Ayyub dari Nafi' dia berkata, Abdullah Ibnu Umar pada dua hari raya mengeluarkan (keluar bersama) siapa yang dia mampu dari anggota keluarganya. Dan Sanadnya sahih.

Dan pada bagian pendapatnya yang melarang terdapat dua riwayat dari Nafi' (dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 2/183) dan Abdur Razzaq (al-Mushannaf, 3/303) [(footnnote: dan di dalam Mushannaf Abdur Razzaq, gugur penyebutan Ibnu Umar sehingga lebih kuat menurutku bahwa riwayat Abdur Razzaq adalah dari riwayat Ubaidullah dari Nafi bahwa dia tidak mengeluarkan istri-istrinya pada hari raya.)] bahwa Ibnu Umar tidak keluar bersama istri-istrinya untuk melaksanakan shalat pada dua hari raya.
[4] Sebagaimana tuntutan kata perintah karena kata perintah (amar) menunjukkan hukum wajib selama tidak ada faktor yang merubah tuntutannya. Hanya saja yang merubahnya dari hukum wajib di sini bahwa pelaksanaan shalat hari raya semuanya (kami maksudkan adalah shalat, keluar menghadirinya, dan khutbah) tidak wajib karena hadits Rasulullah s.a.w. "Lima shalat dalam sehari dan semalam…" dan hadits itu dalam menjelaskan shalat yang diwajibkan kepada muslim dan pada bagian akhirnya Rasulullah s.a.w. berkata kepada seorang Arab badui—setelah Arab badui itu menanyakan kepadanya, "apakah ada kewajiban atasku selainnya." Dia menjawab, "tidak ada kecuali shalat sunat." Dia berkata, "demi Allah saya tidak menambah atas ini dan tidak mengurangi"—"beruntung kalau dia benar" atau "dia masuk surga jikalau dia benar." Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim, 2/534), tentang shalat dua hari raya menurut Syafi'I dan mayoritas pengikutnya serta jumhur ulama hukumnya sunat muakkad. Dan Abu Said al-Ishthakhari dari pengikut mazhab Syafi'I berpendapat hukumnya fardhu kifayah. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan hukumnya wajib.
[5] Telah lewat komentar terhadap pendapat yang menyatakan wajib.
[6] Atsar Abu Bakar terdapat dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/128) dari riwayat Thalhah al-Yâmi dia berkata, Abu Bakar berkata, "hak bagi setiap wanita (pemakai ikat pinggang) keluar menuju (shalat) dua hari raya." Dan ini adalah atsar dhaif karena Thalhah dia adalah Ibnu Musharraf al-Yâmi tidak menemui masa Abu Bakar r.a.
[7] Atsar Umar ini tidak saya temukan sanadnya hingga sekarang.
[8] Atsar Ali tersebut dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (2/128) dari riwayat Hârist dari Ali dia bekata, "hak bagi setiap wanita (pemakai ikat pinggang) untuk keluar menuju (shalat) dua hari raya. Dan sanadnya juga lemah karena Harist dia adalah Ibnu Abdullah al-'Awar (buta sebelah mata) dinyatakan dusta oleh Syu'bi dan para ulama lain-lainnya.
[9] Saya kemukakan, hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1309) dan Baihaqi (dalam sl-Sunan al-Kubra, 3/307) dari riwayat Hajjâj ibnu Artha`ah dari Abdurrahman ibn Abbas dari Ibnu Abbas, marfu' kepadanya.

Dan dalam sanadnya terdapat Hajjâj ibn Artha`ah dan dia dhaif pelaku tadlîs dan meriwayatkan dengan kata dari ('an'an). Dan cacat yang lain, bahwa hadits dari riwayat Abdurrahman ibn Abbas dari Ibnu Abbas adalah hadits yang sudah kami sebutkan sebelumnya. Di dalamnya, Hajjâj menyalahi periwayat selain dia dari para penghapal hadits (Huffazh) dan dia meriwayatkan dalam bentuk yang berbeda dari yang mereka riwayatkan.
[10] Saya tegaskan lagi, sudah dijelaskan sebelumnya dengan jawaban yang lebih luas terhadap hadits Aisyah r.a. dalam bab wanita keluar menuju masjid.
[11] Zhahir hadits menyatakan bahwa para wanita bertakbir bersama takbir para laki-laki dan hal itu dengan suara yang kedengaran. Dan beberapa ulama menyatakan pendapat terhadap masalah itu. Bukhari mengemukakan dalam kitab sahihnya (bersama Fathul Bâri, 2/461) atsar yang mengomentari masalah ini, Maimunah bertakbir pada hari raya kurban dan pada wanita bertakbir di belakang Abbân ibn Ustman dan Umar ibn Abdul Aziz pada malam-malam tasyriq bersama para laki-laki di masjid.

Dan Imam Nawawi berkata (Syarah Muslim, 2/541): dan perkatanaanya pada wanita-wanita haid (mereka bertakbir bersama para wanita) menunjukkan boleh berdzikir kepada Allah bagi orang haid dan junub dan hanya al-Qur'an diharamkan atasnya [(footnote: demikian perkataannya dan padanya ada tinjauan, kami tempatkan di bab-bab bersuci, silahkan merujuk kesana)]. Dan perkataannya mereka bertakbir bersama orang-orang menunjukkan anjuran sunnah bertakbir bagi setiap orang pada dua hari raya dan ini sudah disepakati.

·       Sedangkan al-Hafizh Ibnu Hajar, dia berkata (Fathul Bâri, 2/462) dalam memberikan komentar atas pemaparan Bukhari terhadap atsar sebagai komentar yang kami sudah sebutkan sebagian: "atsar-atsar ini mengandung adanya takbir pada hari-hari itu setelah shalat dan kondisi lainnya. Dan dalam masalah itu terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam beberapa tempat. Sebagian mereka ada yang membatasi takbir hanya setelah shalat-shalat, sebagian lagi ada yang mengkhususkan hal itu pada shalat fardhu saja tidak pada shalat sunat, sebagian lagi ada yang menyatakan khusus bagi para laki-laki tidak para wanita dan khusus dalam berjam'ah tidak untuk sendirian, pada shalat tunai tidak pada shalat qadha (membayar), pada orang yang tinggal tidak bagi musafir, pada penduduk kota bukan bagi penduduk desa. Dan zhahir pilihan Bukhari bahwa hal tersebut mencakup semuanya karena atsar yang dia sebutkan mendukungnya.

Catatan: al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri (2/463) mengatakan, penyebutan takbir dalam hadits Ummu Athiah dengan cara ini termasuk hadits-hadits sahih yang asing (gharib) dan juga dikeluarkan oleh Muslim.
[12] Faidah: al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri (2/466) berkata, perkataannya kemudian mendatangi para wanita memberikan makna bahwa para wanita di tempat tertentu dari para laki-laki tidak berbaur dengan mereka. Dan Nawawi (Syarah Muslim, 2/535) berkata: di dalam hadits terkandung bahwa apabila para wanita menghadiri shalat para laki-laki dan perkumpulan mereka, hendaklah dia di tempat khusus yang jauh dari mereka karena takut terjadi fitnah atau pandangan atau pikiran atau seumpamanya.
[13] (penjelasan kata) fatkhun yaitu cincin-cincin besar (dari tulang) biasa digunakan pada masa Jahiliah. Begitu dikatakan oleh Abdur Razzaq. Dan al-Hafizh menyebutkan dari Tsa'lab bahwa itu adalah gelang yang dikenakan di kaki. Dan dalam sebagian riwayatnya pada riwayat Muslim menyebutkan gelang kaki. Dan al-Hafizh juga mengutip dari Ashmu'I bahwa fatkhun adalah cincin-cincin yang tidak ada matanya.

Demikian, Imam Bukhari memberikan judul Bab terhadap hadits ini dengan judul Bab (Nasihat Imam Kepada Para Wanita Pada Hari Raya) dan al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, yakni apabila mereka tidak mendengarkan khutbah bersama para laki-laki.

Dan Imam Nawawi (Syarah Muslim, 2/535): perkataannya (lalu Nabi s.a.w. turun hingga datang kepada para wanita dan Bilal bersamanya), al-Qadhi berkata, turun ini adalah ketika sedang berkhutbah. Sebanrnya tidak seperti yang dia katakan karena sesungguhnya dia turun menuju tempat mereka setelah selesai (khutbah) hari raya, setelah selesai menasihati para laki-laki. Sebagaimana riwayat Muslim menyebutkan secara tegas dalam hadits Jabir dia berkata, "Lalu melaksanakan shalat kemudian berkhutbah di depan orang-orang. Lalu setelah selesai, dia turun mendatangi para wanita dan mengingatkan (menasihati) mereka." maka ini secara tegas menyebutkan bahwa dia mendatangi mereka setelah selesai khutbah kepada para laki-laki.

Dan di dalam hadits-hadits ini mengandung anjuran sunah menasihati para wanita dan mengingatkan kepada mereka tentang akhirat dan hukum-hukum Islam serta mendorong mereka untuk bersedekah. Dan ini apabila hal tersebut tidak mengakibatkan kerusakan dan kekuatiran atas pemberi nasihat atau orang yang dinasihati atau selain keduanya.  
[14] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 2/466): di dalam hadits terkandung sopan santun dalam berbicara kepada wanita dalam rangka memberi nasihat atau menjelaskan hukum bahwa jangan dihadiri oleh para laki-laki kecuali orang yang dibutuhkan sebagai saksi atau sumpamanya karena Bilal adalah pembantu Nabi s.a.w. dan petugas yang berhak mengumpulkan sedekah dan sedangkan Ibnu Abbas sebagaimana telah disebutkan bisa hadir karena masih kecil.
[15] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 2/440): perkataannya "menyanyikan", terdapat dalam riwayat Zuhri (memukul rebana), dan pada Muslim dalam riwayat Hisyam juga menyanyikan dengan alat rebana (alat musik, tamborin). Dan dalam riwayat Nasa`I (dengan dua rebana). [penjelasan kata] dan duff dengan dhammah dâl menurut riwayat bahasa paling masyhur dan terkadang difathâhkan, dan disebut juga kirbâl dengan kasrah kâf yaitu yang tidak ada gemuruh dengung [bas] padanya dan apabila berdengung gemuruh [bas] disebut mizhar. Dan dalam hadits bab selanjutnya (Apa yang didengung-dengungkan oleh kaum Anshar pada hari 'Buast') yakni mereka saling berkata kepada yang lainnya dengan kebanggan dan ejekan. Dan dalam riwayat bagi pengarang (Bukhari) dalam [bab] Hijrah dengan kata bima ta'âzafat dengan 'ain, zay dan fâ dari kata 'azfun yaitu suara yang bergemuruh dan dalam riwayat lain dengan kata bima taqazafat dengan qâf di posisi hurup 'ain dan dzâl di posisi hurup zâi dari kata qazdfun yaitu saling mengejek satu sama lain.   
[16] Al-Hafizh mengutip dari al-Khattabi perkataanya pada hari Buast yaitu salah satu hari yang masyhur dari hari-hari Arab. Pada hari itu terjadi peperangan besar bagi kabilah Aus terhadap kabilah Khazraj dan perang tersebut terus berlangsung selama 120 tahun hingga sampai pada masa datangnya Islam sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ishaq dan lainnya. Al-Hafizh berkata, saya katakan: pendapat dia ini diikuti oleh banyak pensyarah hadits dua kitab sahih dan dalam pendapat itu masih perlu tinjauan karena memberi pemahaman bahwa peperangan yang terjadi pada hari Buast terus berlansung selama waktu itu dan sebenarnya tidak seperti itu. Maka akan disebutkan nanti pada awal-awal bab Hijrah perkataan Aisyah, "Hari Buast adalah hari yang dianugrahkan oleh Allah kepada RasulNya lalu dia datang ke Madinah sedang jamaah mereka sudah tercerai berai dan pemimpin-pemimpin mereka telah terbunuh." Sampai akhir yang dia katakan.

Catatan: terdapat dalam riwayat Bukhari (hadits 952), dia [Asiyah] berkata, "mereka berdua bukanlah penyanyi." Al-Hafizh dalam Fathul Bâri (2/442) mengutipkan perkataannya: (perkataan Aisyah) (mereka berdua bukanlah penyanyi) yakni bahwa mereka berdua bukan orang yang mengenal bagaimana menyanyi sebagaimana para penyanyi yang terkenal mengenal hal itu. Dan ini menunjukkan bahwa dia menjaga diri dari nyanyian orang-orang yang dikenal sebagai penyanyi yaitu yang menggerakkan yang diam dan membangkitkan yang terpendam. Dan jenis ini apabila lirik (puisi) di dalamnya terdapat penyebutan keindahan-keindahan [fisik] wanita dan khamar dan selain keduanya dari perkara-perkara yang diharamkan maka tidak ada perbedaan pendapat dalam mengharamkannya. Dia berkata, dan adapun perkara bid'ah yang dilakukan oleh kaum sufi dalam hal itu termasuk ke dalam bagian yang tidak ada perbedaan pendapat dalam mengharamkannya. Tetapi nafsu-nafsu syahwat seringkali mengalahkan orang yang dinisbatkan kepada kebaikan sehingga sering nampak pada kebanyakan mereka tingkah laku orang gila dan anak kecil, sampai-sampai mereka menari dengan gerakan-gerakan yang selaras dan irama-irama yang sambung menyambung. Dan sikap kurang ajar sampai puncaknya pada suatu kelompok dari mereka hingga menjadikannya termasuk bagian dari mendekatkan diri dan amal saleh dan bahwa perbuatan demikian membuahkan keluhuran prilaku. Dan sebenarnya ini—atas dasar penelitian—termasuk pengaruh-pengaruh zindiq dan perkataan kelompok penipu dan hanya Allah tempat minta pertolongan.

Dan seharusnya dibalik apa yang mereka maksud dan keluruhan dibaca kebusukan sebagai ganti nûn yang kasrah dan ringan tanpa hamzah dengan yâ yang bertitik dua dibawah dan hamzah (sanîyun yaitu keluhuran dibaca sayyi`un yaitu kebusukan) [membuat kiasan dengan morphem kata]. Dan adapun tentang alat-alat, akan datang penjelasan perbedaan pendapat para ulama padanya ketika membicarakan pembahasan tentang musik pada kitab minum-minuman. Dan disampaikan oleh sekelompok ulama terdapat ijma dalam mengharamkannya dan disampaikan oleh sebagian mereka sebaliknya dan kami akan menjelaskan syubhat kedua kelompok insya Allah. Dan tidak otomotis kebolehan memukul rebana (alat musik gendang) dalam perkawinan dan seumpamanya menjadi kebolehan pada alat-alat lainnya seperti 'ud dan seumpamanya sebagaimana akan kami sebutkan dalam pembahasan resepsi perkawinan (walimah) insya Allah.

Dan adapun Nabi s.a.w. berpaling dengan pakaiannya, di dalamnya terkandung makna bahwa Nabi berpaling dari hal tersebut karena kedudukannya menuntut untuk tidak memperhatikan hal tersebut. Tetapi Nabi tidak melarangnya menunjukkan pembenaran perkara tersebut dalam bentuk yang ia tetapkan karena dia tidak menetapkan suatu perkara yang batil. Dan dasar utama adalah menjauhi permainan dan hiburan hingga hanya terbatas pada hal-hal yang terdapat dalam nash baik waktu maupun cara. Hal itu untuk mengurangi perkara yang menyalahi dasar utama. Wallahu A'lam.

Kemudian al-Hafizh Ibnu Hajar mengemukakan sejumblah kandungan yang terdapat dalam hadits ini. Kami kemukakan sebagian yang secara khusus berkaitan dengan wanita karena buku kami ini (Jami' Ahkam Nisa - kumpulan hukum wanita). Dia berkata, di dalamnya terkandung kebolehan seorang laki-laki masuk rumah anak perempuannya apabila hal tersebut sudah menjadi tradisi, ayah mendidik anaknya di depan suami apabila suami memberikan kesempatan karena mendidik adalah tugas ayah, dan kasih sayang terhadap istri disyariatkan bagi suami. Dan dalam hadits itu juga terkandung keharusan berlaku lembut pada wanita dan menarik hati untuk mendapatkan kasih sayangnya… Kemudian dia berkata, dari hadits ini dijadikan dalil boleh mendengarkan suara perempuan sahaya menyanyi meskipun bukan milik sendiri karena Nabi s.a.w. tidak melarang Abu Bakar mendengarnya bahkan mengingkari larangan Abu Bakar. Dan jelas bahwa posisi kebolehan itu apabila aman dari fitnah. Wallahu A'lam.

Saya tegaskan, di dalam hadits terkandung trik wanita sebagaimana terdapat dalam sebagian sanad hadits dalam riwayat Nasa`i—sebagaimana dinisbatkan oleh al-Hafizh dalam Fathul Bâri kepadanya—manakala Rasulullah s.a.w. berkata kepadanya (Aisyah), "sudah puaskah kamu, sudah puaskah kamu." Lalu aku menjawab, "belum," agar aku bisa melihat kedudukanku dalam dirinya." Dan dalam riwayatnya (Nasa'i) dari riwayat Abu Salamah darinya (Aisyah), saya katakan, "Hai Rasulullah, jangan tergesa-gesa.." Lalu dia melakukannya untukku kemudian berkata, "Sudah cukup?" Aku jawab, "jangan tergesa-gesa." Dia (Aisyah) berkata, "sebenarnya bukan karena aku senang menonton mereka tetapi aku senang agar para wanita sampai mendapatkan kedudukannya pada diriku dan posisiku dalam dirinya."

Dan Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata (5/92): dan nyanyian, permainan, dan menari [(footnote: (penjelasan kata) zafan yaitu menari, begiti disebutkan dalam Lisan al- Arab. Dan penggunaan kata ini terdapat dalam sebagian sanad riwayat hadits Aisyah r.a. dalam riwayat Muslim (hal. 609), di dalamnya disebutkan, orang-orang habsyi datang dan menari-nari (zafan) pada hari raya di masjid, al-Hadits.

Nawawi berkata, perkataannya (orang-orang Habsyi datang dan menari-nari [yazpinûn]…) yaitu dengan fathâh yâ, sukun zâi dan kasrah fâ maknanya adalah menari-nari. Dan para ulama menafsirkan maksudnya sebagai melompat-lompat dengan senjata mereka dan bermain-main dengan telabang mereka mendekati bentuk tari-tarian karena sebagian besar riwayat menyebutkan hal itu hanya saja adalah permainan mereka dengan senjata dan perisai sehingga kata ini ditakwilkan sesuai dengan seluruh riwayat yang ada.)] pada hari-hari raya merupakan perbuatan yang bagus, baik di masjid dan lainnya.

Saya tegaskan, untuk penjelasan lebih lanjut silahkan melihat apa yang dikemukakan oleh Imam Nawawi (Syarah Muslim, 2/544).          

Artikel Terkait:

your ad here

comments

0 Responses to "WANITA KELUAR MELAKSANAKAN SHALAT HARI RAYA"

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

eNews & Updates

Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!

Daftar Isi

Loading...